Destiny 13

Hendra menatap Allea tajam, ia bahkan tidak beranjak dari sisi perempuan itu.

"Kamu sedang menguji keseriusanku, Allea?"

"Hendra cukup! Jangan biarkan aku kembali mengusirmu!"

"Aku akan pergi tanpa kau usir, Allea. Karena tanpa kau minta aku akan pergi membawamu!" Hendra meraih tangan perempuan itu. Allea mencoba menepis, tapi tenaga Hendra tak sebanding dengan tenaganya.

"Hendra, jangan merumitkan masalah!"

"Justru kamu yang membuat ini semua jadi rumit, Lea. Ikut aku! Kita bertemu ayah dan ibuku sekarang!"

Hendra menggenggam tangan Lea dengan mata masih menatap lekat.

"Alena," panggil Hendra. Seperti biasa, gadis kecil itu cepat datang.

"Ya, Om?" tanyanya menatap tangan mamanya yang tengah dipegang erat Hendra.

"Alena mau es krim?"

"Mau!"

"Kita beli sekarang sama Mama!"

Ia melonjak gembira dengan mata berbinar.

"Jangan tunjukkan kalau kita sedang ada masalah di depan Alena!" bisik pria itu tepat di telinga Allea.

Allea berusaha menarik tangannya, tapi lagi-lagi ia tak bisa menandingi tenaga Hendra.

"Hendra! Lepaskan tangan Allea!" seru Surya tegas. Pria itu mendekat lalu menarik Allea dari Hendra.

"Keluar sekarang! Jangan ganggu dia!" titah Surya yang kini memegang erat lengan Allea.

Rahang Mahendra mengeras, ia mengepalkan tangan menahan gelombang emosi. Mata kelamnya tak lepas menatap pria di samping Allea.

"Surya! Aku mau kita bicara di depan sekarang!"

Mahendra mengayun langkah menuju teras tanpa menoleh pada Allea. Jelas tercetak kecewa di wajah pria itu.

"Surya, aku mohon ...."

"Kamu tenang, Allea."

Pria itu tersenyum lalu meninggalkan perempuan itu.

"Mama, Om Hendra mana? Katanya kita mau beli es krim?"

Allea mengusap puncak kepala putrinya kemudian membujuknya agar kembali ke kamar.

***

Dua orang pria duduk di teras rumah Allea. Sesaat masih saling diam hingga akhirnya Hendra membuka pembicaraan.

"Aku nggak percaya dengan apa yang kamu ucapkan" Hendra menatap tajam pada Surya. "Katakan dengan jujur!"

Surya menghela napas dalam-dalam kemudian tersenyum. Ia membenarkan hal yang didengar pria itu.

"Orang tua kami sepakat menjodohkan kami. Aku single dan Allea tidak terikat pernikahan, jadi nggak ada yang salah soal itu, 'kan?"

"Allea menerimamu?"

"Tentu! Aku rasa kalau orang tua sudah memberi restu tidak ada yang perlu diragukan, 'kan?"

"Kamu mencintainya?"

"Tentu!"

"Juga mencintai Alena?"

"Pasti!"

Hendra menghela napas dalam-dalam kemudian mengangguk. Pria itu menatap Surya dengan bibir tertarik sedikit.

"Selamat! Kalau sudah begini, aku bisa apa?" Ia berujar dengan senyum masam. Pria itu bangkit lalu mengajak Surya berjabat tangan.

"Aku rasa Allea benar. Aku hanya membuat rumit jika terus maju dalam hubungan ini. Pesanku, jaga baik-baik mereka!" Hendra menepuk bahu pria di depannya. "Aku balik, sampaikan salam buat Allea, aku nggak akan ganggu kalian."

***

Hendra memenuhi janjinya. Ia menghilang bersama waktu. Ia fokus dengan pekerjaan dan proyek-proyeknya yang ada di luar kota, sedangkan dua kawannya enggan untuk mencampuri urusan pria itu.

Allea lega sebab sang adik tak lagi marah dan mereka kembali seperti semula meski adiknya itu memutuskan berhenti bekerja di tempat Hendra. Meski tidak sering, tapi Surya beberapa kali sering datang ke kediamannya. Berbeda dengan penyambutan pada Hendra, Alena tidak begitu hangat menyambut pria itu.

"Mama, kenapa Om Hendra nggak pernah ke sini lagi?" tanyanya suatu sore.

Sambil tersenyum, Allea mengatakan bahwa Hendra sedang sibuk. Namun, gadis pintar itu tidak percaya.

"Dulu Om Hendra juga sibuk, tapi sering antar jemput Alena!" protesnya.

"Sekarang Om Hendra sering ke luar kota, Lena," tuturnya menuangkan susu ke gelas sang putri.

"Memang kenapa kalau nggak ada Om Hendra?"

Alena bergeming, ia meneguk habis susu yang baru saja diberikan mamanya.

"Alena kangen Om Hendra, Ma," ungkapnya seraya menatap Allea.

Perempuan itu menatap ke arah lain, ia tak tega melihat kerjap mata bening putrinya. Mata yang selalu berbinar saat melihat Hendra, bibir yang selalu tertawa lebar ketika bercanda dengan Hendra, semuanya kini tak lagi ia dapati. Beberapa kali Allea ditanya oleh guru sekolah Alena. Menurut mereka, Alena sekarang lebih sering murung dan menutup diri.

"Mama, telepon Om Hendra ya, Ma. Suruh ke sini," mohonnya.

"Alena, Om Hendra ...."

"Mama, bilang ke Om Hendra Alena kangen!" potongnya, "Alena minta Om Hendra ke sini sebentar aja! Ya, Ma, telepon ya?"

Allea tak menjawab, nyeri kembali menyapa hatinya. Jika dia mau jujur, bukan hanya Alena yang merindu, dirinya pun merasa ada yang hilang. Kebersamaan yang tidak lama, tapi menorehkan kesan yang mendalam di sanubari. Tatapan hangat Hendra yang seringkali mengarah padanya gak dipungkiri telah membuat dirinya merasa dicintai.

"Mama, kenapa diam?"

"Iya, Alena."

"Mama mau teleponkan Om Hendra untuk Alena?" tanya tak percaya.

"Eum ... begini, Alena. Bukankah ada Om Surya? Om Surya juga baik, 'kan? Sayang sama Alena?"

Seketika wajah gadis kecil itu murung.

"Kenapa? Alena nggak suka sama Om Surya?"

Ia menggeleng pelan.

"Om Hendra nggak pernah marah ke Mama. Kalau Om Surya pernah bentak Mama, 'kan?" tuturnya perlahan.

Mata Allea membulat sempurna mendengar penuturan sang putri. Ia tak menyangka Alena melihat saat ia dan Surya bersitegang beberapa pekan lalu.

Untuk pertama kalinya Surya membentak karena saat itu ia menolak diajak pergi berdua saja. Allea tak ingin pergi tanpa Alena, hingga pria itu murka.

Sebenarnya bisa saja dia meluluskan permintaan Surya untuk menemani dirinya sebagai kompensasi atas sandiwara yang diminta Allea saat itu. Namun, karena Surya mengajaknya clubbing maka serta-merta perempuan itu menolak. Hal itulah yang membuat Surya naik pitam, ia merasa Allea hanya memanfaatkan dirinya.

"Om Surya jahat! Alena nggak suka!" ungkapnya dengan wajah kesal.

"Alena, kemarin itu Om Surya sedang lelah."

"Pokoknya Alena pingin ketemu Om Hendra!"

Alena mencebik kemudian pergi meninggalkan Allea sendiri.

***

"Jadi kamu sudah nyaman dengan Surya?" Pertanyaan Pak Rudi sang ayah membuatnya terhenyak.

Perempuan itu menggeleng cepat.

"Maksud kamu, Lea?"

"Allea hanya bersahabat dengan Surya, Yah."

Mendengar itu Alisha yang duduk tak jauh dari keduanya menoleh.

"Bukannya Mbak sama Mas Surya sudah dekat dan ...."

"Kami sepakat cuma sekedar sahabat, Alisha!" potongnya.

Pak Rudi menatap putri pertamanya itu.

"Jika kalian bersahabat, kenapa kemarin justru Surya bicara ke ayah akan segera menikahimu?"

Allea terkejut dengan penjelasan ayahnya. Dengan kening berkerut ia mencoba kembali meminta penjelasan dari Pak Rudi.

"Nggak, Yah. Kami tidak pernah bicara soal itu!" sanggahnya.

"Jika kalian tidak pernah bicara soal itu, lalu kenapa Surya mengatakan kalian berdua udah cocok? Lagipula apa yang kamu cari, Allea. Surya pria baik. Ayah sudah lama berangan-angan hal ini terjadi."

Sang ayah bercerita soal bisnis yang ia rintis bersama Faisal papa Surya. Bisnis properti yang menjanjikan.

"Ayah ingin kamu menjadi pengikat hubungan kami, Lea."

Perempuan itu menatap nanar pada sang ayah. Hatinya bertanya-tanya mengapa harus ia yang dijadikan 'pengikat'.

"Kenapa Lea, Yah?"

"Karena Surya memilihmu!"

Allea tertegun mendengar ucapan sang ayah.

***

Naah ... gimana-gimana? ... hehe. Btw thanks alot for reading 💖🤗

Salam hangat 🤗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top