Destiny 30

Apa kabar, Teman-teman ... aku ucapkan selamat menjalankan ibadah puasa buat teman-teman yang menjalankannya. Semoga kita semua selalu diberikan kesehatan dan keberkahan

💖💖

"Iya, Eyang, saya paham," balasnya dengan suara bergetar.

"Eyang, tapi ...."

"Eyang sudah pesankan tiket untuk Allea dan putrinya besok siang. Tadi sudah beli oleh-oleh?" Perempuan sepuh itu memotong ucapan cucunya.

"Allea nggak mau, Yang. Besok Hendra juga mau balik!"

"Tidak! Besok kita akan bertemu dengan keluarga besar Arumdalu. Mereka akan sowan ke sini dan membicarakan masa depan Arum dan kamu, Hendra!" tegasnya.

"Eyang, Hendra sangat mencintai Allea. Hendra nggak bisa mewujudkan apa yang Eyang inginkan. Tolong, Eyang ngerti," mohon Mahendra.

Eyang Dewi menggeleng seraya bangkit dari duduk.

"Allea, kamu sebaiknya ke kamar. Sudah malam!"

"Baik, Eyang," sahutnya seraya beringsut dari kursi.

Tanpa menatap Hendra ia melangkah menuju kamar dengan mata berkaca-kaca. Sementara Mahendra mengepalkan tangan dengan bibir terkatup rapat. Ia menyesal telah membawa perempuan itu bertemu eyangnya. Mahendra merasa Allea telah benar-benar memutuskan untuk mundur dari hubungan mereka.

"Eyang," panggilnya seraya bangkit, saat perempuan tua itu melangkah masuk.

"Ada apa? Kalau kamu hendak membicarakan soal cintamu dengan Allea, Eyang nggak ada waktu!"

Tak bisa berbuat banyak, Hendra membuang napas kasar. Ia kembali duduk dengan tangan mengusap kepalanya. Jika dia terus maju, tanpa memedulikan titah eyangnya itu berarti dia akan dimusuhi oleh keluarga besar termasuk kedua orang tuanya. Namun, melepas Allea pun tidak mungkin, karena kini hanya perempuan itu yang dia cintai.

Hendra melirik jam tangannya, kemudian merogoh kantong baju mengambil ponsel kemudian menghubungi seseorang.

"Allea, aku mohon keluar sekarang. Kita harus bicara."

"Nggak, Mas. Nggak ada yang perlu dibicarakan. Semua sudah jelas."

"Nggak, Sayang! Dengar aku. Aku ...."

Allea memutus pembicaraan, hal itu membuat Mahendra semakin frustrasi. Pria itu bangkit kemudian melangkah ke sepeda motor yang ada di garasi. Tak lama, ia menghilang setelah berbicara sebentar dengan Pak Ji. Tanpa diketahui Mahendra, mata tua eyangnya mengawasi dari balik gorden.

🍁🍁

Satu koper berisi baju Allea dan putrinya sudah siap di depan pintu. Sengaja ia memutuskan untuk pergi setelah sarapan meski kereta berangkat siang. Alena yang tidak tahu apa-apa terlihat santai menyalami Eyang Dewi. Sementara Allea berusaha menyembunyikan sedih di balik senyuman. Ia tetap santun menyalami perempuan sepuh itu seraya meminta maaf karena telah masuk dan mengacaukan semuanya.

"Tak apa, Allea. Kita semua akan belajar dari kesalahan. Hati-hati di jalan," pesannya.

"Eyang, Hendra juga pamit." Pria jangkung itu tiba-tiba ada di tengah-tengah mereka. Mahendra terlihat kusut dengan mata yang memerah, ia seperti orang kurang istirahat.

"Hari ini ada pertemuan dengan keluarga Arumdalu! Pertemuan penting membahas masa depanmu, Mahendra!"

Sambil menggeleng, ia melangkah kemudian meraih tangan eyang lalu berkata, "Maafkan, Hendra, Eyang. Tapi kita semua berada di masa sekarang dan bukan di masa lalu."

Tatapan Eyang Dewi tajam memindai cucunya. Sementara Allea menggenggam erat tangan putrinya. Dia tahu bagaimana jika Hendra punya maksud dan keinginan. Tak ingin ada salah paham lagi, segera ia memohon diri untuk pergi.

"Tetap di tempatmu, Allea. Kalian tidak boleh pergi tanpa aku!" Ucapan Mahendra menahan langkahnya.

"Eyang, maafkan jika keputusan ini mengusik. Tapi ini masa depan Hendra. Hendra tahu apa yang Eyang inginkan untuk masa depan Hendra. Tapi Hendra juga tahu apa yang terbaik untuk Hendra," tegasnya masih dengan sikap sopan. "Hendra pamit, Eyang."

Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir perempuan sepuh itu, tapi jelas ada kilat kecewa bercampur amarah terbetik di matanya.

Setelah mengutarakan apa yang ada di hatinya, Mahendra mendekati Allea dan putrinya. Dengan senyum hangat, ia meraih tangan Allea seraya berkata, "Kita pulang, Sayang."

"Tidak, Mas! Biarkan kami yang pergi. Kehormatan keluarga ini ada pada Eyang Dewi, dan kehadiranmu malam nanti," tolak Allea tegas meski jelas kedua mata indahnya mengembun.

"Allea!" seru Mahendra heran.

Sementara tatapan Eyang Dewi tajam menusuk keduanya.

"Jangan kamu hancurkan kehormatan keluarga besarmu, Mas."

"Apa maksudmu, Sayang?" Hendra semakin tidak mengerti.

Dengan bibir sedikit tertarik, Allea melepaskan pegangan tangan Mahendra.

"Izinkan kami pergi. Ada hal yang terkadang tidak bisa kita pahami di saat-saat seperti ini. Tapi kelak semua akan terbaca saat masing-masing dari kita telah menemukan bahagia. Aku ke sini bukan untuk membuatmu dan keluargamu berseteru. Maafkan aku, Mas."

"Sayang, kita pergi sekarang. Taksi sudah menunggu."

Allea membungkuk hormat kepada Eyang kemudian meraih tangan Alena yang sejak tadi tak mengerti apa yang terjadi. Tanpa ada pertanyaan, gadis kecil itu mengikuti langkah mamanya. Lamat terdengar suara kecilnya pamit kepada Mahendra.

Sementara Mahendra berdiri mematung menatap kepergian keduanya dengan tatapan sendu.

"Allea!" panggilnya seolah tersadar.

"Sikap Allea sudah benar, Hendra! Biarkan dia pergi!" tutur Eyang tegas.

"Eyang ... eyang tega melukai harapan seorang gadis kecil? Eyang tega membuang senyum Alena?"

Perempuan beruban itu hanya tersenyum datar.

"Jangan jadikan anak kecil sebagai alasan, Hendra!" sindirnya.

Mahendra memijit pelipisnya. Semalam dia tidak tidur setelah banyak bertukar pikiran dengan Arumdalu. Kini harapannya hanya pada perempuan masa lalunya itu.

🍁🍁

Flash back.

"Arum, maaf jika kedatanganku tiba-tiba. Aku ingin ...."

"Aku tahu. Kamu datang untuk bercerita bahwa telah ada yang mengisi hatimu, kan?" potong perempuan berwajah manis itu.

Mahendra tersenyum lalu mengangguk. Perempuan yang pernah mengisi hari-hari Mahendra itu menyilakan duduk. Sejenak mereka saling diam.

"Jadi sekarang apa yang kamu inginkan?" Arum membuka pembicaraan.

Hendra menarik napas dalam-dalam kemudian mengungkapkan keinginannya agar Arum menolak rencana perjodohan mereka.

"Romoku sudah setuju dengan pertemuan itu, Hendra. Beliau sudah menjadwalkan pertemuan itu sehari setelah kedatanganku."

Sejenak Arum menoleh ke arah pria di depannya. Jauh dalam hati Arum merasa ada yang hilang. Ada harap yang mendalam untuk Mahendra meski kini ia tahu telah ada sosok lain yang mengisi hari-hari pria itu.

"Maaf Arum. Maafkan jika aku mengatakan ini. Tapi aku nggak bisa mengikuti keinginan Eyang Dewi."

"Aku pikir kita sudah sama-sama mengerti soal ini. Bagiku masa lalu biar jadi masa lalu. Karena kita hidup menatap ke depan," ungkapnya.

Arum memejamkan menahan bulir bening yang hendak keluar. Lama kuliah di luar negeri, menyimpan hati untuk seorang Mahendra rupanya tak berbalas.

Mungkin waktu itu dia egois dan ingin membuktikan bahwa dirinya adalah perempuan yang bisa membuat bangga keluarga besarnya. Dia juga ingin kelak Mahendra bangga memiliki pendamping seperti dirinya. Cerdas, terpelajar dan dari keluarga baik-baik.

Namun, Arum salah. Mahendra bukan seperti yang ia sangkakan. Pria itu berubah, ia memilih menautkan hati pada seorang perempuan biasa.

"Arum," panggil Hendra mengejutkannya.

"Apa kamu bisa menolongku?" Pria itu menatap penuh harap.

"Aku tahu bagaimana jika eyang berkehendak, tapi kalau kita berdua sepakat menolak ... aku rasa itu akan lebih mudah," sambungnya lagi.

"Sedalam apa kamu mencintainya, Hendra?" Arum bertanya dengan mata menatap ke arah lain. Ia khawatir air matanya yang hendak keluar terlihat oleh pria itu.

"Sangat dalam! Aku nggak bisa menggambarkannya, Arum."

Ada sembilu seolah menggores hatinya. Harap yang berkobar mendadak lenyap. Ia tak ingin Mahendra tahu jika satu tetes air mata telah jatuh. Seraya merapikan rambut ia bangkit kemudian melangkah membelakangi Mahendra.

"Aku tahu apa yang harus aku lakukan, Hendra. Sebaiknya kamu pulang sekarang! Aku takut romo dan ibu akan banyak bertanya soal kedatanganmu. Pulanglah sekarang!"

Wajah Mahendra sedikit berbinar. Ia merasa ada angin segar dari pernyataan Arumdalu. Pria itu bangkit dan berdiri di sampingnya.

"Danke, mein bester Freund Arum," tuturnya seraya melempar senyum pada perempuan itu.

Mendengar Hendra mengucapkan terima kasih dengan bahasa Jerman, mata Arum membeliak tak percaya.

"Kamu bisa bahasa Jerman?"

"Aku belajar sedikit dulu waktu tahu kamu pergi ke sana," terangnya. "Ya biar nggak kelihatan bego banget pas ketemu kamu!" kelakarnya seraya tertawa lebar.

Arum tersenyum getir menatap pria di sampingnya. Ada berbagai andai di kepalanya, tapi tentu itu semua hanya andai. Semua telah terlambat baginya.

"Oke, Arum. Aku pulang. Semoga ada titik terang setelah malam ini. Setidaknya untuk masa depan aku, Allea dan tentu saja kamu! Selamat malam, Arum."

Hendra melangkah ke motornya, untuk kemudian pergi.

🍁🍁

Terima kasih sudah mampir dan membaca. Terima kasih sudah setia 🙏💖



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top