Destiny 2
"Cinta tak selamanya tentang kepemilikan. Tapi cinta adalah tentang keikhlasan. Terimakasih untuk segala rasa."
Wira Nagara
Menjelang makan siang, karyawan Allea bersiap istirahat. Tak lupa mereka membalik tanda open menjadi close di pintu kaca. Saat mereka hendak keluar, sebuah mobil berhenti tepat di halaman. Seorang pria berpakaian rapi turun mendekat.
"Selamat siang."
"Siang, maaf ada yang bisa kami bantu?" Fina salah satu karyawan Allea bertanya sopan.
Pria itu bercerita bahwa ia kehilangan kartu identitas.
"Apa mungkin tercecer di sini? Sebenarnya sudah beberapa hari yang lalu, tapi saya cukup sibuk jadi nggak sempat mampir." Lelaki jangkung bertubuh tegap itu melepas kacamatanya. Sari dan Fina saling melepas pandangan.
"Sepertinya memang ada, Pak. Mbak Allea yang menyimpan, mungkin Bapak bisa kembali ke sini sore nanti, sebab beliau sedang tidak di tempat."
"Oke, nanti sore saya usahakan kembali lagi sekaligus mangambil baju saya," tuturnya kemudian mohon diri meninggalkan tempat itu.
Namun, belum sempat pria itu masuk ke mobil, sebuah motor matic berhenti tepat di belakang mobil miliknya. Wanita berambut panjang melepas helmnya.
"Mas Mahendra benar?"
"Iya, syukurlah. Aku ...."
"Mencari kartu identitas?"
"Yes! Ada?"
"Tentu saja. Mari ikut saya," ajaknya.
Mereka berdua masuk ke rumah cuci.
"Maaf, saya belum sempat menghubungi Anda." Allea mengambil dari laci kemudian menyerahkan kartu pengenal milik Mahendra.
"Bukan masalah, eum ...."
"Baju?"
Hendra tertawa kecil menanggapi pertanyaan wanita di depannya. Allea mengangguk tersenyum seraya berkata, "Tunggu."
Tak lama ia muncul membawa baju yang sudah rapi dipacking dalam plastik bening.
"Terima kasih sudah percaya kepada kami," tuturnya seraya memberikannya pada Hendra.
Pria itu membayar sesuai dengan jumlah yang tertera, kemudian bangkit dari duduk.
"Thank you, Allea."
Mendengar namanya disebut, wanita itu menyipitkan matanya.
"Tahu nama saya dari mana?"
"Dari karyawan sini. Kenapa? Nggak boleh tahu nama?" Hendra mulai menggoda.
"Boleh, tapi saya nggak merasa menyebutkan nama tadi, makanya sedikit heran," balas Allea tersenyum.
"Nama yang cantik!" Kali ini ia menatap ke mata bening Allea.
"Terima kasih." Wanita itu beranjak dari duduknya mengisyaratkan ia hendak melakukan sesuatu. Menyadari wanita di depannya itu tak mempan oleh rayuan, ia pun mohon diri.
"Aku boleh ke sini lagi?"
"Tentu!"
"Meski tidak mencucikan pakaian?"
Allea menatap pria di depannya seolah mencari jawaban.
"Kalau ke sini bukan untuk itu lalu untuk apa?"
"Berteman! Boleh?"
Wanita berdagu lancip itu menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk.
"Silakan," balasnya tersenyum.
***
Mahendra tengah asik dengan treadmill saat Bram temannya datang. Bram salah satu dari rekan bisnisnya. Pria itu juga yang memiliki ide agar segera membebaskan tanah di lingkungan yang kini ditempati Allea.
"Jadi kamu sudah ke sana?"
Pria yang masih di treadmill itu mengangkat bahu lalu berkata, "Baru basa-basi, Bro! Masa iya aku langsung ke topik pembicaraan."
Bram mengambil lemon tea yang baru saja dibawakan asisten rumah tangga Hendra.
"Tumben! Biasanya kamu jago dalam hal ini."
Sudut bibir lelaki itu terangkat mendengar ucapan Bram.
"Kenapa senyum-senyum?"
"Aku pikir awalnya mudah deketin dia, tapi ternyata salah!" Ia turun dari alat olahraga itu mengambil handuk kemudian mengusap keringatnya.
"Salah?"
Hendra menaikkan alis, duduk di samping Bram.
"Aku baru mau berteman, Bram. Awalnya kucoba melempar pujian supaya dia minimal merona lah, tapi ...."
"Nggak mempan?" potong Bram terbahak melihat ekspresi kawannya.
"Sialan! Tapi aku rasa nggak bakal lama dia bertahan, Bram. Aku yakin itu!" tukasnya yakin.
"Aku harap begitu! Sebab aku khawatir ada yang menawar lahan itu lebih tinggi lagi, Bro! Jadi sebaiknya kamu cepat!"
Mahendra melirik Bram sekilas lalu meneguk air mineral di depannya. Matanya menerawang seolah mencoba mengingat pertemuannya dengan wanita itu.
"Kamu tenang aja, Bram. Aku akan bikin dia ... jatuh cinta!"
Kembali Bram terbahak mendengar penuturan Hendra.
"Aku nggak ragukan itu, Bro! Berapa wanita yang dengan mudah kau luluhkan untuk kemudian ... kau tinggal! Untung kamu ganteng." Lelaki berkaus merah itu menepuk bahu Hendra.
"Eit! Tapi kamu harus catat, bahwa aku nggak pernah mengikat mereka! Itu kan bisa-bisanya mereka aja!"
"Iya iya ... terserah deh. Aku rasa kamu harus menggunakan keahlian itu lagi!"
"Aku tahu itu!"
Pemilik alis tebal dan mata tajam itu menyeringai lalu kembali meneguk minumannya.
***
Allea tepekur di hadapan batu nisan, taburan bunga tampak memenuhi gundukan tanah di depannya. Kaca mata hitam yang bertengger di hidung mancungnya tak dapat menutupi kesedihan yang mendalam.
Belakangan ini ia bimbang dengan pembebasan tanah yang ditawarkan. Perangkat lingkungan telah mengumpulkan mereka semua dan sepakat melepas tanah masing-masing karena dirasa kompensasi yang lebih dari cukup.
Sementara Allea memilih tidak setuju. Bagaimana mungkin ia melepas rumah dan segala kenangan bersama mendiang suami? Rumah yang di beli dan didesain dengan penuh cinta oleh lelaki yang memberinya putri cantik. Berapa pun nilai yang ditawarkan ia bertekad untuk menolak.
"Mas boleh pergi, tapi tidak dengan semua kenangan yang ada di rumah itu. Tidak, Mas!" tuturnya seolah Andre mendengar di alam sana.
Allea meletakkan setangkai bunga mawar putih di gundukan tanah yang telah ia tabur bunga.
"Aku pergi jemput Alena dulu, Mas. I love you ...."
Wanita berbaju putih itu beranjak dari tempatnya lalu pergi meninggalkan pemakaman.
***
Gadis kecil itu bersorak melihatnya tiba. Alena ia masukkan ke kelompok bermain yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Setelah berpamitan dengan para guru di tempat itu, ia mengajak sang putri berbelanja kebutuhan bulanan.
"Alena, kita belanja dulu ya. Alena mau beli apa?" tanyanya membelokkan mobil ke sebuah supermarket.
"Es krim, Mama. Alena mau es krim!"
"Oke, Princess!"
Keduanya turun setelah memarkir mobil. Ia menggandeng erat tangan Alena.
"Mau naik trolly?"
Gadis kecil yang memiliki ceruk di pipi itu melonjak gembira. Ia selalu suka menemani sang mama belanja, terlebih saat ia masuk ke trolly dan didorong mengelilingi lantai supermarket.
Satu demi satu keperluan bulanan masuk, terakhir es krim permintaan sang anak.
"Berat, Ma?" tanyanya melihat Allea agak kesulitan mendorong trolly.
"Nggak dong! Mama kan ...."
"Super women!" sambung sang putri seraya mengangkat tangan mengajak Allena tos. Keduanya tertawa lepas bak sepasang sahabat.
"Kita bayar, lalu pulang!"
Saat sedang menunggu giliran di kasir, terdengar seseorang mendekat menyapa Allea.
"Pak Hendra? Belanja juga?" Ia membalas sapaan pria di sampingnya.
"Nggak sih. Kebetulan sekali ya kita bisa ketemu lagi," ungkapnya dengan seulas senyum. Allea membalas senyuman itu lalu bertanya "Kalau nggak belanja kenapa di sini?"
Hendra tertawa.
"Maksudnya aku cuma beli beberapa keperluan untuk taman. Bukan belanja bulanan seperti kamu," paparnya melirik ke arah keranjang Allea. Wanita itu tersenyum.
"Suka berkebun ya?"
"Bisa dikatakan begitu."
"Dia siapa? Bukan anak nemu, 'kan?" tanya Hendra menatap Alena. Tawa Allea muncul mendengar kalimat itu.
"Dia putri saya! Alena." Ia menggendong gadis kecil itu kuat dari trolly.
"Sayang, say hello ke Om Hendra." Ia memberi isyarat agar sang putri mengalami pria itu.
"Hai, Om."
"Hai Alena."
Sejenak Hendra terpaku, ia tak menyangka wanita di depannya itu telah menikah dan memiliki seorang putri.
"Saya duluan ya," pamitnya mendorong trolly membawanya ke kasir.
Allea memakaikan sabuk pengaman pada putrinya setelah mereka sudah di dalam mobil. Ia tak dapat menyembunyikan senyum melihat Alena sibuk dengan es krim-nya.
"Mama, ada om itu ...." Alena menunjuk dengan dagu ke luar jendela. Bergegas Allea membuka kaca jendela.
"Ada apa, Pak Hendra?"
"Nggak ada apa-apa, cuma mau kasi ini buat Alena," jawabnya menyerahkan boneka kelinci.
Wanita itu terdiam sejenak lalu menoleh ke Alena.
"Anggap ini sebagai simbol perkenalan aku dengan gadis kecilmu."
Sambil menerima boneka itu, ia tersenyum mengucap terima kasih. Tak lupa ia meminta sang putri untuk mengatakan hal yang sama.
"Sampai ketemu lagi, Alena!" Hendra melambaikan tangannya mengiringi mobil yang perlahan bergerak menjauh.
"Dia punya anak?" Bram menepuk bahunya. Lelaki itu tiba-tiba muncul di sampingnya.
"Sialan! Bikin kaget aja, siapa suruh ikutin aku sih!" sergahnya dengan muka masam. Bram tertawa melihat rekannya kesal. Awalnya mereka berdua memang berada di tempat itu untuk mencari keperluan kantor, tapi niat itu dikesampingkan oleh Hendra saat melihat Allea.
Kedua pria itu melangkah menuju mobil mereka.
"Dia sudah bersuami, Hen!"
"Dan aku nggak tahu itu! Sial, aku pikir dia masih single," sesalnya.
"Mungkin kamu harus cari tahu di mana suaminya bekerja. Mungkin suaminya lebih bisa diajak kerjasama."
Hendra mengangguk kemudian menghidupkan mesin mobil lalu meluncur ke kantor. Dalam perjalanan ia berpikir keras bagaimana cara agar bisa membuat wanita itu setuju dengan penawaran harga tanah berikut bangunannya.
"Sepertinya aku harus cari tahu ke Alisha! Dia orang yang merekomendasikan tempat cuci itu untukku, Bram!"
Bram mengangguk setuju.
"Bagus, aku harap ada kabar baik setelah ini, Bro!"
***
TBC
Masih lempeng ... haha
Buat teman-teman yang suka, jan lupa vote and komentar ya.
Tetep colek jika typo yaa 😁🙈
Terima kasih sudah mampir dan menjadi pembaca setia 🤗
Numpang promosi ya, udah pada baca cerbung aku yg ini belum? Kalau belum cuss lah, kepoin juga novelnya yang dijamin puas baca lima part tambahannya di sana.
Kuy hubungi wa di 081349460451
Aku tunggu yaa, terima kasih ❤️❤️
Love you all 😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top