Bagian 23


Allea tengah menikmati udara pagi ditemani secangkir teh jahe dan lapis legit buatan Risa, kawannya. Sementara Alena tengah bermain dengan Kiki putri dari Risa.

"Gimana Alena? Dia nyaman dengan home schoolingnya?" Perempuan berkacamata itu membuka pembicaraan. Allea tersenyum tipis kemudian mengangguk.

"Syukurlah. Lalu bagaimana denganmu? Maksudku, aku nggak masalah kamu tinggal di sini, hanya ... ada baiknya kamu menyelesaikan masalah itu, Lea. Kamu nggak bisa terus-menerus  bersembunyi, kan?" Risa mengambil sepotong lapis legit di piring saji, lalu memasukkan ke mulutnya.

"Aku tahu, Risa. Hanya aku belum tahu apa yang harus kulakukan." Ia meraih cangkir teh lalu menyesap perlahan.

"Lea, jawab jujur! Kalau pria yang kamu ceritakan itu bersikukuh untuk bersamamu bagaimana?"

Allea diam, matanya memandang lurus ke hamparan teh yang menghijau.

"Kamu mencintainya, kan?" sambung Risa lagi.

"Risa, kalau kamu dihadapkan dengan masalah ini, apa yang kamu akan lakukan?"

Sambil tersenyum ibu dari Kiki itu berkata, "Aku akan tanya hatiku. Bagaimanapun kita berhak bahagia, Lea."

"Aku nggak mau egois, Risa."

"Bukan egois, Lea. Jika itu dikatakan egois lalu bagaimana dengan perasaan pria itu? Bagaimana dengan perasaan Alena?" balas Risa. "Lagipula akan sangat menyakitkan jika kalian tidak bersatu sementara kalian saling cinta!"

"Bagaimana dengan Alisha? Dia adikku!"

"Aku tahu, tapi aku juga tahu bahwa rasa itu tak bisa dipaksa!"

Sejenak mereka saling diam. Embus angin pagi beraroma segar benar-benar membuat siapa pun nyaman berada di tempat itu.

"Ayolah, Allea. Hadapi dan selesaikan masalah ini. Sudah saatnya kamu bahagia. Aku pikir, pria itu baik dan punya niat tulus."

Perempuan berpiyama hijau itu menarik napas dalam-dalam. Bayangan amarah dan kecewa Alisha membayang kembali. Dia paham bagaimana rasanya menjadi Alisha. Dia juga bisa mengerti kemarahan adiknya itu. Namun, dia juga sepenuhnya mengerti bagaimana jika ia tetap bertahan atau bahkan menyerah menuruti permintaan sang ayah untuk menerima Surya.

"Telepon kamu tuh!" Risa mengedikkan dagunya ke arah ponsel Allea yang bergetar. Perempuan itu melihat sekilas lalu mengabaikan.

"Siapa yang telepon?" tanyanya menatap penuh tanya.

"Bukan siapa-siapa. Aku nggak tahu!" Allea bangkit meninggalkan Risa dan teleponnya.

"Kamu mau ke mana, Lea?"

"Sepertinya semangkuk mie instan pedas dengan telur setengah matang dan sawi bisa menaikkan moodku! Kamu mau?" jawabnya menoleh sebentar lalu meninggalkan Risa.

Perempuan berambut ikal itu menarik napas dalam-dalam.

"Bikinin aku, Lea!" teriaknya seraya meraih ponsel milik Allea yang terus bergetar lalu membawanya masuk.

"Lea, ponsel kamu nih! Sepertinya penting, terima deh!" Risa duduk di ruang makan mengamati Allea yang sibuk di dapur tak jauh dari tempatnya.

"Aku nggak tahu siapa yang telepon, dan aku benar-benar nggak mau tahu. Lagian aku juga nggak kenal namanya!" Suara bungkus mie instan yang dibuka menciptakan gemerisik. Alllea terlihat mulai memasukkan mie ke panci.

"Kamu mau cabe berapa, Risa?" tanyanya mengabaikan tatapan mata kesal temannya.

"Terserah kamu! Yang penting pedas!"

Seolah tak lelah, ponsel itu terus bergetar, tapi kali ini mengajak pemiliknya video call. Tak memedulikan penolakan Allea, ia mengambil alih menerima panggilan video itu.

Seorang pria dengan cambang tipis di rahangnya tengah menatap penuh tanya. Sementara Risa membulatkan matanya terkejut.

"Dengan Allea bisa?" tanyanya membuat perempuan berkacamata itu tersadar.

Allea yang terlihat masih sibuk sempat berhenti saat mendengar suara dari telepon selulernya. Namun, tak lama ia kembali meneruskan pekerjaannya. Sementara Risa yang tidak mengetahui siapa pria yang tengah berhadapan dengannya itu bangkit mendekati Allea.

"Please, Allea! Terima!" titahnya.

"Aku nggak tahu siapa dia, tapi aku rasa dia orang baik! Apa dia Hendra?" Risa menatap lekat perempuan yang masih sibuk dengan sayuran.

"Dari mana dia tahu nomor telepon aku?" balasnya tak acuh.

"Aku nggak tahu dia dapat dari manaa, yang aku tahu dia ingin bicara denganmu!" Suara Risa tegas kali ini seraya menyodorkan ponsel pada Allea.

"Aku yang terusin ini masakan!" Ia memberi isyarat agar Allea menyingkir. Ibu dari Alena itu mengembuskan napas panjang meski ragu ia menerima telepon selulernya kemudian menjauh.

Menarik napas dalam-dalam Allea menatap ponselnya.

"Allea kamu di mana? Kamu kenapa pergi, kenapa kamu mengganti nomor ponsel dan merahasiakannya dariku? Please jangan bikin aku bingung! Alena mana?" cecarnya.

Allea hanya tersenyum.

"Aku baik-baik saja. Kamu nggak perlu seperti itu."

"Dengar, aku lega kamu baik-baik saja. Pertanyaan kamu itu aneh! Kenapa kamu melarang aku seperti ini?"

Allea membuang pandangannya ke arah lain kemudian berkata, "Aku nggak suka video call! Aku matikan!"

"Tunggu! Oke aku telepon. Tolong terima!"

Allea menekan tombol merah, lalu mengaktifkan mode pesawat dan meletakkan ponselnya begitu saja di atas meja. Matanya terlihat sedikit berkabut. Ia mendengar celoteh Alena yang masih asyik bermain di ruang tengah. Perempuan itu tak ingin Alena tahu soal Mahendra menelepon dirinya.

Aroma mie instan menyapa penciuman perempuan itu. Tak ingin berlama-lama berpikir soal pria itu, segera ia mengayun langkah menuju dapur.

***

Hendra terlihat sibuk dengan kedua rekannya. Sesekali ia mengangguk-angguk mendengar ucapan penjelasan Soni.

"Kamu yakin itu tempatnya?" Hendra menatap Soni. Pria berkaus hitam itu mengangguk kemudian menyesap kopi di depannya.

"Yakin banget! Aku punya sepupu yang tinggal di sana."

Hendra tersenyum lebar, ia tentu saja bukan pria bodoh. Tentu saja Allea tak mengetahui bahwa Soni rekannya bisa melacak keberadaan perempuan itu hanya dengan pembicaraan mereka kemarin.

"Jadi kamu mau ke sana kapan?" Bram bersandar di punggung kursi menikmati udara sore.

Hendra tersenyum tipis kali ini. Bayangan wajah kesal Allea melintas di pikirannya. Ia tahu alasan perempuan itu menolak panggilan darinya. Dia juga paham bagaimana perasaan Allea pada orang tua juga adiknya.

Namun, bagi Mahendra ada yang perlu dipertahankan, yaitu rasa cintanya pada perempuan mandiri itu. Cukup sudah dia menjadi pecundang saat tahu kesalahan kedua orang tuanya saat itu dan dia gak bisa berbuat apa-apa.

Kelebat kenang saat mereka berciuman membuat Mahendra mengusap kasar wajahnya. Gesture pria itu tak lepas dari pengamatan Bram. Pria itu tertawa kecil melihat rekannya yang telah benar-benar jatuh cinta.

"Senyum-senyum sendiri! Woi, jangan keterusan, nanti disangka gila," selorohnya tertawa.

"Aku besok ke tempat itu! Kalian urus kesepakatan dengan klien soal pembangunan kafe buku itu ya! Aku ...."

"Mengurus calon ibu dari anak-anakku ... begitu bukan?" ledek Soni seraya menampakkan deretan giginya.

Mendengar kelakar kedua rekannya, Mahendra ikut tertawa. Kembali kelebat senyum malu-malu Allea menari di pelupuk. Pun demikian dengan suara manja Alena yang memanggilnya.

"Lalu Alisha? Orang tuanya juga orang tuamu gimana? Udah kelar?" Bram menatapnya intens.

"Harus kelar dong! Paling tidak mereka tahu apa yang sebenarnya dan seharusnya terjadi," jawabnya meraih cappucinonya yang tersisa separuh.

"Sebenarnya yang harus dikukuhkan adalah Allea," sambungnya lagi.

"Allea? Maksudnya?" Soni ikut menimpali.

"Karena hanya dia yang bisa membuat kami bersatu, karena ... baik ayah atau ibunya sudah bisa mengerti dan paham hal ini. Sementara Alisha, aku harap dia pelan-pelan bisa menerima," jelas Mahendra.

"Jadi kami bisa bantu apa?" tanya Bram hampir bersamaan dengan Soni.

Pria berhidung mancung itu tersenyum. Sambil menggeleng ia berkata, "Tidak sekarang. Ada saatnya aku meminta bantuan kalian. Seperti ...."

"Seperti apa?"

"Mencarikan lokasi bulan madu yang keren buat aku dan dia," selorohnya disambut tawa.

"Bukan itu, kalau itu aku bisa cari sendiri," ralatnya kemudian. "Alisha benar-benar mengira aku mendekati Allea karena menginginkan lahan miliknya. Aku harap kalian bisa meyakinkan bahwa itu tidak benar." Wajah Mahendra terlihat serius.

"Beres soal itu! Serahkan ke kami."

***

Yuhuuuuuu ...

Si Abang pede yaakk ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top