Destiny 27

Pak Rudi dan istrinya, Allea juga Alena serta Mahendra duduk bersama di ruang tamu. Tak terlihat Alisha di sana. Seperti yang direncanakan oleh Mahendra, ia akan mengutarakan keinginannya untuk melamar Allea dan mengajak perempuan itu ke Jogja bertemu keluarganya.

"Saya tidak ingin lagi kehilangan anak Om," tuturnya seraya melirik Allea.

Bu Rudi menangkap wajah malu putrinya. Ia bahagia melihat Allea sudah bisa kembali tersenyum, setelah dia menyembunyikan perasaannya bahkan mencoba membuangnya jauh-jauh. Meski begitu, dirinya teringat Alisha yang masih belum bisa menerima kenyataan. Namun, dia yakin akan ada kebahagiaan yang disediakan untuk putri keduanya itu.

"Om dan Tante sudah bisa menerima apa yang jadi keputusan kalian. Allea, ayah tahu bagaimana kamu berusaha menyembunyikan perasaanmu. Ayah juga tahu kamu bukan tidak ingin kami atau Alisha bahagia, tapi ini semua memang kehendak Tuhan. Dia yang menginginkan kalian bersama," ungkap sang ayah panjang lebar.

"Maafkan, Lea, Ayah. Lea nggak bisa mewujudkan keinginan ayah untuk ...."

"Masalah Surya dan papanya biar jadi urusan ayah. Sekarang persiapkan dirimu untuk bertemu keluarga besar Mahendra," potong Pak Rudi. Pria paruh baya itu telah bisa menerima bahwa putrinya tidak nyaman dengan pria pilihannya.

Meski keluarga Surya sebenarnya mendesak agar putra mereka segera bersanding dengan Allea. Pertemuan yang terjadi beberapa kali membuat Surya menaruh hati pada putrinya, tapi Allea yang mengetahui tabiat pria itu mencoba terus menjauh dan menjaga jarak.

"Jadi kapan kamu akan mengajak Allea ke Jogja?" tanya Bu Rudi pada Mahendra.

"Rencananya besok, Bu. Sebab hari ini saya harus menyelesaikan beberapa pekerjaan," jawabnya.

"Lalu Alena?"

"Alena ikut, Bu," timpal Allea. "Dia akan ikut kemana pun Lea pergi."

Ibunya mengangguk paham.

"Semoga tidak ada hambatan lagi setelah ini, Nak. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaan kami."

Semua yang ada di ruangan itu mengamini ucapan Bu Rudi.

🍁🍁🍁

Pria berkaus putih itu tersenyum lalu melepaskan kacamata hitamnya, saat melihat perempuan yang lama ia tunggu tiba. Dengan sopan ia mempersilakan perempuan itu duduk. Mereka berdua bertemu di sebuah kafe kecil yang terletak di ujung kota.

"Jadi ini wajah perempuan patah hati itu?" ejeknya seraya terkekeh.

Mendengar perkataan pria itu membuat wajah perempuan yang baru duduk sedikit masam.

"Mau minum apa?"

"Apa aja! Eum ... segelas jus semangka sepertinya segar."

"Oke!" Ia melambaikan tangan kepada pelayan lalu menyebutkan pesanan seperti yang diminta. Setelah pelayan menjauh, pria itu kembali menatap perempuan di depannya.

"Jadi mereka hari ini ke rumah?"

"Hmm!"

"Lalu?"

"Lalu? Ya kamu apa yang akan kamu lakukan! Kamu bilang kamu menyukai Allea!"

Pria itu terkekeh santai. Ia merogoh kantong mengambil rokok lalu memantik api dan menyalakannya.

"Alisha! Kamu tahu perasaan itu tidak bisa dipaksa?" tanya Surya seraya mengepulkan asap ke atas.

"Aku ke sini tidak meminta nasehatmu, Surya!"

"Tapi aku ingin mengatakan sesuatu padamu!"

Sejenak mereka diam saat pramusaji membawakan pesanan Alisha.

"Benar aku menyukai kakakmu, tapi dia tidak menyukaiku," paparnya menatap Alisha, "aku marah, kecewa? Jelas! Karena perasaan yang muncul itu tak terbalas. Itu wajar! Sama sepertimu."

"Kamu menyerah begitu saja? Ck! Surya, kamu itu laki-laki, masa kalah sama Mahendra? Berjuang dong!"

Surya tersenyum miring.

"Untuk apa?"

"Untuk cinta kamu!"

"Untuk cinta yang hanya akan menuai sia-sia?"

Alisha bergeming. Ia tak menyangka mendapatkan jawaban di luar dugaan. Perempuan itu menyangka pertemuannya dengan Surya akan bisa membantu menggagalkan rencana Mahendra.

Baginya tidak ada ruang untuk pria itu memasuki keluarganya. Bahkan dia menutup mata meski untuk kebahagiaan Alena keponakannya. Kadang cinta memang sebuta itu, bagi sebagian orang yang tidak percaya bahwa selalu ada bahagia setelah luka.

"Kamu terlalu naif, Surya! Aku nggak nyangka ternyata semudah itu kamu menyerah!"

Lagi-lagi Surya menarik bibirnya miring.

"Mungkin! Mungkin aku naif, tapi dari Allea aku belajar banyak walaupun dia tidak pernah tahu!"

Alisha terlihat gusar mendengar nama kakaknya disebut dengan kalimat memuji.

Surya mematikan rokoknya yang tinggal setengah, lalu menyesap habis kopi hitam di depannya.

"Aku belajar tentang sabar padanya. Aku juga belajar tentang ikhlas yang aku rasa tidak semua orang bisa seperti dia." Pria diam sejenak. "Mungkin aku waktu itu terlalu tergesa-gesa mendekatinya. Sebenarnya bisa saja aku masuk ke dalam hidup kakakmu, tapi ... aku nggak melihat cinta di matanya."

Mendengarkan dengan baik penjelasan Surya membuat Alisha tersindir. Ia pun merasakan hal yang sama saat menatap Mahendra. Ia tidak melihat cinta di mata Hendra untuknya, meski dia terus memaksa dan berusaha. Meski diam-diam ia paham bahwa perasaan itu tak bisa dipaksa, tapi ada kekesalan yang semakin memuncak.

Alisha merasa semesta seolah begitu mendukung Allea. Sementara dia merasa disingkirkan dan menjadi orang paling pongah di dunia.

"Jadi kamu nyerah?"

Surya menggeleng. "Bukan nyerah, hanya aku tahu siapa yang bisa membuat dirinya bahagia. Itu saja."

"Kamu tahu, Alisha? Aku bisa saja memaksa orang tuaku untuk menekan orang tuamu menjadikan kami sepasang pengantin dengan segera." Surya menarik napasnya. Tapi itu tidak kulakukan karena ... toh pada akhirnya cintaku akan melukai perempuan yang kucintai, terlebih Alena."

Alisha membuang napas kasar. Diteguknya cepat jus semangka di depannya. Sia-sia dia menemui Surya. Pria yang tadinya bisa ia ajak kerjasama untuk menjauhkan Allea dari Mahendra. Namun,  nyatanya penuturan pria itu semakin membuat dia tersudut.

"Aku rasa aku harus pergi. Percuma saja bicara denganmu! Aku sama sekali tidak memiliki jalan keluar!"

Alisha bangkit menyambar tas tangannya lalu bergegas meninggalkan Surya yang tersenyum tipis.

🍁🍁🍁

Kemeja cokelat tua, dengan celana formal senada, Mahendra terlihat gagah. Wajahnya berhias senyum sepanjang perjalanan menuju rumah Allea. Bayangan bahagia terhampar di matanya. Pria itu yakin Eyang Dewi akan menerima Allea dengan tangan terbuka. Keyakinan itu begitu kuat, karena ibu dari Alena itu memiliki kriteria yang pernah dituturkan Eyang Dewi padanya.

"Cari perempuan yang baik budi pekerti, takut pada Tuhan, dan penyayang. Eyang juga suka dengan perempuan yang mandiri, tapi tidak melupakan kodratnya sebagai seorang wanita," tuturnya kala itu.

"Kamu tahu, Hendra? Perempuan yang seperti itu sekarang sudah langka. Banyak dari mereka yang hanya berpura-pura saja. Eyang ndak mau kamu dapat perempuan seperti itu. Menyusahkan kamu nantinya," sambungnya lagi seraya mengusap bahu Hendra.

Kembali senyuman tercetak di bibirnya. Dia tidak salah pilih. Hanya mungkin status yang akan dipertanyakan, tapi ia yakin eyangnya tidak fokus ke sana. Yang pasti menurutnya, kriteria pokok sudah ada pada perempuan yang ia cintai itu.

Mahendra menepikan mobil. Teriakan Alena memanggilnya dengan papa membuat pria itu semakin gembira. Bergegas mendatangi Alena yang tampak sudah siap dengan rok tutu berwarna pink dan rambut dikepang dua ia mengusap puncak kepala gadis kecil itu.

"Mama mana?"

"Di dalam, Pa."

"Boleh papa masuk?"

Alena mengangguk.

Mahendra melangkah ke dalam. Tak terlihat Allea di ruang tamu, demikian pula di ruang keluarga. Mata Hendra mengalihkan pandangan ke arah kamar yang pintunya terbuka.

Matanya menyipit melihat Allea masih duduk bergeming di depan cermin. Rambut hitamnya dibiarkan tergerai. Gaun terusan berwarna peach membalut sempurna tubuh langsingnya. Sejenak Hendra terpukau dengan pemandangan itu.

Perlahan ia mengetuk pintu kamar.

"Mas Hendra!" Allea menjengit bangkit. Segera ia mendekat ke pintu.

Mahendra ikut terkejut sekaligus terkesima mendengar panggilan Allea padanya.

"Bisa diulang kamu panggil apa tadi?" Ia menaikkan alisnya menggoda.

Perempuan itu tersipu.

"Kenapa nggak tunggu di luar?" protesnya memberi isyarat agar Hendra menjauh.

Masih dengan senyum tersungging, ia menjawab, "Maaf, habisnya di ruang tamu nggak ada orang, di ruang tengah juga sepi ... aku nggak sengaja lihat pintu kamar terbuka dan melihat bidadari ...."

"Oke, apa kita berangkat sekarang?" potong Allea dengan wajah merah malu.

"Dengan senang hati jika permaisuri siap ... hamba akan melayani," candanya seraya membungkuk.

Melihat itu Allea mencoba menahan tawanya.

"Eum ... bagaimana kalau Eyang Dewi tidak merestui hubungan ini?" Wajah Allea berubah saat mengatakan hal itu.

Mahendra menghela napas lalu menatap hangat perempuan di depannya.

"Jangan mengira-ngira hal yang belum terjadi, Sayang."

"Bukan mengira-ngira hanya saja ... aku takut."

"Takut apa?"

"Aku takut Alena kecewa ...," ujarnya lirih.

"Jika dia kecewa, apa kamu pikir aku tidak kecewa?"

Allea mengayun langkah menuju ruang tamu. Pria bertubuh atletis itu mengekorinya.

"Allea." Hendra meraih lengan perempuan itu, membuat ia dan Allea berhadapan tak berjarak.

"Kita hadapi bersama apa pun nanti hasilnya. Aku cuma minta satu ... percayalah pada perasaanku!"

🍁🍁🍁

Apa kabar pecinta Destiny? Maafkan baru bisa up lagi di sini. Semoga teman-teman suka yaa.

Eh tetep ya colek jika typo 😁🤭

Salam hangat 🤗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top