Bagian 25
Mahendra menangkup wajah Allea menatap pada kedalaman mata perempuan itu. Angin berembus sepoi-sepoi menerbangkan rambut panjang perempuan itu. Aroma daun teh menyeruak kembali menyegarkan rongga dada.
"Kita pulang, aku akan membawamu ke orang tuaku. Akan kutunjukkan kesungguhan ini pada mereka, juga orang tuamu."
Allea membisu, perlahan ia menunduk, tapi cepat dagunya ditahan pria itu. Sambil menggeleng, ia berucap, "Jangan kamu sembunyikan lagi kesedihan itu. Aku ada di sini untukmu."
Mata Allea berkaca-kaca mendengar penuturan Mahendra. Ia tak menyangka akan ada pria yang tulus mencintainya.
Dirinya juga tidak pernah berpikir untuk jatuh cinta dengan pria yang memiliki senyum menawan itu. Perasaan indah itu muncul begitu saja tanpa bisa dicegah, bahkan saat Alisha memusuhinya. Meski ia berkeras menghapus cinta, tapi perasaan itu semakin kuat mengakar.
"Aku takut, Hendra."
"Takut kenapa? Kan aku bilang ada aku?"
"Aku takut orang tuamu. Mereka pasti akan berpikir ulang jika tahu aku ...."
"Aku sudah menjelaskan semuanya pada mereka. Nggak alasan lagi untuk berpikir apa pun soal kamu dan Alena."
"Lalu ...."
"Lalu apa? Orang tuamu?" Hendra menyingkirkan rambut yang mengganggu wajah cantik Allea. "Orang tuamu sudah memahami hal ini, dan Alisha ... dia akan baik-baik saja seiring berjalannya waktu. Percayalah, Sayang."
Wajah Allea bersemu kemerahan mendengar panggilan sayang untuknya. Menyadari Allea malu, pria itu tersenyum tipis. Bibir kemerahan perempuan itu berhasil membuat Hendra kembali ingin mengulang saat ia menyesap lembut bibir itu. Namun, ia masih berusaha menahan keinginan yang memberontak.
"Kita kembali sekarang, nanti Alena nunggu lama," tuturnya mengusap puncak kepala Allea.
"Aku hanya takut jika kita terlalu lama di sini," sambungnya menatap hangat perempuan bermata indah itu.
Kening Allea mengerut membalas tatapan Hendra.
"Takut?"
Mahendra mengangguk mengulum senyum. Ia meraih bahu Allea lembut lalu merapatkan ke tubuhnya.
"Takut semua yang ada di diriku memberontak," terangnya tertawa kecil.
Keterangan Hendra rupanya tidak mudah dimengerti oleh Allea. Perempuan itu masih menatap dengan tatapan penuh tanya.
Sambil mengusap pipi Allea, Mehendra berbisik, "Kamu tahu, setiap berdekatan denganmu tidak hanya hatiku yang bergejolak, tapi semua anggota tubuhku pun ikut menggeliat."
Mata Allea membulat sempurna, segera ia membuat jarak kemudian melangkah menjauh dengan wajah semakin merona. Bibir Mahendra terangkat ke samping, ia mengayun langkah mendekati Allea.
"Kita pulang siang nanti ya."
Sejenak Allea menoleh lalu cepat memalingkan wajahnya ke depan.
"Kenapa kamu begitu yakin ini semua berjalan seperti yang diinginkan?"
"Entahlah! Tapi nggak ada alasan untuk tidak yakin pada apa pun yang sudah aku yakini!"
"Allea!" Pria bertubuh atletis itu meraih tangan Allea, sehingga membuat tubuhnya menghadap Mahendra.
Ada senyum mengembangnya. Kembali mata mereka saling menatap. Perlahan Hendra mengusap pipi perempuan Allea.
"Menikahlah denganku, Allea." Hendra merogoh kantong celananya mengeluarkan kalung berbentuk hati dengan berlian kecil di bagian tengahnya lalu memberi isyarat agar Allea membiarkan ia memasangkan di leher jenjangnya. Tak menghindar seperti sebelumnya, Allea membalas tatapan Hendra dengan senyum.
"I love you!" bisik Hendra.
"I love you too," balas Allea lirih seraya menyembunyikan pipinya yang kembali memerah karena malu.
Mendengar jawaban Allea, bibir pria berambut tebal itu melengkung sempurna. Sambil mencubit lembut pipi Allea, ia berucap, "Apa? Kamu bilang apa barusan? Aku nggak dengar. Bisa ucapkan sekali lagi?"
Allea membalas dengan cubitan di lengan pria jangkung itu kemudian melangkah cepat meninggalkan Mahendra yang tertawa bahagia.
***
Alisha termenung menatap ke luar jendela. Ucapan ayahnya menari-nari di kepala. Meski dirinya berkeras membela diri, tetap saja sang ayah meminta dirinya untuk merenung.
"Alisha, ayah tahu apa yang kamu alami ini tidak mudah, tapi bukan berarti kamu tidak bisa melewatinya," tutur ayahnya saat itu.
Matanya berkaca-kaca menyadari cintanya harus layu bahkan sebelum berkembang. Bibirnya mengatup kuat menahan gejolak emosi yang meletup di hati. Alisha merasa dibohongi oleh Allea sekaligus Mahendra. Bagi perempuan berkulit cokelat itu kedua orang itu telah benar-benar membuat dirinya pongah.
Kembali penuturan sang ayah melintas di kepalanya. Ayahnya mengatakan bahwa Mahendra kini tengah menemui Allea dan akan membawa sang kakak untuk pulang bertemu kedua orang tua Mahendra.
Air mata Alisha tak bisa lagi bisa ditahan, bulir bening luruh membasahi pipinya. Tangan perempuan itu mengepal dengan mata terpejam. Perlahan ia bangkit menuju meja rias, ia menatap pantulan dirinya di cermin, sesaat kemudian Alisha melempar semua yang ada di meja itu ke cermin seraya berteriak histeris.
"Alisha! Alisha kamu kenapa, Nak?" Ibunya bergegas mendatangi sang putri yang masih dalam masa recovery selepas kecelakaan beberapa waktu lalu itu.
"Tinggalkan Alisha sendiri, Bu! Alisha memang selalu sial!" pekiknya masih dengan amarah.
"Kamu bicara apa, Alisha? Kenapa kamu mengatakan hal itu?" Ibunya berusaha menenangkan.
Perempuan paruh baya itu memeluk erat putrinya lalu mengajak Alisha menuju ke ranjang.
"Alisha, terkadang dalam hidup kita memang harus menerima kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan. Kamu tidak sendirian, Alisha. Kita semua pernah berada di masa itu. Sama halnya dengan Mbak Allea. Dia juga pernah mengalami hal yang sama sekali tak dia inginkan. Kehilangan adalah hal yang menyakitkan, tapi kamu harus yakin bahwa setelahnya akan ada hal yang membuatmu bisa memahaminya," tutur ibunya panjang lebar.
Alisha masih diam. Tak ada perubahan di wajahnya. Paras perempuan berdagu belah itu masih mengeras diliputi amarah. Dia masih tak terima dengan keadaan yang seolah mengolok-oloknya. Kebencian untuk Allea masih menggumpal utuh.
"Tinggalkan Alisha, Bu. Alisha ingin sendiri."
"Kamu dari pagi belum makan apa-apa. Ibu temani makan yuk!" Bu Rudi mengusap lembut bahu putrinya.
Alisha menggeleng mengatakan bahwa dia tidak lapar.
"Tapi sekarang sudah siang, Nak. Makanlah walau sedikit. Kan kamu harus makan untuk minum obat, Nak."
"Alisha akan makan nanti, Bu. Ibu nggak perlu khawatir soal itu," balasnya.
Sang ibu mengangguk paham. Perempuan itu meninggalkan Alisha seperti yang diminta.
"Ibu ada jika kamu ingin bercerita ya, Nak," tuturnya sebelum menutup pintu.
***
Sepanjang jalan Alena banyak bercerita, sesekali ia tertawa mendengar jawaban Mahendra. Seperti yang diinginkan Mahendra, hari itu mereka pulang untuk menemui kedua orang tuanya. Kebahagiaan yang membuncah tergambar dari senyum yang tak lepas dari wajah Mahendra dan senyum malu di paras Allea.
Seolah tak ingin lepas lagi dari sisinya, Mahendra terus menggenggam tangan Allea sementara tangan kanannya fokus mengemudi. Sementara Alena duduk di kursi belakang asyik dengan boneka hadiah dari pria yang belakangan ini mengisi hati ia dan mamanya.
Sesekali tampak mata Mahendra melirik ke Allea. Perempuan berambut panjang itu berusaha menyembunyikan wajahnya dengan mengalihkan pandangan ke luar jendela. Perjalanan panjang yang ditempuh tidak terasa membosankan bagi pria itu. Ia berhasil memboyong perempuan idamannya untuk melanjutkan kebahagiaan yang sempat tertunda.
Suara Alena tak lagi terdengar, gadis kecil itu telah terlelap dengan memeluk boneka kelincinya. Allea menoleh ke belakang, ia tersenyum kecil menatap putrinya.
"Kita mampir makan siang dulu ya?" ajak Hendra menoleh ke Allea. "Kasihan Alena dia pasti lapar ... aku juga sih," selorohnya tertawa kecil.
Allea tersenyum tipis mendengar ucapan Hendra.
"Ada restoran langganan aku nggak jauh dari sini. Makanannya enak-enak! Kamu pasti suka!"
Tak lama Hendra mengarahkan mobilnya ke restoran yang ia maksud. Setelah memarkir kendaraan dan mematikan mobilnya ia menghadap ke Allea. Kini kedua tangannya menggenggam erat jemari perempuan di depannya. Mata tajamnya menelisik lembut wajah cantik perempuan itu.
"Allea."
"Ya?"
"Aku mohon setelah ini, jangan pernah pergi lagi. Apa pun yang terjadi, tetaplah di sisiku! Jangan pernah meragukan apa yang telah diperjuangkan. Aku benar-benar mencintaimu dan Alena," tuturnya pelan seolah takut Alena terbangun.
Mendengar permohonan itu, Allea mengangguk pelan dengan bibir terulas senyum.
"Terima kasih, Allea." Satu kecupan manis mendarat di jemari Allea. Pipi perempuan berkulit kuning langsat itu kembali merona.
***
Finally, Alhamdulillah. Dalam satu pekan aku harus meng-update empat cerita yang berbeda. Hehe, siapa di sini yang ngikutin semua cerita aku yang on going hayoo?
Buat kalian aku ucapkan banyak terima kasih buat atensinya. Salam 🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top