Bab 19a. Penulis Surat Misterius?

"Perhatian untuk para pengurus OSIS, harap segera mengikuti rapat di ruang OSIS. Sekali lagi, perhatian untuk para pengurus OSIS, harap segera mengikuti rapat di ruang OSIS."
Yes! Inilah hal yang paling Yara sukai dari menjadi pengurus OSIS—kesempatan untuk bolos pelajaran sekolah terang-terangan di hadapan teman-teman lain. Ia menutup buku teks Matematika yang tebal dan bercover jelek dengan puas, lalu melemparnya dengan penuh gaya, tepat ke dalam laci meja yang sempit.
"Pergi dulu, Yang...," ucapnya kepada Andy yang memelotot dengan sorot mata jijik. "Gue nitip tugas ini ya, dikit lagi selesai kok."
"Sana pergi ke neraka aja sekalian!" jawab Andy, si teman sebangku bertampang jelek sekaligus sahabat dekat Yara yang mendadak jadi musuh besar saat melihat cowok itu lagi-lagi menggunakan hak istimewa sebagai anggota golongan elite.
Yara hanya tertawa pongah. Beberapa hari yang lalu Aldo meminta bertukar tempat dengan Andy. Ada hal penting yang ingin dibahas dengan Noor, kata Aldo saat ditanya alasannya. Jadilah sekarang Yara sebangku dengan Andy, dan berhubung tepi mejanya me-nempel pada tembok, ia harus berjalan melewati Andy.
"Sial, gue disodorin pantat lagi!"
"Jangan banyak komplen," ucapnya sambil sengaja nungging. "Attitude kayak gini yang harus dihindari kalo kepengin ikutan jadi pengurus OSIS. Ya nggak, Noor?"
Noor yang duduk di meja sam¬ping Yara dan Andy, berlagak tidak melihat maupun mendengar¬, sementara tangannya terus merogoh laci untuk mengambil kacang.
"Setelah merebut Aldo dari sisiku, sekarang menurut lo kacang lebih menarik dari pada gue ya, Noor?"
"Aldo nggak masuk, bikin Noor kesepian." Andy yang menyahut.
"Makanya gue bilang waktu itu, calonkan diri jadi pengurus OSIS, biar banyak kegiatan dan nggak kesepian pas ditinggal temen sebangku. Otak lo kan pinter, Noor. Nggak kayak Andy tuh, pas-pasan."
"Bacot lo. Pergi sana!" Lama-lama Andy bisa emosi dijadikan bahan perbandingan Yara.
"Baiklah kalau begitu. Lebih baik gue nggak membuang-buang waktu memberikan nasehat berharga kepada orang-orang yang jelas-jelas tidak mau belajar dari kesuksesan orang lain."
Yara melenggang ke luar kelas dengan gembira seraya m¬e¬lambaikan ciuman mesra kepada Ririn yang duduk paling dekat dengan pintu. Cewek itu terlihat geli-geli bahagia karena disenyumin Yara. Bukannya Yara sok, tapi hampir semua cewek bahkan guru wanita suka sekali kepadanya, termasuk yang tegas dan galak sekalipun. Padahal semua orang tahunya, guru-guru cuma suka kepada murid-murid pintar, sementara nilai-nilai Yara pada kenyataannya bahkan lebih jelek lagi dibandingkan muka si Andy. Namun mana mungkin ada kaum hawa yang tidak menyukai Yara? Dari segi tampang saja, Yara oke banget. Rambutnya yang tadinya agak gondrong kini dipotong pendek dan rapi—model shaggy yang sekarang lagi beken—dengan sedikit semburat warna pirang. Tubuhnya tinggi, kuat, dan ideal—tidak seperti Noor yang mirip tiang listrik berjalan atau Andy yang mirip Kolonel Sanders zaman masih ABG.
Mata Yara yang sipit, hidungnya yang mancung, dan senyum yang cemerlang itu gosipnya mengingatkan orang-orang pada Lee Min-Hyuk, aktor Korea yang konon ganteng banget itu. Dari segi karak¬ter pun, Yara tak punya cacat cela. Ia baik dan setia kepada teman-teman cowok, serta perayu kelas berat saat menghadapi cewek-cewek. Menurut Yara, teman-teman cowok pasti bangga menjadi temannya, sementara teman-teman cewek malah mendirikan fans club segala. Bakat Yara dalam bidang musik pun, terutama piano, menambah nilai plus. Kekurangan Yara adalah suka bolos dan soal pelajaran matematika. Maklumlah, ia sempat menjadi langganan remedial setiap kali ulangan. Namun sekarang Yara sudah berubah kok, jadi kekurangan itu bisa dibilang sudah lenyap. Jadi sekali lagi, bukannya Yara sok, tapi ia memang termasuk salah satu cowok paling charming di sekolah ini. Oke¬lah, Yara memang sedikit sok dalam masalah ini—atau le¬bih tepat lagi, sebenarnya Yara sok ganteng banget.
Dalam perjalanan menuju ruang OSIS, Yara sengaja mengambil jalan memutar sedikit untuk melewati ruangan kelas XI IPA 1, tempat berkumpulnya murid-murid genius dan gila di seluruh SMA Cahaya Selatan. Bisa dibilang, kelas ini adalah kelas yang paling bertentangan dengan kelas mereka, kelas yang gosipnya adalah kelas buangan. Ah, peduli amat kelas buangan atau bukan. Sialnya, cewek-cewek yang paling menarik perhatian Yara di sekolah ini bercokol di kelas elite, kelas XI IPA 1.
Yara melongok-longok ke dalam kelas itu. Gila, benar-benar kelas dengan murid-murid pilihan! Kelas itu hanya memiliki belasan murid. Yang tidak terlalu genius biasanya menempati kelas XI IPA 2 atau XI IPA 3. Jadi, mudah sekali bagi Yara untuk menemukan bahwa cewek-cewek yang ia cari sudah meninggalkan kelas mereka. Ah, sial. Seharusnya dia jalan lebih cepat. Ini semua gara-gara dia godain si Andy. Benar-benar rugi, menggoda cowok jelek sampai-sampai kehilangan cewek-cewek cakep.
"Catatan mental untuk gue sendiri, lain kali nggak akan menggoda Andy atau Noor lagi."
Yara bergegas menuruni tangga dan menyeberang ke gedung berikutnya, gedung eskul. Di sanalah ruang OSIS berada—tepatnya di lantai empat. Baru saja Yara menaiki tangga menuju lantai tiga, ia melihat Viola sedang berjalan mengendap-endap ke luar pagar pada jam pelajaran seperti ini.   Melihat itu lantas membuat Yara mencibir, "Dasar tukang bolos."
Namun kemudian, Yara malah berubah haluan dan segera menuruni anak tangga. Mendadak kepo dengan apa yang akan dilakukan oleh Viola. Ia mendadak teringat kalau cewek itu adalah sekretaris dua OSIS, yang seharusnya saat ini juga harus berkumpul di ruang OSIS. Jangan heran mengapa anak kelas sepuluh seperti Viola bisa mendapat jabatan di OSIS, karena uang bisa mempermainkan banyak hal di dunia.
Cari aman, Yara tidak akan mengikuti jalur Viola untuk ke luar pagar. Ia punya jalan ke luar yang bagus di sisi se¬kolah yang lain, tepatnya di belakang kantin. Kalian tahu kan, petugas-petugas kantin tidak mungkin masuk mem¬bawa bahan makanan dan sebagainya melewati pintu depan sekolah. Mereka memiliki pintu sendiri. Nah, seperti halnya guru-guru wanita, ibu-ibu pengurus kantin pun sudah terpikat dengan pesona Yara. Jadi bisa dibilang, Yara akan aman dari guru piket.
"Bundaaa," panggil Yara dengan nada manis menggoda saat tiba di kantin.
Sebuah nasihat untukmu, panggillah wanita yang lebih tua darimu satu panggilan lebih muda dari yang seharusnya. Kecuali kalau memang ada hubungan keluarga. Sapalah sebagian besar wanita yang lebih tua dengan sebutan Kakak, dan panggil "Tante" atau "Bunda" hanya kepada yang sudah nenek-nenek. Misalnya saja si ibu pengurus kantin yang kerjanya membanggakan cucunya, Yara tidak akan memanggil "Oma" atau "Nek", melainkan "Bunda."
Seperti biasa, wajah si ibu langsung semringah men¬dengar suara Yara. "Kenapa lagi, Yara? Pasti lagi butuh sesuatu," tebaknya.
"Bener banget, Bunda Cantik."
Nasihat kedua, tidak ada wanita di dunia ini yang tidak senang dibilang cantik, apalagi nenek-nenek. Yah, sejujurnya, si ibu kantin memang cukup cantik untuk ukuran wanita yang sudah punya cucu. Apalagi sifatnya baik banget, kelihatan dari wajah¬nya.
"Saya lagi mau ...," kedua tangan Yara mem¬bentuk corong di mulut sementara merendahkan suara¬nya, "...menggunakan akses belakang."
Si ibu kantin mendecak dengan tampang pura-pura tak senang. "Eih, kamu mau bolos lagi ya, Yar? Bukannya tahun ini kamu jadi ketua seksi keamanan OSIS? Seharusnya kamu ninggalin semua kebiasaan jelekmu itu dan memberikan contoh yang baik kepada adik kelas."
"Nahhh, justru itu, Bun. Saya bukannya mau bolos, tapi sedang melacak anak-anak yang berniat bolos."
"Yakin?" tanya Ibu kantin dengan nada mencibir.
"Suwer!"
"Ya, sudah. Tapi jangan lama-lama, nanti ketahuan guru piket."
"Siap, Bun!" Yara segera melancarkan aksinya menjadi detektif dadakan.
Mencari-cari ke setiap sudut tersembunyi di luar pagar belakang sekolah yang dikelilingi hutan, akhirnya ketemu juga. Yara kini bisa melihat Viola yang sejak tadi dicari-carinya. Dari balik tumpukan meja-meja kayu yang rusak, kepala Yara menyembul sambil menajamkan pendengaran. Rupanya cewek itu tidak sendirian.
Yara bisa melihat Mellisa−teman sepermainan Viola yang tampak cemas. Kedua tangannya meremas rok seragam sampai kumal dengan rahang mengeras. Pandangan matanya gelisah menatap ke bawah. Tidak jauh dari Mellisa, ada Viola yang tampak menahan amarah sambil menatap tajam. Entah apa yang terjadi di antara teman satu geng itu, tapi Yara menyaksikan pemandangan langka di mana Viola yang langsung menyeret lengan Mellisa lebih dalam ke balik tumpukan tandon air rusak dengan kasar. Tentu saja, karena penasaran Yara kembali mengikuti mereka diam-diam.
"Sebenernya lo mau apa, sih?!" bentak Mellisa dengan suara bergetar yang berusaha disembunyikan.
"Gue pengin lo jelasin semuanya, Mell!" bentak Viola tak kalah geram, dengan nada menuntut tapi putus asa dalam waktu bersamaan. Ia menghempaskan tangan Mellisa yang memerah akibat cengkeramannya.
"Gue kan udah cerita semuanya. Tentang gue sama dia, dan kejadian malam itu. Memangnya apa lagi yang kurang jelas?!" Mellisa mulai menangis, menumpahkan segala beban yang dirasakannya sejak insiden hujan darah dan SMS teror yang mereka terima tempo hari.
Yara yang bersembunyi di balik pohon beringin mendengarkan dengan seksama. "Dia, siapa? Hujan darah dan SMS teror? Jangan-jangan mereka beneran terlibat," tebaknya.
"Gue tahu masih ada yang lo sembunyikan."
"Lo mau tahu soal apa lagi, sih?"
"Semuanya, Mell. Semuanya."
"Gue udah bilang−"
"Gue nggak bisa menyelesaikan kasus ini kalau lo nggak mau bantuin gue. Selain Liora, anak-anak udah mulai menaruh curiga sama gue."
"Dan sekarang lo malah menaruh curiga sama gue? Inget Viola, kita ini sahabat."
"Sahabat?"
Mellisa tercenung.
"Sejak kapan?"
Viola tidak suka terikat dengan orang lain—dan Mellisa mengerti dengan prinsipnya itu. Namun ayolah, mereka sudah melalui banyak hal bersama, suka maupun duka, dan tak banyak orang di dunia ini yang menghabiskan waktu de¬ngan¬ Viola sebanyak dirinya. Jadi tak ada salahnya kan kalau Mellisa beranggapan kalau Viola sudah menganggapnya sahabat sama seperti ia menganggap cewek itu sahabat? Meski lain halnya dengan masalah yang menyangkut Kulina ini. Sekarang emosinya benar-benar tersulut. Viola memang keterlaluan.
"Bukannya lo udah terbiasa sama kasus beginian ya, La? Tinggal telepon bokap, semua masalah selesai."
"Heh! Lo pikir hal ini main-main?" Viola kembali geram.
Mellisa mendecih. "Sejak kapan lo peduli sama hal remeh begini?"
"Ini bukan masalah remeh. Masa depan kita terancam kalau dicap sebagai pembunuh."
"Oh, jadi lo mengakui kalau kita ini pembunuh Kulina. Gitu, La?!"
"Eh, jaga ya mulut lo! Kita masih di lingkungan sekolah."
"Peduli setan! Gue nggak mau lagi terlibat sama drama kematian Kulina."
Mellisa bergegas meninggalkan Viola saat panggilan untuk para pengurus OSIS kembali terdengar. Lagipula, ia sudah terlalu lama berada di luar kelas saat jam pelajaran. Bisa-bisa nilai sikapnya merah lagi akibat menuruti perintah Viola yang sering aneh-aneh.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top