Bagian 24
Setangkai mawar putih dan boneka kelinci untuk dua orang terkasih tampak manis berjajar di dashboard. Senyum bahagia terpancar dari wajah Mahendra. Sepanjang perjalanan ia tak henti tersenyum kecil membayangkan bagaimana reaksi Alena terlebih Allea melihat kedatangannya.
Semesta seolah mendukung kepergiannya menuju kediaman Allea. Sepanjang perjalanan ia tak menjumpai halangan berarti. Semua lancar hingga ia tiba tepat di depan rumah bercat putih. Aroma teh segar menyapa rongga penciuman pria itu.
Sementara Alena baru saja memulai belajar ditemani seorang guru. Gadis kecil itu pada akhirnya menikmati belajar home schooling di tempat yang baru.
Di halaman samping, Allea duduk menghadap ke hamparan kebun teh. Udara pagi itu sama seperti yang sudah-sudah. Dingin tapi nyaman. Secangkir teh melati menemaninya menghadap laptop. Perempuan itu sedang merencanakan membangun bisnis baru bersama Risa. Sambil sesekali ia juga menghubungi karyawan di rumah laundry miliknya. Tak jarang ia menggunakan video call untuk mengontrol mereka.
Kabar tentang Mahendra mencarinya setiap hari sampai tak luput menjadi laporan harian yang disampaikan kedua karyawannya itu. Mendengar celoteh kedua karyawannya tentang Mahendra membuat sedikit tersenyum. Meski ia enggan mengakui, tapi ada kerinduan mendalam yang sengaja ia sembunyikan. Meski dirinya mencoba lari, tapi tidak dengan hatinya. Setiap kenang seolah berebut berlari mengukir tentang kisah indah dia dan pria itu.
Sementara di sisi lain, kilas kemarahan Alisha muncul membuat dirinya tak henti menyesal. Sementara sang ayah semalam bertutur soal Surya yang kembali datang kali ini dengan kesungguhan untuk segera menikahinya.
Allea menyesap sedikit teh buatannya lalu kembali menekuri layar tujuh belas inci di depannya. Saat baru saja ia hendak mengetikkan sesuatu, suara Alena terdengar nyaring meneriakkan nama Mahendra. Mendadak ia merasa dadanya bertalu lebih kencang dari biasanya. Seluruh persendian seolah ikut merasakan debar yang sama. Perempuan itu mencoba memastikan apa yang didengar.
Perlahan ia mengayun langkah menuju ke arah suara. Tentu saja ia tak pernah menyangka dengan apa yang ia lihat saat ini. Binar bahagia terlihat jelas di wajah Alena, gadis kecil itu tampak nyaman melepas rindu dalam dekapan Mahendra. Pun demikian dengan pria jangkung itu. Merasa sang putri sedang belajar, Allea mengingatkan agar Alena kembali belajar.
"Om, Alena belajar dulu ya. Om jangan pergi lagi ya!" pintanya dengan mata memohon.
Dengan tatapan hangat, Mahendra mengangguk seraya mengusap puncak kepala Alena. Melihat itu Allea bergegas kembali ke dalam saat tanpa sengaja matanya bertemu dengan tatapan hangat Mahendra.
"Dilanjutkan belajarnya ya, Alena. Om mau ke Mama," ucapnya seraya memberikan boneka kelinci berwarna putih itu pada Alena.
Meski ia baru sekali berada di rumah itu, tapi fak sulit menemukan Allea. Bibirnya menyungging senyum melihat perempuan yang ia cintai itu tengah duduk sendiri di teras samping. Perlahan ia mendekat.
"Tahu dari mana kami di sini? tanya Allea setelah pria itu duduk di depannya.
"Kamu nggak tanya kondisiku? Kamu nggak suka aku di sini?" tuturnya balik bertanya.
Allea menarik napas dalam-dalam. Udara dingin mendadak ia rasakan hangat saat mata pria itu tak berjeda menatapnya.
"Bukan begitu, aku ...."
"Berarti kamu suka aku di sini?"
Kembali Allea menghela napas. Pria itu benar-benar membuatnya mati kutu hanya dengan ditatap.
"Allea, maafkan jika aku nekat ke sini. Lokasi ini aku temukan setelah melacak keberadaanmu melalui telepon beberapa waktu lalu. Eum ... bukan aku, Soni. Dia yang melacak, aku kurang bisa soal itu," jelasnya seraya tersenyum.
"Dengar, mereka sudah tahu semuanya! Baik itu orang tuamu dan juga Alisha. Mereka semua sudah tahu apa yang terjadi pada kita."
Perempuan berkaus putih lengan panjang itu merapikan rambutnya yang berserak dimainkan angin. Hatinya menghangat menyadari keseriusan pria beralis tebal itu. Dirinya sama sekali tak menyangka kedekatan Alena dengan Mahendra sedikit banyak memberikan rasa nyaman padanya pula. Namun, setiap rasa nyaman itu hadir, setiap kali itu pula wajah Alisha membayang.
"Kamu masih nggak yakin?"
"Kenapa kamu seyakin itu, Mahendra?" tuturnya pelan.
"Tentu saja! Karena aku tahu ada kamu dan Alena yang akan menjadi masa depanku!"
Allea melipat kedua tangannya. Kali ini ia kembali merasakan kehangatan dari ucapan pria itu.
"Kamu mau minum apa?" tanyanya mencoba mencairkan suasana. Sedikit mengalihkan pembicaraan bisa membuat tenang hati Allea.
Bibir Mahendra sedikit terangkat. Masih menatap Allea ia berkata, "Terserah kamu mau menyuguhkan apa buatku. Aku pikir, tanpa minum pun sudah hilang dahagaku saat melihat kalian baik-baik saja."
Mendengar jawaban Mahendra, Allea tersenyum kecil.
"Aku buatkan teh melati hangat. Sebentar."
Lima belas menit kemudian Allea muncul dengan secangkir teh hangat dan kue kering berbahan dasar teh hijau yang kemarin ia praktikkan bersama Risa.
Allea meletakkannya di meja tepat di depan Mahendra. Saat ia hendak mundur menjauh, cepat Mahendra menahan tangannya sehingga memangkas jarak antara mereka.
"Jangan jauh-jauh dariku. Duduklah di sini," titahnya pelan seraya memberi isyarat dengan kepala.
Canggung Allea mengikuti keinginan Mahendra.
"Aku mau kita ke rumah bertemu ayah dan ibuku. Aku nggak mau lagi mengulur waktu untuk memikirkan semua ketakutanmu itu."
Pria berkemeja cokelat itu meletakkan teh yang baru saj ia sesap ke meja. Sambil meraih jemari Allea ia kembali berkata, "Ada aku. Aku yang akan melindungimu. Melindungi apa pun yang kamu dan Alena takutkan!"
"Kamu masih meragukan aku?"
Perempuan itu bergeming. Ucapan Alisha tempo hari yang mengatakan bahwa pria itu hanya menginginkan lahan miliknya tidak terbukti. Setidaknya ia bisa merasakan ketulusan hati Mahendra. Allea tak ingin buta karena cinta, tapi ia juga tahu bahwa pria itu tidak sedang bermain-main dengan ucapannya.
"Apa aku pantas diterima di keluargamu?"
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?"
"Aku ...."
"Yang akan menikahimu adalah aku. Bukan orang lain. Aku memilihmu karena aku tahu kamu."
Mahendra menarik napas dalam-dalam. Baginya cinta itu benar-benar tidak masuk akal. Dengan semua yang dia miliki, tak sulit jika dia ingin mempersunting perempuan mana pun. Namun, itulah rasa, itulah cinta. Dia diciptakan untuk memberikan rasa nyaman, dan rasa itu dia temukan pada Allea. Seorang perempuan tangguh beranak satu.
"Menikahlah denganku, Allea."
Tanpa ia duga, Mahendra telah mempersiapkan cincin indah yang ia ambil dari kantung bajunya. Tanpa bisa mengelak, perempuan itu membiarkan jemari manisnya disematkan benda bermta berlian itu oleh Mahendra.
Kedua mata Allea berkaca-kaca.
"Aku nggak tahu harus ngapain!"
"Ikut aku! Aku akan tunjukkan apa yang harus kamu lakukan!" Pria itu meraih tangan Allea mengajaknya beranjak dari tempat itu.
"Ke mana?"
"Sebentar saja! Kamu akan tahu nanti."
"Tapi Alena?"
"Dia sedang belajar kan? Sebentar kok."
Allea diam, ia mengikuti langkah Mahendra. Pria itu membawanya ke luar. Tak lupa pria itu meminta agar Alena belajar yang baik.
"Om sama Mama mau pergi sebentar."
Gadis kecil itu mengangguk tersenyum.
"Miss, saya tinggal dulu ya. Nggak lama kok!" sambungnya menatap guru Alena. Perempuan berkacamata itu mengangguk ramah.
"Kita ke sana!" ajaknya seraya terus menggenggam tangan Allea.
Mahendra mengajaknya mendekat ke hamparan hijau teh yang siap panen.
"Kamu ngapain ngajak aku ke sini?"
Mahendra tersenyum sembari menaikkan alisnya.
"Kamu bilang tadi kamu nggak tahu harus ngapain, kan?" Pria itu meraih bahunya dan mendekap tubuh Allea.
"Menikmati keindahan alam dari dekat itu bisa membuat bahagia, Allea. Sama seperti kita. Jika kita bisa dekat seperti ini, kenapa harus menjauh? Jika kita saling jatuh cinta, kenapa harus berpura-pura?" tuturnya lembut seraya menatap Allea. Kali ini sangat dekat.
"I love you, Allea. I love you," bisiknya seraya mengecup puncak kepala Allea. Sementara Allea hanya bisa memejamkan mata merasakan hangatnya perhatian dan kasih sayang Mahendra yang telah menyusup jauh ke dalam nuraninya.
🍁🍁🍁
Cieee yang dipeyuk Abang Mahendra 😁🤭
Btw colek jika typo yaa 😁🤭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top