Destiny 26
Mahendra menghentikan mobilnya di depan rumah besar berarsitektur modern minimalis. Cat putih bersih dengan kaca mendominasi bangunan berlantai dua itu. Pagar hitam setinggi dua meter terbuka setelah ia menekan klakson. Seorang pria ramah menyapa sopan. Terdengar Mahendra mengucapkan terima kasih.
Alena masih tertidur saat mereka tiba di rumah itu. Hendra mematikan mesin mobil lalu menoleh ke Allea dengan senyum.
"Kita udah sampai. Turun yuk!" tuturnya seraya membuka seat belt.
Allea bergeming, perasaan perempuan itu tiba-tiba menjadi tak karuan. Melihat ekspresi Allea, Mahendra kembali tersenyum.
"Aku bantu membuka seat belt?" tanyanya dengan wajah nakal.
Ibu Alena itu menggeleng cepat seraya melepas sabuk pengaman.
"Hendra ... kamu yakin orang tuamu menerimaku?"
Mahendra menarik napas dalam-dalam, dia tahu kegalauan yang melanda perempuan di sampingnya itu.
"Kita sudah bicara soal ini bukan? Kenapa masih ragu?"
Allea tersenyum tipis kemudian mengangguk. Dia menoleh ke belakang saat Alena menggumam.
"Hai! Anak papa sudah bangun?" sapa Hendra hangat.
Allea menatap Mahendra lekat mendengar ucapannya.
"Kenapa? Nggak suka?" tanyanya kembali menatap nakal.
"Bukan begitu, tapi ...."
"Bukan begitu? Berarti kamu suka, kan?" potong Hendra membuat pipi Allea merona.
"Mama, kita di mana?"
"Kita di rumah papa. Sekarang turun yuk, kita temui eyang!" ajaknya antusias.
Masih dengan mata mengantuk dan wajah bingung, Alena mengangguk.
"Mama, rumah eyang kok beda?"
"Sayang, ini rumah ayah dan ibunya Om Hendra," papar Allea
"Yang nantinya akan jadi eyangnya Alena," jelas Mahendra. "Sekarang kita turun dulu."
Ketiganya turun lalu melangkah menuju pintu. Rumah Mahendra sangat asri. Aneka tanaman hias berjajar rapi di halaman. Rumput Jepang terhampar rapi bak permadani.
Seolah ingin menenangkan Allea, Mahendra menggenggam tangan perempuan itu, sedangkan Alena berjalan di sisi Hendra dengan memeluk boneka kelincinya. Suasana rumah lengang saat mereka tiba. Setelah mengucapkan salam, Mahendra masuk lalu mempersilakan Allea dan Alena duduk.
"Kamu tunggu di sini ya. Aku temui orang tuaku di kamar." Hendra menatap Allea hangat. "Alena mau ikut papa?"
Gadis kecil itu mengangguk. Matanya berbinar saat melihat waterwall yang menggunakan kaca sebagai media utama. Partisi kaca air itu digunakan Mahendra sebagai pembatas antar ruangan.
Tampak beberapa ikan hias bermain-main di dalamnya. Mahendra tersenyum melihat Alena yang sedang mengagumi ikan-ikan di sana.
"Kita ke eyang dulu ya. Nanti atau kapan pun, Alena bisa melihat mereka setiap hari," tuturya seraya membungkuk mensejajarkan tubuhnya dengan gadis kecil itu.
"Beneran, Om? Eh, Pa?" tanyanya dengan wajah polos.
Pria itu mengangguk lalu memanjangkan tangannya memberi isyarat agar Alena menyambut. Tak lama mereka melangkah masuk
Semua itu tak luput dari perhatian Allea. Hatinya kembali menghangat melihat keakraban putrinya dengan pria itu.
Hendra mengetuk pintu kamar kedua orang tuanya. Hari menjelang sore saat itu. Tak menunggu lama Bu Nastiti membukanya. Mata ibu Mahendra menyipit melihat gadis kecil dengan rambut dikuncir dua tengah menatapnya.
"Salim dulu ke Eyang," titah Hendra lembut.
"Assalamualaikum, Eyang," sapanya mengulurkan tangan.
Perempuan Jawa itu menjawab seraya menyambut uluran tangan Alena. Di belakang Bu Nastiti, Pak Barata berdiri. Pria berperawakan sedikit subur itu ikut menyambut uluran tangan Alena.
"Dia ...."
"Dia Alena. Putri Allea yang Hendra pernah cerita tempo hari, Yah, Bu," jelasnya dengan mengusap kepala gadis kecil itu.
Senyum Bu Nastiti mengembang. "Anak yang manis," tuturnya menatap Alena.
Ada rasa lega di hati pria itu, meski kedua orang tuanya tidak mempermasalahkan status Allea, setidaknya mereka juga bisa menerima Alena dengan baik.
"Lalu, ibunya mana?"
"Di ruang tamu, Bu."
"Ayo kita ke depan, Yah," ajak ibunya menoleh ke sang suami.
Kedua orang tua Mahendra melangkah mengikuti putranya. Sementara Alena memilih berhenti untuk kembali melihat partisi yang mengalihkan perhatiannya.
Senyum Allea tercetak saat melihat ayah dan ibu Mahendra. Tanpa menunggu, ia segera menyambut tangan keduanya untuk bersalaman. Takzim ia mencium punggung tangan ayah dan ibu Mahendra.
Mereka semua duduk berhadapan, empat cangkir teh hangat terhidang bersama beberapa kue kering di toples yang dibawakan seorang perempuan paruh baya.
"Silakan di minum, Allea." Bu Nastiti mencoba mencairkan keadaan.
Allea mengangguk sopan, lalu mengikuti pemilik rumah menikmati secangkir teh hangat tersebut.
"Allea, Mahendra sudah banyak bercerita tentang dirimu kepada kami. Termasuk menceritakan Alena putrimu. Sepertinya ... dia sudah benar-benar serius dengan hubungan kalian, meski ada hal yang harus diluruskan," Pak Barata membuka percakapannya. Pria berkemeja batik itu menyandarkan tubuhnya di kursi.
"Allea, hal yang harus diluruskan itu adalah kesalahan kami. Meski ada andil Hendra juga di dalamnya. Lalu ... rencanamu apa sekarang, Hendra?"
Pria beralis tebal itu meraih tangan Allea lalu menggenggamnya erat. Tegas dia mengatakan akan segera menikahi Allea.
"Hendra ingin membuktikan bahwa ini semua bukan main-main, dan Hendra serius soal ini."
Keinginan itu disambut baik oleh kedua orang tuanya.
"Mahendra, kita punya keluarga besar, kan ya? Kamu harus sowan ke eyang dulu untuk menyampaikan hal ini. Kamu tahu bagaimana eyangmu. Sudah sering dia menanyakan hal ini pada ayah dan ibu," papar Pak Barata.
Eyang yang dimaksud Pak Barata adalah adik dari ibunya. Orang tua Pak Barata sudah lama meninggal, tepatnya beberapa bulan setelah Mahendra lahir. Sejak itu posisi orang tua digantikan oleh adik ibunya.
Dalam tradisi keluarga mereka jika ada anggota keluarga yang hendak menikah harus melalui restu tetua yang saat ini dipegang oleh Eyang Dewi. Semua keluarga patuh pada apa pun yang diucapkan perempuan yang telah berusia tujuh puluh delapan tahun itu.
Mendengar ucapan ayahnya, Hendra mengangguk paham. Soal bibit, bebet, dan bobot adalah kata kunci yang akan mempengaruhi disetujui atau tidaknya sebuah pernikahan dalam keluarga besarnya. Ia adalah cucu kesayangan Eyangnya itu, sebab anak-anak Eyang Dewi semuanya perempuan, sementara dirinya menginginkan cucu laki-laki dan itu ada pada keluarga sang kakak.
"Allea, kami sepenuhnya mendukung apa pun yang menjadi pilihan Hendra. Karena dia yang kelak akan menjalani, hanya saja ada hal-hal yang harus diikuti dalam keluarga kami. Semacam ... prosedur lah, jadi kami berharap kamu memahami soal ini." Kembali Pak Barata menjelaskan.
"Iya, Yah. Saya berterima kasih ayah dan ibu bisa menerima saya dan Alena," tuturnya seraya tersenyum.
"Kami akan menerima siapa pun yang dicintai anak kami. Sebab Hendra pasti lebih tahu tentang siapa yang akan menemaninya hingga tutup usia." Bu Nastiti ikut menimpali.
Setelah perbincangan yang kaku, akhirnya suasana sedikit mencair. Celoteh Alena yang mengagumi ikan-ikan di partisi membuat keempat orang dewasa turut tersenyum. Sementara sepanjang perbincangan, Hendra tak melepaskan genggaman tangannya sedetik pun.
"Sudah sore. Kamu harus istirahat, besok pagi aku jemput untuk menemui ayahmu," ujar Hendra menatap hangat pada Allea.
Setelah kembali berbincang santai, Hendra pamit untuk mengantarkan Allea dan putrinya pulang.
***
Kepulangan Allea disambut riang oleh kedua karyawannya. Selama Allea pergi, mereka-lah yang menempati rumah itu.
"Terima kasih," ujar Allea seraya menyodorkan air mineral seperti yang diminta Mahendra.
"Untuk?"
"Kamu sudah baik ke aku dan anakku."
"Hanya itu?" Kali ini pertanyaannya lebih terdengar menggoda.
"Iya."
"Yakin hanya itu?"
"Maksudmu?"
Mahendra tersenyum kemudian meletakkan gelas air minum yang tersisa separuh di meja.
"Kamu tahu, aku ingin mendengar lebih dari itu. Eum ... maksudku seperti satu kecupan begitu ...." Alisnya terlihat naik turun menggoda Allea. Melihat ekspresi Hendra dan senyum menggoda dari pria itu membuat dia tak mampu menyembunyikan senyum malu dan wajah merahnya.
"Besok kita ketemu keluargamu," tuturnya meraih jemari Allea. "Setelah itu segera kita ke Jogja untuk bertemu Eyangku." Mahendra mengecup jemari Allea lembut dengan mata membidik perempuan yang mampu membuatnya tergila-gila.
Sementara kegalauan kembali menyapa Allea. Ucapan calon ayah mertuanya soal Eyang Dewi, mengiang kembali di telinga. Ada ketakutan yang lebih besar memenuhi pikirannya saat ini. Mengingat status yang ia sandang, sementara seperti yang dikisahkan Pak Barata bahwa pria di depannya itu adalah cucu kesayangan Eyangnya.
🍁🍁
Nah loo ... kita tunggu bagaimana reaksi eyangnya ya. Buat yang pengen baca lebih dulu, bisa jalan ke KBM app 💖
Timiichii 😍
Colek jika typo 😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top