22. Cat!
Gue senang melihat Keira sudah kembali jadi orang yang gue kenal, balik ke orang yang bikin gue jatuh hati sampai enggan bangun lagi. Jago banget emang ini cewek bikin gue jatuh cinta berkali-kali.
Masih ada sisa sehari libur, kami berdua sudah pulang, nikmatin waktu melepas lelah (tapi puas) sepulang jalan-jalan. Mantep emang.
"Aku mau cari kerja lagi, boleh?"
"Boleh, daripada kamu bosen di rumah."
"Makasih ya sayang, bener-bener udah mau support aku." Ucap Kei untuk entah keberapa kali.
"Hehehehe udah ah, kan sebagai pasangan emang harus begitu tau sayaang!"
"Nanti bilang ke Mama kamu gimana?" Tanyanya khawatir.
"Kita jelasin dikit aja kalo emang ada masalah, Mama gak perlu tahu detail, tenang aja."
"Aku jadi takut kalau Mama kamu gak suka sama aku, atau penilaian keluarga kamu ke aku beda."
"Semoga sih mereka gak gitu, dan aku yakin mereka gak akan seperti itu."
"Kalo kamu ngomong, aku ikutan ya?"
"Siapp!"
Gue senang seperti ini. Membahas segalanya berdua. Bukannya menyingkat obrolan dengan kata "terserah kamu aja" karena gue percaya, komunikasi, saling bertukar pendapat itu termasuk bonding dalam menjalin hubungan, gak peduli udah sedeket apa kita sama pasangan. Yha kan??
Bijak bet gue. Kaya Mario Teguh, hehehe.
*****
Pagi ini, gue sudah berangkat kerja lagi. Sudah banyak tumpukan kerjaan yang menuntut gue untuk menjamah mereka. Satu per satu, tentu saja, bisa gila gue ngerjain semua ini sekaligus.
"Vin? Udah masuk lu?" Tanya Ago, rekan gue, posisi kami di kantor ini sama.
"Yeaah, aman lu? Kerjaan gue numpuk banget."
"Hahaha itu yang bikin gue males cuti, udahnya kudu kejar setoran euy."
"Ya kan gue mah istri sakit, bukan emang mau cuti." Gue menegaskan alasan gue, alasan palsu sih sebenernya.
"Oh iyaa bener! Dah ah, gue mau bikin kopi dulu. Ngopi gak lu?"
"Nanti nyusul!"
"Sippp, duluan yaak!"
"Yooo!"
Gue membalik tumpukan berkas ini, supaya mudah mengerjakannya dari yang paling bawah, mengurai satu-satu pekerjaan biar gue bisa kerja sistematis lagi. Gak kebut-kebutan gini.
***
Sebelum jam pulang kantor, gue tiba-tiba dipanggil sama bagian HRD, gak ngerti urusan apa, mungkin karena cuti kemarin kali ya?
Gue sudah duduk di seberang kursi Pak Otis, kami berhadapan, hanya terpisah mejanya.
"Vino, saya mau tanya."
"Iya pak Otis, silahkan."
"Surat cuti yang kemarin itu kamu palsukan?"
Gue diam, tidak langsung menjawab, gue tau sih gue emang udah bermasalah banget sama absen.
"Saya telefon rumah sakitnya, istri kamu memang dirawat, tapi gak selama yang tertulis di surat."
Mampus gue.
"Kamu sadar saya sudah kasih kamu 2 kali peringatan mengenai kehadiran?"
"Peringatan?" Gue mulai bersuara, gue gak pernah merasa dapat peringatan.
"Kamu belum cek kotak surat kamu?" Tanya Pak Otis.
Gue menggeleng, "Belum pak."
"Coba dicek ya, nanti pasti kamu nemu surat dari saya."
"Baik Pak, nanti saya cek dan rutin cek box-nya."
"Tapi maaf, Vino. Sudah gak ada lain kali." Ucap Pak Otis terdengar menyesal.
Gue diam, sangat mengerti apa maksudnya.
"Tapi saya gak gitu aja pecat kamu kok Vin, saya kasih kamu waktu ya seminggu untuk resign dan pamitan, jadi itu gak menghancurkan CV kamu juga kan."
Gue menelan ludah, mengangguk.
"Baik Pak, terima kasih." Ucap gue formal.
"Kamu tetap dapat pesangon kok, Vin."
"Terima kasih lagi Pak."
***
Gue gak langsung pulang ke rumah, tapi nemenin si bujang tukang galau: Putra.
"Mabok-mabokan aja terus yaa kita!"
"Elo itu sih, gue mah minum ginian juga kaga ngaruh!"
"Hehhe, bener!" Putra mulai kaya orang gila.
"Menurut lo, gue cerita gak sama Keira?"
"Ya cerita lah dongo! Dia kan istri lu, masa ia lo nutupin kalo lo dipecat? Entar mau bilang apa kalo lu gak bisa transfer duit jajan?"
"Iya sih, tapi gue ngeri itu jadi beban buat dia tau, Put. Apalagi kan dia baru sembuh."
"Udah sembuh kelez bukan baru sembuh, kan udah bisa jalan-jalan."
Putra nyinyir juga ya ternyata, kesel gue.
"Tapikan, Put--"
"Ah elaah, lo jadi mau cerita gak ke bini lo??"
Gue melirik sahabat gue ini, menghitung botol yang sudah ia habiskan. Pantes nyebelin, mabok ternyata.
"Pulang yuk!"
"Nginep tempat lo ya?"
"Iya udah ayok pulang!!" Gue membayar, kemudian memapah Putra yang nyawa dan otaknya sudah terbang sebagian.
***
Gue diminta untuk mengerjakan semua tugas gue sebelum mengajukan resign, tentu saja ini gue selesaikan secepat mungkin, biar gue gak ada beban. Dan... gue belum bilang Keira euy.
Asik mengerjakan tugas, ponsel gue bergetar, nama Keira muncul di layar.
"Hallo sayaang?" Gue langsung menyapanya.
"Hallo, lagi apa kamu?"
"Lagi berendem nih hehehe!"
"Kerja ya?"
"Iya dongss."
"Aku ada kabar baik."
"Kabar baik apa?"
"Aku ada panggilan interview, tapi di Jakarta."
"Gak mau nyari yang di Bogor aja?"
"Yeee lokasi kerjanya Bogor, pusatnya di sana, jadi interviewnya di sana, penempatan mah di Bogor."
"Ohhh!"
"Aku otw rumah Mama kamu ya, tadi telefon suruh main."
"Eh? Naik apa sayaang?"
"Ojol laah, naik apa lagi."
"Yoweis hati-hati yaa!"
"Siaap, byeee!"
"Aku pulang kerja ke rumah Mama, tungguin yaak?!"
"Iyakk, dah yaa.. abangnya dateng."
"Kirim detail drivernya! Was kalo engga!"
Sambungan terputus, tapi detik berikutnya muncul screencap detail driver yang membawa istri gue ke rumah Mama.
**
Bukannya cerita sama Kei, gue malah cerita sama Mama. Bukan berarti gue gak nganggep Kei, gue kaya pengen jadi 'anak' dulu untuk sesaat, mengadu pada Mama.
"Bilang atuh A! Jangan disimpen, da Keira mah kayanya ngerti."
"Gak enak bilangnya."
"Pasti gitu, apalagi kan kalian baru kapan hayo nikah? Belajar komunikasiin semuanya yah?"
Gue mengangguk. Mungkin nanti malam, pas sampe rumah, sebelum tidur, gue akan cerita ke Keira semuanya.
****
"Tandanya kamu disuruh rehat dulu itu." Ucapnya lembut.
"Kamu gak marah aku coming soon jadi pengangguran?"
"Vino... sayang! Masa iya aku marah? Pertama, gara-gara aku absen kamu bermasalah. Terus, kamu udah sebaik ini sama aku, masa ginian aja aku ngambek. Lagian, kamu bukan cowok pemales kok, dari dulu aku tau kamu, kamu sama kaya temen-temen yang lainnya, selalu kerja keras untuk hidup yang lebih baik kan?"
"Makasi Kei udah mau ngerti." Gue mendekat, memeluknya.
"Kamu selama ini udah kerja buat aku, berkorban apapun buat aku, sekarang giliran aku."
Gue menggeleng kecil.
"Tenang Vin, kepala keluarganya tetep kamu kok!"
Gue nyengir. Bahagia memang sesederhana diterima dengan baik oleh orang yang kita sayang, ya.
*****
TBC
Thanks for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top