[dsb · 04] - babak keempat
desember - BABAK KEEMPAT ]
[ menyimpulkan keterkaitan ]
***
Satu hal yang tidak Raya sukai dari Desember adalah hujannya. Walaupun sebenarnya gadis itu adalah tipe yang tidak suka bepergian, tetap saja hujan adalah salah satu hal yang menyebalkan. Ia tidak bisa pergi ke kampus tanpa basah-basahan, pakaian yang dijemur pagi-pagi sekali sulit kering, dan tentu saja dari itu semua—halaman rumahnya tidak akan pernah absen dikotori oleh dedaunan yang terpaksa terlepas dari dahannya.
Hari kelima di bulan Desember itu langit sudah memangku awan keabu-abuan sejak pagi buta. Mentari betah bersembunyi, seolah menikmati waktu senggangnya di musim penghujan. Raya berderap sendirian dengan langkah lemah di bawah kungkungan awan itu. Tujuannya adalah laboratorium Kimia yang letaknya tidak terlalu jauh dari gedung utama fakultas.
Sesungguhnya, kalau bukan karena spinner itu, Raya mana mau datang sendirian ke laboratorium untuk menemui asisten laboratoriumnya. Alasannya hanya karena di hari Jumat nanti tetap akan ada pengumpulan laporan praktikum. Padahal, di hari Kamis, kampus menerapkan libur bersama untuk memperingati kematian rektor pertama kampus tersebut.
Seluruh mahasiswa di kelas Raya sepakat untuk mengumpulkan laporan di hari Senin saja. Namun, yang menjadi masalah adalah tidak ada seorang pun yang membujuk Novan selaku asisten laboratorium mereka, bahkan komisaris kelas sekali pun.
Untuk mengatasinya, mereka sepakat untuk memakai spinner online dengan menuliskan nama mereka. Sialnya, nama Raya yang muncul. Maka, mau tak mau dia yang harus mendatangi asisten laboratorium itu sendirian dengan berbekal keberanian saja.
"Kak Novan!" panggil gadis itu begitu ia melihat sang asisten laboratorium yang berderap menaiki anak tangga, hendak mendorong pintu kaca gedung. Lelaki itu mengurungkan niatnya dan berbalik menatap Raya dengan kerutan di dahi. "Lagi sibuk, nggak, Kak?"
Novan menerawang sebentar. "Not really, actually." Lelaki itu memusatkan perhatian lagi pada gadis di depannya. "Why?"
Raya menggigit bibirnya sebentar sebelum menyahut. "Boleh bicara bentar, nggak, Kak?"
Sambil mengangguk, sang asisten laboratorium membalas, "Of course, tapi di ruangan kakak aja, ya. Bincangnya sambil meriksa laprak."
Dengan debar yang mendobrak-dobrak dadanya, Raya mengangguk agak kaku. Ia mengikuti Novan dari belakang, menyusuri lorong panjang laboratorium yang kanan-kirinya adalah pintu-pintu ruangan praktikum.
Mereka berbelok kanan begitu sampai di ujung lorong bersimpang tiga. Tidak jauh dari sana, mereka memasuki ruangan dengan tanda di atasnya bertuliskan 'Ruangan 11.12.11'. Namun, baru saja membuka pintunya, Novan dan Raya serempak terkejut karena seorang lelaki sudah duduk nyaman di salah satu kursi sembari mengerjakan entah apa di laptopnya.
"Oh, finally, he's coming,"katanya santai setelah melihat ke arah pintu. "What's up?"
"What's up?" Novan mengulang perkataan Devan dengan nada bingung yang terlalu kentara. Sepertinya ia masih tidak percaya temannya itu mendatanginya sampai menunggu di ruangannya dan barangkali sedang mengerjakan tugas pula. "What are you doing here?"
"Waiting for you?" sahut Devan dengan nada satir.
Ia menatap Novan yang bergerak menuju satu-satunya meja panjang di ruangan itu, di atasnya terdapat dua tumpuk makalah laporan praktikum mahasiswa setinggi lima puluh sentimeter.
"Masa aku nunggu Raya di sini?" lanjut mahasiswa teknik itu sambil beralih menatap gadis yang baru saja masuk ruangan dengan canggung. "Iya, nggak, Ya?" Devan menaikkan dagunya seolah meminta persetujuan dari Raya. Namun, gadis itu hanya tertawa pelan dengan canggung.
Novan mengambil sedikit laporan dari salah satu tumpukan, meletakkan di depannya dengan agak riuh. Raya agak tersentak, tetapi Devan malah tidak terusik sama sekali. "Apa pun urusan kamu, bicarain nanti. Soalnya ada yang udah antri duluan." Novan beralih dari menatap Devan yang hanya mengangkat bahunya tak acuh. Ia kemudian menatap Raya yang masih berdiri canggung di depan pintu. "Come here, Raya. What's your problem?"
Raya mengangguk sekali sebelum akhirnya berderap mendekati meja di mana Novan memeriksa laporan-laporan praktikum mahasiswa—mungkin miliknya atau milik salah satu teman sekelasnya. Ia duduk di salah satu kursi setelah disuruh oleh Novan.
"Gini, Kak." Raya menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Soal laporan Materi dan Perubahan yang harusnya dikumpul Jumat ini, boleh, nggak pengumpulannya diubah jadi hari Senin?"
Novan tampak tidak terkejut sama sekali. Ia masih terus memeriksa laporan praktikum seolah tidak pernah terusik. "Kenapa gitu?"
Mahasiswi Kimia itu terdiam sebentar sembari menggigit bibir bagiannya dalamnya. "Soalnya, kan, hari Kamis libur, Kak."
"Kan, pengumpulannya hari Jumat, bukan Kamis." Novan masih membalas dengan nada tenang, memeriksa seluruh tumpukan kertas di hadapannya tanpa melirik Raya sedikit pun.
Namun, hal itu malah membuat jatung Raya hampir terlepas dari tempatnya. Seluruh ujung-ujung jemarinya seolah hampir membeku karena ia begitu gugup. "Maksudnya, Kak, hari Jumat itu, kan kejepit," kata mahasiswi Kimia itu dengan pelafalan yang agak terbata-bata.
"Kalau ngerasa kejepit, Kakak bolehin ngumpulnya Rabu."
Raya menahan napasnya lama sekali. Sekarang hari Selasa, yang berarti pengumpulannya adalah esok. Gadis itu sudah membayangkan bagaimana wajah teman-temannya ketika tahu waktu pengumpulan malah dipercepat bukan ditunda.
"Tapi, Kak," Raya menelan sudah payah, mengembuskan napas pelan sebelum melanjutkan, "laporan saya belum selesai, teman-teman saya yang lain kayaknya belum selesai juga, Kak."
Novan akhirnya berhenti berkutak dengan seluruh tumpukan laporan itu. ia menatap Raya sembari melipat tangannya di atas meja. "Belum selesai atau belum ngerjain?" Meskipun suara Novan masih terdengar tenang, Raya merasakan bahwa bulu kuduknya meremang karena tatapan dari sang asisten laboratorium seolah akan menjadikannya remahan biskuit. "Kakak sebenarnya udah ngeduga kalau kelas kalian bakal datengin Kakak minta perpanjangan waktu pengumpulan. Tapi mau hujan badai, banjir, dan tornado, pengumpulan laporan tetap harus di hari Jumat."
Embusan napas kecewa menguar dari bibir satu-satunya gadis di ruangan itu. Sebenarnya ia bisa saja mengatakan kalau semua dosen yang mengajar di hari Jumat sepakat untukk melakukan perkuliahan daring. Namun, yang jadi masalah adalah Raya tidak tahu dosen Novan juga menerapkan hal yang sama. jadi percuma saja Raya mengatakan hal tersebut.
"Kak, Senin, ya? Kan Jumat kejepit, Kak."
Pada akhirnya, Raya kembali memelas dengan kedua tangan saling bertangkup, berharap kalau-kalau Novan mau mengabulkan permintaannya. Ia tidak ingin kembali dengan membawa kabar yang sia-sia. Namun, kalau permohonannya masih juga ditolak, ia mungkin akan menyerah saja.
"Enggak, Raya. Udah balik kelas kamu sana." Novan mengibaskan tangannya di udara tanpa menatap balik lawan bicara. Ia sangat fokus dalam memeriksa laporan praktikum mahasiswa itu. "Lain kali jangan mau dijadiin tumbal lagi."
Raya menyandarkan tubuhnya di kursi dengan lemas. Ia tidak terkejut sama sekali atas pernyataan Nova. Mungkin beberapa orang yang telah mendatanginya mengatakan hal serupa—atau barangkali Novan juga pernah mengalaminya sendiri.
Gadis itu hampir saja beranjak dari tempatnya. Namun, perkataan dari Devan yang sedari tadi hanya diam saja selama perbincangan mereka, membuat Raya menatap penuh minat pada lelaki berkaca mata yang tengah membacakan sesuatu dari gawainya.
"Kepada seluruh Mahasiswa/Mahasiswi Universitas Sujana Dikara, diberitahukan bahwa perkuliahan di Hari Jumat, 8 Desember dilakukan secara daring melalui website kampus. Terima kasih."
"Maksud?" Novan tidak lagi sibuk dengan laporan praktikum itu melainkan menatap temannya dengan kerutan dalam.
"Ya, berarti emang Jumat itu kejepit." Devan menaikkan kedua bahunya singkat, lalu melirik
Raya beralih memandangi Novan dengan air muka memelas, berharap asisten laboratoriumnya itu mau mempertimbangkan permintaannya lagi. Namun, Novan hanya melirik gadis itu saja, lalu beralih pada Devan sembari memberikan tatapan tajam.
"Nggak jadi rapat juga hari Jumat. I came here to tell you that," lanjut Devan. Sungguh, Raya berterima kasih sekali karena lelaki itu berada di pihaknya dengan membantu membujuk Novan.
Novan mengembuskan napas panjang. Akhirnya menatap Raya seolah mengatakan dengan matanya ia akan menyerah. "Karena Kakak baik, jadi pengumpulannya hari Senin."
"Kakak baik, kakak baik, bilang aja malas datang ke kampus," ejek Devan di seberang sana sambil terus mengerjakan entah apa di laptopnya.
Namun, air muka bahagia sedikit surut dari wajah Raya. Ia mengawatirkan hal lain. "Nilainya nggak dikurangin, kan, Kak?"
"Enggak," jawab Novan dengan nada jengah.
"Thank you so much, Kak Novan." Raya hampir saja melompat girang jika saja tidak sadar kalau di sana masih ada Novan dan Devan yang memandanginya. "Thanks to you too, Kak Devan." Gadis itu kemudian beralih menatap Devan yang memandanginya sembari tersenyum kecil. Mahasiswa Tekni Sipil itu menaikkan dagunya sekali.
Mungkin, Raya akan mengucapkan terima kasih pada kedua orang itu dengan cara lain nanti. Terlebih, ia tidak perlu pergi dari sana sembari membawa kabar yang sia-sia.
***
[ BABAK KEEMPAT - selesai ]
[ next » BABAK KELIMA ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top