[dsb · 09] - babak kesembilan
desember — BABAK KESEMBILAN ]
[ menenggelamkan renjana ]
***
"Maaf banget. Kamu udah lama nunggu di sini?"
Napas lelaki itu terdengar terengah karena berusaha berlari secepat yang ia bisa dari gedung fakultasnya menuju taman yang berdampingan langsung dengan gedung laboratorium Teknik. Meskipun jaraknya tidak terlalu jauh, tetapi Devan membawa banyak barang di dalam tasnya yang membuat lelaki tersebut lebih cepat merasa lelah.
Raya tersenyum menepuk sisi kosong dari bangku di sebelahnya seolah memberi isyarat bahwa lelaki itu harus duduk di sebelahnya. Devan duduk di sampingnya dengan agak canggung. Ia tahu senyum itu sama sekali tidak terlihat baik-baik saja. Terlebih lagi, gadis itu sepertinya memang telah menunggu terlalu lama di sana karena kelas Devan mendadak harus mengerjakan kuis tambahan.
"What do you want to say?" tanya Devan karena gadis yang lebih muda tidak juga mengeluarkan sepatah kata sejak ia sampai di sana. Mentari di atas kepala mereka mendadak tidak ada apa-apanya, tidak bisa menghangatkan suasana yang tiba-tiba agak terasa menggigilkan.
Namun, Raya masih juga memangku kebisuan. Bibir bawahnya digigit, seolah ia berada di antara kebimbangan harus mengatakan apa-apa yang di kepalanya atau tidak.
Taman yang bersisian langsung dengan Laboratorium Teknik itu memang selalu sepi. Para mahasiswa hanya sekadar singgah sebentar untuk menunggu asisten laboratorium memulai praktikum atau rehat sebentar sehabis praktikum. Hampir tak pernah dijadikan tempat nongkrong seperti taman fakultas.
Namun, hari itu rasanya taman laboratorium tersebut terlalu sepi, terlalu senyap, hingga Devan bisa mendengar tarikan napasnya yang terasa dingin dan dadanya yang berdegup cepat sekali.
"I ... I think ...." Devan masih menunggu Raya yang akhirnya bersuara meski agak terbata, seolah sedang menyusun kalimat yang tepat. "Kayaknya kita putus aja, ya, Kak."
Devan sudah menduga sebelumnya kalau Raya akan mengucapkan kalimat itu suatu hari nanti, karena sungguh, lelaki itu sudah berjanji pada dirinya sendiri kalau ia tidak akan mengatakan kalimat tersebut pada Raya. Sang Asisten Laboratorium hanya tidak menyangka kalau suatu hari itu adalah hari ini, pada Desember yang hampir menenggelamkan tahun untuk menjemput yang baru.
"Alasan remaja tanggung, Ya? Mau fokus ujian?"
Devan hanya asal menebak. Meskipun suara dan air mukanya tampak tak menunjukkan ekspresi apa pun, binar di matanya tidak ada.
"I guess the problems more than you think," sahut Raya dengan nada serupa bisik. Gadis itu akhirnya balas memandang setelah cukup lama hanya Devan yang memandanginya.
Lelaki itu tahu ke mana arah yang dimaksud. Permasalahan yang dirasakan Devan adalah bahwa mereka terlalu sibuk untuk satu sama lain. Ujian hampir tiba dan kewajiban sebagai mahasiswa juga semakin banyak.
Menjadi asisten laboratorium sekaligus mahasiswa Teknik Sipil membuatnya hampir gila. Devan juga tahu tidak mudah menjadi mahasiswi Kimia dengan jadwal praktikum yang terjadwal setidaknya tiga dari lima hari aktif perkuliahan. Belum lagi Raya yang baru merasakan semester pertamanya—masih meraba-raba dan berusaha berdaptasi sebaik mungkin.
Padatnya jadwal membuat mereka bahkan sulit hanya untuk sekadar pulang bersama atau berkirim pesan singkat. Kalau boleh menambahkan, Devan ingat bahwa mereka hanya beberapa kali menikmati rasanya berkencan sebagai
Namun, Devan masih merasa semuanya terlalu cepat. Mereka bahkan menjalin hubungan terhitung belum sampai dua minggu dan sang gadis sudah memilih untuk menyerah saja.
"Can we just step a little more?" Devan memperbiki posisi duduknya agar dapat memandang Raya dengan leluasa. "Just to make sure everything we did."
Raya tidak langsung menjawab. Ia memandangi Devan lama sekali. "You think so?"
"Maybe?"
"Ragu, Kak?"
Kedua muda-mudi itu serempak memangku bisu, bersama-sama memalingkan wajah dan menunduk, memandangi ujung sepatu mereka yang menyentuh tanah.
Devan memang ingin melanjutkan, setidaknya sampai mengetahui bahwa mereka hanya membutuhkan sesuatu yang diberi nama waktu. Namun, bagian selanjutnya ia malah berpikir bahwa bagaimana kalau ternyata waktu sama sekali tidak membantu, bagaimana jika perpanjangan itu hanya membawa pada akhir yang disebut sebagai sia-sia.
Ia tidak ingin menunggu hanya untuk kesia-siaan. Devan juga yakin Raya berpikir hal yang sama.
"I never dating anyone before you." Raya bersuara lagi setelah sekian waktu dilalui dengan keheningan. Gadis itu mengembuskan napas panjang sebelum melanjutkan. "I'm just scared."
Bahkan Devan juga sama. Ia tidak pernah mengencani siapa pun selama duapuluh tahun hidupnya. Meskipun beberapa gadis pernah mendekatinya sewaktu sekolah menengah dan beberapa adik kelasnya juga pernah terang-terangan menyatakan perasaannya, tetapi Devan tidak pernah menganggap semuanya serius. Lelaki itu hanya tersenyum atau tertawa canggung seolah kalimat-kalimat itu lelucon belaka.
"I just wanna know that, are you really trying to end it?" tanya Devan sembari memandangi gadis di sebelahnya yang perlahan menatapnya juga.
"Kakak sendiri gimana?"
Devan terdiam. Ia menatap mata Raya yang memancarkan biru lama sekali, menggenapkan kejanggalan. "I think ... yeah."
Raya adalah yang pertama untuknya dan dia juga merasakan takut yang sama. Namun, barangkali memang tidak ada yang bisa dipertahankan, terlebih untuk menunggu sesuatu yang hanya akan berakhir kesia-siaan.
Si Mahasiswi Kimia memalingkan wajah setelah mendengar ucapan lelaki yang barangkali saja sudah dapat ia sebut sebagai mantan kekasih. Perlahan, kepalanya tertunduk dalam sekali, hingga rambutnya yang terikat jatuh di sisi lehernya.
Devan tahu, Raya sedang menahan mati-matian akan tidak membanjirkan air mata saat itu juga. Sebab, ia juga tengah merasakan perasaan serupa.
Masing-masing masih betah memangku kebisuan. Barangkali memang senyap adalah isyarat yang bagus untuk merenungi macam-macam ucap yang tak sempat disuarakan. Devan dan Raya sama-sama tak memberi alasan sekiranya apa yang tepat untuk mengakhiri hubungan. Mereka hanya sama-sama tahu bahwa memberikan alasan tersebut hanya akan memberikan sakit yang lebih dalam, tetapi malah mereka mengurungkan niat untuk 'beranjak'.
"Kita masih bisa 'sama', kan, Kak Devan?"
"I wish that we can be friends like we did, Raya."
Devan sungguhan berharap serupa. Sayang sekali setiap paragraf berkemungkinan memiliki kalimat bermakna sebaliknya.
Raya mendongak lagi, menatap Devan. Matanya memerah, barangkali memang benar-benar tengah menahan air matanya. "Can I hug you? Maybe for the last time as a couple."
Devan tidak tahu apa yang akan terjadi esok, bahkan untuk detik berikutnya ketika mereka melepaskan dekap terakhir itu. Devan hanya tahu bahwa, memang barangkali sesuatu tidak akan selalu berakhir sama meskipun sudah berharap serupa. Seperti Desember yang memunculkan mentari, tetapi masih tidak dapat menghangatkan tanah.
***
[ BABAK KESEMBILAN — selesai ]
[ next » BABAK TERAKHIR ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top