Bab 6. Shattered

Eskul siaran belum mendapat izin oleh guru untuk diaktifkan kembali. Lizzy tahu, itu alasan masuk akal untuk marah dan kesal. Tapi Liora bertingkah berbeda. Seakan ada dinding yang mulai dibangun Liora untuk membatasi mereka. Ia benci mengakui itu tapi kenyataanya memang demikian.

Lizzy memutuskan meminjam buku yang sama dengan yang ia tunjukkan ke Liora. Pustakawan tampak heran karena kurang dua jam yang lalu meminjam buku 13 Dark Game bersama sahabatnya. Karena pintar mengarang, cewek itu membuat alasan apa saja agar bisa dipinjami. Berkata haus ilmu pengetahuan hingga perlu referensi untuk membuat cerita pendek agar berhasil masuk koran lokal.

Di kelas hingga jam pulang, Lizzy tak berminat menceritakan hal tersebut. Jadi ketika Liora memutuskan untuk tidak banyak bicara saat perjalanan pulang, ia melakukan hal yang sama persis. Diam malah membungkus mereka melangkah ke arah berbeda.

Lizzy membanting tubuhnya ke dipan. Hari ketiga saat mereka lebih banyak bungkam. Membicarakan PR jika perlu, mengajak makan di kantin tapi sekarang keduanya sibuk dengan makanan di bekal masing-masing dan percakapan tentang siapa cowok paling keren mulai terasa hambar.

Manik matanya mengamati langit-langit kamar. Mencari bintang. Ia tak bisa melihatnya sekarang. Karena cahaya senja menerobos jendela kamar. Burung bercicit riang di dahan-dahan pohon. Sedangkan bintang-bintang tersebut hanya terlihat saat malam. Liora niat sekali menggambar menggunakan fosfor agar menyala ketika gelap.

Ketika memikirkan hal tersebut, benaknya melayang kepercakapan singkat saat pulang. Bukan sekadar bahan obrolan. Nadanya serius. Suara penuh kehati-hatiaan. Membuatnya menduga-duga hingga sekarang.

"Lizzy, gue mau nanya sesuatu. Boleh?"

"Boleh."

"Apa alasan orang memutuskan mengakhiri hidupnya?"

"Ketika orang itu tak memiliki alasan untuk menjalani kehidupannya."

"Kenapa seseorang perlu alasan untuk hidup?"

"Karena tanpa alasan, seseorang tidak akan tahu apa tujuannya hidup."

"Apa mungkin Kulina bunuh diri?"

"Masih lo pikirin?" Pertanyaan retoris.

Liora mengangguk.

"Mau cerita?"

Liora menggeleng.

Percakapan tidak diteruskan karena sudah sampai di rumahnya.

Hari berikutnya, Lizzy memerhatikan ada sorot berbeda dari Liora. Ada kantong mata yang semakin lama semakin menebal. Cewek itu juga menghindari kontak mata dengan Lizzy saat memasuki kelas. Liora langsung duduk dan mengeluarkan buku dari tasnya. Buku matematika. Sedangkan tidak ada mata pelajaran itu hari ini.

"Lo baik-baik aja?" tanya Lizzy hati-hatis.

Liora bungkam.

"Jam pertama Bahasa Indonesia." Lizzy memberitahu, setengah berbisik, seakan sedang memberi informasi penting.

Liora tak langsung menjawab, pandangannya menggembara mengamati ruang kelas. Seolah ia baru saja memasuki ruangan ini. Matanya sesekali melirik Lizzy. Tapi sepersekian detik saja. Lantas asik dengan susunan bangku dan meja.

Tidak ada yang baik dengan kondisi ini. Liora bertingkah bagai orang gila. Karena itu, sepulang sekolah, Lizzy mencoba mengulur waktu. Dan mengajak Liora minum di kantin. Cewek tersebut menurut saja.

"Ada apa?" tanya Lizzy.

Liora menggeleng. "Enggak ada apa-apa."

"Tadi di kelas kok diem aja?" Lizzy menggeser bangkunya mendekati bangku Liora.

"Emang enggak boleh, ya?"

"Boleh, sih. Ada yang mau diceritain?"

"Enggak ada, tuh."

Lizzy mengaduk-aduk jus jeruknya. "Kesal karena tidak ada siaran di sekolah?"

"Iya," jawab Liora datar. "Pulang, yuk, udah sore, nih."

Liora bahkan tidak perlu repot-repot mendengar jawaban Lizzy lebih dulu. Ia mengambil tas dan tergopoh-gopoh beranjak pergi ke parkiran. Mengambil sepeda. Mau tak mau, ia mengikuti setelah membayar minuman di kantin.

Memasuki koridor, terdengar suara fals dari ruang musik. Tapi pukulan drumnya penuh emosional. Bernada dan seolah mengungkapkan kondisi jiwa. Lizzy mendengar sekilas. Hingga orang di dalam ruang musik keluar. Mereka nyaris bertabrakan.

Aldo Galih. Lizzy tahu nama cowok berambut acak-acakan tersebut. Mengenal cowok itu karena sempat ikut hadir mengisi siaran bersama Liora. Mereka berdua bagai duet maut. Karena sama-sama mencintai misteri dan horor. Tapi Liora tidak sefanatik Aldo.

Lizzy ingin menyapa, tapi sadar Liora sedang menunggunya di parkiran. Pasti akan semakin memuncak emosinya jika dibiarkan menunggu. Jadi cewek tersebut memutuskan bungkam sambil berlari. Derap kakinya mengubur sunyi sekolah yang sepi.

Pertemuan tak terduga selanjutnya terjadi saat perjalanan pulang. Saat Ia dan Liora di pertigaan. Sahabatnya memperlambat laju sepeda dan berhenti di mobil mogok. Di sana berdiri, Mellisa Widjaya, Dian Kumala Sari, Vera Anggita dan Dara Surya. Keempatnya sibuk menelepon dan mengamati mesin saat kap mobil terbuka.

"Hai." Liora menyapa. Suaranya bersahabat.

Keempat anggota geng Viola itu saling lirik. Liora menyuruh Lizzy turun dan memakirkan sepeda di bahu jalan. Langkahnya ringan mendekat.

"Mobilnya kenapa? Mogok?" tanya Liora.

Vera mengangguk. "Iya, mobilnya Viola mogok pas kita jalan pulang."

Salah satu teman menyikut lengannya untuk tutup mulut. Tapi dengan polos, Vera bertanya ada-apa. Lizzy tersenyum sendiri.

"Violanya mana?" Liora celingak-celinguk.

"Pulang. Naik mobil via online lewat aplikasi," lagi-lagi Vera yang menjawab. "Kita disuruh benerin sampai bisa bawa pulang ini mobil. Apa pun caranya."

Lizzy terperangah. Liora mengangguk mengerti. Ekspresinya tidak menunjukkan kekesalan dan keterkejutan. Seakan mereka baru saja membicarakan rasa es krim. Tidak ada hal yang perlu dipertanyakan. Atau diperdebatan lagi.

"Gue coba benerin, ya?" usul Liora.

Lagi-lagi tanpa persetujuan mereka. Liora bereaksi. Lizzy duduk di trotoar bersama keempat anggota geng Viola. Terlalu lelah dan lama menunggu sahabatnya mengotak-atik mesin mobil. Sambil menunggu, Mellisa masuk ke minimarket membeli minuman dan cemilan ringan.

"Makasih," seru Lizzy sambil tersenyum ramah.

Saat itu ia menyadari. Teman-teman Viola tidak jahat juga. Sisi baik mereka tertutup karena bergaul dengan Viola. Harus mengikuti perintah dan aturan yang kadang tak masuk akal. Vera yang sering buka suara. Dara dan Dian awalnya tak suka. Namun seiring berjalan waktu, mereka ikut mengobrol. Mellisa sesekali mengoreksi cerita Vera dan menjelaskannya lebih detail. Sampai bom dijatuhkan.

"Kulina, gue merasa bersalah sama dia," kata Dian.

Dara mengangguk. "Gue juga. Seolah masih ada yang mengganjal di antara kita."

"Semoga dia kini hidup dalam kedamaian," kata Mellisa sambil mendongak ke langit yang berwarna jingga.

"Hidupnya penuh tekanan. Di rumah, sekolah dan lingkungan bergaul. Tidak ada yang benar-benar menyayanginya dengan tulus," seru Vera dengan lirih. "Hidup di bumi bagai neraka baginya. Aku sempat membaca buku hariannya yang tertinggal di kolong meja."

Lizzy mendengarkan dengan serius. Ungkapan perasaan teman-teman Viola yang telah menjadi pemicu dan korban secara sekaligus. Tapi ia tak berani bertanya alasan memperundung Kulina. Pembicaraan sensitif akan mengubah percakapan mereka berubah asing. Padahal pembicaraan ini langka terjadi.

"Sejak Ibu meninggal. Ayah mencipta jarak. Kadang pulang dan tidak. Seringkali tidak sadarkan diri sebab meminum banyak alkohol. Baunya melekat di setiap baju miliknya. Bahkan beliau tak perlu repot-repot bertanya kabarku. Jika aku bisa ditemui di rumah, baginya, aku sehat-sehat saja. Tapi Ayah tak pernah tahu. Aku hancur. Remuk di dalam.

"Uang peninggalan Ibu hanya cukup untuk makan dan perlahan habis karena banyak penagih utang datang ke rumah. Tagihan dari judi yang selalu Ayah janjikan kemenangannya pada sang pemberi pinjaman. Aku takut. Ayah seringkali bilang akan menjual rumah. Di mana kami akan menetap? Di mana tempatku pulang? Karena rumah adalah hal kedua yang Ibu tinggalkan. Jika segalanya habis, apa lagi yang tersisa dari Ibu agar pengingat perjuanganku.

"Aku terancam di keluarkan sekolah jika tidak membayar SPP. Menunggak tiga bulan. Aku bisa berhenti sekolah dan melupakan seluruh impianku. Menguburnya hingga tak ada tempat di cerebrum untuk mengingatnya. Namun jika hal tersebut aku lakukan, aku akan membuat Ibu di Surga kecewa.

"Beruntung jika bisa disebut beruntung. Viola mau membantu membayar keperluan sekolah dari uang orangtuanya. Ya, orangtuanya pengusaha wajar saja jika hal itu terjadi. Namun bagai mata pisau, cewek itu menikamku perlahan. Awalnya aku hanya membantu mengerjakan PR. Tapi perlahan berubah tak terkontrol. Bagai kuda liar yang baru dilepaskan dari kandang.

"Aku terbelenggung. Di sekolah bagai penjara yang tak mengizinkanku bertingkah macam-macam. Di rumah, bagai rumah sakit jiwa yang mengharuskan mengurus orang mabuk yang senang main tangan. Di lingkungan, seperti lelucon karena aku dianggap anak haram atas perbuatan Ibu dan Ayah. Hingga aku sadari, dunia menjelma neraka. Aku takut. Jika kehidupan lain benar ada, apa aku bahagia di sana? Atau Penjaga Waktu akan datang seperti cerita di novel yang pernah kubaca?

"Ah. Ada Viola sedang berjalan ke kelasku. Pasti cari masalah lagi. Nanti aku teruskan menulis di rumah, yang pasti saat tak ada Ayah."

Vera membacakan salah satu isi buku harian Kulina sekaligus dengan nada orang yang sudah meninggal tersebut. Serak dan bertempo lambat. Jika tidak sedang membicarakan hal serius, Lizzy akan tertawa mendengarnya.

"Lo ngapalin?" tanya Lizzy.

Vera mengusap tengkuk. "Untuk cerita yang sedih dan benar terjadi, seseorang pasti akan ingat meski ingin dilupakan. Itu halaman paling baru. Gue langsung masukin tas Kulina saat Viola manggil dia ke kantin. Jadi, gue cuma sempat baca satu lembar halaman doang."

Sebelum Mellisa ingin menimpali, Liora datang menghampiri dan mengoceh. Menjelaskan penyebab kerusakan. Ia bisa memperbaiki karena sempat diajari Ayahnya. Namun benak Lizzy menggembara hingga tak mendengar pembicaraan Liora selanjutannya.

Sepulang dari situ, Lizzy langsung mengecek isi buku 13 Dark Game. Mengikuti intuisi. Membaca dari halaman awal. Cigarette Game dan Elevator Game. Tidak mungkin cewek bisa melakukan kedua hal itu. Merokok hal yang sangat tidak etis untuk cewek. Merusak tubuh perlahan dan baru kelihatan kerusakannya dalam jenjang waktu lama. Lalu, tangga jalan, tidak mungkin dilakukan di sekolah karena tidak ada fasilitas tersebut.

Lizzy membalik halaman selanjutnya justru membuat merinding. Buku ini mengerikan. Ilustrasi realis, pewarnaan tajam dan gagasan yang disampaikan tiap bab tampak nyata. Seakan segala hal benar terjadi dan sudah dilakukan.

Game 3 : Calling A Spirit With Birth Date

Tingkat Bahaya : Sedang

Peralatan : Cermin berukuran 50x100 cm

Cara Bermain :

Pukul dua dini hari, bercermin di tempat lokasi korban meninggal yang ingin kamu panggil arwahnya. Konon menurut kepercayaan nenek moyang, arwah sedang dalam perjalanan pulang ke alam baka di saat dini hari. Sebut nama lengkapnya sebanyak angka tanggal kelahiran arwah. Tetap fokus ke arah cermin. Jangan menoleh ke arah lain demi keselamatan hidupmu sendiri.

Kamu hanya bisa bertanya, sesuai angka pertama kelahirannya. Jika lahir 1 Januari 1920. Bisa bertanya satu kali. Kamu tidak diperkenan melebihi jumlah angka pertama kelahirannya. Jika kamu nekat melakukannya, kamu akan bertukar tempat dengannya. Arwah yang kamu panggil akan menempati tubuhmu. Dan arwahmu akan menjadi arwah penasaran selamanya.

Catatan: Permainan bertukar tubuh ini paling disukai semua arwah.

Lizzy mengusap bulu kuduk yang meremang, membalik halaman selanjutnya yang memiliki penggambaran lebih sadis.

Game 4 : Pentagram for Appear

Tingkat Berbahaya : Sangat Berbahaya.

Peralatan : Pecahan keramik

Cara Bermain :

Permainan ini dilakukan minimal tujuh orang. Jika sudah siap, gambar lingkaran dengan bentuk bintang di dalamnya menggunakan pecahan keramik. Kamu harus gambarkan bentuk ini pada lapangan luas. Hal ini bertujuan agar tujuh orang tak dikoyak sang arwah. Jika ditempat sempit, arwah lebih senang manusia hidup menjadi santapannya.

Begitu selesai. Tujuh orang duduk sambil bergandengan tangan, mengelilingi lingkaran. Lalu, teriak bersama. "Wahai arwah (sebut nama arwah yang mau kamu aja bermain) datanglah, kami memanggilmu. Kisahkan penyebab kematianmu. Kami akan menebak siapa pelakunya. Jika berhasil, matilah sebab cara itu kamu dihidupkan. Jika kami gagal, bangkitlah sebab kami menyerahkan raga hidup untukmu."

Jika kamu berhasil menebak pelaku pembunuhnya, arwah akan tenang dan damai. Kecuali, jika tujuh orang berbeda mengajaknya bermain kembali. Arwah itu akan berubah sangat jahat dan mengusik hidup tujuh orang tersebut selamanya. Dan tidak ada tempat untuk melarikan diri.

Lizzy membaca tulisan dibawahnya. Sangat berbahaya, lebih baik dibawah pengawasan ahlinya. Mentalnya down seketika. Ia membalik halaman selanjutnya, berjanji ini bab terakhir untuk dibaca malam ini.

Game 5 : Congklak Maut

Tingkat Berbahaya : Sedang

Peralatan : Congklak

Cara bermain :

Permainan ini hanya dilakukan satu orang di dalam satu ruangan. Pastikan seluruh pintu dan jendela tertutup, lalu taburkan garam di sekeliling tempat bermain. Menghindari arwah memanggil temannya untuk bermain curang.

Ucapkan, "Wahai arwah baik dan buruk. Aku meminjam kawanmu bernama ... (nama arwah yang ingin kamu ajak main beserta tanggal lahirnya) untuk aku ajak bermain Congklak Maut."

Saat ia datang, lampu bagian ruangan padam dan tersisa satu lampu di belakang arwah. Jadi pastikan lampu di luar ruangan menyala terang benderang. Demi mengurangi ketakutanmu.

Jika kamu menang, kamu berhak bertanya apa saja sebanyak tiga kali.

Jika kamu kalah, sang arwah akan mengajakmu menjadi teman selamanya. Di alam baka.

Lizzy menutup buku. Dadanya berdetak bergemuruh. Tidak ada satu pun orang yang boleh membaca ini, pikirnya sambil menyampulkan buku dengan kertas kado hello kitty warna pink. Lantas memasukkan ke dalam tas. Memasang gembok kecil yang membuat ritsleting tak bisa digerakkan hingga kemungkinan dibuka hampir nihil. Kecuali, dirinya sendiri.

Ketika sudah selesai, Lizzy semakin pusing. Teringat ia memberi buku itu ke Liora.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top