[dsb · 06] - babak keenam
desember — BABAK KEENAM ]
[ membayar tunggakan ]
***
Untuk pertama kalinya sejak tahun menginjak Desember, ini adalah cahaya matahari pertama yang Raya rasakan. Ia tidak perlu takut-takut kalau hujan tiba-tiba menerpa dan mengotori pakaian atau sepatunya. Barangkali, seluruh pakaian yang dicucinya hingga saban hari akan kering pula hari ini.
Mahasiswi Kimia itu menapaki paving block lembab segi empat di pelataran kampusnya. Ia ingat sekali, malam datang, hujan lebat mungkin sedang mengguyur seisi kota. Beberapa jalanan yang Raya tapaki malah terdapat genangan air. Namun, barangkali matahari yang bersinar hari itu akan langsung menyapu bersih tidak sampai dua jam.
Raya berderap dengan suasana hati cerah menuju kantin Fakultas Teknik. Saban hari Devan sudah berjanji akan mentraktir dirinya. Kedua muda-mudi itu sepakat kalau mereka akan makan siang di kantin Fakultas Teknik saja, karena kalau sudah waktunya makan siang, kantin FMIPA sudah pasti sangat penuh dan pengap.
"Hey, girl, suit, suit."
Sembari menoleh kanan-kiri, Raya mencari-cari siapa yang sekiranya melontarkan kalimat genit sembari bersiul seperti burung jalak peliharaan ayahnya. Gadis itu kemudian mendapati seorang lelaki yang bersandar di sebuah pohon besar tidak jauh dari gedung utama Fakultas Teknik. Raya mendengkus, ia baru ingat kalau tetangganya itu adalah mahasiswa Teknik Sipil, sama seperti Devan.
"Kok sendirian? Jomlo, ya?"
Raya hampir sama berderap seolah ia tidak mendengar suara apa pun atau melihat siapa pun, tetapi lontaran kalimat yang terdengar menyebalkan dari Rian itu membuatnya mengurungkan niat. Gadis itu menatap tetangganya dengan mata mendelik.
"Ngaca!" sahut Raya dengan nada dibuat lebih menyebalkan.
Seperti biasa, bagaimana pun Raya membalasnya, Rian akan tetap berakhir dengan tertawa hingga bahunya bergetar dan akan terus menganggunya. Raya mendengkus lagi dan memutuskan akan tetap berderap pergi apa pun yang dikatakan lelaki itu nantinya.
"Cari pacar, Dek, biar jalan-jalan keliling kampusnya nggak sendirian lagi."
Rian agak memekik dari sana, diakhiri dengan tawa yang masih sama menyebalkannya di telinga Raya. Namun, seperti keputusannya di awal, ia tidak akan berbalik atau membalas lelaki itu lagi. Tidak di rumah, tidak di kampus sama saja.
Raya mengusap dadanya setelah tidak mendengar tawa dari tetangganya itu. "Sabar, yang waras emang harus ngalah."
Gadis itu sampai di kantin Fakultas Teknik tak lama kemudian. Tepat di depan pintu masuk, ia melihat seorang lelaki berkaca mata yang tengah menunduk, sibuk memainkan ponselnya.
"Kak Devan," panggil gadis itu sembari berderap mendekat. Devan mendongak lalu tersenyum padanya sambil menyimpan gawai tersebut di kantung celana.
"Udah nunggu lama, Kak?"
Devan hanya menggeleng masih memangku senyum yang sama. lelaki itu lalu mengajak Raya untuk langsung masuk saja ke kantin. Mereka menduduki salah satu meja yang masih kosong, dekat dengan stan yang menjual bakso bakar.
Meskipun tampaknya hampir seluruh meja dan kursi sudah diisi seluruhnya, tetapi kantin Fakultas Teknik sangat jauh berbeda dengan kantin FMIPA yang bahkan untuk bergerak saja harus bersenggolan dengan orang lain lebih dulu.
Devan menawarkan diri untuk langsung membeli makanan inti saja. Karena lelaki itu yang akan membayar seluruh makanannya, maka Raya membiarkan si asisten laboratorium itu saja yang memilihkan makanan untuknya.
Selagi menunggu Devan, Raya memandangi sekeliling kantin tersebut. Sesungguhnya, ini adalah kali pertamanya duduk di kantin Fakultas Teknik dan makan langsung di tempat. Selama memesan makanan di kantin FMIPA pun ia tidak pernah duduk dan makan di sana, selalu memesan untuk makan di kelas bersama teman-temannya. Hal itu karena kantin FMIPA hampir tidak punya tempat untuk semua mahasiswanya.
Sang asisten laboratorium datang tak lama kemudian, membawa dua mangkuk soto ayam yang asapnya masih mengepul-epul. Pemilik stan datang mengikuti Devan dan menaruh dua piring nasi dan es teh untuk mereka.
"Kamu suka soto, nggak?"
Raya mengangguk semangat atas pertanyaan Devan, ia berbinar menatapnya. Gadis itu menyicipi kuahnya lebih dulu. Menurutnya sudah cukup pas dilidahnya. Ia makan sembari tersenyum hingga ke telinga yang membuat Devan menggeleng sembari tersenyum.
"What do you want to eat for the next meals?" Devan berucap di antara kunyahannya.
Sembari mengunyah makanannya, Raya berpikir cukup lama—menimbang-nimbang makanan apa yang sebaiknya ia makan sebagai penutup. Kebetulan juga bukan dia yang akan membayarnya.
"Martabak?" Gadis itu memberikan saran.
Ia melihat kalau Devan agak mengerutkan dahinya sebentar. "Sweet or salty?"
Gantian Raya yang mengerutkan dahinya. "Hah?" Sepanjang yang mahasiswi Kimia itu tahu, martabak hanya punya rasa utama manis, kalau pun asin, pasti berasal dari keju. "Martabak asin maksudnya yang pake keju, kan?"
Devan tertawa ringan. Lelaki itu meneguk es tehnya sebentar sebelum membalas. "Masa kamu nggak tau kalau ada martabak asin? Itu martabak asin biasanya pake telur sama daging sapi, buka cokelat atau keju."
Raya melongo saja atas penuturan mahasiswa Teknik itu. Sesungguhnya ia memang tidak tahu kalau martabak semacam itu memang ada. Selama ini, kalau Raya bilang ingin martabak, ayah atau ibunya akan selalu membelikan gadis itu martabak dengan rasa manis tanpa bertanya seperti yang dilakukan Devan.
"So?"
Raya tersadar dari pemikirannya. Ia memandangi wajah Devan yang masih menunggu jawabannya. "Martabak manis aja, deh." Walaupun ia juga penasaran bagaimana rasanya martabak asin itu.
Selagi menghabiskan nasi yang telah disiram kuah soto, Raya tidak sengaja menatap salah satu meja yang tidak terlalu jauh dari mereka. Sepasang muda-mudi, seperti mereka. Raya mengenal sang lelaki sebagai tetangganya. Rian, tetapi tidak mengenal si gadis. Meskipun tidak terlalu terlihat seperti pasangan kekasih, mereka tampak cukup dekat. Raya menerka-nerka, mungkin saja tadi saat Rian meledeknya karena lelaki itu sudah punya pacar.
"You know him?"
Pertanyaan dari Devan membuat Raya beralih menatapnya. Laki-laki itu memperbaiki letak kacamata sebelum akhirnya mengernyit menatap sepasang muda-mudi yang dilihat oleh Raya tadi.
Raya mengulum bibirnya, berpikir apakah baiknya berbohong saja. Ia menggeleng beberapa kali. Namun, terlalu cepat mengangguk karena berpikir sepertinya tidak baik berbohong. Devan sampai mengerutkan keningnya dalam sekali sembari bergumam pendek seolah ia tidak mengerti sama sekali.
"Honestly, he's my neighbour." Raya mengembuskan napas. "Dia itu ngeselin banget, jadi kalau bisa nggak usah kenal sama dia aja."
Devan beralih tertawa renyak. "Be careful. Biasanya yang suka berantem itu malah jadi jodoh."
"Sama dia?" Mahasiswi Kimia itu membelalak tidak terima. "Eww!" Sayangnya masih dibalas dengan tawa oleh Devan. Kalau dipikir-pikir malah lebih baik memiliki pacar seperti Devan saja. Asisten yang rajin, membayar makanannya, dan tentu saja tidak pernah meledeknya atau melempari dengan buah ketapang matang.
"Kalau kakak, you know him?" Raya melempar tanya karena melihat Devan memandangi tetangganya seolah memang mengenal.
"I know both of them."
"Hmm?" Raya membulatkan matanya lagi.
"Kalau yang cowok, kakak aslabnya." Gadis ini tidak terkejut dengan fakta yang ini. Sebagai asisten laboratorium, Devan pasti memagang banyak kelas. Belum lagi program studi Rian dan Devan sama. "Kalau yang cewek, adiknya Novan."
Hingga pernyataan kedua, Raya sampai-sampai membuka mulutnya. Kalau Devan tidak mengatakannya, ia mungkin tidak akan tahu kalau asisten laboratoriumnya memiliki adik yang berkuliah di kampus yang sama.
"Dunia sempit banget." Raya dan Devan mengucapkannya bersama-sama lalu serempak tertawa sembari menghabiskan makanan pertama hari itu.
Kedua muda-mudi itu berlanjut membeli martabak topping triple—cokelat, susu, keju—yang diminta Raya. Namun, lelaki itu juga membelikannya martabak dengan isi daging sapi. Katanya, agar Raya tahu bagaimana rasa dari martabak asin. Sebagai penutup Devan membelikannya es krim vanilla sebelum akhirnya serempak memutuskan untuk pulang.
Rasa-rasanya memang agak terlalu banyak. Raya mungkin akan memutuskan untuk memberi Devan pudding dengan rasa berbeda esok hari.
***
[ BABAK KEENAM — selesai ]
[ next » BABAK KETUJUH ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top