[dsb · 07] - babak ketujuh

desemberBABAK KETUJUH ]
menarik desember ]

***

Devan pikir, Desember hanya mampu memangku setidaknya tiga hari saja dari cuaca tanpa awan keabu-abuan yang menutupi matahari. Namun, ternyata cuaca cerah masih dapat dirasakannya hingga hari ketiga belas Desember. Ia memaknainya sebagai awal yang baik.

Hari itu matahari menyinari lebih cerah dan lebih menyengat daripada biasanya. Meskipun sesekali angin masih berembus, rasanya hampir tidak seperti di bulan Desember. Matahari baru saja naik tepat di atas ubun-ubun, tetapi Devan sudah tersedak saat memakan udang sambal yang mereka beli di kantin Fakultas Teknik dan memutuskan memakannya di taman.

Namun, bukan sebab sambalnya yang terlalu pedas, melainkan pernyataan Raya yang tiba-tiba menuju topik yang tidak dikira sebelumnya.

"Kak, kayaknya aku suka sama kakak, deh." Begitu katanya seolah kalimat itu bukan hal besar sama sekali.

Ia bahkan mengatakannya tanpa beban atau bertingkah seolah-olah kalimat itu adalah hal yang biasa dikatakan seperti 'aku suka makan pudding rasa cokelat'. Raya justru terkejut saat Devan terbatuk-batuk dan langsung memberikan air dari botol minum yang ia bawa dari rumah.

"Maksud kamu gimana?" Devan bertanya susah payah. Lelaki itu memastikan bahwa Raya tidak sedang berkhayal atau bercanda saat mengatakannya. Ia meminum air lagi untuk meredakan rasa panas yang masih menjalar di tenggorokannya.

"Ya ...." Raya menerawang, menatap langit dengan sedikit ceceran awan putih bersih di atas kepala mereka. "I like you."

"In a romantic way?" Devan bertanya lagi.

Raya memandanginya agak lama sebelum menyahut. "I guess so." Gadis itu membubuhkan senyum tipis di akhir kalimatnya. Hanya dengan melihat mata Raya saja, Devan tahu kalau gadis itu sama sekali tidak berbohong atau bercanda saat mengatakannya.

Namun sungguh, harusnya Raya bisa mencari waktu yang tepat untuk mengatakannya hingga Devan tidak harus menahan rasa panas yang masih menyakiti tenggorokannya,

Devan masih tidak percaya atas apa yang dikatakan oleh mahasiswi Kimia itu. Ia sampai berkedip-kedip beberapa kali sembari menatap Raya yang sibuk memakan makan siangnya tanpa terganggu. Sebenarnya memang tidak ada yang salah dari ucapan Raya sama sekali. Namun, tetap saja Devan masih tidak percaya gadis itu dengan mudah mengucapkannya di saat gadis lain memilih diam saja atau memberi kode-kode tidak jelas.

"How it can be?" Dari seberang meja, Devan memandangi Raya dengan dahi berkerut.

Raya menerawang lagi sebentar sambil mengunyah makanan yang baru saja disendok ke muutnya. "Maybe ... because you have a good personality?"

Hari itu mereka cukup lama tidak saling berbincang. Padahal biasanya kalau duduk bersama seperti ini, kedua muda-mudi itu bisa menghabiskan makanan sembari berbincang entah apa. Sementara hari itu, suasana mendadak canggung.

Raya sangat fokus menghabiskan makanannya dan Devan tenggelam dalam kepalanya sendiri. Sedang memikirkan kemungkinan apakah benar bisa datang secepat ini. Devan memang tidak menampik kalau ia memang menyukai Raya, tetapi hanya sebatas teman yang asik diajak berbincang. Mereka baru kenal dua minggu, itu juga disebabkan oleh bola lumpur yang salah sasaran.

Perbincangan mereka berhenti sampai di sana karena bahkan matahari pun seolah tidak bisa mencairkan kecanggungan di antara keduanya. Sehabis makan siang yang agak beku itu, Raya berpamitan dengan alasan akan ada kelas setelah itu. Devan pun masih harus memandu praktikum mahasiswa.

Sampai di sana saja, lalu mereka berpisah jalan. Namun, meskipun praktikum sudah dimulai, Devan tidak fokus. Ia mendadak meragukan hanya menyukai Raya sebagai seseorang yang menyenangkan ketika diajak berbincang.

Mereka bertemu lagi keesokan harinya saat sama-sama hendak keluar gerbang kampus untuk pulang. Raya menyapanya dengan senyum riang yang biasanya memang ia tampilkan, seolah percakapan mereka kemarin memang hanya untuk kemarin saja.

Gadis itu memberikan sebuah makalah yang ternyata adalah proposal kepanitian. "Ini dari Kak Novan. Katanya dia nggak sempat mau ngasih ini karena masih sibuk meriksa laporan praktikum."

Devan menerima proposal tersebut. Ia senang mengetahui bahwa gadis itu tidak terusik terhadap apa pun yang terjadu kemarin. Padahal Devan sampai tidak fokus hanya karena sebaris kalimat itu.

"Please, don't tell anyone. Kak Novan bilang dia bakal ngasih aku nilai tambahan kalau mau ngasihin ini sama kakak."

Tawa renyah dari Raya membuat Devan tersenyum sampai ke telinga. Mahasiswi Kimia itu dengan mudah mencairkan kecanggungan yang tumbuh kemarin di antara mereka. Gadis itu bahkan mengajak Devan untuk makan sate di salah satu pedagang kaki lima tak jauh dari gerbang kampus.

"You look a bit mess today," kata Raya sesaat setelah mereka memesan dua porsi dan duduk di salah satu meja yang kosong. "Banyak tugas, ya?"

Devan agak terkejut, tetapi dengan cepat mengubah air mukanya seolah tidak terjadi apa pun. Bahkan Raya menyadari bahwa Devan agak berantakan. Padahal gadis itu hanya mengatakan segala hal yang berada di kepalanya.

"A bit." Sang asisten laboratorium tersenyum tipis. "But I can handle it all."

"That's good." Raya mengacungkan jempolnya. "Stay healthy. If you need some help, just call me."

Devan tertawa kecil sembari menggeleng. Suasana hatinya terasa sedikit lebih baik dibanding kemarin dan beberapa saat lalu. "Of course."

Kedekatan mereka terus berlanjut hingga beberapa hari ke depan. Mereka membincang apa saja, dari mana saja, entah mana saja. Sampai akhirnya Devan menyadari bahwa kedekatan mereka sebagai teman terlalu intens untuk disebut sebagai teman. Bahkan Devan lebih sering makan siang dengan Raya dibanding dengan teman sekelasnya, teman satu organisasinya atau bahkan Novan.

"Kak Novan kalau punya pacar pasti pacarnya beruntung banget karena punya pacar yang baik plus pinter."

Perkataan Raya hari itu terdengar seperti ocehan orang yang sedang mabuk. Padahal, mereka hanya makan martabak di taman kampus. Memang, agak lebih sore dibanding biasanya. Raya juga mengatakan bahwa ia belum makan siang karena harus menghadiri kelas pengganti, tetapi tidak ingin makan makanan yang terlalu berat.

Hari itu, Devan hanya membalasnya dengan tertawa ringan. Ia tidak menanggapi lebih lanjut dan menganggap Raya hanya akan mengatakannya untuk hari itu saja dan melupakan pembahasannya mereka keesokan harinya. Sayang sekali, kalimat-kalimat yang hampir serupa terus Raya lontarkan bahkan untuk hari-hari selanjutnya.

"If you have a girlfriend, which type do you like?" Itu adalah kata si mahasiswi Kimia ketika ia melihat sepasang kekasih bergandengan tangan di depan mereka saat akan ke kantin FMIPA.

"Rasanya pacaran, tuh, gimana, sih, Kak?" Adalah pertanyaan Raya di keesokan harinya.

Lalu sebagai puncaknya, gadis ini berucap, "Kalau Kak Devan makin ganteng gini, tambah baik gini, aku makin suka, Kak. Gimana, ya, jadinya?"

Di saat itu Devan menyadari bahwa Raya sama seperti gadis lainnya yang suka memberi kode-kode aneh. Asisten laboratorium itu suka menerka-nerka, tetapi tidak pernah terlalu memganggap apa pun sebagai suatu hal yang serius. Apalagi hal-hal yang menyangkut tentang kisah romansa. Ia tidak ingin terlibat dengan hal-hal seperti itu karena takut akan menganggu kesehariannya.

Namun, lebih dari apa pun yang ingin ia jauhi, barangkali mentari yang memilih membebaskan diri dari balik kungkungan awan keabu-abuan adalah jawabannya.

"Raya, kayaknya Kakak suka sama kamu. Gimana, ya?"

Pernyataan mendadak itu membuat Raya menoleh padanya dengan cepat dengan mulut menganga dan dahi berkerut. Suasananya hampir sama seperti pertama kali Raya mengucapkan pernyataan yang sama. Perbedaannya hanya gadis itu tidak tersedak walaupun air mukanya tampak terkejut.

"Kalau Kakak ngajak kamu pacaran, kamu mau, nggak?" Devan mengakhiri kalimatnya dengan senyum tipis.

Raya yang duduk di hadapannya masih belum bersuara. Dengan mulut yang masih menganga, ia berkedip-kedip beberapa kali seolah masih mencerna kalimat yang baru saja terlontar dari bibir sang asisten laboratorium. "Hah? Gimana, Kak?"

***

[ BABAK KETUJUHselesai ]
[ next » BABAK KEDELAPAN ]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top