Destiny 28
Selamat malam temans ... semoga semua sehat yaa.
Masih ada yang nungguin kisah ini? Yuklah, selamat membaca 💖
Perjalanan panjang menuju Jogja tak terasa melelahkan bagi Hendra, karena ada Allea dan Alena bersamanya.
Sengaja Hendra memilih kereta api sebagai transportasi ke kediaman Eyang Dewi. Selain mengabulkan permintaan Alena, ia juga ingin santai menikmati perjalanan.
Sepanjang perjalanan, Alena terlihat sangat bahagia. Dari bibirnya tak berhenti keluar pertanyaan dari setiap apa saja yang ia lihat dari balik jendela. Mahendra tampak sabar menjawab setiap pertanyaan dari gadis kecil itu.
Hal itu berbeda jauh dengan Allea. Perempuan berbaju terusan berwarna kuning bercorak bunga itu tampak tegang. Ia hanya sesekali tersenyum saat Hendra menggodanya. Hal itu bukan tidak disadari oleh Mahendra. Ia berulang kali mengeratkan genggaman seolah ingin mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.
Hendra menatap Allea saat Alena sudah terlelap.
"Kamu kenapa, Lea? Masih takut?"
Allea menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Jelas gurat kegalauan tergambar di parasnya.
"Percaya padaku, jika Eyang akan menyambut baik kedatangan kita."
Allea menarik bibirnya kemudian mengangguk. Ikut bersama Mahendra ke Jogja dan menemui keluarga besarnya adalah keputusan yang ia buat karena Alena. Gadis kecil itu begitu bahagia saat Mahendra bercerita soal rumahnya di Jogja.
Sementara di lubuk hati Allea ada keraguan yang semakin membuat ia merasa tak berdaya. Diam-diam ia telah mengambil keputusan untuk mundur jika nanti kenyataan tidak seperti yang diharapkan. Meski dia tahu seperti apa cinta Mahendra padanya.
🍁🍁🍁
Mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan pagar tinggi bercat hitam. Kicau burung dan gemericik air terdengar begitu memanjakan telinga. Pohon mangga terlihat telah berbuah menghuni halaman rumah berarsitektur Jawa itu. Sementara tanaman hias berjajar rapi dengan pot yang berwarna warni.
"Kita sudah sampai, Pa?" tanya Alena mendongak menatap Hendra.
Pria itu tersenyum seraya mengangguk.
"Kita turun yuk!" ajaknya.
Terdengar Mahendra memanggil seseorang yang tengah menyapu halaman. Pria berkulit gelap dengan tinggi sekitar 150cm tergopoh-gopoh menghampiri seraya cepat membukakan pagar.
"Sugeng rawuh, Den Hendra," sambutnya sopan seraya mengambil koper dari tangan Mahendra.
"Matur nuwun, Pak Ji. Eyang ada?"
"Wonten, Mas." Ia membungkuk sambil mengacungkan ibu jarinya ke arah pintu rumah buang terbuka.
"Ayo, Sayang! Kita masuk," ajaknya meraih jemari Allea. "Alena, ayo." Hendra memberi isyarat agar anak kecil itu menggandeng tangannya.
Rumah Eyang Dewi sangat bersih dan tertata rapi. Citarasa Jawa sangat kental di ruang tamu itu. Semua perabot berukir terbuat dari kayu jati. Di dinding tampak foto turun temurun keluarga besar Mahendra.
"Sugeng rawuh, Den Hendra," sapa seorang perempuan paruh baya yang baru saja keluar. Perempuan itu membawa nampan dan lima cangkir minuman hangat.
"Monggo diunjuk. Eyang baru aja menerima tamu di dalam," jelasnya.
"Tamu? Siapa, Yu Jum?"
"Den Ayu Arumdalu, Mas."
"Arumdalu?"
"Njjih."
Mendengar nama Arumdalu, Mahendra terdiam seolah sedang mengingat sesuatu.
"Arum bukannya sedang kuliah di Jerman?" gumamnya dengan kening berkerut.
Belum sempat ia bertanya, muncul dari dalam dua orang perempuan berbeda generasi. Eyang Dewi muncul dengan senyum mengembang, ia mengenakan kebaya merah dengan peniti besar berwarna emas dan kacamata berbingkai hitam yang bertengger di hidung mancungnya.
Meski sudah berumur, tapi masih terlihat sisa-sisa kecantikannya. Sementara di sampingnya, seorang perempuan muda, berbaju terusan berwarna cokelat dengan rambut dicepol menyisakan anak rambut di sisi kanan dan kirinya. Ia pun terlihat menyambut dengan senyuman.
"Cucuku datang tepat waktu kan, Arum?" tutur Eyang Dewi setelah Mahendra menyalaminya.
"Selamat datang, Mas Hendra," sambutnya meraih tangan Mahendra dan mencium punggung tangannya.
"Kamu masih ingat Arum, kan, Hendra?"
"Masih, Yang."
"Dia baru pulang dari Jerman empat hari yang lalu," terang Eyang. Seraya menyambut uluran tangan Allea.
Allea tersenyum menyalami Eyang Dewi lalu berpindah ke Arum.
"Eyang sudah lama bertanya soal pernikahan to?" tanya Eyang Dewi saat mereka semua telah duduk.
"Iya, Yang. Ini juga rencananya Hendra akan berbicara soal itu."
"Eyang juga. Ah ternyata kamu cucu Eyang yang cerdas! Karena Eyang sudah memiliki calon yang pas untukmu, Hendra."
Mendengar penuturan eyang Dewi, Allea bisa menghidu arah pembicaraan itu. Perlahan Allea menunduk menatap karpet bulu tebal yang diinjaknya. Mencoba tenang dengan membasahi tenggorokan meski dirasa tidak cukup.
"Bukannya kamu dulu pernah pacaran dengan Arum? Lalu kamu patah hati karena dia memilih mengambil bea siswa ke Jerman, kan? Sehingga kamu pergi ke ibukota untuk melupakan dia?" papar Eyang. "Eyang masih ingat bagaimana kamu waktu itu," sambungnya.
Tampak Arum malu-malu mendengar kisah yang keluar dari bibir Eyang Dewi. Sementara Mahendra menghela napas dalam-dalam seraya mengusap tengkuknya.
"Ini anak siapa?" tanya Eyang saat Alena menyalaminya.
"Anak Hendra, Yang."
Eyang Dewi terlihat kaget, ia menelisik tajam cucunya seolah meminta penjelasan. Demikian pula dengan Arum, perempuan manis berkulit khas Jawa itu menatap Hendra dengan tatapan penuh tanya.
Melihat ekspresi kedua perempuan di depannya, Hendra tersenyum lebar. Perlahan ia menjelaskan siapa Alena. Ia juga mengutarakan maksud hatinya untuk meminta restu sebagaimana keluarga lainnya jika hendak menikah.
Hingga Mahendra selesai bercerita, tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Eyang Dewi. Perempuan sepuh itu menatap tajam sang cucu kemudian beralih memandang Allea.
"Kamu berdua pasti lelah. Lebih baik bawa ibu dan anaknya ini ke kamar yang biasa untuk tamu. Dan kamu juga sebaiknya istirahat di kamarmu." Setelah mengucapkan kalimat itu, Eyang bangkit lalu mengatakan agar Arum mengikutinya ke kamar beliau.
Terasa ada sembilu mengiris hati Allea, tapi ia mencoba bersikap baik-baik saja. Dia tidak ingin Mahendra kecewa dengan sikapnya. Dengan senyum ia mengikuti ajakan Hendra ke kamar untuk beristirahat.
"Kamu istirahat ya. Ada kamar mandi di dalam, jika Alena ingin mandi. Kamu juga bisa membersihkan diri. Kalau butuh aku, bisa telepon ya." Hendra tersenyum hangat. "Kamar aku di sebelah. Jangan risau."
"Terima kasih, Mas."
"Alena, istirahat dulu ya. Nanti malam kita jalan-jalan, oke!" tutur Hendra seraya membungkuk mengusap puncak kepala Alena.
"Oke, Papa!" Riang suaranya menanggapi.
🍁🍁
Saat baru saja Mahendra hendak masuk kamar, langkahnya terhenti mendengar panggilan Eyang Dewi.
"Sini, Hendra! Eyang mau bicara!"
Pria itu memutar badannya, dengan tersenyum ia melangkah mendekat.
"Arum mana, Yang?"
"Dia baru saja pulang. Sini ikut Eyang!"
Melihat wajah Eyang tegang, mendadak Hendra merasa tidak nyaman. Pria itu mengikuti Eyang ke halaman samping. Ia duduk tepat di sebelah Eyang duduk.
"Hendra."
"Iya, Yang."
"Eyang sudah memutuskan bahwa kamu akan menikahi Arum!"
Mata Mahendra membulat tak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Tapi, Yang! Hendra ...."
"Tidak ada tapi, Hendra! Bukankah kamu sangat mencintai Arum?"
Hendra membuang napas kasar seraya mengusap wajahnya. Perasaan penat menjadi semakin menjadi saat mendengar perkataan Eyangnya.
"Itu dulu, Yang. Sekarang Hendra telah memiliki pilihan lain. Hendra mencintai perempuan lain,
Yang."
Eyang Dewi hanya mengulas senyum kemudian menggeleng.
"Dia sama sekali tidak ada dalam kriteria Eyang. Semua tentang perempuan itu bukan seperti yang Eyang inginkan. Apalagi dia seorang janda beranak satu!"
Mahendra mendengkus frustrasi.
"Arum perempuan yang pantas untukmu. Dia terpelajar dan memiliki keturunan yang kita semua tahu! Keluarga Sapto Darmono memiliki keturunan jelas sama seperti dirimu!"
"Eyang, tolong dengarkan alasan Hendra, Yang. Hendra sudah tidak mencintai Arum, Hendra mencintai ...."
"Janda itu? Tidak, Cucuku! Tidak!"
🍁🍁🍁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top