[dsb · 02] - babak kedua

desemberBABAK KEDUA ]
mengembalikan identitas ]

***

Sedari perjalanan pulang di dalam bus, hingga keesokan harinya saat sudah menjejaki gerbang kampus dengan sisa-sisa keriuhan kemarin sore, Raya tidak henti-hentinya merutuki diri sendiri. Bagaimana mungkin dengan lugunya ia menerima jaket orang asing begitu saja tanpa bertanya identitas sedikit pun? Sekarang, gadis itu sendiri yang kebingungan bagaimana caranya mengembalikan benda itu kepada pemilik aslinya.

"Bodoh, emang bodoh banget." Kira-kira begitulah kalimat yang terus berteriak di telinganya kalau ia secara tidak sengaja melihat jaket yang disampirkan di kursinya.

Bertanya pada teman-teman sekelasnya juga sedikit tidak mungkin karena mereka semua bahkan memasuki dunia perkuliahan terhitung belum tiga bulan. Mengenal beberapa kakak tingkat di program studi yang sama saja sudah sangat bagus. Sayangnya, Raya sendiri tidak tahu dari fakultas atau jurusan apa pemilik jaket ini.

Kalau Raya ingin sembarangan menebak, ia punya firasat kalau lelaki kemarin itu adalah kakak tingkat yang berada di Fakultas Teknik.

Sebenarnya, sematan kata 'bodoh' itu bukan hanya untuk tidak menanyakan identitas pemilik jaket tersebut, tetapi juga karena rasa penasarannya terhadap keriuhan yang ada di depan gerbang kampus. Kalau saja ia tidak penasaran dengan apa yang sedang terjadi dan melihat terlalu dekat, maka mungkin celananya tidak akan terkena lumpur dan ia tidak perlu meminjam jaket orang lain untuk menutupinya.

Raya sampai harus berbohong sedikit pada ibunya saat sampai di rumah. Ia bilang kalau ada anak-anak iseng yang bermain lumpur hingga mengenai bajunya, dan jaket itu adalah jaket teman sekelas Raya.

Sungguh, bahkan untuk satu kebodohan saja ia sudah berbohong dua kali pada ibunya.

Sehabis kelas pertama berakhir hari itu, bersama beberapa teman sekelasnya, Raya diajak mengunjungi kantin Fakultas MIPA. Pengap dan penuh, karena memang mereka pergi saat makan siang sedang berlangsung. Belum lagi, mahasiswa dari fakultas ini bukan main banyaknya. Kalau Raya melihat pengumuman kelulusan empat bulan lalu di website kampus, fakultas ini adalah penyumbang mahasiswa paling banyak. Tidak heran kalau kantin rasanya sangat sesak.

Raya dan teman-temannya sepakat untuk membawa makanan mereka ke kelas saja. Pasalnya meja dan bangku-bangku kosong tidak kelihatan sama sekali, semuanya sudah penuh. Namun, alih-alih langsung pergi mengikuti temannya kembali ke kelas, Raya mengejar sekelompok mahasiswa dengan jas yang tampak seperti jas keorganisasian mahasiswa kampus. Ia melihat asisten laboratoriumnya bersama dengan orang yang ia cari-cari, si pemilik jaket tempo hari.

Mahasiswi tahun pertama Kimia itu berusaha merobos di antara lautan manusia yang berdesakan dalam antrian. Raya berusaha bergerak secepat mungkin, karena meskipun kantin padat dan sesak, sekelompok mahasiswa itu tampak bergerak sangat cepat keluar dari kantin melalui pintu yang lainnya. Sayang sekali, begitu Raya sudah berada di depan pintu kantin, sekelompok mahasiswa itu tidak dapat dilihat di mana-mana. Gadis itu mengembuskan napas lelah yang terdengar kesal.

Namun, air mukanya seketika berubah agak bersemangat. "Oh, iya, nanti, kan, ada jadwal praktikum sama Kak Novan."

***

"Your jacket looks familiar."

Gadis itu menyengir lebar sekali mendengar pertanyaan dari asisten laboratoriumnya, Novan. Mereka sudah selesai melakukan praktikum, beberapa temannya yang lain juga sudah keluar dari gedung, sisanya masih membereskan barang-barang di dalam ruangan, sedangkan Raya sudah keluar dari ruangan sambil menyampirkan jaket di tangan—bertingkah semencolok mungkin—agar Novan meliriknya sebentar.

"Oh, iya, Kak." Raya masih menyengir sambil tertawa sedikit. "Sebenarnya aku mau ngembaliin jaket ini sama orangnya. But, I don't know where is he from."

Lelaki dengan rambut kaku yang hampir menutup dahi itu terdiam dengan dahi yang kerutannya tercetak cukup banyak. "If you don't know who is he, how can you return that thing?"

"Ya, itu makanya, Kak!" Raya menggaruk belakang telinganya. "Maksudnya aku mau minta tolong sama kakak juga, sih."

Novan menunjuk dirinya sendiri dengan mulut menganga. "Maksud kamu, Kakak yang harus nyari siapa yang punya jaket ini di seluruh kampus? Nggak dulu, deh."

Mahasiswi tahun pertama itu mengibaskan tangannya dengan cepat. "Bukan gitu, Kak. Aku udah tau orangnya yang mana. Tadi siang, di kantin aku liat kakak jalan sama gerombolan kakak-kakak organisasi kampus, kakak itu juga salah satunya."

Terdengar oh panjang dari asisten laboratorium itu. "Orangnya yang mana?"

"Yang pake kacamata frame putih," sahut Raya bersemangat.

Novan tampak berpikir sebentar, menerawang ke langit-langit gedung laboratorium sembari mengulang ucap 'frame kacamata putih'. Kemudian, lelaki itu berseru semangat, "Oh, I know him! I think he's the only one person, but let's check it." Ia merogoh gawai dari saku celananya, mengusap beberapa kali lalu menunjukkan sebuah foto pada Raya. "Is he?"

"Iya, Kak, dia orangnya." Raya bersemangat sekali sampai senyumnya mencapai telinga. Memang, ia tidak salah menargetkan asisten laboratoriumnya itu untuk ditanyai.

Meskipun sambil bergerutu—berucap kalau harusnya Raya meminta nomor ponselnya atau minimal nama dan jurusan—Novan juga mengatakan bahwa ia akan menghubungi temannya yang bernama Devan itu agar mendatangi mereka di laboratorium FMIPA. Namun, tampaknya sang pemilik jaket masih sibuk sehingga Novan bilang sebaiknya Raya sendiri yanga harus mendatangi laboratorium Fakultas Teknik.

Raya mengangguk paham setelahnya. Secara sadar, memang harusnya sang peminjam yang harus mengembalikannya sendiri, bukan pemilik asli yang harus menjemputnya. Setelah berterima kasih pada Novan, gadis itu beranjak pergi menuju laboratorium Fakultas Teknik.

Mahasiswi Kimia itu menyusuri koridor panjang yang sepi. Dari sana, ia melihat hampir setiap ruangan berisi oleh para mahasiswa yang sedang mengerjakan praktikum bersama seorang asisten laboratorium. Kata Novan, ruangan yang digunakan Devan untuk memeriksa hasil praktikum ada di paling ujung pada lantai satu. Kalau Raya pikir-pikir, menjadi asisten laboratorium hampir sama rasanya menjadi seorang dosen. Mungkin Raya akan mempertimbangkan untuk menjadi asistem laboratorium nanti.

Ada salah satu ruangan yang pintunya terbuka lebar. Di bagian atasnya tertulis 'Ruang 22.51.23'. Saat Raya mengintip melalui pintu ada seorang lelaki berkacamata yang duduk di meja paling sudut ruangan sedang sibuk memeriksa tumpukan-tumpukan yang tampaknya adalah laporan praktikum mahasiswa.

"Permisi, Kak, selamat siang." Raya berucap setelah mengetuk pintu kayu berlapis cat cokelat tua tersebut.

Devan mendongak, tampak agak terkejut setelah mengetahui siapa yang mendatanginya. Namun, ia segera beranjak meninggalkan tumpukan laporan itu dan menemui Raya yang berdiri dengan canggung di depan pintu.

Jaket berwarna hitam di tangan Raya diangsurkan pada Devan. Gadis itu tersenyum agak canggung pada lelaki di depannya. "Ini, Kak, aku mau ngembaliin, jaketnya. Thanks a lot, its really helps me. Sorry, aku nggak cuci jaketnya dulu." Raya berlanjut menampakkan jejeran giginya.

"No problem." Mahasiswa tahun ketiga Teknik Sipil itu membalas dengan senyum hangat sembari menerima jaketnya. "Nice to know that. Mungkin ada baiknya kita nggak usah penasaran lagi biar gak kena apes."

Kedua muda-mudi itu serempak tertawa bersama di lorong yang sepi milik laboratorium. Kalau Raya tidak salah ingat, kakak tingkatnya ini juga terkena lemparan lumpur di celana dan sepatu putihnya. Malang sekali mereka berdua kemarin. Tentu saja Raya tidak ingin lagi penasaran kalau ada bentrok lain hari lagi di kampus itu.

"Kalau gitu ... aku balik duluan, ya, Kak. Sekali lagi makasih banyak." Raya tersenyum lagi, berusaha sehangat mungkin. Saat akan berbalik hendak pergi, ucapan dari Devan membuatnya mengurungkan niat.

"Hey, what's your name?"

"Raya, Kak." Gadis itu menggaruk hidungnya sebentar. "Maba Kimia."

***

[ BABAK KEDUAselesai ]
[ next » BABAK KETIGA ]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top