One-shot #Tenang
Tokoh yang terlibat: Lust, Chastity
Genre: Fluff, Angst
TW/Notes: Ada sedikit adegan yang berhubungan dengan Lust demi penyesuaian karakter. Mohon kebijakan pembaca. Chastity perempuan di sini. Bukan fic romantis, tapi semua tetap bergantung pada imajinasi pembaca. Karena Emo kepepet jadwal padat dan nggak bisa nulis apapun buat Valentine, lebih baik Emo lanjutin ini. Anggap saja special chapter Valentine, hehe. Udah berapa minggu melewati Valentine padahal. :"V
.
.
.
.
.
'Huh, dasar si Kakak, bilang aja mau gayor sama Kak Kindness. Pake alasan segala. Duh, gemes deh!'
Matahari masih menyapa dari Barat, menyinari tempat kos sang Hawa Nafsu dengan cahaya kemerahan. Burung—burung kecil berkicau dengan gembira sementara Lust menggerutu sendiri.
Singkat cerita, Lust ingin mengunjungi kakaknya di rumah Kindness bersama si bocah singa itu begitu shift—nya selesai. Lust sudah semangat bekerja, menebar pesona hingga RPC kehabisan barang baku saking lakunya. Konon, kalau suatu pekerjaan dilakukan dengan senang hati, maka akan cepat selesai.
Namun, begitu sampai di rumah Kindness, Envy malah tidak ingin bertemu dengannya. Envy sangat sibuk sehingga tidak bisa meluangkan waktunya untuk adiknya. Begitu juga dengan Kindness. Ya, setidaknya itulah yang dikatakan Rion. Lust lalu bersikeras agar mengunjungi mereka esok harinya. Tetapi Rion tetap membantah dengan alasan yang sama. Akhirnya, Lust pun pulang dengan kesal.
Kelinci itu pun meraba—raba saku celananya, mengambil kunci kamar kosnya. 'Mending mandi dulu, ah. Bete!' batin Lust sambil membuka kunci kamarnya. Hal pertama yang dilakukannya begitu memasuki kamar ialah melempar sepatunya ke arah yang tidak ditentukan, menyambar handuk di atas kasurnya lalu beranjak ke kamar mandi.
Lust membuka pakaiannya dengan cepat di depan cermin kamar mandi, ingin segera menatapi lekukan tubuhnya sendiri yang menggoda. Begitu ia selesai melempar pakaian dalamnya ke lantai, ia mendapatkan bayangan menyenangkan tersebut. Sambil menggigit bagian bawah bibirnya, pandangannya perlahan—lahan menelusuri dadanya sampai ke pinggulnya.
Lust sepenuhnya menyadari bahwa untuk saat ini, berhubungan intim adalah hal yang sulit untuk dijangkau. Akhirnya, alih—alih di depan cermin, Sang Hawa Nafsu memutuskan untuk bersenang—senang selagi mandi saja.
Lust mengenakan showercapnya dan melangkah masuk ke dalam bak mandi. Ia memutarkan keran showernya ke arah kanan, mengharapkan air hangat.
Csshhh..
'Hmm, hangat,' batinnya sembari memeluk badannya, 'demi apa, nyaman sekali.' Lust sesekali memindahkan badannya agar semua bagian tubuhnya terkena air dari surga tersebut. Kalau saja ada yang mau menemaninya, mungkin kegiatan mandi ini akan menjadi lebih menyenangkan.
Rintik—rintik air shower menyentuh kulit Lust dengan lembut namun sedikit menyengat dalam setiap tetesannya. Lust menghela nafasnya dengan tenang sembari membiarkan pikirannya melayang entah kemana. Matanya terasa berat, air panas ini membuat tubuhnya merasa seperti dipeluk. Suara jatuhnya tetesan air shower yang ramai terdengar begitu menenangkan di telinga Lust, seperti hujan di malam hari.
Csssssssssshhh.. Krieet..! ..sssssshhhh...
'Hm?' pikir Lust, indra—indranya mulai fokus kembali, 'suara apa?' Lust diam sesaat, berusaha mendengar suara itu lagi.
Sssssssssshhhh... Cssssssssssshhhh.. Brak..! ..ssssshh..
Rintik—rintik air shower masih terus berjatuhan, tidak memelankan suaranya. Lust mulai bergidik, tubuhnya merinding. Ia sengaja tidak mematikan kerannya, andai—andai orang jahatlah yang membuat suara tadi, ia tidak akan tahu bahwa ada orang di kamar mandi.
'Eh, tapi boleh juga,' batinnya, menatap bagian bawah tubuhnya, 'mumpung lagi pengen.' Lust pun menunggu sebentar sebelum memutuskan untuk mematikan keran airnya, dan menghampiri orang asing yang berhasil masuk ke dalam kamarnya tersebut. Ia menyambar handuknya tadi, mengeringkan tubuhnya, dan melepas shower capnya.
Tanpa pikir panjang, Lust membuka pintu kamar mandi dengan semangat. Api semangat dalam hatinya itu terbakar dengan hawa nafsu. Namun, alangkah drastisnya persentase semangat dalam dirinya itu turun. Badan Lust langsung lemas, dirinya kecewa akan kenyataan yang diterimanya. Alih—alih penjahat seksi seperti yang di film—film, ia mendapati sosok yang sangat tidak ingin dilihatnya saat ini sedang duduk di atas sofa sambil memeluk lututnya.
'Aduuuuuh, apa sih?' rengek Lust, ekspresi wajahnya masam sembari ia menghampiri sosok itu, dengan punggung sang sosok membelakangi Lust, 'kamu beneran nggak ada kerjaan ya, Chastity?'
Lust hanya dapat menatap surai keemasan Sang Kesucian yang bergelombang, wajahnya tak ditampakkan. 'Pergi, sana! Aku nggak ngapa—ngapain, kok,' ujarnya sambil mengipas—ipas udara kosong dengan tangannya. Tetapi Chastity malah tidak berpindah. Sikap Chastity yang keras kepala itu membuat Lust semakin gemas.
'Makin bete, deh. Kukira kamu pembunuh serial yang akan mengancamku. Duh, kan menggoda banget,' curhat Lust, seakan—akan Chastity bersedia mendengarkan, 'tapi yang kudapat malah kamu. Kamu, mah, mana bisa diajak main begitu.'
Lust yakin telah membuat Chastity semakin kesal, karena Chastity tidak membalas dan diam saja. Lust senang mengusili Chastity, andai saja ia dapat mengusilinya secara fisik. Karena bagi Lust, menggoda secara fisik lebih manjur daripada menggoda secara mental.
'Jangan—jangan kamu ke sini mau ambil balik dalamanmu, ya?' ejek Lust dengan nada menggoda, yang biasanya cukup untuk membuat gadis di depannya itu kesal, 'tuh, aku pajang di dinding. Dibingkai dengan figura terimut!'
Tapi Chastity tidak berkutik. Wajahnya terkubur di dalam pelukan dirinya bersama lututnya. Badannya jadi tampak kecil sekali dalam posisi itu, seperti bola. Tidak ada suara pun yang keluar dari mulutnya, membuat Lust sedikit kebingungan.
'Oh? Dia belum tau aku di sini, ya,' batinnya, sambil menggaruk pantatnya dengan santai, 'kagetin, ah.' Lust melihat sekeliling kamar kosnya yang berantakan. Ia lalu memungut salah satu dalaman bekasnya yang berserakan dan melemparnya ke atas kepala Chastity.
Perut Lust sudah geli, tawanya meledak. 'ADUH, AHAHAHAHAHAHAH,' jerit Lust sambil memegangi perutnya, 'PERUTKU SAKIT!' Dalaman tersebut terbakar dengan sendirinya, dan akhirnya lenyap. Namun, tak ada tanda kehidupan dari Chastity. Lust mengusap air mata yang sempat terlahir dan menatap rivalnya dengan bingung.
'Hei, kenapa sih?' tanya Lust dengan sedikit hati—hati, menepuk pundak Kebajikan di depannya, 'tumben nggak cerewet.' Lagi—lagi tidak ada jawaban. Chastity hanya diam dalam posisinya seperti batu. 'Aku tadi siang hampir berhubungan dengan rekan kerjaku, lho,' ujar Lust, berusaha membuat Chastity berbicara. Ia tau rivalnya ini sangat kontra dengan perbuatan kotor Lust, jadi ia berharap pernyataan tadi dapat membuatnya berkutik.
Namun, tidak ada hasil. Chastity tetap duduk meringkuk dan memeluk lututnya. 'Chas, jangan bikin takut, ah,' ucap Lust dengan tidak yakin, 'kamu kenapa, sih?'
Ini aneh. Tak biasanya juga Chastity datang berkunjung seperti ini. Biasanya ia menunggu Lust yang hendak bekerja di luar dan membersihkannya dari perbuatan—perbuatan hina sampai salah satu menyerah. Apa yang telah mengenai kepala Sang Kesucian sampai—sampai ia sudi menetap di tempat penuh aura kotor rivalnya?
Lust menatap ke arah luar jendela. Langit berwarna kelabu dan rintik—rintik hujan mengetuk—ketuk kaca jendela dengan marah. 'Hoo, hujan,' batin Lust, 'pantas dia ke sini. Tapi, perasaan tadi panas, deh.' Lust lalu kembali menatap Chastity yang tampak seperti benda mati lekat—lekat.
'Apa dia kedinginan, ya?' batin Lust, 'padahal pakaiannya udah kayak orang mau main salju. Berlapis—lapis!' Lust menyentuh tangan Chastity yang mempererat pelukannya. 'Demi semvak Kak Envy!' pikirnya tersentak, reflek menarik kembali tangannya, 'dingin banget!' Lust berpikir sebentar sebelum memandang selimutnya yang berantakan di atas kasur. Ia hampir tidak percaya bahwa ia akan melakukan ini.
Namun Lust tergerak hatinya dan akhirnya menyambar selimutnya. Dikalungilah salah satu rusuk selimutnya pada tengkuk leher Chastity hingga menutupi tangannya, membungkus tubuhnya namun menyisakan rambutnya. Lust masih memegangi ujung selimut tadi, dan menatap Chastity dengan penasaran. Tubuh Lust tegang, takut kelewatan tanda—tanda kehidupan dari tubuh di depannya.
Untung saja Lust tidak kehilangan fokus, karena Chastity akhirnya bergerak. Meski hanya sekedar membenarkan posisinya agar lebih nyaman, Lust merasa lega. 'Masih hidup, ternyata,' ujar Lust dengan nada bercanda, mencoba mencairkan suasana, 'kamu kenapa, sih?'
'En.. Kan..' sebuah suara akhirnya keluar dari dalam bungkusan selimut tersebut, lirih dan lemas. 'Hah? Apa?' sontak Lust, 'gak jelas.' 'Henti..' bisik Chastity masih lirih, namun sedikit dikeraskan, 'hentikan.'
'Apaan, sih?' sahut Lust, belum menganggap serius masalah tersebut, 'hentikan apanya?' Selang beberapa detik, akhirnya Chastity kembali tidak berkutik. Lust sudah tidak tahan lagi. Dengan geram, ia pun meraih wajah Sang Kesucian dan mengangkatnya. Namun, alih—alih membuatnya senang, apa yang dilihat Lust malah mengiris hatinya.
Tampak wajah Chastity penuh goresan luka dan kotor. Wajahnya yang dulu bersih bersemu merah, sekarang lengket dan berdebu. Ekspresi wajahnya tampak sekali seperti seseorang yang trauma dan terluka mentalnya. Lust, yang cukup peka akan hal ini, tau bahwa Chastity baru saja menghadapi sesuatu yang berada di luar ekspektasinya.
Lust ingin berkata—kata. Ia ingin mengeluarkan kata—kata yang mendukung. Ia ingin membuat rivalnya merasa lebih baik. Ia ingin menanyakan apa yang terjadi. Ia ingin mengeluarkan kata—kata menenangkan. Namun, tak ada satu katapun yang keluar. Lust hanya melongo dan mematung, hatinya teriris sedikit demi sedikit.
Secara refleks, Lust membelai wajah kotor Kebajikan di hadapannya itu, mengusap rambut dari wajahnya. Chastity tampak ingin sekali menghindari interaksi ini, namun ia terlalu beku untuk melakukan apapun. 'Kenapa—' ucap Lust dengan keberanian penuh, 'apa yang—' Lust memberhentikan kalimatnya begitu mendapati Chastity menggelengkan kepalanya lemah. 'Jangan..' ucapnya lirih, napasnya berat.
'Jangan bagaimana?' sahut Lust, dengan nada sedikit tergesa—gesa, 'aku nggak ngerti.' Chastity menghindari kontak mata dengan Lust, raut mukanya tampak tak terkendali. Tangan Chastity meraih salah satu pergelangan tangan Lust dan melepasnya dari wajahnya dengan pelan. Sekarang, Chastity hanya ingin menatap tangan Lust yang digenggamnya itu.
'Duhh, tanganmu dingin amat, sih,' ketus Lust, 'aku buatkan teh, ya? Meski gak seenak punya Kak Kindness, sih.' Alih—alih membalas, tangan Chastity tiba—tiba terasa bergetar. Wajah Chastity juga samar—samar bergetar, membuat Lust bergidik. 'Kamu ini kena—'
Kalimat Lust terhenti dengan tajam begitu ia mendengar cegukan pelan. Wajah Chastity tampak lebih berekspresi, namun raut wajah tersebut membuat Lust tidak tahan. Ia tampak seperti sedang menahan amukan besar demi nyawanya. Wajah penuh ketakutan dan luka, membuat Lust benar—benar tidak tega. Ia tidak menginginkan ini. Ia tidak meminta agar rivalnya merasakan penderitaan dunia. 'Chastity,' mulai Lust dengan suara tenang, 'kalau mau menangis, menangislah.'
Begitu Lust berkata demikian, Chastity tampak berada di ambang—ambang perbatasan akan menurut atau tetap menahan. Namun, tak lama kemudian, air hangat sudah membasahi pipi Chastity yang bersemu debu, lalu jatuh mengaliri tangan Lust. Chastity sudah menangis tersedu—sedu, hingga ia kesulitan bernafas.
Secara reflek, Lust mengusap pelan wajahnya, menghapus air mata yang mengalir deras di wajahnya. Chastity mempererat genggamannya pada satu tangan Lust yang sedari tadi ia pegang sambil meraung sesenggukan. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang kuat, bersemu merah.
'Duhh, cengengnya,' bisik Lust, lalu memeluk Chastity dengan satu tangannya, 'sini peluk! Biar hepi.' Otak Lust sudah bersiap—siap merangsang gerakan refleks apabila Chastity menepis atau menolak pelukannya. Selama hampir sepuluh abad mengenal rivalnya, Chastity selalu menghindari interaksi fisik dengannya.
Lust terkejut, tubuhnya tegang begitu Chastity ternyata menerima pelukannya. Sang Kesucian melepaskan genggamannya dan memeluk pinggang Lust yang ramping. Ia membenamkan wajahnya pada perut Lust, air matanya mulai membasahinya. Air mata Chastity terasa hangat di badannya, isakannya membuat Lust makin merasa kasihan.
'Hik.. Uhuk— hik.. Hiks— Lu— Lust.. Huk—' Suara Chastity terdengar serak dan tinggi, tubuhnya gemetaran dan dingin. Lust menguburkan kedua tangannya dalam helaian rambut tebal keemasan milik Chastity dan mengusap—usap belakang kepalanya dengan lembut. 'Shh, udah—udah,' bisiknya pelan, mendekapkan Chastity lebih erat ke dalam pelukannya.
'Dengar, yah. Meski kamu rivalku, meski kamu seringkali membuatku kesal, meski aku yakin kamu membenciku,' bisik Lust penuh hayat, membelai kepala Chastity, 'ketahuilah, aku tidak suka melihatmu menderita.'
Isakan Chastity mereda, meski air matanya memaksa mengalir deras. Tubuhnya terasa tegang, sepertinya tertegun akan pernyataan Lust barusan. Lust menarik nafas, lalu menghelanya dengan pelan sembari memainkan rambut Chastity.
'Kita memang berlawanan, tapi kalau kamu ada masalah, jangan bersegan—segan untuk berbicara padaku, ya,' ujar Lust lembut, menatap surai keemasan Sang Kesucian yang tengah mematung, 'siapa tau aku bisa membantu.'
'Ti— hik— tidak bisa,' bisik Chastity, dadanya bergemuruh, 'aku tidak bisa memberitahumu.' Air mata mulai mengalir lagi dengan deras. Chastity menggigit bagian bawah bibirnya untuk mencegah cegukan berlebihan.
'Kalau begitu, tenanglah. Kau cukup percaya dan datang padaku,' balas Lust dengan yakin, memejamkan matanya, 'aku di sini untukmu.' Tanpa sadar, Chastity sudah mempererat pelukannya pada Lust, isak tangisnya sedikit mengeras.
Kedua roh tersebut berpelukan dalam jangka waktu yang cukup lama, menikmati dan menghargai kehadiran satu sama lain dalam hidup mereka. Kesunyian memekak telinga diiringi alunan sengguk tangis yang perlahan mereda seiring berjalannya waktu.
Bukan untuk pertama kalinya, Lust tidak merasakan hasrat seksual. Kasih sayang yang ia rasakan bagi rivalnya ini benar—benar tulus. Tanpa kejelasan, Lust merasa ia harus melindungi roh kebajikan yang tengah berada di dalam dekapannya ini. Siapapun itu yang telah melukai Chastity akan mendapatkan ganjarannya, Lust berjanji akan hal itu.
'Siapa yang sudah memperlakukannya seperti ini?' batin Lust, menatap kekosongan di depannya, 'siapa yang berani menyentuhnya?' Lust teringat luka—luka segar yang terdapat di sekujur tubuhnya. Merah darah telah menodai pakaiannya yang dahulu putih berkilau. Chastity yang sejak dulu dikenal bersih bagaikan putri, sekarang mengenaskan bagai upik abu.
Lust kembali mengfokuskan pikirannya pada keadaan saat itu. Isakan Chastity tinggal berupa cegukan lembut yang dihiasi aliran air mata ringan. Menangkap tanda tanda bahwa Chastity sudah merasa lebih baik, sang Hawa Nafsu memberikan kepalanya usapan terakhir. 'Sudah, sudah. Chastity yang aku kenal itu nggak cengeng,' ujarnya menenangkan, 'tapi nyebelin tingkat provinsi.'
Sebuah senyuman terukir pada wajah Lust secara refleks begitu mendengar tawa lembut Chastity yang berhasil kabur. Lust melepas pelukannya dan berlutut agar pandangannya sederajat dengan pandangan Sang Kesucian. 'Nah, gitu, dong. Jangan nangis mulu,' ujarnya bercanda, 'nanti cantiknya hilang.'
Chastity sudah tidak menangis, bahkan sebuah senyuman sempat terbentuk oleh bibirnya yang tipis. Kebajikan di depannya mengalihkan pandangannya, tidak ingin menatap Lust secara langsung. Entah karena malu atau gengsi, bisa saja keduanya. 'Maafkan aku, Lust,' mulainya pelan, masih menatap sampingnya, 'aku tidak bisa memberitahumu, tapi apapun itu, tolong maafkan aku.'
Lust menghela nafas pelan dan tersenyum. Tangannya meraih wajah Chastity agar menatapnya, luka—luka di wajahnya tak kabur dari penglihatan Lust. 'Kalau sudah begini, ya, aku percaya kamu tidak bermaksud melakukan apapun itu,' sahut Lust sambil menganalisa luka yang terdapat di pipi kanan Chastity, 'kecuali kamu berniat menyensorku lagi. Awas saja kau.'
Lust sempat panik segera setelah mengucapkan kalimat terakhir tersebut, takut melukai perasaan Chastity. Kelegaan mengguyur tubuhnya begitu mendengar tawa kecil Chastity yang ikhlas. Lust ikut terkekeh lembut dan menggeleng kepalanya pelan. Chastity menatap sebagian badannya yang masih terbungkus selimut pink Lust. 'Terima kasih,' bisik Chastity dengan serak, 'Lust.'
Lust menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. 'Ah, santai saja,' ujarnya sambil berdiri, 'mau minum, nggak? Suaramu serak, tuh. Aku bikinin teh, ya?' Chastity akhirnya menatap Lust lekat—lekat dan tersenyum lemah. 'Baiklah,' balasnya. Lust pun beranjak pergi ke counter yang sekaligus merupakan tempatnya memasak. 'tapi, Lust?'
Lust langsung berhenti tengah jalan begitu Chastity memanggilnya. 'Kenapa lagi?' balasnya, menolehkan kepalanya tanpa memutar badannya.
'Pakai baju dulu.'
.
.
.
.
.
Xianjir akhirnya selesai juga, ini fic. Sebagai catatan tambahan, ini terinspirasi dari teori Chastity sebagai pion yang dimaksud Curse. Jujur saja, Chastity memang sedikit mencurigakan. Ia satu daerah dengan Kindness, tapi mereka saling tidak merasakan aura satu sama lain. Lalu, Chastity juga dapat mendeteksi aura Lust yang sudah meminum rebusan bunga Cowardice. Emo belum bisa menafsirkan bagaimana Chastity berlaku sebagai pion para Atramentous. Apakah ia dijadikan boneka? Atau menggunakan metode lain? Apa Chastity diancam? Atau ia dirayu? Entahlah, belum tentu teori ini benar. Tapi, tidak dosa kalau Emo jadikan AU, kan?
Karena ini Emo tulis lewat sudut pandang orang ketiga pelaku utama [Lust], dan biar lebih dapet feelsnya, Emo jelaskan sedikit dari sudut pandang Chastity. Jadi si Chas ini ditugaskan untuk melakukan sesuatu yang dapat menyebabkan musnahnya Lust, entah apa itu. Luka—lukanya berasal dari Curse, sebagai tanda ia diancam/telah gagal sebelumnya. Sebelumnya, Chas sangat kontra dan benci terhadap dosa, sehingga ia mudah dimanfaatkan oleh Witchcraft. Begitu ia disadarkan oleh kegagalannya dalam menyingkirkan Lust sebelumnya, Chas langsung sadar bahwa ia selama ini diperdaya, dan bahwa sebenarnya ia belum siap kehilangan rivalnya.
Chastity ada di kamar Lust karena di luar hujan. Selain untuk numpang berteduh, tapi juga karena satu—satunya kamar yang bisa ia selinapi masuk adalah milik Lust. Chastity menghindari perhatian Lust karena ia tidak ingin dirinya semakin respek terhadap rivalnya, demi kelancaran rencananya. Chastity tidak ingin memberitahu Lust apa yang terjadi karena ia takut disiksa lagi oleh Curse.
Yah, kira—kira segini. Yang kurang, tanya aja, yhaa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top