One-shot #Hogwarts AU ChasLust

Oke, Emo janji bakal nulis apapun selain ChasLust habis ini wkwkwk. :"(

.

.

.

Setelah sekian lama, setelah beberapa tahun, akhirnya tercapai juga.

Slytherin memenangkan pertandingan Quidditch melawan Gryffindor. Tak terbayangkan kerasnya sorak Slytherin sementara asrama yang lainnya berduka atas kekalahan Gryffindor. Memang sejak dulu, Slytherin berjuang sendirian. Tidak ada asrama yang mendukung nilai asrama Slytherin. Mereka semua memandang Slytherin seperti sesuatu yang harus dihindari, sesuatu yang gelap.

Tapi sekarang para Slytherin punya sesuatu untuk diraba ke wajah para Gryffindor sialan itu. Sebuah piala tanda kemenangan. Semua pendukung Slytherin menghampiri para pemain yang telah membawakan kepada mereka sebuah tanda prestasi di luar sihir hitam.

Mereka bersorak bahagia dan bangga menuju ke dalam sekolah, Wrath menggendong Envy di atas bahunya. Envy, yang terkenal sulit bersyukur dan banyak mengeluh, mengangkat piala tersebut tinggi—tinggi dengan gembira dan terus berteriak bahwa mereka menang. Mereka semua bersorak sesuatu mirip 'Slytherin Sukses Selalu!' selama perjalanan ke penjara bawah tanah, di mana asrama mereka berada.

Confetti diledakkan, butterbeer dituangkan, pesta dilaksanakan dengan meriah. Slytherin tak pernah secerah ini, mereka bagaikan murid Gryffindor dalam seragam hijau. Bahkan Greed, siswi yang terkenal tegas, sempat—sempatnya menari di atas meja dengan mabuk bersama Rebel. Ekspresi bangga dengan jelas terlukis di wajah—wajah mereka.

Matahari sudah mulai melambai, hendak tidur. Sinar tajamnya yang manja membasahi menara—menara tinggi Hogwarts, dan merebak di permukaan luas Danau Hitam. Langit bercampur antara ungu dan merah. Namun, hal ini tidak berpengaruh pada penghuni penjara bawah tanah yang dingin dan gelap seperti biasa.

Sebuah kelas kosong, tepatnya di belakang asrama Slytherin, saat itu sama sekali tidak kosong. Sunyi? Tentu, meski dihiasi suara kumur—kumur kegaduhan di asrama.

Chastity berdiri di tengah ruang kelas tersebut, tongkat sihir digenggamnya erat—erat. Matanya ia pejamkan, dahinya ia kerutkan. Jemarinya yang mulai berkeringat membenarkan posisinya pada tongkatnya.

Ia menarik nafas dan berseru dengan lantang.

'Expecto Patronum!'

Samar—samar, zat halus keperakan keluar dari ujung tongkatnya, lalu menghilang bagaikan kegagalan. Chastity mengamati zat tersebut lenyap sebelum menghela nafas.

Agar mantra Patronus berhasil, coba kamu pikirkan sebuah kenangan yang menyenangkan hati, dan berfokuslah pada kenangan itu seolah—olah ia mengambil alih tubuhmu.

Kenangan yang menyenangkan hati. Mungkin saat—saat paling cerah baginya adalah saat ia dinobatkan sebagai Head Girl. Menjadi contoh bagi murid—murid lain, kenangan itu akan ia bawa sampai mati.

Chastity kembali memejamkan matanya, tongkatnya siap di tangan kanannya. Ia mulai mengatur nafasnya, dan memfokuskan dirinya. Ia merasakan energi positif menjalar dan menjelajah tubuhnya.

Tidak ada yang bisa menindasnya lagi. Para muggleborn akan segera diberi keadilan. Tidak akan ada yang menyalahkan kaumnya lagi, ia tidak meminta dilahirkan seperti ini.

Chastity sadar pikirannya beralih, ia mengernyitkan dahinya dan berusaha keras merasakan energi positif dari kenangan yang diingatnya. Tapi Chastity tidak sabar.

'Expecto Patronum!'

Hatinya loncat begitu melihat bayangan kelinci perak yang anggun. Kelinci tersebut melompat di udara mengitari Chastity, tampak girang dan misterius. Chastity ternganga, matanya terpaku pada bayangan kelinci tersebut, menyinari ruang kelas yang gelap itu dengan cahaya lembut.

Tapi tak lama begitu bayangan tersebut mengarahkan pandangannya kepada ambang pintu kelas yang terbuka, tubuhnya seakan—akan kehilangan semua energi euforia yang baru saja mengalir dalam dirinya. Chastity menatap tongkatnya.

Bukan ia yang menghasilkan patronus tersebut.

'Wah, belajar mantra Patronus?' tanya Lust, bersender pada ambang pintu. Patronusnya, seekor kelinci, mengitarinya dengan lincah dan antusias. Seakan—akan mengajak tuannya bermain.

'Ada yang bisa kubantu?' ucap Chastity. Ia sengaja memberi sedikit nada kekesalan dalam ucapannya, berharap—harap Lust akan sadar sendiri bahwa ia telah mengganggunya.

Mata mereka bertemu tak lebih dari sedetik, dan Lust pun menunduk sedikit. Chastity berusaha keras tidak mematahkan kontak mata mereka, terlebih karena Patronus Lust mulai menjelajahi kelas tersebut.

Sepertinya kedua belah pihak saling menunggu lawannya berbicara. Tapi karena Chastity telah melontarkan pertanyaan, maka Chastity akan menunggu jawaban Lust. Lust membasahi bibirnya dengan sedikit resah, sebelum akhirnya menjawab.

'Ngapain kamu?'

'Maaf?' balas Chastity, kaget.

'Ngapain kamu sendirian di sini,' lanjut Lust, 'padahal kawan—kawanmu lagi asik—asik bareng.'

Sesaat, ruangan tersebut kembali didominasi oleh suara pesta dan musik yang teredam. Jemari Chastity memainkan tongkatnya dan kembali menatap Lust.

'Kamu sendiri ngapain? Asrama Hufflepuff di basement, bukan?' tanya Chastity dengan cerdas, 'ada perlu apa ke sini?'

Kelinci Lust, yang semenjak tadi berkelana, kembali dan melompat mengitari leher tuannya. Ia benar—benar heran dengan siswi satu ini. Mungkin saja ia hanya numpang lewat, tapi kenapa harus sampai pamer kemampuan mantranya? Chastity berdecak kesal memikirkannya. Lust tampak siap berbicara. Mungkin memang ia datang kemari untuk berbicara dengan Chastity.

Kesadaran tiba—tiba menimpanya.

'Jangan bilang kamu mau mencoba merayuku soal coklat kemarin,' gertaknya dengan tegas, antara ingin menakuti Lust atau murni karena kesal.

'Oh, ayolah, Chas!' Chastity berkedip dan Lust sudah berlutut di hadapannya, tangannya didekapkan pada dadanya. Wajahnya tampak mengesalkan, dengan raut muka memohon. 'Kumohon, dengan sangat.'

'Memangnya kenapa, sih? Biasanya kamu kena detensi ga rewel.'

'Ah — itu — Diligence setuju mau berkencan denganku,' balas Lust, masih dalam nada memohon, 'Sabtu depan, berdua saja, kalau—'

'Tidak,' ucap Chastity dengan singkat, berusaha sekeras mungkin untuk menahan tawa, 'akan lebih baik kalau kau gunakan waktumu selama detensi untuk belajar.'

Lust memasang wajah cemberut dan duduk bersila di lantai. 'Jangan jahat, lah, Chas. Masa cuma karena aku gak sengaja bikin kamu minum ramuan cinta, kamu mau ngelaporin aku?'

'Kamu ngelindur? Ramuan cinta itu berbahaya, tau,' ujar Chastity, mengingat kejadian pahit dua hari yang lalu.

'Kamu cuma begitu karena kamu gak pernah menyukai orang lain,' balas Lust dengan ketus, 'dalam arti romantis.'

'Romantis?' ulang Chastity, dengan nada kaget dibuat—buat, 'simpan omong kosongmu, kamu menyukainya hanya karena ia tampan.'

Chastity tak kuasa menahan cengiran, karena Lust tampaknya gagal membalas.

'Tentu dia tampan! Wajahnya yang menawan, rahangnya yang tajam, tubuhnya yang kencang —'

Chastity menatap dengan bosan sembari mendengarkan Lust berpuisi tentang si Siswa Emas. Ia sama sekali tidak mengerti jalan pikir gadis di depannya.

'Bayangkan, betapa beruntungnya aku,' lanjut Lust dengan curhatannya, sambil mengambil sebuah kursi dan duduk, 'mendapatkan hati sang siswa idaman semua siswi di sekolah ini.'

Chastity menempatkan dirinya di sebuah bangku tak jauh dari tempatnya berdiri, menghela nafas begitu Lust menjerit sendiri dengan bahagia.

'Aku masih bingung kenapa Diligence mau pergi bersamamu,' ucap Chastity dengan bosan, sambil menonton Patronus Lust yang mengitari sebuah lemari usang.

'Astaga, kamu terlalu jahat,' balas Lust dengan lebay. Kelinci Lust kemudian menjelajahi kolong setiap meja. Apakah Patronus selalu seheboh ini? Chastity pun sadar bahwa Lust sedang menatapnya. 'Kenapa?' tanya Lust.

'Sejak kapan kamu bisa —' kalimat tersebut tanpa sadar terlepas dari mulut Chastity, namun ia sempat memotongnya. Ia tidak ingin siswi asing ini mengetahui lebih dalam tentang kecemasannya.

'Apa? Mantra Patronus?' balas Lust dengan santai, 'cukup mudah. Kamu tinggal perlu berfokus pada satu kenangan yang —'

'Yang membahagiakan, aku tau itu,' balas Chastity dengan resah. Ia sudah muak mengulang—ulang kalimat tersebut dalam benaknya. Ia hanya ingin menghasilkan sebuah Patronus dengan sukses, tapi kenapa ia tak pernah berhasil?

'Oke, kita serius sedikit,' kata Lust, menggosokkan kedua tangannya, 'mungkin memori yang sebelumnya kurang bahagia. Coba pilih yang lain.'

Chastity menatap tongkat yang digenggamnya. Padahal menurutnya memori sebelumnya cukup membahagiakan. Memori bahagia apalagi yang selama ini ia miliki? Menjadi paling benar, itu cukup membahagiakan. Chastity mengingat masa—masa ia berbuat kebaikan selama di sekolah, masa—masa ia berbuat benar.

Chastity berdiri dan menyiapkan tubuhnya. Tangan tongkatnya ia condongkan ke depan, matanya ia pejamkan. Memori indah, masa—masa memuaskan. Ia memfokuskan pikirannya. Pengakuan yang telah diberikan pihak staf kepadanya karena berbuat baik dan benar. Hak yang dimilikinya untuk mengajari murid—murid lain agar berbuat benar dan sesuai.

Ia merasakan energi bergelora dalam tubuhnya. Ia bersiap, ia mengatur nafasnya dan mengucap dengan lantang.

'Expecto Patronum!'

Chastity memiliki secercah harapan, tetapi langsung memudar begitu melihat Patronusnya gagal lagi, sesuai ekspektasi. Dengan kesal, Chastity membanting dirinya kembali ke kursi.

'Sudahlah, nggak terlalu penting juga,' ucapnya dengan pedas, menatap kakinya sendiri. Ia tidak mau melihat Lust, ia malu. Tapi Lust tidak bersuara, Chastity menjadi penasaran ada apa dengannya.

Kesunyian ini menyakitkan. Lust bodoh, akan lebih baik kalau dia pergi meninggalkan dirinya sendiri. Chastity memainkan tongkatnya dengan gelisah. Kenapa begitu mudah bagi Lust untuk menciptakan sebuah Patronus? Apa yang sudah ia lakukan agar bahagia? Hubungan intim? Alasan yang bodoh untuk bahagia.

'Apa kau yakin kau tidak ada kenangan bahagia lainnya?' suara Lust muncul begitu tiba—tiba, jantung Chastity hampir lepas. Chastity akhirnya menatap wajah Lust yang tampak — cukup mengherankan bagi Chastity — khawatir. Chastity hanya mendesah kesal dan merilekskan tubuhnya.

'Sejak surat itu datang kepadaku, aku —' suara Chastity perlahan memudar. Ia mengingat saat ia menerima surat berwarna kekuningan, ditulis dengan tinta hijau emerald. Kenyataan pahit yang harus diterimanya bahwa dirinya seorang penyihir. Ia menatap dirinya dengan hina. Ingin rasanya ia lepas dari tubuh terkutuknya. Ia kesulitan menerima kenyataan bahwa dirinya terikat dalam ilmu sihir, mau tidak mau.

Chastity membenci ilmu sihir. Sihir akan membuat manusia menjadi pemalas, tidak kompeten dan bergantung. Tidak hanya itu. Ilmu sihir merupakan dosa. Chastity membenci dosa.

Chastity membakar surat itu dan meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah ide anak—anak sekolah lamanya untuk mengusilinya. Namun semakin banyak surat yang ia bakar, semakin banyak juga surat yang memaksa agar diterimanya. Merasa hampir gila, Chastity akhirnya menerima kenyataan bahwa dirinya tidak suci lagi. Kenyataan bahwa dirinya berdosa. Bahwa dirinya seorang penyihir.

'Ya,' ucap Lust tiba—tiba, membuat Chastity kabur dari lamunannya, 'aku ingat. Aku juga kaget, sempat mengira ini surat bohongan. Aku takut juga, tapi lama—lama aku menerimanya.'

'Jangan bertindak seolah—olah kau memahamiku!' gertak Chastity, wajahnya resah. Si sialan ini, beraninya membandingkan pengalaman, sementara ia tidak tahu apa yang Chastity alami. 'Kamu tidak tahu, kan, bagaimana perasaanku begitu aku diserang surat—surat itu?'

Chastity mengharapkan Lust membalas, tetapi ia hanya terdiam. Sehingga Chastity memutuskan untuk melanjutkan.

'Aku takut pada diriku sendiri. Aku monster. Aku bukan sepenuhnya penyihir, tapi aku juga bukan sepenuhnya manusia. Aku tidak murni. Aku tidak diterima di sini, begitu juga di dunia muggle. Aku kaum buangan. Aku muggle yang gagal. Aku penyihir palsu. Orangtuaku membuangku begitu mereka tahu bahwa aku — aku —'

Chastity tidak sadar ia sudah di atas kakinya semenjak gertakannya tadi. Perasaannya berantakan. Ia mau menarik helaian rambutnya yang panjang dan tebal sampai lepas. Yang terpenting, ia tidak sadar bahwa ia telah membeberkan segala kecemasannya selama ini.

Bibir Chastity bergemetar. Ia takut berkata—kata yang tidak perlu lagi. Chastity menatap kakinya dan kembali duduk dengan berat dan canggung. Kursinya terasa tajam dan menyetrum begitu ia duduk, tetapi Chastity enggan berdiri lagi.

Chastity dapat merasakan mata Lust yang tertuju padanya, namun ia tak mau bertemu dengannya. Dari semua orang yang lebih terpercaya di Hogwarts, mulut besarnya malah memilih membocorkan semuanya pada si jalang. Sungguh sial. Apa yang akan dipikirkan Lust tentang dirinya sekarang?

'Kau tahu? Apa yang dikatakan guru—guru tentangku?' ucap Lust dengan tenang, 'bahwa aku tidak berguna. Ya, benar, sih.' Chastity tetap berdiam, matanya masih asik menatap sepatunya yang hitam mengilap.

'Sebelum tahu bahwa aku ini penyihir, aku bersekolah di sekolah muggle. Aku berteman baik dengan semua orang, mereka menyukaiku,' Chastity merasa lehernya panas mendengar ini, 'tapi nilaiku? Di bawah rata—rata. Seringkali mendapat nilai terendah di antara teman—temanku.'

'Orangtuaku selalu memarahiku, terkadang — memukulku juga. Mereka terus mengingatkan aku bahwa aku tidak berguna, dan hanya menyusahkan hidup mereka. Aku sampai bosan mendengarnya. Sampai akhirnya, datanglah surat itu. Surat yang mengubah hidupku. Memang, nilaiku cenderung lebih baik begitu bersekolah di Hogwarts. Tapi orangtuaku? Mereka tetap tidak puas. Padahal dua tahun lalu O. W. L. ku rata—rata A, lho!'

'Jadi, ya, kupikir lebih baik kalau aku sedikit bodo amat, kau tahu? Aku hidup bukan untuk memuaskan orang lain. Semenjak itu, aku merasa lebih bahagia dan leluasa,' ujar Lust, sikap duduknya sangat santai sekarang, 'terserah mereka mau memanggilku apa, mau memukulku berapa kali. Aku sudah terbiasa. Sekarang tinggal saatnya aku menuai kebahagiaanku sendiri.'

Chastity heran. Kenapa dia membuka masa lalunya — yang tidak terlalu menyenangkan — kepadanya? Apa tujuannya?

'Setidaknya kau penyihir unggul,' puji Lust, 'lihatlah kemampuanmu, kau hebat!'

'Aku seorang muggleborn di Slytherin, kau tahu bagaimana itu rasanya?' bisik Chastity, akhirnya menemukan keberanian untuk berbicara.

'Lalu kenapa?' balas Lust, menciptakan awan salju kecil di atas mereka sebagai mainan, 'itu semua masalah reputasi. Apa yang dipikirkan orang lain tidak berpengaruh pada siapa dirimu sebenarnya, kan?'

Lust berhenti sesaat dan mengamati salju—salju kecil yang berjatuhan dengan anggun di atas mereka. Chastity memperhatikan salju yang jatuh dengan lembut ke atas rambut Lust. Astaga, terlihat seperti ketombe. Bagaimana dengan rambut Chastity? Pasti terlihat jorok.

'Hentikan itu, kita terlihat seakan—akan kita bolos mandi seminggu,' perintah Chastity, membayangkan dirinya keluar dengan puluhan ketombe terlihat jelas di rambutnya. Lust hanya terkekeh dan memandang Chastity dengan ramah.

'Aku gak paham kenapa kamu bawa stres pendapat orang lain,' ucapnya sambil menatap ke dalam mata Chastity, 'cuma bikin risau dan tidak akan mengubah apapun. Hidup itu udah susah, lho, jangan dibikin susah lagi.'

Chastity tidak suka menerima ia salah. Ia memutar otaknya untuk mencari balasan lain, meski Chastity mengakui bahwa ia terpojok.

'Jangan naif, reputasi juga penting agar orang lain percaya padamu.'

'Tapi kalau begitu, bukankah artinya kamu nggak jujur?' Salju berhenti berjatuhan, Lust menurunkan tongkatnya dan memandang rambut Chastity. 'Semisal reputasimu baik, tapi kamu sendiri sebenarnya nggak sebaik yang dipikirkan orang—orang. Tidak murni.'

Chastity menghela nafas pelan namun kesal. Lust tersenyum ke arahnya dan memainkan rambut Chastity. Bukan memainkan, ia membersihkan butiran—butiran salju dari rambutnya.

'Bukankah lebih cepat kalau pakai sihir?' tanya Chastity, 'katanya kamu nggak suka susah—susah.'

'Beberapa hal cuma bisa dinikmati jika kita menjalani prosesnya tanpa jalan pintas.'

Ah, dasar. Karena yang berbicara adalah Lust, siswi yang terkenal menggoda dan kemungkinan besar sudah hilang keperawanannya, Chastity tak kuasa menahan pikiran ambigu.

'Memangnya apa yang kau nikmati dari mencabut salju dari rambut orang?' tantang Chastity.

'Ketenteraman,' balas Lust singkat dan tenang, masih berfokus pada rambut Chastity. Chastity hanya mendengus, lalu tertawa menyindir.

'Ketenteraman? Kapan kamu bisa tenang memangnya?'

'Saat kamu nggak ada.'

Chastity terdiam sesaat sebelum menepis tangan Lust, sang empunya hanya tertawa puas.

Chastity mengamati tongkat dalam tangannya yang terkulai di atas pangkuannya. Chastity sepenuhnya sadar, ia belum sebahagia Lust. Ia belum terampil dalam hal itu. Tapi, tentunya, Lust belum seterampil dirinya dalam meraih prestasi.

Lust tampaknya sadar akan lamunan Chastity, karena ia berhenti memainkan rambutnya.

'Kenapa?' tanya Lust. Chastity menggeleng kepalanya pelan.

'Aku belum siap untuk menciptakan Patronusku sendiri,' tampaknya hal ini menyentuh Lust, karena ia sekilas memasang raut wajah berduka.

'Makanya, sering—sering bermain denganku. Kita buat kenangan bahagia untukmu,' ucap Lust dengan cengiran.

'Berhenti berbicara, kau hanya membuatku ambigu,' sahut Chastity, disambut tawa dari Lust.

Percakapan mereka terhenti begitu keduanya samar—samar mendengar suara tawa dan bincang murid—murid di luar asrama. Apakah itu para Slytherin? Pestanya sudah selesai, kah?

'Jam berapa ini?'

'Waktunya makan malam,' ujar Lust, setelah mengecek arlojinya. Ia menatap wajah Chastity lebih lekat sekarang, ramai suara anak—anak berbincang di luar membuat mereka merasa terburu—buru. Manik mata Lust sekilas beralih ke bibir Chastity. Lust pun berbisik dengan rendah.

'Kau tahu, kalau kau sungguh—sungguh mau bermain denganku dalam arti — ah, itu — jangan ragu untuk mengunjungi ruang rekreasi Hufflepuff.'

Sebelum Lust sempat mengedipkan matanya, Chastity sudah berdiri dari kursinya dan melangkah keluar dengan cepat.

'Kalau kau berani menyentuhku, akan kupastikan kau dikeluarkan sebelum kau melaksanakan N. E. W. T. mu!' jelas Chastity dengan lantang, meninggalkan Lust sendiri di kelas.

'Eh? Tunggu, Chassy, aku cuma bercanda!' panggil Lust, dengan cepat meninggalkan ruang kelas tersebut dan menyusul temannya ke Aula Besar. Chastity tak kuasa menahan senyum melihat tingkah Lust. Begitu Lust sudah sampai di sampingnya, barulah ia menyadari sesuatu.

'Lust, Patronusmu, kemana dia?' tanya Chastity.

'Ha? Dia sudah pergi daritadi. Tugasnya untuk melindungi, atau dalam kasus ini — menghibur — sudah selesai. Jadi dia boleh pergi,' jelas Lust. Chastity tak ingin menahan senyum di wajahnya.

Tampaknya Sabtu depan ada yang akan berkencan, pikir Chastity, menyengir begitu Lust dan dirinya sudah sampai di Aula Besar.

.

.

.

2599 words, ashiyaap. Kayaknya Emo nulis ini malah buat curhat. Malah rada ga nyambung jadinya. Yaudah deh.

Moga suka. :"0 #EdisiLustBijaksana

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top