Destiny 31
Kedatangan keluarga Arumdalu disambut hangat oleh Eyang. Wajah sepuh perempuan itu terlihat berseri-seri.
Namun, tidak demikian dengan Mahendra, meski ia duduk di samping Eyang Dewi, sikap pria itu terlihat tidak menikmati. Hanya sesekali ia melempar senyum kepada kedua orang tua Arum. Hal tersebut sangat disadari oleh Arumdalu.
"Hendra, kamu bisa ajak Arum ngobrol di luar jika merasa tidak nyaman bersama kami. Mungkin kalian bisa mengenang bagaimana hubungan kalian beberapa waktu lalu." Eyang Dewi menyentuh bahu cucunya.
Tak membantah, ia bangkit dan memberi isyarat pada Arum agar mengikutinya. Mereka berdua meninggalkan ruang tamu menuju ke teras.
"Duduk!" titahnya pada Arum dengan mengedikkan dagu.
"Jadi gimana? Apa kamu bersedia membantuku?" tanya Hendra setelah mereka berdua duduk.
Arum menoleh sekilas kemudian menatap lurus ke depan menatap bunga kemudian yang tengah mekar.
"Apa kamu mencintai keluargamu, Hendra?" tanyanya.
"Tentu!"
"Seperti itu juga yang kurasakan."
"Maksudmu?"
"Aku nggak mau membuat keluargaku kecewa. Aku juga nggak mau membuat mereka malu!"
Hendra menyipitkan matanya, meski dia mulai paham arah pembicaraan Arum.
"Siapa pun tahu siapa romoku, dan semua orang juga tahu siapa Eyang Dewi!"
"Jadi maksudmu ...."
Perempuan berwajah manis itu mengangguk masih menatap lurus.
"Aku nggak bisa bantu. Bagiku kehormatan keluarga dan hubungan baik tetap harus dijaga!"
Mahendra membuang napas kasar. Tangannya mengepal dengan rahang mengeras.
"Tapi aku nggak bisa, Arum! Aku nggak bisa berpura-pura masih memiliki rasa padamu seperti dulu!"
Arum bergeming.
"Seharusnya kamu paham itu. Lima tahun itu bisa terjadi apa saja! Kita tidak pernah saling memberi kabar! Kamu pergi mengejar mimpi tanpa berniat memperbaiki hubungan yang terkatung-katung," sesal Hendra.
"Jika aku memberi kabar, apakah itu bisa membuatmu mempertahankan rasa untukku?" tanya Arum.
Kali ini Mahendra terdiam.
Dengan senyum miring Arum kembali bertutur, "Kamu diam? Itu artinya nggak, kan? Hendra, sebuah hubungan itu terikat oleh takdir. Aku percaya apa yang terjadi pada kita adalah takdir. Dan aku percaya kamu memang takdirku!"
Hendra menatap Arum tajam. Memang dia pernah begitu tergila-gila pada perempuan itu. Arum pulalah yang membuat dia menutup hati dan menganggap semua perempuan bisa dia dekati.
Hingga ia bertemu Allea. Perempuan yang harus menjanda bahkan saat masa pernikahannya masih seumur jagung. Sikapnya yang tak acuh membuat Hendra merasa dia istimewa.
"Takdir kamu bilang?" tanya Hendra.
"Iya. Kamu pikir hidup ini bisa kamu atur semaumu?" Arum menghela napas dalam-dalam.
"Kamu sedang membicarakan dirimu sendiri, Arum!" tangkis Hendra.
"Kamu sengaja memanfaatkan situasi ini untuk memenangkan dirimu sendiri atas nama kehormatan keluarga!" cecarnya. Wajah Hendra tampak memerah dengan mata berkilat menahan amarah.
"Kamu naif dan sangat kekanakan!" ungkapnya lagi.
Arum menoleh membalas tatapan Hendra.
"Lalu, apa kamu pikir dengan memintaku untuk membantumu itu bukan egois? Kamu bahkan sama sekali tidak peduli dengan perasaanku, Mahendra!" balasnya. "Kamu hanya memikirkan bagaimana kamu bisa mewujudkan keinginanmu tanpa peduli keluargamu!"
"Arum, dengar! Kedua orang tuaku sudah memberikan lampu hijau untuk hubunganku dengan Allea. Aku ke sini untuk meminta restu eyang, meski tanpa restu beliau pun aku bisa menikahinya ... aku lakukan ini adalah untuk menghormati beliau! Menghormati tradisi keluarga!" Hendra berhenti sejenak. Ia mengurut pelipisnya kemudian kembali berkata, "Tapi sayangnya niat baikku dimentahkan dan aku harus melihat kesedihan di mata perempuan yang aku cintai."
"Lalu?"
Hendra bangkit dari duduk.
"Tanpa bantuanmu, aku bisa menolak rencana itu!" Ia tampak hendak meninggalkan teras menuju ruang tamu, tapi cepat Arum mencegah. Perempuan itu menahan lengan Hendra.
"Jangan!"
"Kenapa?"
Arum menggeleng dengan mata berkaca-kaca.
"Jangan bicarakan hal itu sekarang. Biar nanti aku saja yang menjelaskan semuanya. Tapi tidak malam ini. Tolong!"
Melihat kabut di mata Arum, Hendra luluh.
"Kenapa? Ada apa?"
Arum mengajaknya duduk kembali. Dengan bibir bergetar ia memohon agar Mahendra bisa menerimanya. Karena sebenarnya ada pria lain yang sebenarnya telah lama mengharapkan dirinya.
"Aku nggak mencintainya! Maka aku buat cerita seolah-olah selama ini hubungan kita baik dan semakin serius."
Mahendra menghela napas panjang.
"Kamu kenal Beno kan? Putra Pak Kertowidjojo?"
Pria di depannya itu terlihat berpikir kemudian mengangguk. Beno adalah pengusaha terkenal di kota itu. Ia memiliki hotel dan beberapa cottage. Namun, pria itu telah tiga kali bercerai. Konon meski kaya dan tampan, ia memiliki perangai yang tidak baik, meski banyak orang yang tidak percaya.
"Aku kenal dengan Gita. Salah satu dari mantan istrinya. Beno memiliki perangai yang temperamental, dan aku takut jika ...." Kalimat Arum terhenti, ia tak sanggup menahan isak. Masih dengan tangis, ia bercerita bahwa kedua orang tuanya sudah sangat setuju meski keputusan tetap mereka serahkan kepada Arum.
"Apa romomu nggak mendengar soal Beno?"
"Romo nggak percaya."
"Lalu kamu nggak berupaya meyakinkan?"
"Beliau punya alasan jika benar Beno seperti itu."
Hendra mengusap wajahnya. Ia sama sekali tidak ingin terseret pada masalah baru yang sama sekali bukan areanya.
"Tak ingin berdebat dengan romo, aku memilih mengarang cerita soal kita. Maafkan aku."
Mahendra menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi, kemudian menoleh ke Arum.
"Aku tetap akan menolak rencana ini, Arum. Maaf. Soal Beno itu bukan urusanku. Ada baiknya kamu bicara baik-baik dengan romo dan tidak ada salahnya jika kamu juga mempertemukan istri Beno dengan romomu," sarannya.
"Kamu nggak mau menolongku? Setidaknya untuk malam ini? Tolong ...."
Pria beralis tebal dengan hidung mancung itu kembali menghela napasnya.
"Apa rencanamu?"
"Setidaknya biarkan malam ini aku lega. Aku janji aku akan selesaikan masalah ini."
..
"Halo, Allea! Ini aku Arum. Semoga kamu ingat."
"Oh iya, tentu aku ingat. Ada apa?"
"Aku rasa kamu tahu maksud aku meneleponmu."
"Apa itu?"
"Bisa kan kamu melepas Mahendra? Karena dia masih berkeras menentang Eyang."
Allea diam. Matanya perlahan mengabut.
"Aku sudah melepaskannya bahkan jauh sebelum kamu minta."
Terdengar helaan napas dari seberang.
"Terima kasih, Allea. Aku yakin kamu akan menemukan pengganti yang lebih baik dari Mahendra."
"Aku tahu itu. Kamu tenang aja."
"Oke, maafkan aku. Oh iya, aku tahu nomor teleponmu dari Hendra."
Allea mengusap air matanya yang jatuh begitu saja. Perempuan itu menggigit bibirnya kuat menahan isak.
"Oke kalau begitu, aku tutup teleponnya ya. Senang kenal denganmu."
Tubuhnya luruh seolah tak bertulang. Ia duduk memeluk lutut dengan bahu berguncang hebat. Meski dia tahu hal ini mau tidak mau akan terjadi, tapi sakit itu ternyata terlalu perih jika ia pikul sendiri. Dia bukan perempuan lajang yang bisa bebas untuk pergi ke mana ia ingin. Ada gadis kecil yang harus ia jaga, ada Alena yang harus dia lindungi.
..
Setelah peristiwa penolakan Eyang Dewi dan telepon dari Arum. Allea kembali beraktivitas seperti biasa. Ia mencoba menganggap tidak ada lagi hubungan yang perlu diperbincangkan antara dirinya dan Hendra.
Semenjak kejadian itu dia menjadi lebih tertutup. Bahkan ketika keluarganya bertanya soal Mahendra, ia enggan menjawab. Perempuan itu hanya tersenyum dan memilih mengalihkan pembicaraan ke masalah lain.
Beberapa kali Mahendra terlihat muncul di rumah Allea, tapi perempuan itu enggan menemui. Sementara Alena dengan tegas ia larang untuk bertemu pria itu. Allea pun memutuskan untuk tidak menanggapi telepon atau pesan Mahendra.
Seperti sore kesekian kalinya, Allea sama sekali tidak mengindahkan ketukan pintu yang sejak tadi memanggil namanya.
"Mama, kenapa Mama nggak mau ketemu Papa Hendra sih? Padahal Papa Hendra kan nggak nakal. Papa ...."
"Alena! Berapa kali mama bilang jangan pernah panggil papa pada Om Hendra! Dia bukan papa Alena!"
"Tapi, Ma ... papa Hendra bilang nggak apa-apa," sanggahnya dengan mata mengharap.
"Nggak, Alena! Sudah ya, jangan bikin mama semakin sedih. Papa Alena sudah di surga, Sayang."
Allea memeluk putrinya erat.
"Tapi kasihan Papa Hendra, Ma. Papa Hendra pasti sedih."
"Alena, setiap orang akan merasakan kesedihan dan bahagia," tuturnya seraya membungkuk mengusap pipi putrinya.
"Mama ... Alena kangen sama Papa Hendra." Gadis kecil itu berkata lirih dengan mata berkaca-kaca. Allea merasa sudut hatinya berdenyut nyeri mendengar dan menatap wajah Alena. "Boleh Alena buka pintunya untuk Papa Hendra, Ma?"
Perempuan bermata indah itu menghela napas kemudian kembali ke posisi semula. Sementara Alena mendongak menatap mamanya dengan wajah berharap.
"Mama?"
Allea bergeming, sedangkan suara Mahendra sudah tak lagi terdengar.
"Om Hendra sudah pergi, Alena."
Mendengar perkataan mamanya, tangis Alena pecah. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya memanggil nama Mahendra.
"Allea! Tolong buka pintunya. Kamu nggak bisa sembunyi dari aku. Kamu juga nggak bisa pisahkan aku dengan Alena!" Suara Mahendra kembali terdengar dari luar. "Allea, buka pintunya. Please!"
Satu bulir bening jatuh di pipinya. Terlalu berat baginya jika menuruti permintaan pria itu juga Alena. Namun, dia pun tidak bisa terus menerus berbohong dan bersembunyi dari perasaan yang terus tumbuh di hatinya. Masih terngiang sorot tegas mata Eyang Dewi serta ucapannya yang jelas tidak menginginkan dirinya masuk dalam keluarga besar Mahendra.
"Allea. Baik, aku akan tetap di sini sampai kamu membukakan pintu untukku! Jika kamu tidak ingin mendengar penjelasanku. Paling tidak biarkan aku bertemu Alena!"
Ia menoleh menatap Alena yang telah duduk di sofa. Putrinya itu menatapnya sambil memeluk boneka pemberian Mahendra. Mata bening Alena meluluhkan hatinya. Sambil memaksa tersenyum, ia mengangguk memberi isyarat agar putrinya membuka pintu.
"Boleh, Ma?" tanyanya antusias dengan mata berbinar.
Allea mengangguk.
"Jangan lama-lama ya."
"Iya, Ma. Terima kasih, Mama."
Sambil berlari menuju pintu, Alena memanggil Mahendra. Sementara Allea memilih masuk ke kamar.
"Papa Hendra!"
"Halo Alena! Apa kabar!"
Hendra memeluk gadis kecil itu dan menggendongnya, terlihat Alena benar-benar merindukan pria itu.
Mata Hendra berkaca-kaca merasakan pelukan erat putri dari Allea itu.
"Papa."
"Iya, Sayang?"
"Maafin mama ya."
"Mama nggak salah. Papa yang salah."
..
Lalu ... apa yang akan terjadi kemudian?
Ikuti kelanjutannya.
Terima kasih banyak buat teman-teman yang sudah setia di sini 💖💖
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top