Bab 9. Suspicion
Lizzy sedang berusaha menetralkan degup jantungnya yang berpacu keras, sangat keras hingga rasanya merambat sampai kepala yang terasa mau pecah.
Saat ini Lizzy sedang mencari cara untuk mengambil buku Dark Game yang diberikannya pada Liora minggu lalu.
Keputusannya sudah bulat, Liora tidak boleh sampai membaca habis isi buku itu. Lizzy khawatir Liora akan bertindak ceroboh dengan mempraktekkan semua permainan dalam buku itu. Apalagi setelah insiden adu argumen antara Liora dan Aldo di kantin istirahat tadi, Lizzy yakin mulai saat itu Liora akan melakukan apapun untuk membersihkan nama baiknya dan mendapatkan izin ekskul siaran lagi.
"Gue harus secepatnya ngambil buku itu, pokoknya Liora nggak boleh baca! Tapi gimana caranya, ya?" Lizzy mengacak-acak rambutnya gemas karena tidak kunjung mendapatkan ide.
Lalu ia memandang lurus ke arah cermin toilet di depannya, tiba-tiba kepikiran soal pertanyaan Aldo saat istirahat pertama tadi.
"Liz, boleh nanya, enggak?" tanya Aldo saat jarak sudah terlihat jelas dengan Liora, di depannya.
Lizzy menoleh, sudah menebak dari gelagat cowok di sebelahnya. "Nanya apa?"
"Lo indigo, ya?"
Lizzy terkesiap.
Tiba-tiba terdengar bunyi dering bell tanda waktu istirahat sudah selesai yang menyelamatkan Lizzy dari pertanyaan tak terduga yang dilontarkan Aldo.
"Eh, udah bel. Balik ke kelas, yuk, Liz?" Saking terkejutnya, Lizzy sampai tidak menyadari kalau Liora sudah berdiri di sampingnya mengajak segera kembali ke kelas.
"Ayo." Lizzy menoleh kembali ke arah Aldo dengan gugup, "Kami duluan."
Lizzy tidak henti-hentinya menghela napas lega sampai saat ini karena tadi ia tidak harus menjawab pertanyaan Aldo. Ia merasa kalau hal itu tidak pantas dipertanyakan oleh seseorang yang tidak mengenalnya secara dekat. Lagipula, apa alasan Aldo menyimpulkan bahwa dirinya indigo?
Lizzy berjalan masuk ke kelasnya--XI IPA 2 yang tampak rusuh. Semua siswa berkeliaran, sibuk dengan kegiatannya masing-masing karena guru mata pelajaran belum masuk. Atau mungkin tidak masuk?
Lizzy duduk di kursinya yang bersebelahan dengan Liora, dilihatnya gadis itu sedang sibuk menuliskan sesuatu di buku catatannya.
"Lagi nulis apa, Lio?"
"Cuma lagi coret-coret nggak jelas, kok," katanya sambil tersenyum lalu menutup buku itu dengan cepat, seolah tidak membiarkan Lizzy mengintip sedikitpun isi dari buku catatannya itu.
"Oh iya, tadi lo sama Aldo ngomongin tentang ekskul siaran, ya?" Lizzy berusaha bertanya dengan hati-hati, tidak ingin membuat pikiran Liora kembali terbebani dengan statusnya yang masih mengambang sejak tuduhan membunuh Kulina.
"Iya," jawab Liora singkat. Pandangannya lurus ke depan dengan sorot yang sulit diartikan, seperti terlalu banyak emosi yang tersirat di sana. "Dia nanya kelanjutan ekskul siaran yang diberhentikan."
Seorang laki-laki dengan rambut klimis dan kaca mata kotak berjalan ke depan papan tulis, meminta perhatian seluruh siswa di kelas termasuk Lizzy yang tidak jadi menyahuti jawaban Liora.
"Hari ini Bu Hetty nggak jadi masuk mapel Kimia karena ada urusan mendadak. Katanya nggak sempat ngasih tugas, kita disuruh belajar sendiri aja buat ujian minggu depan," kata Adit si ketua kelas dengan gaya khasnya, berbicara sambil memasukkan kedua tangan dalam saku celananya. Setelah pengumuman singkat dari ketua kelas itu suasana kelas kembali ricuh dengan sorak-sorai kebahagiaan mendapatkan jam kosong.
"Eh tau nggak, katanya hujan darah di kelas sepuluh satu tadi pagi itu teror dari arwah Kulina," kata seorang gadis berkawat gigi yang duduk di belakang Lizzy dan Liora.
"Masa iya? Jangan ngarang, deh!" Perbincangan mereka dengan nada yang memang agak keras langsung menarik perhatian beberapa siswa lainnya yang pelan-pelan mengelilingi meja mereka hanya untuk sekedar bergosip.
"Yah, coba aja kalian ingat-ingat. Sebelum kematian Kulina, di sekolah kita nggak pernah ada kejadian yang aneh-aneh, kan?"
"Bener juga, sih." Salah satu gadis berkacamata yang baru datang menyahuti. "Apalagi penyebab kematiannya masih belum diketahui pasti, bunuh diri apa dibunuh?"
"Hmm, pernah nggak kalian denger tentang cerita hantu di gedung kesenian?" kata seorang gadis lain dengan rambut ikalnya yang dikuncir kuda.
"Oh, iya. Tapi gue lupa gimana ceritanya," kata gadis berkawat gigi sedangkan yang lainnya hanya diam mulai menyimak.
"Cerita hantu gedung kesenian dimulai dari tiga puluh tahun yang lalu. Mereka bilang, kalau lo berjalan sendirian di gedung kesenian pada malam hari dan lo melihat ada lampu yang menyala di salah satu ruangan lalu mematikannya, lo akan dikejar oleh seseorang yang memakai topeng. Kalau lo nggak bisa melarikan diri dan itu bisa menyentuh lo, lo akan ditemukan tewas di pagi hari berikutnya. Dan ada juga yang bilang, kalau lo sendirian di ruang musik pas tengah malam dalam keadaan gelap gulita dan main piano di depan cermin kuno yang ada di sana, katanya itu bisa bikin lo pindah dimensi!"
"Jadi maksud lo Kulina meninggal karena hantu gedung kesenian itu?"
"Mungkin iya. Atau mungkin bukan."
Saat gadis itu menyelesaikan kalimatnya, semua pandangan siswa yang mengelilingi meja itu otomatis langsung mengarah ke satu titik yang sama.
Lizzy menoleh ke meja di belakangnya untuk melihat siapa yang berbicara soal cerita hantu gedung kesenian, lalu menatapnya tajam seolah berkata jangan nuduh orang sembarangan. Liora merasakan ada beberapa pasang mata yang menatapnya tajam dari belakang seolah menembus punggungnya namun ia sama sekali tidak menoleh. Sudah biasa, pikirnya.
Lalu di menit berikutnya, tanpa melirik ke arah Lizzy sedikitpun, Liora langsung berdiri sambil membawa buku catatannya yang bersampul cokelat tebal lalu berkata, "Gue ke perpus dulu."
Lizzy membiarkan Liora pergi, mungkin dia memang butuh sendiri. Karena saat itu masih banyak waktu yang tersisa sebelum jam pelajaran selanjutnya, banyak siswa yang memilih keluar kelas untuk sekedar mengusir pengap termasuk gerombolan tukang gosip tadi. Hanya tersisa beberapa anak di dalam kelas yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing seperti membaca buku, bermain game di handphone atau menelungkupkan kepalanya tidur di atas meja. Totalnya ada empat orang kalau termasuk Lizzy.
Lizzy langsung melihat keadaan sekitarnya, memastikan kalau tidak ada yang memperhatikannya. Lalu Lizzy memandang tas Liora disampingnya, ia merasa kalau ini saat yang tepat untuk mengambil buku Dark Game itu.
Dengan sangat pelan Lizzy menurunkan risleting tas Liora agar tidak menimbulkan suara berisik yang bisa memecah keheningan kelas sambil sesekali menatap pintu, kalau-kalau Liora masuk tanpa ia duga. Sialnya, baru setengah ia menurunkan risleting tas itu, Liora benar-benar masuk ke kedalam kelas dan membuat Lizzy cepat-cepat menarik tangannya.
"Lizzy, ngapain?" Liora bertanya dengan heran karena dia yakin sebelumnya Lizzy menyentuh tasnya.
"Eh, Lio. Enggak, aku tadi cuma mau bantu rapatin risleting kmu aja," kata Lizzy lalu cepat-cepat mengancing tas Liora seperti semula lalu tersenyum kikuk.
Liora mengernyitkan keningnya tanda berpikir. "Perasaan tadi udah gue tutup rapat, deh?"
"Kok lo balik lagi?" Lizzy malah mengubah arah pembicaraan mereka.
"Mau ngambil pulpen." Liora mengambil sebuah pulpen mekanik di laci mejanya, "Tadi ketinggalan," katanya tersenyum singkat lalu keluar lagi.
Lizzy menghela napas lega karena aksinya tidak diketahui Liora.
"Hampir aja..." Lizzy kembali memandangi tas Liora selama beberapa detik lalu menguatkan tekadnya untuk mengambil buku itu. Dia menurunkan risleting dengan cepat tanpa memedulikan suara yang ditimbulkannya, selama anak-anak lain tidak menaruh perhatian padanya ia pikir itu tidak masalah.
Namun Lizzy harus menelan kecewa saat tidak menemukan buku itu dalam tas Liora. Ia jadi semakin cemas, apakah Liora sudah selesai membaca buku itu? Lizzy buru-buru menutup tas Liora seperti semula, takut Liora datang lagi.
"Kalau Liora nggak bawa buku itu ke sekolah, berarti dia belum baca buku itu, dong?" Lizzy mengingat kebiasaan Liora yang selalu membawa kemanapun buku yang sedang dia baca. "Gimanapun caranya gue harus dapetin buku itu. Gue nggak mau Liora sampai dapat masalah, gue ngerasa ada yang nggak beres sama buku itu."
- DENTING –
Di tengah perjalanan menuju perpustakaan, Liora berpapasan dengan seorang gadis yang menurutnya mencurigakan terkait kasus Kulina dan tampangnya sangat menyebalkan. Siapa lagi kalau bukan Viola?
Liora masih bisa melihat noda-noda merah yang luntur terkena air di seragam gadis itu bekas insiden tadi siang.
Rasanya Liora ingin sekali mencegat Viola untuk menanyakan perihal hujan darah itu dan tentang hubungannya dengan Kulina, Liora ingin mengetahui seburuk apa sih hubungan Kulina dan Viola?
Karena sifat sok berkuasa Viola itu membuat dia jadi tertuduh ideal di mata Liora.
"Viola!" panggil Liora saat gadis itu sudah melewatinya.
Viola menoleh ke belakang dan hanya mengangkat alisnya seolah mengatakan, "Apa?"
Liora berjalan mendekat lalu berkata, "Gue mau ngomong."
"Ini udah ngomong," kata Viola dengan raut wajah yang sangat menyebalkan.
"Eh, yang sopan sedikit dong! Gue ini senior lo."
Viola lalu mendengus geli lalu memamerkan senyum sinisnya, "Apa perlu, gue ngebantuin lo ngumumin soal senioritas biar lo nggak usah capek-capek ngomong ke setiap anak kalo lo senior gini?"
Liora malas berdebat saat ini, ia lebih memilih untuk menarik napas dalam lalu menjawab, "Nggak perlu, makasih. Tapi yang mau gue omongin ke lo sekarang adalah soal Kulina dan hujan darah di kelas lo tadi siang."
Walaupun hanya sekilas, Liora sangat yakin kalau ada perubahan ekspresi pada Viola yang sulit dijelaskan karena gadis itu dengan cepat memasang tampang angkuh seperti sebelumnya.
"Apa?"
"Lo yang ngebunuh Kulina?" tanya Liora tanpa tedeng aling-aling. Ia hanya sudah terlalu muak dituduh sebagai pembunuh Kulina, padahal jelas-jelas yang sering menganiaya Kulina adalah Viola.
Liora tidak bisa menebak apa jawaban Viola saat gadis itu menatap matanya selama beberapa detik lalu tanpa ia duga Viola tertawa keras.
"Ternyata lo berani juga sama seorang Viola." Viola tersenyum meremehkan lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Liora dan berbisik, "Tapi lo perlu tau, bukan gue yang bunuh Kulina. Dia mati sendiri." Viola menekankan kata sendiri di kalimatnya yang membuat Liora semakin penasaran tetapi Viola sudah lebih dulu melenggang pergi.
Liora berjalan gontai di koridor menuju kelasnya, sepeninggalan Viola saat berjalan ke arah perpustakaan ia berpapasan dengan Miss Madison dan kembali menanyakan perihal status ekskul siaran yang masih dibekukan.
Namun, lagi-lagi penolakan Miss Madison atas permintaannya menjalankan kembali ekskul siaran minggu depan cukup membuat Liora membatalkan niatnya untuk ke perpustakaan dan merasa seluruh mimpinya runtuh.
Pihak kepolisian memang belum mengeluarkan keputusan resmi atas status Liora namun semua sorot mata yang menatapnya seolah mengatakan kalau dialah sang pembunuh, membuat Liora terpojok tanpa bisa melawan sedikitpun.
Percuma saja dia berteriak mengumandangkan bahwa bukan dia yang membunuh Kulian, toh semua bukti merujuk padanya.
Liora memutuskan duduk di kursi panjang di tengah koridor, mencoba merenungi semua perkara yang menimpanya saat dia merasakan ada seseorang yang menghampirinya.
Kursi tempatnya duduk sedikit bergoyang, menandakan orang itu yang baru saja duduk di sampingnya.
"Ekskul siaran itu mimpi lo sejak pertama masuk sekolah ini, kan?"
Liora kenal suara itu, Aldo. Wakilnya di ekskul siaran.
Tanpa menoleh Liora hanya menjawab, "Iya."
"Lalu apa sekarang lo sudah menyerah?"
Liora mengernyit tidak suka dan langsung menoleh cepat kearah Aldo sampai kedua manik mereka saling menatap tajam, "Gue nggak akan pernah nyerah atas ekskul ini, setidaknya sampai gue lulus."
"Kalau gitu, kenapa lo cuma duduk diam di sini tanpa ngelakuin apapun?" Suara Aldo menyimpan kekesalan di dalamnya, Liora tahu itu karena diapun sama kesalnya.
"Gue udah ngelakuin semua yang gue bisa dengan status 'tersangka' ini!" Liora menyahut dengan sarkas.
Tanpa Liora duga sebelumnya, Aldo langsung berdiri dan berlalu meninggalkannya. Dia masih memandangi punggung Aldo yang mulai menjauhinya sampai lelaki itu berhenti melangkah dan berbicara tanpa menoleh, "Kaki lo boleh runtuh, tapi mimpi lo jangan." Lalu dia berbelok di ujung koridor, meninggalkan Liora yang tertohok karena perkataannya barusan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top