Destiny 17
Mahendra masih di depan kemudi, pria itu mengatur napas mencoba menguasai keadaan. Semua keberanian ia kumpulkan untuk mengatakan hal yang sesungguhnya pada keluarga Alisha. Ia bahkan sudah menyiapkan semua skenario jika memang ada hal yang di luar kendali.
"Maafkan aku Allea, tapi aku harus lakukan ini seperti janjiku padamu," gumamnya seraya melepaskan sabuk pengaman kemudian keluar.
Baru saja ia hendak menutup pintu mobil, pria itu melihat Pak Rudi dan istrinya tergopoh-gopoh keluar dari rumah. Tampak Alena juga bersama mereka. Sang istri terlihat tengah menyeka matanya sementara sang suami berusaha menenangkan. Pemandangan itu membuat Hendra bergegas mendekat.
"Maaf, Om ada apa?"
"Nak Hendra! Alisha, Nak. Alisha ...."
"Alisha? Kenapa Alisha?"
"Alisha kecelakaan!" jelas ayah Allea dengan mata berkaca-kaca.
Mahendra mendadak beku mendengar keterangan dari pria paruh baya itu.
"Kita mau ke rumah sakit, Nak," terang perempuan di sebelahnya.
"Allea sudah tahu, Om?"
Ayah Allea itu menggeleng, mengatakan bahwa mereka baru saja mendengar kabar ini.
"Om sama Tante ke rumah sakit sekarang. Kamu bisa tolong kabari Allea?"
"Baik, Om. Alena ikut Om Hendra ke mama?"
Gadis kecil itu mengangguk tersenyum. Setelah mengucapkan agar berhati-hati pada kedua orang tua Allea, ia mengajak Alena ke mobil dengan perasaan berkecamuk.
"Kita ke mama sekarang ya," ucap Hendra seraya memasangkan sabuk pengaman Alena.
Gadis kecil berkuncir kuda itu kembali mengangguk. Tak biasanya sepanjang jalan Alena diam. Gadis kecil itu pasti akan bercerita apa pun yang terjadi, tapi kali ini Alena memilih membisu. Hal itu dirasakan oleh Mahendra. Sekilas ia melirik pada putri Allea itu
"Alena kenapa? Kok dari tadi diam?"
"Nggak apa-apa, Om."
"Yakin nggak apa-apa? Atau kita beli es krim sebentar mau?"
"Nggak, Om. Terima kasih," tolaknya kali ini menatap ke luar lewat jendela
Mahendra menarik napas dalam-dalam. Ia merasa ada yang disembunyikan gadis kecil itu.
"Alena sudah makan?"
"Sudah, Om."
"Oke, kalau begitu kita langsung ke rumah ya."
Tak bersuara, Alena mengangguk.
Mobil meluncur membelah jalanan siang itu. Berbagai perasaan dan pikiran berkecamuk di kepalanya. Berharap tak terjadi sesuatu yang buruk pada Alisha, ia juga berharap persoalannya sendiri segera terurai.
"Om," panggil Alena membuyarkan lamunannya.
"Iya, Sayang?"
"Apa benar Om akan menikah dengan Tante Alisha?" tanyanya dengan wajah polos.
Mahendra menoleh sejenak kemudian kembali fokus mengemudi.
"Siapa yang bilang begitu?"
"Mama."
Wajah Hendra terlihat kecewa mendengar itu.
"Mama bilang begitu?"
"Eyang juga bilang begitu," terangnya.
Kembali pria itu menghela napas.
"Om, kalau Om menikah sama Tante Alisha, Alena boleh panggil papa?"
Pertanyaan Alena kali ini benar-benar membuatnya terkejut. Jika saja ia tak tergesa-gesa karena Alisha kecelakaan, pasti ia sekarang akan berbicara dari hati ke hati dengan gadis kecil itu.
"Kata Mama, yang boleh panggil papa hanya anak Om nanti, Alena hanya boleh panggil Om," lanjutnya kali ini menatap Hendra.
"Alena boleh panggil Om dengan panggilan papa kapan saja!"
Mendengar penuturan Mahendra, paras Alena berubah cerah. Dengan mata berbinar ia bersorak gembira seraya mengucapkan terima kasih.
"Jadi Alena boleh panggil papa sekarang ke om?"
Mahendra mengangguk dengan sudut mata yang berkaca-kaca.
***
Allea mengusap pipinya yang basah melihat kondisi adiknya. Menurut keterangan, Alisha ditabrak sepeda motor yang melaju saat ia hendak menyeberang yang mengakibatkan kakinya retak dan luka-luka di bagian wajah dan tangannya.
Alisha terpejam dengan kaki dan lengannya terbalut perban. Sementara ibunya tak henti meneteskan air mata. Tak jauh dari mereka berdiri, Mahendra duduk di sofa menemani Pak Rudi dan Alena.
"Nak Hendra, kata suster tadi sebelum Alisha diberi obat penenang, dia terus memanggil namamu," ucap Pak Rudi membuka suara. "Kami berharap Nak Hendra bisa memberi semangat agar dia tidak terlalu terpukul. Terlebih saat nanti dia menyadari bahwa kakinya butuh waktu lama untuk bisa benar-benar sembuh," mohon pria itu.
Mahendra menarik napas dalam-dalam. Sesungguhnya dia sedang dalam kebimbangan. Bagaimana mungkin dirinya bisa menceritakan hal sesungguhnya jika kondisi seperti ini. Tentu saja akan membuat tak hanya Alisha yang terpukul, tapi juga keluarganya dan tentu saja Allea.
Mahendra tahu seperti apa rasa sayang Allea terhadap sang adik. Namun, jika ia mengikuti permintaan Pak Rudi, ia khawatir semua akan semakin salah mengartikan.
"Nak Hendra tidak keberatan, 'kan?"
Pertanyaan pria itu tak urung membuat Mahendra mengangguk.
"Saya akan coba memberikan semangat agar dia bisa kembali sembuh, Om."
Senyum Pak Rudi mengembang, ia mengucapkan terima kasih pada Mahendra. Pria yang memiliki uban di kepalanya itu menceritakan masa kecil putrinya.
Ia mengatakan bahwa perbedaan warna kulit Allea dan Alisha sempat membuat Alisha bertanya-tanya apakah mereka benar-benar saudara. Pertengkaran kecil masalah warna baju dan tinggi badan atau segala yang remeh tidak membuat keduanya terlibat pertengkaran yang berkelanjutan.
"Allea lebih sering mengalah pada adiknya, dia sangat menyayangi Alisha," pungkasnya menutup cerita.
Mahendra mendengar dengan saksama, dalam hati ia membenarkan semua ucapan Pak Rudi. Pria itu sangat tahu bagaimana rasa sayang Allea pada adiknya.
"Yah, Allea balik ke rumah dulu ya. Nanti malam Lea yang jaga Alisha. Siang ini biar Lea ajak Alena istirahat dulu. Nanti malam biar dia tidur di rumah ayah." Allea sudah berada di tengah-tengah mereka.
"Kamu nggak apa-apa malam jagain Alisha?"
Perempuan berbaju cokelat muda itu tersenyum. Ia meyakinkan agar sang ayah mempercayainya.
"Oke, siang ini kamu istirahat saja. Nanti malam ayah percayakan Alisha padamu." Pak Rudi bangkit lalu melangkah mendekati istrinya yang msib enggan beranjak dari sisi Alisha.
Mahendra menatap Allea sejenak kemudian menawarkan dirinya untuk mengantar pulang.
"Nggak perlu, Hendra. Terima kasih. Ayo, Alena, kita pulang, Sayang," ajaknya tersenyum menatap sang putri.
"Mama, kata Om Hendra Alena boleh panggil papa ke Om Hendra!" seru gadis itu.
Tak ingin berdebat dengan putrinya, Allea meraih tangan Alena lalu mengajaknya keluar.
"Kita pulang, Alena!"
"Mama! Alena mau diantar sama Papa!" rengeknya saat berada di luar ruangan Alisha. Mendengar kalimat yang diucapkan putrinya, Lea menghentikan langkahnya. Pelan ia membungkuk sehingga tubuhnya sejajar dengan Alena.
"Alena, Mama bisa minta tolong?" tanyanya dengan mata berkaca-kaca.
"Minta tolong apa, Ma?"
Perempuan itu menarik napas dalam-dalam, kemudian merapikan rambut putrinya perlahan.
"Berhenti memanggil Om Hendra dengan panggilan papa!"
Mata Alena balas membidik netra mamanya.
"Kenapa, Ma? Om Hendra mau kok!"
"Karena Om Hendra bukan papa Alena!"
"Aku akan menjadi papanya, Lea! Dan aku sama sekali tidak keberatan dengan panggilan itu!"
Tanpa diduga Lea, pria itu telah berada di belakangnya. Allea kembali pada posisi semula kemudian membalikkan badan. Ia melihat Hendra tersenyum dengan kedua tangannya di dalam kantung celana.
"Papa!"
"Ya, Sayang!"
"Hendra cukup!"
Tangan Mahendra memberi isyarat agar Allea menghentikan protesnya. Ia tersenyum melihat Alena yang menghambur ke arahnya.
"Dia anakku juga, Allea!"
***
Hayoloohh .... thanks for reading🤩
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top