Destiny of a Homunculus

Untuk pertama kalinya langit Mondstadt yang selalu cerah menjadi merah keabuan. Angin mengamuk dengan kasar, menerbangkan benda-benda kecil seperti kertas dan papan kayu Good Hunter milik Sara. Dibawah komando Jean selaku pemimpin Knights of Favonious, para penduduk negeri kebebasan itu mengungsi dengan teratur.

Disaat orang-orang pergi menjauhi Mondstadt sejauh-jauhnya, pengembara berambut pendek itu justru berlari menuju sumber badai. Tak sempat bagi Jean untuk mencegah gadis tersebut, bahkan Paimon tidak lagi mampu terbang melawan arus angin yang kuat.

Kaki mungil itu dengan tegar melangkah menuju alun-alun Kota. Mencari sosok orang yang menciptakan keributan tersebut.

Rambut Pirangnya seakan bersinar ditengah-tengah pusaran angin yang ada di alun-alun. Lumine ingin sekali memeluk punggung yang kesepian itu, mendekapnya dengan erat dan berbisik di telinganya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Jadi tidak peduli seberapa kuat angin mencoba membawanya menjauh, langkah kakinya hanya tertuju pada pemuda itu.


Tentu ada perasaan tak nyaman yang di rasakan Albedo. Suara-suara yang memerintahnya untuk menghancurkan terus bergema di kepala hingga mencapai hatinya. Padahal bukan ini yang Albedo inginkan, bagaimana mungkin dia tega menghancurkan tempat yang telah membuatnya merasa menjadi manusia yang sebenarnya?

Albedo sudah berusaha melawan hasrat tersebut selama beberapa tahun ini demi orang yang dia cintai, tapi kali ini terlalu parah. Perlahan-lahan kesadarannya dilahap oleh kegelapan, seperti matahari yang tenggelam di ufuk barat.

Ketakutan terbesarnya adalah masternya, bukan secara harfiah, tapi setelah menuntaskan tugas terakhir yang diberi oleh masternya, Albedo sadar dirinya tidak jauh berbeda dari sosok yang telah menciptakannya.


Homunculus, istilah yang mendefinisikan manusia buatan. Pernahkan kau terpikir apa yang akan terjadi jika mahluk yang terlahir secara buatan hidup di tengah-tengah kehidupan alam semesta? Apa alam semesta akan menerima kehidupan non-alami itu? Atau justru sebaliknya?

Jawaban yang kau cari telah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Malapetaka di Teyvat yang disebabkan oleh ilmuan hebat dari Khaenri'ah rupanya seorang kepintaran buatan. Dia bukanlah manusia tetapi dia mencoba menjadi manusia, rasa ambisius dalam ilmu pengetahuan membuatnya kehilangan kendali dan menciptakan pasukan yang dapat menghancurkan setengah Teyvat. Ilmuan itu terhipnotis oleh dunia yang menyimpan banyak rahasia hingga membawanya pada kehancuran dahsyat.

Manusia tercipta dari tanah. Tahap selajutnya setelah tanah adalah kapur. Dan kapur adalah Albedo. Dengan kata lain, Albedo adalah keberadaan setelah manusia. Dia tidaklah jauh berbeda dari ilmuan Khaenri'ah tersebut.

Alam semesta menolaknya. Hukum alam membuatnya merasakan penderitaan ini. Ini adalah takdir dari seorang Pangeran Kapur.


"Albedo!"

Pemuda pirang itu terkesiap, seakan kesadarannya ditarik kembali. Suara yang paling dia rindukan sekaligus paling terdengar menyakitkan berteriak memanggil namanya. Bahkan berat rasanya untuk berpaling dan memandang wajah cantiknya yang mungil.

"Albedo! Semuanya akan baik-baik saja! Kita... kita bisa cari solusinya bersama! Jadi kumohon...... kumohon... berhentilah."

Ini tidak semudah itu. Semua ini terlalu kompleks untuk dikatakan demikian. Albedo tidak punya pilihan lain selain mendengarkan dan mengikuti jalan takdirnya, dia tidak mungkin mengorbankan orang yang dia cintai.

Hati Lumine seakan remuk ketika melihat manik teal indah milik Albedo kini nampak seperti berlian ruby. Kehangatan yang hanya dimiliki mata milik Albedo itu berubah menjadi penuh dengan penderitaan dan keraguan. Air mata yang telah terbendung sejak lama pun meluap ketika Albedo menoleh ke arah Lumine.

"Lumine..."

"Albedo, hentikan ini! Pasti... pasti ada jalan keluar yang lebih baik!"


Matanya yang besar dan indah itu selalu memancarkan ambisi yang membara, itu satu-satunya hal yang bisa mengimbangi dirinya dengan Albedo yang penuh gairah dan hasrat keingintahuan. Rambut pendeknya yang lembut membuat Albedo senang mengelus kepalanya dan sekedar mengacak-acak rambutnya. Tubuhnya yang mungil sangat pas untuk di dekap oleh Albedo yang notabene bertubuh lebih kecil dibandingkan pria lain sebayanya. Gadis itu tidak banyak bicara tapi dia orang yang baik dan ramah, dia satu-satunya orang yang membuat rasa penasaran Albedo semakin bergejolak. Albedo ingin tahu lebih banyak tentang gadis itu. Dia ingin tahu segalanya, tentang saudaranya yang hilang, dari mana asalnya, mengapa dirinya bisa menggunakan kekuatan elemental tanpa vision, caranya berbicara dengan Paimon, senyumannya, tawanya, semuanya.

Sesuatu membakar hati Albedo sampai-sampai hasrat ingin tahu berubah menjadi hasrat ingin memiliki.

Untuk alasan yang bahkan Albedo sendiri tidak mengerti, menghabiskan waktu dengan Lumine adalah satu-satunya waktu yang terasa menenangkan dibandingkan saat dirinya menghabiskan waktu dengan orang lain. Ketika bersosialisasi dengan orang-orang membuat Albedo merasa lelah, hanya bersama Lumine lah dia merasa seakan energinya terisi kembali.

Albedo bingung. Di buku-buku yang pernah dia baca, ini adalah sesuatu yang oleh para manusia sebut sebagai cinta, tapi Albedo sendiri belum mengerti apa itu cinta. Perasaan manusia adalah satu-satunya yang paling sulit Albedo mengerti. Tapi jika bukan cinta, perasaan macam apa ini?

Hari-hari yang berlalu tanpa mengakui perasaannya sendiri membuat Albedo kehilangan kendali diri. Itu mengganggunya. Berkali-kali seorang Chief Alchemist yang jarang membuat kesalahan menjadi lalai dalam pekerjaannya. Dari situlah pengakuan cintanya dimulai.


"Tuan Albedo, aku tidak menyangka kau bisa memiliki perasaan terhadapku. Aku—"

"Tidak apa-apa. Tidak perlu menjawab. Yang aku lakukan hanya mencoba meringankan sedikit beban pikiranku. Kurasa dengan mengakuinya seperti ini aku akan sedikit lebih tenang dan bisa kembali fokus."

Meski berkata begitu untuk melupakan perasaan yang membuatnya kehilangan fokus, ada sedikit ketidakrelaan untuk melepas perasaannya begitu saja. Tapi siapalah Albedo yang selalu kesulitan memahami manusia, dia tidak berharap banyak pada Lumine dan berusaha untuk melanjutkan hidupnya seperti semula.

"Tunggu Tuan Albedo!"

Albedo menghentikan langkahnya dan berbalik. "Iya?"

Wajah mungil menatap lurus ke mata Albedo, semburat merah tipis di pipi membuatnya nampak jauh lebih manis dari biasanya. "Bagaimana jika aku juga merasa sama sepertimu?"

"Apa?" Itulah yang dikatakan Albedo saat pertama kali mendengarnya.

"Maksudku, aku juga memiliki perasaan terhadapmu, sebagai seorang pria." Kini Lumine tertunduk.

Albedo mematung. Tentu saja dirinya sudah memprediksi skenario semacam ini dapat terjadi, dia bahkan sudah menentukan harus bersikap seperti apa jika skenarionya benar-benar terjadi, tapi pada kenyataannya dia merasa senang. Sangat senang sampai-sampai seluruh kemampuan berpikirnya seolah memakan waktu jauh lebih lama untuk mencerna situasi. Tapi dari sanalah kisah mereka dimulai. Hari dimana Albedo bisa melihat senyuman manis Lumine.


Dibandingkan dengan ekspresi penuh cemas Lumine saat ini, Oh betapa sangat inginnya Albedo untuk bisa mengelus kepala gadis itu, berkata semuanya terkendali dan tidak perlu ada yang di khawatirkan. Albedo sangat ingin menghilangkan kening berkerut serta air mata yang terjatuh dan kegelisahan yang nampak jelas di wajah Lumine. Tapi kenyataannya, dia tidak melakukan apa-apa. Hanya berdiri di tempatnya, menatap orang yang disayanginya ikut tersakiti, berpasrah pada takdir. Tapi...

Takdir. Apa itu sebenarnya takdir?

Konsep dari takdir itu sendiri sebenarnya terlalu abstrak. Bagaimana bisa orang dapat menentukan yang mana takdirnya jika dia sendiri tidak tahu seperti apa takdir yang dia miliki? Siapa yang menentukan bahwa ini adalah satu-satunya jalan yang bisa Albedo pilih untuk melindungi Lumine?

Tangisan Lumine pecah ketika Albedo termenung di tengah-tengah pusaran angin dengan mata merah yang terlihat seperti setengah sadar.

Sebenarnya ada cara untuk menghentikan semua ini.


Pada akhirnya Albedo tidak tega memberikan tanggung jawab berat pada Lumine untuk menghentikan dirinya jika mengancam keamanan Mondstadt. Cukup dia saja yang menderita, dia tidak ingin Lumine ikut menderita. Oleh sebab itu, ketimbang memberikan pedangnya pada Lumine, Albedo memilih untuk menggunakan pedangnya sendiri.

Lumine yang tengah berjuang berjalan melawan arus angin dikejutkan oleh pemandangan di depannya. Langkahnya terhenti dengan mata yang terbelalak tak percaya.

"ALBEDO!!"

Jeritannya terdengar penuh putus asa. Sekuat tenaga gadis itu melawan arus angin untuk mendekati Albedo, menghentikan apapun yang ingin dia lakukan sambil meneteskan air mata.

*JLEB*

Ketika pedang itu berhasil menembus perut sang pemuda, seketika angin kencang di Monsdtadt terhenti. Tubuh yang kehabisan tenaga itu terjatuh di tengah alun-alun kota. Lumine sekali lagi berteriak memanggil nama sang pemuda sambil berlari menghampiri, mendekap Albedo yang terbaring lemah di tanah dengan darah yang bercucuran.

"Albedo, bertahanlah!"

"... Lumine..." pangil Albedo dengan suara lirih.

"Aku disini. Aku sudah kembali dari Liyue, jadi bertahanlah, kumohon." Dengan panik Lumine berusaha menyelamatkan Albedo yang terluka. Air mata yang menetes tepat di pipi Albedo membuat sang pemuda ikut merasa sedih.

"Maafkan aku... melakukan ini tanpa membicarakannya denganmu. Tapi aku tidak punya pilihan lain." Tangan dengan jemari lentik yang terampil membuat alkimia itu mengusap pelan air mata Lumine, membuat Lumine terdiam. "Kau dalam bahaya. Aku tidak bisa membiarkanmu terluka. Aku pikir diriku tidak punya pilihan lain."

Lumine tak bisa berkata apa-apa lagi. Tangis sesegukan membuatnya kesulitan berbicara, lagi pula satu-satunya yang dia inginkan hanyalah hidup damai bersama orang-orang yang dicintainya.

"Master... dia bukanlah orang yang bisa aku bantah semudah itu. Dia yang menciptakanku, memberiku nama dan kehidupan, aku... bisa berada disini.... karena master. Aku bisa bertemu denganmu karena master. Jadi tidak ada yang bisa aku lakukan selain menuruti perintahnya, tapi tampaknya aku salah perhitungan."

Manik emas milik Lumine tak bisa berhenti menatap mata Albedo. Tangisannya pun tidak dapat terhenti. Mata Albedo yang merah berangsur-angsur kembali menunjukan warna teal yang indah.

"Tanah... yang menciptakan manusia. Tahap berikutnya setelah tanah... adalah kapur. Aku adalah kapur. Keberadaan yang tercipta setelah tanah. Itu sebabnya... dunia... tidak mengizinkan keberadaanku. Tapi aku berhasil mengalahkannya Lumine. Aku berhasil menghentikan mereka yang hendak menguasaiku."

Senyuman tipis di kalimat terakhir yang Albedo ucapkan membuat Lumine ikut tersenyum, ikut senang dengan pencapaian yang Albedo banggakan. Meski begitu, Lumine tahu apa yang akan terjadi setelahnya.

Kelopak mata sang pemuda perlahan terasa semakin berat, rasa sakit di perutnya pun perlahan hilang. "Aku berhasil Lumine. Ah... untuk pertama kalinya aku merasa semua energiku habis."

"Aku akan minta Barbara mengobatimu. Kau bilang menghabiskan waktu bersamaku bisa mengisi energimu bukan? Aku disini Albedo, jadi kumohon jangan—"

"Lumine," potong Albedo. "Energi yang terkuras kali ini terlalu banyak, kurasa aku perlu istirahat lebih lama dari biasanya."

"Tidak... Albedo..."

"Tenang saja. Aku selalu bersamamu," ucap Albedo. "Dari tanah lahirlah kapur," itu yang pernah masternya katakan. "Selama ada tanah, aku selalu bersamamu."

Menyakitkan melihat orang yang dia cintai menangis tersedu-sedu di hadapannya. Air mata Lumine membuatnya ikut merasa sedih, tapi Albedo tidak bisa mengakhirinya dengan kesedihan. Karena sebenarnya bertemu dengan Lumine adalah hal yang dia syukuri. Mengakhiri segalanya seperti ini lebih baik daripada dirinya mengancam keselamatan orang-orang lagi.

"Aku telah melihat banyak keindahan di dunia ini...."

"Tidak... tidak... Albedo, bertahanlah... kumohon..."

".... terima kasih telah menemaniku."

"Albedo.... kau bilang kau ingin bertemu kakakku bukan? Kumohon... bertahanlah..."

"Ah... benar, sampaikan salamku pada Aether."

"Kau harus bertemu langsung dengannya Albedo."

".... Lumine."

Tangan Albedo yang lembut menggenggam tangan Lumine, mencoba menenangkan gadis di hadapannya.

"Terima kasih."

"... Tidak..." Air mata menetes dari mata Lumine.

Albedo tersenyum lembut.


"Aku mencintaimu, Lumine."


Oh manik mata yang mengagumkan. Mata biru kehijauan yang penuh dengan rasa ingin tahu, bagaikan kristal amazonite yang bersih. Dari mata itulah sang pemilik telah melihat indahnya dunia yang penuh rahasia, melihat kehangatan orang-orang Mondstadt, melihat senyum ceria orang-orang yang dia sayangi, melihat wajah manis Lumine. Perlahan terkubur dalam gelapnya keabadian, kelopak matanya menutupi manik indah itu. Hati Lumine gemetar. Nafas terakhir dihembuskan ketika bibirnya melengkung tersenyum lembut, seakan kematiannya adalah sebuah berkah.

Bagaimana Albedo tidak bersyukur? Dia telah diciptakan oleh masternya di dunia ini, diberi kesempatan untuk menjelajahi misteri dan kehebatan dunia, ditakdirkan untuk bertemu Lumine dan menjadi manusia yang seutuhnya, serta diberi kesempatan untuk mengakhiri dalam pelukan hangat orang yang dicintainya. Albedo berterima kasih atas semua itu.

Ketika keheningan terasa sangat dahsyat, ketika mata itu tertutup sepenuhnya dan berhenti bernafas, saat itulah dunia Lumine terasa hancur. Suaranya memanggil nama sang pemuda berambut pirang di pangkuannya berulang kali terdengar begitu memilukan. Air matanya sudah bukan lagi menetes, kini mengalir deras berusaha menerima kenyataan yang pahit.

Isak tangis terdengar mengisi keheningan alun-alun kota. Paimon datang dengan penuh khawatir, bukan hanya Paimon yang terlihat cemas, Jean, Lisa, Kaeya, Diluc dan Venti juga disana, menyaksikan sang pengembara yang selalu terlihat ramah dan penuh senyum itu menangis di depan Albedo yang telah tak bernyawa. Menyedihkan, tapi hidup ini memang kejam.

Mondstadt telah kehilangan seorang teman hari ini, seorang Chief Alchemist yang jenius, seorang kakak yang penyayang serta sabar, dan seorang kekasih yang hangat.

Tidak ada yang bisa disalahkan dalam kejadian kali ini. Karena pada akhirnya, semua ini terjadi karena rentetan takdir yang tak bisa dihindari.


Di tengah keadaan duka tersebut, sebuah cahaya putih menyilaukan muncul dari arah Lumine dan jasad Albedo berada. Tidak ada yang tahu kekuatan macam apa dan dari mana ini, tapi Diluc dan Kaeya segera bersiaga memasang posisi melindungi kawan-kawannya. Hanya Venti yang dapat menebak dari mana kekuatan cahaya terbut berasal.


Tahukah kamu bahwa 7 warna pelangi berasal dari satu cahaya putih? Pembiasan yang terjadi pada cahaya menyebabkan warna-warna lain ada, itu artinya cahaya mengandung ketujuh warna pelangi. Itu sebabnya si kembar dapat menggunakan kekuatan elemental tanpa vision.


[Tamat]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top