Destiny 29
Mahendra membisu, ucapan Eyang Dewi laksana titah yang tidak bisa diubah. Hal itulah yang menjadi ketakutan bagi anak cucunya untuk sekadar interupsi. Karena siapa pun jika berani melanggar atau berdalih dengan alasan yang sama sekali tidak masuk akal di kepala perempuan tua itu, maka sudah dipastikan tertolak.
"Sudah, sekarang istirahat. Nanti setelah makan malam, biar Eyang yang bilang ke perempuan itu."
"Eum ... jangan, Eyang. Biar nanti Hendra saja yang menyampaikan hal ini," cegahnya.
Melihat kekhawatiran di wajah cucunya, Eyang tersenyum. Dia paham Mahendra khawatir.
"Kamu nggak perlu was-was, Hendra. Eyang akan menyampaikan hal ini dengan baik."
"Jangan, Eyang."
"Baiklah. Terserah kamu, tapi berhenti membuat dia berharap!" tutur perempuan berkacamata tebal itu.
Mahendra tersenyum datar, isi kepalanya dipenuhi berbagai rencana yang akan ia buat jika memang sudah tidak ada jalan keluar.
"Oh iya, bagaimana bisnismu? Lancar?"
"Lancar, Eyang."
"Syukurlah. Eyang percaya, jika nanti kamu dan Arum menikah ... semua hal baik akan menghampirimu."
Hendra kembali tersenyum kemudian mengangguk pelan.
Sementara di kamar, Allea menatap putrinya yang tertidur pulas setelah mandi. Ada sungging senyum melihat antusias Alena saat tahu malam nanti dia akan diajak berkeliling kota oleh Hendra.
Namun, senyum itu pudar ketika sadar bahwa tidak mudah meraih restu Eyang Dewi. Terlebih saat ia tahu ada perempuan masa lalu Mahendra yang telah memiliki tempat di hati perempuan berusia senja itu.
Perlahan, Allea mendekat mengusap puncak kepala Alena. Matanya mengembun, entah kenapa dia sudah merasa ditolak oleh Eyang Dewi. Meskipun perempuan itu bersikap sewajarnya.
"Maafkan Mama, Alena. Mungkin kita memang harus kembali berdua," bisiknya
🍁🍁🍁
Sepanjang makan malam, Allea berusaha bersikap baik meski berkali-kali Eyang Dewi meliriknya dengan wajah penuh selidik.
"Eyang, malam ini, Hendra mau ajak jalan-jalan Allea juga Alena," tutur Hendra memecah kekakuan yang terjadi di ruang makan itu.
"Hmm, silakan. Sekalian ajak ke pusat oleh-oleh, buat mereka bawa besok!" Eyang berkata dengan meneguk teh hangat di depannya.
Mata Allea sontak menatap Mahendra. Ia sudah bisa membaca arah pembicaraan perempuan senja itu. Ucapan Eyang cukup memberi isyarat bahwa dia memang sudah tidak diizinkan untuk tinggal atau bahkan masuk ke dalam keluarga besar Raden Wiraatmadja moyang dari Mahendra.
Sorot mata Allea membuat Hendra tak berani membalas. Ia merasa berdosa telah menyiram kembali luka yang hampir kering. Upayanya untuk meyakinkan pada Allea pupus begitu saja.
"Kamu bisa ajak Arum. Dia tahu tempat oleh-oleh terbaik di kota ini. Nanti Eyang hubungi dia supaya dia ...."
"Ng ... nggak perlu, Eyang. Hendra tahu kok tempat yang dimaksud."
Eyang Dewi mengangguk paham. Ruang makan kembali senyap. Mereka yang ada di ruangan itu kembali melanjutkan makan malam hingga usai.
🍁🍁🍁
Hendra mengajak Allea dan Alena menyusuri jalan protokol menikmati malam di kota Jogja seharusnya penuh tawa. Namun, sepanjang jalan hanya Hendra dan Alena yang tampak berinteraksi. Mengendarai mobil milik Eyang, dan di sopiri oleh sopir pribadinya, Hendra berusaha menghidupkan suasana agar tidak terasa kaku. Alean, bocah kecil itu terlihat sangat menikmati.
Beragam pertanyaan diajukan Alena termasuk soal Eyang Dewi yang menurutnya tidak pernah senyum.
"Itu karena Alena belum kenal banget sama Eyang. Sebenarnya Eyang sangat baik dan penyayang kok," terang Hendra sambil melirik Allea yang terlihat gundah.
"Papa. Papa bilang mau ajak Alena ke pantai ya? Besok kita ke pantai?"
"Besok kita pulang, Alena!" potong Allea menatap sang putri yang duduk di sebelahnya.
Mendengar ucapan Allea, Hendra menatap perempuan itu.
"Allea, kita bicarakan ini nanti."
"Hendra, biarkan kami besok pulang!"
Mahendra menarik napas dalam-dalam. Ia tidak menimpali perkataan perempuan yang ia cintai itu. Baginya akan menambah pelik terlebih ada Alena di antara mereka.
"Mama, tapi kata Papa kita akan jalan-jalan dulu di sini. Ke pantai, lihat air terjun, ke ...."
"Alena, ada pekerjaan yang harus mama selesaikan segera. Kita bisa main ke pantai bareng sama Tante Risa. Oke!" Kembali ia mencoba agar Alena memahami.
"Alena maunya bareng Papa."
Hendra meraih tubuh mungil itu lalu berkata, "Kita jalan ke sana besok!" Ia menatap bola mata Allea. Sementara Allea berusaha tidak terbawa dengan suasana kedekatan anaknya dan pria itu.
"Kalau Alena nggak mau pulang, biar mama pulang sendiri malam ini."
Mendengar perkataan sang mama, Alena sontak beralih memeluk Allea. Ia menangis meminta maaf pada mamanya.
"Maafkan Alena, Ma. Iya, Alena ikut mama pulang besok. Maafkan Alena, Mama," mohonnya sambil terisak.
Hendra tidak dapat berbuat banyak, ia hanya berulang kali menarik napas dalam-dalam mencoba mencari celah agar Allea bisa bertahan hingga Eyang bisa menerima.
"Eum ... kita sudah sampai di pusat oleh-oleh, turun yuk! Alena bisa cari dan beli apa saja yang Alena mau!" ajak Hendra.
Merasa takut sang mama pergi, Alena menggeleng seraya terus memegang lengan Allea. Mendadak gadis kecil itu membuat jarak seperti tak ingin jauh dengan sang mama.
"Allea, ada banyak pernak-pernik yang kamu bisa pilih di sini. Turun yuk!"
Allea menggeleng.
"Andai bisa aku pergi malam ini. Aku akan pergi, Hendra. Tapi aku harus menghargaimu dan Eyang."
"Ck! Sayang dengarkan aku. Ini baru permulaan, kita baru saja datang dan Eyang baru kenal kamu. Tolong, kita berjuang bersama-sama."
Mata Allea mengembun, perlahan ia menggeleng.
"Aku capek. Aku mau pulang aja," balasnya memeluk Alena.
Mahendra mengusap wajahnya kemudian meminta sopir untuk membawa mereka kembali.
🍁🍁
"Alena ke kamar dulu ya. Papa sama Mama ingin bicaraw sebentar," punya Mahendra seraya membungkuk mengusap pipi gadis kecil itu. Ada keraguan di mata Alena. Ia mendongak meminta jawaban sang mama.
Allea mengangguk memberi isyarat agar putrinya ke kamar. Sepeninggal Alena, keduanya duduk di kursi kayu jati yang berukir sangat indah.
Mahendra meraih jemari perempuan di depannya.
"Sayang, tolong. Kita baru saja sampai dan belum menjelaskan semuanya ke Eyang. Bantu aku untuk meyakinkan ...."
Perlahan Allea menarik tangannya kemudian menggeleng.
"Ini bukan lagi bicara soal berjuang, Mas. Ini soal kasta yang telah lama di bangun oleh keluarga besarmu."
"Allea, aku tidak pernah peduli soal itu!"
"Aku paham, tapi tidak dengan titah leluhur yang telah lama menjadi bagian dari keluarga ini. Mas, dengar aku! Semua akan berjalan sesuai takdir-Nya. Sejak mula mungkin kita memang tidak berjodoh," tutur Allea sambil mengulas senyum.
"Dan mungkin catatan takdir masa depanmu ada pada Arumdalu. Perempuan masa lalu yang memiliki kesan sangat mendalam di hati Eyang."
"Cukup, Lea! Omong kosong apa lagi ini? Aku mencintaimu! Hanya mencintaimu!"
Allea menarik napas dalam-dalam.
"Terima kasih untuk semua cinta yang Mas beri pada kami," ucapnya seraya melepas cincin kemudian kalung pemberian pria itu.
"Aku nggak bisa, Mas. Terlalu banyak yang tersakiti jika kita terus. Terlalu banyak air mata dan pengorbanan jika kita memaksa."
Ia meletakkan cincin dan kalung itu di telapak tangan Hendra. Pria itu menolak, ada selaksa kecewa tampak di matanya.
"Itu untukmu! Pantang bagiku untuk menerima kembali! Dan satu yang kamu harus tahu, Allea. Aku tidak akan pernah membiarkan siapa pun merusak semua rencanaku untuk hidup bersamamu!"
Allea bergeming, matanya ragu menatap sosok yang baru saja tiba di belakang Mahendra. Eyang Dewi rupanya sejak tadi mendengarkan obrolan mereka.
"Mahendra! Apa maksudmu Eyang termasuk yang merusak rencanamu?"
Mahendra terhenyak, sontak ia menoleh ke asal suara. Perempuan sepuh itu mendekat, kemudian duduk bergabung dengan keduanya.
Allea menunduk memberi hormat pada Eyang. Tampak perempuan sepuh itu membuang pandangan ke Mahendra.
"Eyang pikir kamu akan mengerti dengan tradisi dan adat keluarga kita. Lalu kenapa sekarang kamu seolah-olah ingin menyalahi aturan yang sudah turun temurun terjadi di keluarga ini?" tanyanya tajam.
"Bukan begitu, Eyang. Mahendra paham soal tradisi, itu juga yang jadi alasan Mahendra datang ke sini. Mahendra yakin, Allea perempuan yang tepat untuk ...."
"Berapa kali Eyang katakan siang tadi? Bahwa ada hal dan pertimbangan yang membuat Eyang menjatuhkan pilihan pada Arumdalu untukmu. Eyang rasa, Allea paham soal tradisi dalam keluarga besar kita. Bukan begitu, Allea?" Eyang Dewi beralih menatap Allea yang sejak tadi menunduk seraya menahan air mata yang hendak jatuh.
🍁🍁🍁
Haii ... maaf baru update lagi ... terima kasih buat semua attensinya, Teman-teman 🙏🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top