Destiny 3

Allea mengetukkan pulpen ke meja berkali-kali sehingga menimbulkan irama. Matanya menatap menatap kalender meja di depannya. Tawaran pembebasan lahan yang diajukan membuat dirinya gusar. Semua warga telah sepakat dan menyetujui tawaran itu tapi dia bergeming meski desakan Alisha meminta hal yang sama.

Wanita berhidung mancung itu menarik napas dalam-dalam lalu bangkit setelah melihat jam tangan. Saatnya menjemput Alena. Mengendarai motor matic ia sampai ke sekolah sang putri. Sebagian murid sudah pulang, ia selalu merasa bersalah jika terlambat meski sebentar.

Keningnya mengeryit saat melihat Alena tengah duduk bersama seorang pria. Gadis kecilnya itu terlihat gembira dengan es krim di tangannya. Tak suka dengan apa yang dilihat, Ia melangkah mendekat.

"Alena!"

"Mama!"

Pria jangkung itu tersenyum lalu berdiri menyambut Allea.

"Maaf, kenapa ...."

"Kebetulan kami sedang menjemput Dion keponakan Bram." Hendra menunjuk bocah kecil yang tengah bermain bersama pria seusia lelaki di depannya itu. Allea menghela napas lega, kekhawatirannya hilang.

"Kamu mencurigaiku?" tanya Hendra memasukkan tangannya ke kantong celana.

Senyum Allea terbit, kemudian ia meminta maaf.

"Aku tahu, sekarang ini bahkan kita memang harus waspada. Oh iya, Alena anak yang cerdas!"

Hendra mengusap puncak kepala gadis kecil itu.

"Terima kasih. Sayang, ayo kita pulang, salim dulu sama Om Hendra!"

Allea mengulurkan tangannya disambut oleh Hendra.

"Mama, Om Hendra boleh main ke rumah kita nggak?" tanyanya polos.

Allea hanya tersenyum menanggapi, kemudian meraih tangan sang putri untuk kemudian pergi setelah berpamitan dengan Hendra.

Pria itu tersenyum kemudian menarik napas dalam-dalam. Semesta memang luar biasa, ia merasa Tuhan telah memberi jalan untuk lebih bisa mengenal wanita itu. Dari pertemuan tak disengaja dengan gadis kecil tadi, ia memperoleh bahwa papanya telah meninggal dunia.

"Dunia sempit ya, Bro!" Bram menepuk bahunya, "sepertinya makin mudah nego kalau begini." Hendra tersenyum datar.

"Kenapa?" tanya Bram heran melihat ekspresi rekannya.

"Dia ... janda, Bram!"

"Lalu? Sebentar! Jangan bilang kamu mulai menaruh simpati." Pria itu menatapnya serius, "ayo balik!"

"Pantas jika dia terlihat menjaga jarak," pikirnya melangkah mengikuti Bram.

***

Alisha tengah serius menatap komputer saat Mahendra tiba. Ada senyum terulas manakala melihat pria yang ia kagumi itu masuk ke ruangannya. Hari ini adalah ulang tahun Mahendra, ia dan beberapa karyawan membuat pesta kejutan baginya. Rencananya mereka akan mengejutkan bos mereka siang nanti. Sementara dia sendiri punya kado spesial untuk pria itu.

Tak sabar menunggu waktu makan siang, Alisha bermaksud lebih dulu memberikan kejutan. Kotak kecil berisi jam tangan telah ia siapkan. Dengan membawa beberapa berkas laporan, ia melangkah ke ruangan Hendra. Baru saja Alisha hendak mengetuk pintu, pria itu lebih dulu membuka.

"Mas?"

"Alisha? Ada perlu?"

Gugup ia mengatakan hendak memberikan laporan keuangan perusahaan.

"Oke, kamu letakkan saja di meja. Aku ada perlu keluar. Mungkin ... besok baru bisa aku periksa."

"Eum, tapi, Mas!"

"Ada apa?" Pria itu menoleh menghentikan langkahnya.

"Happy birthday, Mas Hendra." Alisha memberikan kotak kecil berwarna cokelat kepada lelaki berkemeja putih itu.

"Wow! Thank you, Alisha. Aku nggak nyangka kamu ingat," tuturnya menerima bingkisan itu.

"Mas nanti maka siang nggak di kantor?"

Hendra menggeleng.

"Aku ada urusan di luar. Ada apa?"

Wajah kecewa gadis tak bisa disembunyikan.

"Kenapa, Alisha?"

Ia menceritakan rencana karyawan yang bermaksud memberi kejutan.

"Kalau Mas nggak datang, pasti mereka kecewa."

Sejenak Hendra berpikir, lalu ia mengangguk kemudian berjanji akan kembali saat makan siang.

"Betul, Mas?"

"Aku usahakan! Oh iya, terima kasih kadonya."

Alisha mengangguk tersenyum menatap punggung pria itu hingga menghilang.

***

Allea tengah duduk di ruang tengah ketika ponselnya bergetar. Kening wanita berkerut saat tak mendapati nama penelepon. Seperti biasa ia tak akan menggubris panggilan itu. Ia sadar posisi sebagai single parent sangat riskan dengan godaan, terlebih pria. Selain itu tentu saja ia masih tak ingin membuka hati untuk siapa pun.

Tanpa memedulikan suara telepon genggamnya, ia meninggalkan ruangan itu menuju dapur membuka lemari es lalu duduk di mini bar untuk meneguk air mineral dingin.

Beberapa waktu lalu orang tuanya meminta kembali dirinya agar menikah. Sang ayah telah memiliki calon yang menurutnya cocok. Tak ingin membuat ayahnya kecewa, Allea berusaha mencoba berdamai dengan menemui pria yang dimaksud. Namun, ia tak pernah merasa nyaman. Hal itu terus terjadi hingga akhirnya mereka menyerah.

Ketukan pintu membuatnya tersadar. Sejenak ia melihat ke arah jam dinding tepat pukul dua belas siang. Wanita itu membuka sedikit gorden untuk melihat siapa yang datang. Matanya menyipit mencoba memastikan sosok itu.

"Selamat siang?" sapanya saat membuka pintu, pria di depannya itu membalikkan badan tersenyum ramah.

"Pak Hendra? Ada yang bisa saya bantu? Apa di rumah laundry nggak ada ...."

"Apa kedatanganku mengganggu?" potongnya.

Allea menggeleng.

"Syukurlah, aku tidak sedang komplain atau apa. Cuma mau memberikan ini." Ia menyodorkan tempat minum milik Alena yang tempo hari sempat tertinggal di sekolah saat ia terlambat menjemput.

"Ini milik Alena kan? Kemarin ketinggalan dan aku membawanya."

"Terima kasih. Maaf merepotkan," ucapnya tersenyum.

"Mama ...." Gadis kecil itu muncul di antara mereka.

"Halo, Alena!"

"Halo, Om!"

"Alena nggak tidur siang?" tanya Hendra seraya menyambut uluran tangan gadis kecil itu. Alena menggeleng cepat kemudian kembali ke dalam.

"Oke, aku balik dulu. Terima waktunya."

Allea mengangguk tersenyum.

"Oh iya, boleh aku minta sesuatu?" tanyanya sebelum melangkah.

Allea menyipitkan mata.

"Apa itu?"

"Kamu simpan nomor teleponku."

"Nomor telepon yang mana?"

"Yang tadi meneleponmu itu ... aku. Selamat siang, Lea ...."

Wanita berambut panjang itu tertegun mendengar panggilan pria itu untuknya. Lea adalah panggilan kesayangan dari Andre mendiang sang suami. Menarik napas dalam-dalam ia kembali menutup pintu.

***

Hendra mengusap wajahnya melihat ekspresi Alisha. Gadis itu memasang wajah tak suka saat ia tiba di kantor menjelang sore.

"Sorry, Alisha. Jalanan macet dan ...."

"Mas tahu nggak, kita sekantor kecewa! Aku sudah sedemikian rupa menyiapkan pesta kejutan tapi Mas!" sesalnya.

"Oke aku salah. Sorry! Thanks buat perhatianmu juga semuanya." Hendra mengulurkan tangan mencoba meluluhkan hati gadis itu. Sebenarnya ia tadi bisa saja langsung kembali ke kantor sebelum makan siang, tapi pria itu menghabiskan waktu untuk mencari informasi tentang Allea di lingkungannya.

Ada keingintahuan untuk lebih mengetahui seluk-beluk wanita itu. Dari keterangan yang ia dapat, Allea seorang wanita yang tangguh dan sangat bertanggung jawab. Hal itu dibuktikan dengan resignnya dia dari pekerjaan demi mengasuh sang putri dan membangun usaha laundry di rumah. Bagi Hendra hal itu sangat luar biasa. Wajar jika Allea menolak berapapun kompensasi yang ditawarkan.

"Mas Hendra! Kok malah ngelamun? Tiup lilinnya!" Suara Alisha dan yang lain membuat dirinya tersentak.

"Selamat ulang tahun, Mas Hendra ...." Riuh seisi kantor mengucapkan selamat pada pria bermanik cokelat itu. Lagu sakral selamat ulang tahun menggema seiring dengan tiupan lilin ke kue di hadapannya.

"Thanks, Alisha! Thanks semuanya ...."

Sementara di tempat lain, di sebuah pemakaman. Seorang wanita duduk bersebelahan dengan gadis kecil tengah melangitkan doa. Ada tetes air mata di pipi wanita berdagu lancip itu. Sesekali ia mengusap puncak putrinya.

"Selamat ulang tahun, Papa. Alena sama Mama di sini baik-baik saja. Papa pasti senang ya di sana?" tutur gadis kecil berkerudung putih itu seraya menabur bunga ke pusara papanya.

Setelah selesai berdoa dan menabur bunga, ia mengajak Alena untuk pulang.

"Mama."

"Ya, Sayang?"

"Kenapa Mama nangis kalau ke sini? Kata Mama kan papa sudah senang?" tanyanya polos.

Allea memeluk bocah kecil itu.

"Mama, kalau papa senang ... kenapa nggak ngajak kita?"

Wanita itu tertegun sejenak kemudian kembali memeluk Alena.

"Karena Tuhan masih mau kita pisah dulu. Udah kita pulang yuk."

Alena mengangguk lalu bangkit dari duduk kemudian melangkah meninggalkan tempat itu bersama sang mama.

***

Hendra mengantarkan Alisha pulang. Setelah sebelumnya ia mengajak gadis itu keliling mall mencari perabot untuk rumah yang baru saja dibeli Hendra.

"Mas kenapa beli rumah lagi?" tanyanya saat mereka di dalam mobil menuju kediaman Alisha.

Hendra tersenyum lalu menjelaskan bahwa ia ingin investasi selain itu juga menyiapkan untuk keluarga kecilnya kelak jika sudah menikah.

"Rumah yang aku tempati itu pemberian orang tua, nah karena aku sudah bisa beli sendiri ... nggak ada salahnya kan aku beli?"

Alisha mengangkat bahu setuju.

"Oh iya, hari Minggu kamu ada acara?"

Gadis itu menoleh kemudian menggeleng.

"Bagus! Ikut aku ya."

"Ke mana?"

"Aku ajak jemput orangtuaku ke bandara!"

Mata Alisha membulat tak percaya mendengar penuturan pria di sampingnya.

"Aku?"

"Iya, kenapa? Ada acara?"

Cepat ia menggeleng, ada gejolak bahagia bermain di hatinya. Ia merasa pria itu telah memberi signal sama seperti perasaannya. Desiran halus di dada membuat seolah perutnya di penuhi kupu-kupu. Pikiran Alisha segera merencanakan baju apa yang cocok untuk menyambut calon mertua!

***

Hallo ... Aku balik lagi 😁
Semoga suka dg kisah ini. Oh iya, ngomong² dah tau belum kebijakan baru WP? Keknya next bakal mikir² deh update sampe tamat di sini. Sbb tulisan kita jadi publik domain alias bebas gak dilindungi undang-undang 🤧🤧

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top