Destiny 11

Allea menatap penuh tanya pada Hendra. Ia bahkan tak pernah berpikir sejauh ini.

"Jangan bilang kamu tidak tahu soal ini. Aku serius, aku tidak pernah seserius ini, Allea."

"Tapi Hendra, aku nggak bisa!"

"Kenapa? Kamu nggak mencintaiku?"

"Aku ...."

"Kenapa? Katakan!" desaknya.

Allea diam, ia meremas ujung bajunya mencari alasan. Hendra menarik napas dalam-dalam kemudian tersenyum. Pria itu bukan tidak tahu apa yang dirasakan Allea. Setidaknya setelah beberapa kali mereka saling menatap, jelas Hendra bisa membaca arti tatapan matanya. Demikian pula dengan kegugupan Allea saat beberapa kali ia kedapatan tengah mencuri pandang.

"Kalau aku nggak serius, aku nggak akan bicara ini." Pria itu diam sejenak.

"Kamu masih memikirkan Alisha? Dengan membohongi diri sendiri?" tanyanya.

"Aku ...."

"Kamu juga berhak bahagia bukan?" potongnya.

"Tapi tidak di atas tangis adikku," jawab Allea lirih.

Mendengar jawaban Allea, Hendra tersenyum lebar. Setidaknya ia telah mendapatkan penjelasan setelah sekian lama berusaha mendekati perempuan itu.

"Itu artinya kamu mencintaiku, 'kan?"

Mata perempuan itu membulat kemudian menggeleng. Ia tak menyadari ucapannya menyiratkan jawaban bagi Hendra.

"Bukan itu maksudku, tapi ...."

Hendra meraih jemari Allea dengan mata terus menatap.

"Jangan pernah membohongi diri sendiri, Allea. Karena itu menyakitkan. Jujurlah!"

Allea benar-benar gak bisa menjawab. Ia sadar siapa dia dan bagaimana posisinya. Ia seorang ibu beranak satu dan juga seorang kakak. Satu sisi ia tak bisa berbohong tentang rasa nyaman saat ada Hendra, sedangkan di sini lain ia pun tak rela melihat adiknya menangis karena patah hati.

"Allea ... will you marry me?" Hendra menatapnya lembut seraya mengeluarkan cincin dari kantung bajunya.

"Mungkin kamu berpikir aku gegabah atau bahkan gila! Tapi itu benar, aku gegabah jika melewatkanmu begitu saja dan aku memang tergila-gila padamu," ungkapnya.

Allea semakin terkejut dengan ulah pria itu. Perlahan ia menarik tangannya kemudian membalas tatapan Hendra.

"Apa kamu benar-benar sadar dengan apa yang kamu katakan?"

"Aku bahkan nggak pernah sewaras ini!'

Allea merapikan rambutnya kemudian menggeleng.

"Aku akan membawa kalian bertemu orang tuaku besok!"

Lagi-lagi Alleae dibuat terkejut.

"Ketemu orang tuamu? Besok?"

"Iya, apa itu salah?"

Perempuan itu menghela napas tak menyangka dengan pria itu melakukan tindakan secepat ini.

"Menikahlah denganku, Allea."

Lembut ia kembali meraih jemari perempuan itu hendak menyelipkan cincin di jari manis Allea.

"Mas Hendra! Mbak Allea? Apa-apaan ini?"

Suara Alisha mengejutkan mereka berdua. Cepat Allea menarik tangannya lalu bangkit mendekati Alisha.

"Duduk dulu, Mbak jelasin." Ia menyentuh bahu Alisha, tapi segera menepis tangan Allea.

Perempuan berkulit cokelat itu membuat jarak. Dengan berderai air mata ia berkata, "Mbak tega sama aku! Mbak tahu kan kalau aku ...."

"Alisha! Ini bukan perkara tega atau tidak. Tolong kamu duduk. Kita bicarakan baik-baik!" sela Hendra bangkit dari duduknya.

"Cukup, Mas! Kamu juga! Kamu jahat sama aku! Kalian berdua jahat!" Alisha membalikkan tubuhnya kemudian berlari kembali ke mobil. Allea berusaha mengejar, tapi tangan kokoh Mahendra mencegahnya.

"Lepasin aku, Hendra! Dia adikku!"

"Tapi dia sedang emosi, Lea!"

"Justru karena dia sedang emosi aku takut terjadi apa-apa padanya!"

"Biar aku yang jelaskan. Kamu jaga Alena!"

Hendra meraih tangan Allea lalu meletakkan cincin itu di tangannya.

"Pakai ya. I love you!"

Hendra tersenyum lalu mengayun langkah meninggalkan rumah Allea. Sementara perempuan berkulit kuning langsat itu hanya bisa berdiri mematung menyadari telah menggoreskan luka di hati adiknya.

***

Semenjak peristiwa tak diduga itu, Alisha tak pernah mau bertemu Allea. Ia pun enggan bekerja, perempuan itu seperti telah kehilangan semangat hidup. Hal tersebut memunculkan pertanyaan pada ibunya.

"Katakan ke Ibu, ada apa denganmu?"

Alisha menarik napas dalam-dalam kemudian kembali menyembunyikan wajahnya ke bantal.

"Beberapa hari ini kamu murung, bahkan tak ingin bertemu siapa pun termasuk Mbak Allea. Ada apa, Nak. Kalian bertengkar?"

Putrinya itu menggeleng lalu menatap sang ibu.

"Alisha sakit hati, Bu."

"Dengan siapa? Siapa yang menyakitimu?"

Ia bangkit bersandar di kepala ranjang kemudian menceritakan kegundahan hati pada ibunya. Aini sang ibu terkesiap mendengar cerita dari putri keduanya itu. Perempuan paruh baya itu sama sekali tidak menyangka jika akhirnya Alisha justru tak pernah dicintai oleh bosnya seperti yang seringkali ia ungkapkan.

"Alisha benci, Mbak Lea! Dia tega merebut Hendra dari Alisha!" pekiknya tertahan dengan air mata berderai.

"Alisha ... kamu nggak boleh begitu. Kamu sudah mendengar penjelasan mereka?"

"Apa lagi yang harus Lisha dengar, Bu? Semua sudah jelas. Lisha lihat sendiri bagaimana mereka berdua begitu dekat!"

"Alisha, jika benar seperti yang kamu bilang bahwa bosmu itu pernah mengatakan bahwa kalian hanya rekan kerja. Ibu rasa tidak ada salahnya jika ...."

"Jadi Ibu membela Mas Hendra yang memilih Mbak Allea gitu?" potongnya.

"Bukan begitu. Alisha, jodoh itu kita tidak akan pernah tahu, Nak. Kamu juga nggak bisa memaksa supaya Hendra mencintaimu," terang ibunya.

Alisha membuang napas kasar, ia bangkit dari ranjang. Merapikan rambut kemudian mengayun langkah ke kamar mandi.

"Kamu mau ke mana, Alisha?"

"Alisha mau keluar, Bu!"

"Ke mana?"

"Ke mana aja. Alisha mau menyegarkan pikiran!"

"Tadi Mbak Allea telepon menanyakan kabarmu, Ibu bilang ...."

"Alisha sedang tidak ingin mendengar apa-apa soal Mbak Allea, Bu."

Bu Aini tidak melanjutkan ucapannya, ia mengangguk paham lalu meninggalkan kamar Alisha.

***

Mahendra, Bram dan Soni duduk bersama di sebuah kafe. Mereka terlihat serius membahas sesuatu, sesekali Soni menunjukkan kepada Hendra sesuatu di laptopnya.

"Jadi kapan kita mulai membangun di lokasi itu?" tanya Bram menatap Hendra.

"Sesuai jadwal, kita bisa lanjutkan!"

"Lalu rumah laundry itu gimana, Hendra?" Soni ikut menimpali.

Hendra tersenyum tipis.

"Dia jangan ditanya soal itu, Bro. Hendra paling tahu apa yang dia inginkan!" tukas Bram terkekeh.

Soni yang merasa banyak tertinggal kabar soal itu mengerutkan kening.

"Maksudnya apa nih! Aku ketinggalan banyak cerita?"

Masih dengan tawa Bram mengatakan bahwa pelan tapi pasti Hendra mulai bisa mendekati perempuan pemilik rumah laundry itu.

"Sebentar, Bram! Maksudnya ... Hendra bisa merayu perempuan itu untuk melepaskan rumahnya?"

Bram tertawa lepas melihat ekspresi Soni.

"Wah, sepertinya aku harus belajar banyak soal ini ke kamu, Hendra!" Soni menepuk bahu pria yang sejak tadi hanya tersenyum itu.

"Tolong jelaskan padaku bagaimana bisa kamu merayunya?" kelakar Soni.

"Jadi kamu benar-benar busuk ya, Mas!" Alisha meraih minuman di meja lalu disiramkan ke arah Hendra. Pria itu sontak berdiri.

Kedua rekannya bersama menoleh ke arah perempuan berbaju merah yang tiba-tiba datang.

"Alisha! Kamu apa-apaan?" Hendra meradang.

"Kamu mau peralat saudaraku?"

"Peralat apa?" Hendra balik bertanya.

"Kamu jangan pura-pura baik! Kamu pikir aku nggak dengar pembicaraan kalian sejak tadi?" Alisha naik pitam.

"Sial!" umpat Hendra seraya membersihkan kemejanya.

"Kamu nggak bisa mengambil kesimpulan sendiri, Alisha!" bentak Hendra dengan rahang mengeras.

"Alisha, tolong duduk dulu. Kita bicarakan baik-baik. Nggak enak dilihat orang." Soni menengahi.

Alisha yang sudah dipantik api tak lagi bisa membendung emosi. Ia membalikkan badan kemudian pergi setelah mengancam bahwa Allea akan tahu semua kebusukan Mahendra.

***











Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top