Destiny 10

Allea mengangguk tersenyum. Ia bangkit dari duduk bersiap hendak pulang.

"Mbak!"

"Ada apa lagi?"

"Gimana caranya supaya Mas Hendra suka sama aku ya?" Alisha mendekat.

"Emang dia nggak suka sama kamu?"

Wajah Alisha mengabut. Ia menggeleng lemah.

"Mas Hendra hanya menganggap aku rekan kerjanya."

"Tahu dari mana?" selidik Allea.

"Dia sendiri yang bilang begitu," balasnya sendu.

Allea menarik napas dalam-dalam. Ia teringat ucapan pria itu di mobil tadi. Mahendra tidak bohong tentang hubungannya dengan Alisha. Kembali berbagai pikiran berkecamuk di kepala Allea. Seriuskah Hendra itu dengan perkataannya. Jika benar serius, lalu bagaimana dengan perasaan Alena?

"Mbak! Ponselnya bunyi tuh! Ngelamun aja perasaan deh, kenapa, Mbak?"

"Ng ... nggak apa-apa. Cuma mikirin Alena."

"Ponsel Mbak bunyi tuh!"

Allea merogoh tas melihat identitas pemanggil. Nama Mahendra tertulis di sana. Perempuan itu menolak panggilan lalu melangkah menuju dapur menghampiri sang ibu untuk pamit pulang. Merasa ada yang aneh pada kakaknya, Alisha mengikuti sang kakak hingga ke pintu.

"Mbak, Mbak kenapa? Bilang ke aku!"

"Mbak nggak apa-apa, Lisha! Mbak pulang dulu ya!" Allea mengusap puncak kepala sang adik kemudian melanjutkan langkahnya. Namun, rupanya sang adik masih ingin tahu.

"Mbak aku antar pulang ya!" teriaknya.

Allea menoleh kemudian menggeleng.

"Nggak usah. Kamu bantu Ibu beberes aja! Mbak nggak apa-apa kok!"

Perempuan itu melambaikan tangannya meninggalkan Alisha yang masih merasa aneh pada sang kakak.

Allea melangkah menjauh dari kediamannya, ia berniat memesan taksi daring untuk pulang. Namun, suara klakson mobil mengejutkan perempuan itu. Mobil Mahendra telah berada di dekatnya.

"Mama!" panggil Alena.

"Hai, Sayang!" Ia tersenyum dengan melambaikan tangan.

"Masuk, Allea. Aku bukakan pintu?" Hendra tersenyum menggoda.

"Nggak! Aku bisa sendiri!"

Pria itu hanya menyungging senyum melihat reaksi Allea.

"Kenapa lagi-lagi nggak angkat teleponku?" tanyanya saat Allea sudah berada di mobil

"Aku bilang aku bisa pulang sendiri!" jawabnya acuh.

Hendra hanya menaikkan alis seraya mengulum senyum.

"Kita pulang?" Ia bertanya dengan mata membidik paras perempuan itu.

Allea hanya mengangguk tanpa menoleh. Sepanjang jalan hanya Alena yang membuka suara. Gadis kecil itu menceritakan pengalaman serunya bersama Hendra. Sesekali pria itu menimpali dan mereka berdua tertawa. Melihat itu, Allea hanya tersenyum tipis.

Setelah lelah bercerita, Alena memilih duduk di kursi belakang tampak kelelahan dan tertidur. Tampak Hendra sesekali mencuri pandang ke arah perempuan di sampingnya.

Perasaan Allea campur aduk, satu sisi dia tak mungkin mengatakan hal sesungguhnya pada sang adik, sedangkan di sisi lain ia tahu bagaimana putrinya begitu terikat pada pria itu.

Namun, Allea memilih tegas meski harus mengorbankan perasaan Alena. Gadis kecil itu akan mengerti jika ia bicara soal ini.

"Hendra."

"Ya?"

"Terima kasih untuk hari ini. Kamu sangat membantuku," ungkap Allea

"Bukan masalah! Aku bahagia melakukannya," timpal Hendra.

"Boleh aku meminta sesuatu?"

"Tentu saja! Katakan!"

"Jauhi kami!" tegasnya.

Mendengar penuturan Allea sontak membuatnya terkejut. Hendra mengurangi kecepatan kemudian menepikan mobilnya.

"Kamu kenapa, Allea?" Ia menatap perempuan itu lalu mematikan mesin mobil.

"Aku mohon. Jauhi kami, jauhi aku dan Alena. Jangan tanya kenapa!

Hendra membuang napas kasar tak menyangka mendengar ucapan itu.

"Tidak! Aku tidak akan menjauhi kalian!" Hendra berkata dengan penuh penekanan.

"Kenapa? Kenapa kamu tidak bersedia menjauhi kami?"

"Jangan pernah tanya kenapa!" balasnya menatap lurus.

Allea menarik napas frustrasi. Ia mencoba membangun dinding tebal untuk menahan perasaan nyaman yang mulai tumbuh di hati putrinya. Dia pun mencoba menolak desir halus yang mulai menyapanya saat berada dekat dengan pria itu.

"Aku mohon, Hendra!" Allea memberanikan diri menatap pria itu.

Terlihat kecewa di wajah pria itu. Hendra menoleh membalas tatapan Allea kemudian menggeleng.

"Kamu tidak berhak mengatur Hidupku, Allea!"

"Tapi aku berhak mengatur hidup kami!" tukasnya.

Hendra meraih tangan Allea meski perempuan itu sempat menolak.

"Jangan penuhi hatimu dengan keegoisan. Jangan menutup dirimu!"

Allea menarik tangannya dari genggaman Hendra, tapi pria itu semakin mengeratkan genggamannya.

"Lepasin!"

"Nggak!"

"Hendra, aku bilang lepas!"

"Jangan berteriak. Alena tidur! Kamu tidak tahu betapa bahagianya dia tadi. Betapa dia senang saat kawan-kawannya bertanya soal papa dan mereka menyangka aku papanya?" Hendra menatapnya lekat.

"Lalu?" Allea membuang pandangannya ke depan.

"Aku mencintaimu, Allea! Aku mencintai Alena!"

Ungkapan Hendra membuatnya membisu. Kini desiran halus itu berubah menjadi gelombang yang bergulung di dadanya. Beribu kupu-kupu seolah menari memenuhi hati Allea. Ia jatuh cinta!

"Dengarkan aku. Aku tidak meminta jawaban sekarang. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ingin menjadi bagian dari hidup kalian!"

Penuturan pria itu membuatnya goyah. Ada sesak memenuhi rongga dada. Mata beningnya berkaca-kaca.

"Aku mau pulang!" pintanya lirih.

"Aku antar. Maaf jika aku memaksa, tapi aku sudah jujur mengatakan itu padamu."

"Hendra."

"Ya?"

"Bagaimana jika aku tidak mencintaimu?"

"Well! Aku nggak yakin soal itu. Karena matamu berkata sebaliknya!" balasnya percaya diri. Allea mendengkus menatap keluar jendela. Hendra tertawa kecil melihat itu.

"Aku serius, Hendra! Aku tidak mencintaimu."

"Aku tidak minta jawaban itu sekarang, Lea," tuturnya santai.

"Dengar, Hendra. Tidakkah kamu merasa bahwa adikku mencintaimu?" Kali ini Allea kembali menoleh dan memindai mata pria itu.

Hendra tak menanggapi pertanyaan itu, ia justru membalas tatapan Allea dengan hangat.

"Lalu? Apa kamu sekarang mau mengatur aku agar mencintai Alisha?" balasnya. "Sama sepertimu, Allea. Aku juga berhak menentukan dan mengatur hidupku!"

Seolah kehilangan kata-kata, Allea mengembuskan napasnya kasar.

"Tolong, jangan bikin dia bersedih."

"Lalu? Apa kamu pikir dengan berpura-pura mencintainya bisa membuat Alisha bahagia?"

Hendra menarik napas dalam-dalam, ia kembali menyalakan mobil.

"Kita pulang. Tolong, jangan halangi aku untuk bertemu Alena, dan jangan menghindariku. Setidaknya jangan keras dengan dirimu sendiri," tuturnya.

***

Setelah kejadian itu, Allea selalu memutar otak mencoba mencari jalan agar Hendra tidak lagi berkunjung. Namun, semua sia-sia. Justru Alena yang gembira setiap kali pria itu datang. Bahkan pria itu semakin sering mengunjungi Alena. Karena Allea tak pernah mengindahkan kedatangannya.

Meski begitu, jauh di lubuk hatinya selalu memerangi rasa indah yang justru semakin meraja. Ia sebenarnya merasa tersiksa terlebih sang adik kerapkali mengadukan kegundahannya karena ternyata bos pujaannya telah terang-terangan mengatakan padanya bahwa dirinya sedang mencintai seseorang.

Sore itu setelah puas mengajak Alena jalan-jalan, Hendra tak langsung pulang. Ia sengaja menunggu Allea selesai menyelesaikan pekerjaannya.

"Allea bisa kita bicara?" tanya Hendra saat perempuan itu keluar dari rumah laundrynya.

"Bicaralah!" Ia duduk di kursi tepat di depan Hendra yang dibatasi oleh meja.

"Aku serius!"

"Serius soal?"

"Kita!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top