C - 02

Burung-burung mulai saling bercuitan, menyambut mentari pagi.

Suara burung yang silih berganti, masuk ke indra pendengaran Mew.

Mew mulai membuka mata lalu melirik sekitar sambil menautkan alis dan bingung karena dirinya berada ditempat yang sangat aneh.

"Aku dimana?" Melirik sekitar lalu mengangkat tangannya yang terdapat bekas sayatan luka cukup banyak tersebar di mana-mana. Ingatannya sebelum menutup mata tiba-tiba terlintas begitu saja.
"Tunggu! Aku kan terakhir tertabrak truk. Tapi dimana aku sekarang? Tempat apa ini?" Mulai bergerak untuk duduk lalu menyenderkan punggungnya di dinding yang dingin. Melirik alas tidurnya.
"Bahkan kasurnya pun tidak empuk" Memijit bahunya yang pegal. Kasur yang baru saja Mew tiduri hanya beralaskan busa yang menipis, sama sekali tidak dapat membuat nyenyak siapapun yang tidur disana. Melirik sekeliling kamar, terlihat sangat kusam dan berdebu, lebih pantas disebut gudang daripada kamar.
"Uhukk,, uhukk"

.

CEEKKLLEEKK

.

Seorang wanita yang sangat cantik, memakai gaun mewah layaknya putri kerajaan dengan menggenggam sebuah buku di tangannya, masuk ke ruang tersebut, belum mengetahui bahwa Mew sudah sadar dan sedang melirik kearahnya dalam diam. *Wah,, cantiknya. Bidadari?* Menganga.

Melirik ke arah Mew dan langsung shock, membuat buku yang ia pegang terjatuh ke lantai. "MIUNIE?!!" Berlari kecil ke arah Mew yang masih menganga lebar.

"K--Kau,, siapa,,?"

"Hikkksss,,, kau tak mengenalku?? Hikks,, ini aku,,, Cinde" Mulai nangis.

Cinde sangat bersyukur bahwa Miunie, orang yang ia anggap adik sendiri, sudah sadar dari komanya selama 2 minggu ini.

Terkejut karena wanita itu tiba-tiba menangis didepannya. Mew reflek mengangkat tangan kanannya untuk mengusap halus rambut wanita tersebut. "Maaf. Siapa Miunie?"

Menangis dan tidak mendengar apa yang baru saja Mew tanyakan. "Hikksss,, kau tahu,, aku takut kau tak akan bangun lagi,, hikkss,, tolong jangan lakukan itu lagi. Aku akan bicara pada Ayahku untuk memberi hukuman pada kedua kakakku. Walau mereka kakak kandungku, perbuatan mereka padamu tidak bisa dimaafkan. Hiksss,," Mengepalkan tangannya.

Mew mendengarnya dalam diam. Ia bingung dengan apa yang terjadi saat ini. Bangun-bangun ia sudah ada di tempat aneh ini dan dihadapkan di situasi yang seperti ini. "Apa yang terjadi padaku?" Tanyanya.
"Dan apa yang kakakmu perbuat padaku sebelumnya?"

Menatap Mew dengan wajahnya yang sudah penuh air mata. "Kau yakin ingin mendengarnya?" Mew mengangguk lemah. Dalam hati, ia juga penasaran. "2 minggu yang lalu, kedua kakakku membawamu dengan paksa ke laut. Aku sudah berusaha mencegah agar kau tidak dibawa oleh mereka, tapi, mereka kekeuh. Jadilah kau dibawa oleh mereka dan,,, dan,,, hikkss,," Kembali histeris. "Pulang-pulang, kau sudah basah kuyup dan tak sadarkan diri dengan memar di seluruh tubuh. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan padamu saat itu" Terdiam lalu mengusap air matanya.
"Dan malam hari, kau bangun dalam ketakutan. Mengambil pisau dan menyilet tanganmu. Di saat itu, kau hanya mengucapkan mati, mati, dan mati. Hingga pada akhirnya kau menyilet nadimu sendiri dan berakhir koma" Melirik Mew yang menatapnya dalam diam.
"Apa yang terjadi? Apa yang mereka lakukan padamu saat di laut? Apa kau di aniaya oleh mereka? Apa kau mengingatnya?" Tanyanya bertubi-tubi.

Entah kenapa, Mew dapat merasakan rasa ketakutan yang hebat dari dalam tubuhnya saat mendengar cerita dari Cinde. Air mata lolos begitu saja dari mata cantiknya. "Aku tidak ingat apapun" Hanya itu yang dapat ia katakan dari mulutnya.

Cinde mengangguk mengerti. "Kupikir, lebih baik kau tidak mengingatnya, Miunie. Hiks,, dan tolong, jangan menyayat nadimu lagi. Berjanjilah"

Mew merasa bersalah karena sudah membuat wanita cantik ini khawatir pada dirinya. *Apa wanita ini menyukaiku? Kenapa kelihatannya khawatir sekali?* Tersenyum lemah.
"Hm,, aku tidak akan lakukan hal bodoh itu lagi. Aku janji" Cinde tersenyum mendengar penuturan Miunie. Ibu jari Mew mulai bergerak menghapus air mata Cinde di pipi.
"Boleh aku bertanya?"

"Silahkan"

"Siapa Miunie? Daritadi kau menyebut nama itu terus"

"Itu namamu" Menoel kening Mew dengan lembut.

"Hah?!" Terkejut.

"Kau bahkan tidak ingat dengan namamu?" Tanyanya.

Mew menggeleng lemah sebagai jawaban. "Lalu, apa hubungan aku denganmu?"

Tersenyum. "Kau adalah teman dekat yang sudah ku anggap sebagai adikku sendiri" Jelas Cinde.

Lemas. "Ah,, begitu" Cemberut. "Kupikir kita ini sepasang kekasih" Melirik arah lain.

"HAH?! APA?! HAHAHAHAHAHAHAHAHA!!" Tertawa, membuat Mew kembali terkejut.

"Kenapa tertawa?" Menaikkan sebelah alisnya.

"Kau ini lucu sekali, Miunie" Mencubit kedua pipi bakpao Mew dengan gemas dengan jarak wajah yang sangat dekat, membuat pipi salju Mew langsung memerah karena malu.

*Kalau saja aku dan dia sepasang kekasih, sudah ku cium dari tadi wanita ini. Ughh,, manis dan cantik dalam waktu yang bersamaan* Menahan hasratnya lalu melirik kamarnya lagi.
"Ehh, boleh aku bertanya lagi?"

"Silahkan"

"Ini,, kamarku?" Cinde mengangguk sebagai jawaban.

"Ini kamarmu sejak kau tinggal di Kerajaanku"

"HAH?! KERAJAAN?!" Matanya melebar sempurna dan dibalas anggukkan oleh Cinde.
*Pantas saja pakaiannya seperti putri kerajaan* Melirik Cinde dari atas ke bawah. Mulai membatasi diri karena wanita yang ia ajak bicara saat ini adalah seorang Putri kerajaan. Mew tak mau salah ambil langkah dan berakhir di hukum atau apalah itu.
"Terima hormat saya, Tuan Putri" Membungkuk hormat.

"Kau tidak perlu formal seperti ini, Miunie. Aku tidak suka" Membenarkan posisi Mew untuk tidak membungkuk hormat.

"Apa yang Tuan Putri lakukan di kamar hamba yang kotor ini?" Tanya Mew dengan sopan.

"Hei,, sudah kubilang, jangan formal padaku seperti ini, Miunie" Ujarnya sedikit kesal, membuat Miunie menunduk takut. Mengangkat wajah Miunie untuk menatap matanya.
"Kau sudah ku anggap adik, jadi, jangan terlalu formal padaku, ya" Tersenyum, membuat jantung Mew berdegup kencang.
"Aku kemari untuk menjengukmu seperti biasa. Mengawasi tidurmu sambil membaca buku. Aku takut kedua kakakku akan kemari untuk melukaimu lagi"

*Tak hanya wajahnya yang cantik, hatinya pun baik* Tanpa sadar tersenyum. "Terima Kasih" Cinde ikut tersenyum dan mengangguk.

.

BBBRAAKK

.

Pintu kamar Mew didobrak kuat, membuat Cinde dan Mew langsung melirik ke arah suara, terlihat 2 orang pria berbadan tegap dan kekar, berdiri di ambang pintu dengan tangan dilipat didepan dada.

Berdecak kesal. "Apa yang kalian lakukan disini?" Berdiri, membelakangi Mew bermaksud melindunginya.

Menatap remeh adiknya. "Apa yang kau lakukan, Cinde?" Menyeringai.
"Kami hanya ingin beri tahu bahwa Ibu mencarimu daritadi" Matanya melirik Mew yang terlihat dibalik gaun adiknya.
"Oh,, jalang kita sudah sadar rupanya, Kao" Ujarnya dengan enteng tanpa melepas tatapan matanya pada Mew.

"Benarkah?" Menjilat bawah bibirnya. Matanya melirik Mew dari kepala sampai kaki, seolah menelanjanginya.
"Sudah 2 minggu ya. 'Milikku' sudah rindu dengan 'sarang' nya"

"Apa yang kalian katakan, hah? Pergi dari sini dan jangan ganggu Miunie!!!" Cinde tak mengerti apa yang dikatakan oleh kedua kakaknya itu, tapi ia yakin bukan hal yang baik.

Di sisi lain, tubuh Mew mematung. Mew tidak bisa menggerakkannya sama sekali sejak salah satu dari kedua pria itu mengeluarkan suaranya. Entah sejak kapan, tubuh Mew juga sudah gemetar hebat. Keringat dingin bermunculan dan lidahnya tidak bisa digerakkan. Mew sudah berusaha mencoba menggerakkannya, tapi gagal.

*Apa - apaan ini? Kenapa tidak bisa bergerak sama sekali? Bahkan untuk bersuara saja sangat sulit. Apa ini ada hubungannya dengan kedua pria itu?* Tanpa sadar menatap kedua pria itu tajam secara bergantian.

"KENAPA DIAM? KUBILANG PERGI!!!!' Teriak Cinde pada kedua kakaknya.

Berdecak kesal sambil menyongkel kotoran telinganya dengan kelingking. "Sampai kapan kau melindunginya? Ingat ini, Cinde. Dia hanya budak yang harus melayani Tuannya disini"

"CUKUP!! DIA BUKAN BUDAK DAN KALIAN TIDAK BOLEH MENYENTUHNYA LAGI ATAU KALIAN AKAN BERURUSAN DENGAN AYAH!!" Ancamnya.

"Cih. Mainannya lapor orang tua. Payah. Ayo pergi, Drake" Berjalan menghampiri Drake dan berbisik. "Kita kemari saat tidak ada Cinde disini"

Menyeringai senang lalu melirik Kao. "Ide bagus" Menepuk pundak Kao dengan semangat dan berlalu, membuat Cinde mengernyit heran.

"Tumben mereka mendengarkanku dan pergi begitu saja?" Melirik kebelakang, mendapati Mew mematung. Berlutut.
"Miunie?" Menepuk bahu. Saat mendapati Miunie sedang menahan nafasnya, membuat Cinde panik bukan main.
"MIUNIE?! MIUNIE,, HEII,, BERNAFASLAH" Terpaksa menepuk pipi Mew sedikit kuat untuk menyadarkan nya.

"Ahh,, hahh,, hahh,, hikkkssss,, hikkkkkssss,,,," Menangis histeris.

"Heii,, kamu kenapa, Miunie?! Katakan padaku!" Bingung.

*Sial. Kenapa tubuh ini cengeng sekali. Aku jadi hilang muka didepan wanita cantik ini, brengsek* Terus menangis.
"Aku,, hikkss,, aku,, aku,,," Mew bingung ingin mengatakan apa pada Cinde.

Memeluk Mew dengan erat. "Jangan nangis. Ada aku yang melindungimu"

Tak mau kehilangan kesempatan, Mew membalas pelukan Cinde erat-erat. *Wanginya. Kulitnya pun halus dan lembut. Beruntung sekali aku bisa memeluknya seperti ini* Sedikit tersenyum di ceruk leher Cinde. Sementara Cinde, terus mengusap belakang kepala Mew.

Elusan lembut Cinde, membuat Mew perlahan mengantuk dan terlelap. Mendengar nafas teratur dari Miunie. "Dia tidur?" Mengintip sedikit dan benar saja, Mew tidur pulas di bahunya. Tersenyum lalu menidurkan Mew dengan pelan agar tidak membangunkannya. Menyelimutinya lalu mengusap keningnya.
"Aku terus berusaha untuk membebaskanmu dari kakak-kakakku. Bersabarlah, Miunie" Beranjak berdiri dan keluar dari kamar.

¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶

"Dia sudah pergi" Ucap seseorang yang tengah mengintip di balik tembok.

Menepuk bahu saudara kembarnya dengan semangat. "Saatnya bersenang-senang" Menyeringai.


To Be Continue,,,,

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top