Bab 18. Konsekuensi Permainan

Lima detik Liora terperanjat melihat Aldo tergeletak. Sepanjang ingatannya, ia belum pernah melihat Aldo pingsan. Sementara, Lizzy sudah gesit bergerak menuju Aldo sebelum Liora menyuruhnya.

"Denyut nadinya masih ada," lapor Lizzy saat Liora ikut berjongkok dekatnya.

Liora mengangguk. Pikirannya blank. Ia sama sekali tidak tahu harus merespons apa. Di sekolah tentu saja ia melihat temannya juga pingsan saat upacara. Atau pingsan saat olahraga di terik matahari dengan keringat membanjiri leher dan punggung. Tapi ucapan Lizzy tentang masih adanya denyut seakan baru saja mendeklarasikan bahwa mereka terlibat masalah serius.

"Liora, jangan bengong aja!"

Liora tersentak. Mata dan pikirannya berfokus ke Lizzy. Wajah temannya terlihat sepucat kertas. Sepeduli itu Lizzy dengan Aldo? Atau karena ketakutan?

"Kita bawa ke rumah sakit aja," cetus Lizzy.

"Apa kita perlu menyeret tubuhnya di aspal?"

Lizzy cemberut. "Gue serius."

"Gue juga serius. Gimana caranya kita bawa ke rumah sakit? Gue jelas enggak kuat gendong dia. Kita juga enggak mungkin bawa orang pingsan di motor atau kendaraan umum. Terlalu mencolok. Dan minta bantuan tetangga pasti nanti jadi ribut. Kita angkat sama-sama Aldo ke sofa situ," kata Liora saat cahaya dari luar menerangi bangku sofa di tengah ruangan.

Liora bangkit berdiri dan meraba dinding rumah mencari saklar lampu. Matanya terus mencoba berfokus, dari tempat terang ke tempat gelap. Liora berkedip-kedip. Kumparan warna yang awalnya membias membentuk warna utuh. Cahaya yang masuk dari daun pintu terbuka cukup membantu matanya beradaptasi cepat.

Ia menekan saklar lampu dekat jendela. Cahaya langsung menerangi ruangan dengan cepat. Liora menengok ke arah Aldo terbaring.

Lizzy yang awalnya jongkok kini berubah posisi dan meletakkan kepala Aldo di pahanya. Sebelah tangan Lizzy juga sedang mengipasi Aldo dengan bermodal buku tulis. Liora mengernyit. Tak lebih dari empat menit, segalanya berubah begitu cepat. Liora melongo. Bukankah itu terlalu berlebihan? Kenapa Lizzy terkesan sepeduli itu? Ah, itu bukan urusannya, pikir Liora.

Liora mencoba tak acuh saat menghampiri temannya itu.

"Ayo, kita angkat sama-sama dan pindahin ke sofa."

Lizzy mendongak, lalu mengangguk. Ia mengangkat kepala Aldo dari pahanya dengan hati-hati dan menggeser tubuhnya menjauh dari Aldo. Lizzy meletakkan buku tulisnya asal-asalan di atas tas yang tergeletak di lantai. Liora hanya mengamati dan menunggu Lizzy selesai dengan kesibukannya sendiri.

"Ayo."

Liora bersiap-siap di bagian kaki, sementara Lizzy memegang tengkuk dan kepala Aldo. Liora yang memutuskan membuat aba-aba. Pada hitungan ketiga, Liora dan Lizzy kompak mengangkat tubuh Aldo. Tapi, tubuh Aldo lebih berat dari yang mereka kira.

Sempat oleng saat mengangkatnya dan untung saja tidak jatuh. Ia dan Lizzy berjalan pelan saling menyeimbangkan. Hingga akhirnya mereka meletakkan tubuh Aldo pelan-pelan di sofa cokelat.

Aristoteles pasti akan bangga dengan mereka karena menerapkan teorinya tentang makhluk sosial. Sekarang Liora dan Lizzy sama-sama berdiri dan melihat Aldo yang masih saja tak bergeming. Seolah-olah guncangan saat memindahkan tubuhnya tidak cukup untuk membangunkannya.

"Dia pingsan kenapa, ya?" tanya Liora heran.

"Apa gara-gara buku harian Kulina? Dia bilang, dia ngobrolin sesuatu. Jangan-jangan hantu Kulina nyamperin Aldo," kata Lizzy bergidik ngeri.

Bulu kudu Liora meremang. "Jangan-jangan emang ada hubungannya. Tapi apa yang Aldo tahu sampai pingsan begini?"

Lizzy menggelengkan kepala. "Gue benar-benar enggak tahu, Liora."

"Kita tunggu Aldo bangun," seru Liora. "Gue beli teh di warung dulu."

"Jangan," cegah Lizzy langsung.

"Kenapa?"

"Gue enggak mau ditinggal sendirian. Aldo lagi pingsan. Kalau gue juga pingsan gara-gara hantu Kulina gimana?"

"Jangan sebut dia mulu, nanti malah nongol kan repot," sergah Liora.

Lizzy mengangguk lagi. Ia duduk di dekat sofa sambil memeluk lutut. Liora paham, temannya pasti ketakutan. Syok. Liora juga. Tapi, salah satu dari mereka harus tangguh demi menguatkan satu sama lain.

"Lo jagain Aldo. Gue ke dapur. Kali aja ada teh atau air anget," kata Liora.

"Oke. Gue cari minyak kayu putih," cetus Lizzy sambil matanya menggembara memerhatikan perabotan di sekitar ruangan.

"Pakai kaos kaki aja, nanti juga Aldo bangun," seru Liora geli sendiri.

Lizzy memutarkan kedua bola mata sambil cemberut. Liora terkekeh dan berjalan meninggalkan ruangan tersebut. Ia sedikit lega karena bisa mencairkan suasana di tengah situasi menegangkan.

Liora bergerak mencari dapur. Ia berjalan perlahan menelusuri lorong rumah. Di sisi-sisinya ada kamar yang ditutup dan kuncinya bergantung di kenop pintu. Dinding-dindingnya dicat biru muda. Di pinggir kanannya ada pot mungil di atas meja putih berkaki hitam minimalis.

Tepat di kiri atasnya tergantung lukisan air terjun.

Hanya mengandalkan intuisi, Liora berjalan lurus dan akhirnya berbelok kiri hingga sampai di dapur yang cahaya matahari menembus jendela. Dibanding ia memilih berbelok kanan yang ruangannya gelap. Liora tidak ingin semakin ketakutan.

Di dapur, Liora lebih rileks. Warna dapur lebih di dominasi warna putih dan kabinet atas dan bawah yang berwarna abu muda. Gorden dari jendela besar dengan renda biru muda di ujungnya tersibak terbuka sehingga cahaya matahari dari luar menerobos masuk. Liora tidak perlu menyalakan lampu karena baginya sudah cukup terang.

Dengan hati-hati, Liora membuka kabinet atas berwarna abu itu untuk mencari mug dan kotak teh celup yang terbuka. Untung saja Aldo memiliki teh meski isi kotaknya sudah separuh habis, Liora mengambil satu tea bag dan meletakkanya ke dalam mug. Lalu, Liora meletakkan mug itu di meja makan. Meja makan di rumah Aldo ternyata digabung dengan dapurnya. Meski begitu, Liora tidak merasa kesempitan. Keluarga Aldo memang cerdas menata barang-barang sehingga efesien dan minimalis.

Liora mengambil panci kecil yang tergantung di dekat ujung kabinet, menyalakan keran dan membiarkan panci terisi setengah penuh. Ia tidak membuat kegaduhan. Hanya suara air mengalir, bokong panci yang beradu alas kompor dan saat Liora menyalakan kompor.

Di kesunyian itu, Liora mendengar jelas derit pintu terbuka. Ia yakin tidak salah mendengar. Apa Lizzy membuka pintu di ruang utama tadi? Atau Aldo sudah bangun dan mencoba menakut-nakutinnya?

Liora menggeleng. Mungkin hanya halusinasinya. Maka dengan secepat kilat Liora mamtikan kompor begitu air mendidih. Menuang air panas ke dalam mug dan bergegas menuju ruang utama.

Tapi di lorong menuju Lizzy dan Aldo berada, Liora melihat salah satu daun pintu kamar terbuka seperempat. Apa ada anggota keluarga Aldo baru saja keluar kamar? Liora tak yakin. Meski daun pintu hanya terbuka sedikit, Liora bisa melihat dalam kamar yang gelap gulita.

Liora menenguk ludah dan buru-buru menghampiri Lizzy yang sudah menunggunya. Cewek itu duduk di samping Aldo. Cowok itu masih berbaring di sofa. Kakinya menggantung di ujung sofa. Aldo pasti akan terbangun dengan kaki pegal jika terus dengan posisi seperti itu.

"Lama amat. Bikin teh di Amerika, ya?" tanya Lizzy sinis ketika Liora meletakkan mug di meja dekat sofa.

Liora mengangkat bahu. "Tadi ada keluarga Aldo, ya?"

"Kalau ada keluarganya, Aldo mungkin udah pindah ke rumah sakit sekarang. Bukannya masih telentang di sofa begini. Enggak ada siapa-siapa kayaknya di sini. Emang kenapa? Lo dengar bunyi aneh?"

"Bunyi aneh? Ah, enggak. Cuma nanya doang. Emang lo tadi dengar ada bunyi-bunyi aneh jadi nanya begitu?"

Lizzy menggeleng. "Cuma nanya aja kok."

Sunyi sejenak. Baik Lizzy dan Liora sama sekali tidak saling berbicara. Hanya suara helaan napas Aldo yang terdengar jelas. Lizzy sudah menemukan minyak kayu putih yang sesekali ia usapkan ke jari dan mendekatkan jarinya ke hidung Aldo. Tapi, cowok itu tidak bereaksi apa pun.

Sementara Liora hanya mengamati lorong yang telah ia lewati. Tidak ada apa pun di sana.

Liora yakin seluruh pintu kamar di lorong tertutup. Tapi kenapa saat ia berjalan melewatinya lagi, salah satu pintu kamar terbuka?

Sementara Liora berpikir kejadian tadi, Lizzy juga sedang sibuk dengan kemelut pikirannya sendiri. Ia melihat bayangan hitam yang melintas cepat di lorong. Lizzy pikir itu bayangan dari tubuh Liora. Tapi temannya itu bahkan tidak berada di lorong. Lorong sunyi senyap. Lizzy yakin tak salah melihat.

Liora dan Lizzy sama-sama sibuk dengan pikirannya sendiri. Sampai konsentrasinya terpecah saat Aldo meraung. Mata cowok itu masih terpejam. Tapi mimiknya begitu mengkhawatirkan. Keningnya berkerut samar, bibirnya gemetar, dan hidungnya kembang kempis. Sesekali kepala cowok itu menggeleng kiri dan kanan. Telapak tangannya meremas bajunya sendiri.

"Aldo kenapa?" tanya Lizzy panik sambil memegang tangan cowok di depannya.

"Kayaknya dia mimpi buruk," seru Liora sembari menguncangkan bahu Aldo untuk membangunkannya.

"Bangun, Al."

"Aldo bangun dong!"

"Do, bangun Aldo."

Tiga menit kemudian, usaha Lizzy dan Liora tampaknya membuahkan hasil. Karena Aldo langsung terbangun dan duduk dengan napas terengah. Tengkuknya banjir keringat dingin. Mata Aldo membulat ketika melihat Lizzy dan Liora duduk lesehan di dekat sofa. Wajah dua cewek itu terlihat pucat pasi.

"Ada yang perlu kalian tahu tentang gue," kata Aldo dengan suara bergetar.

"Apa?" tanya Lizzy mengerutkan kening dan matanya sayu.

"Gue itu indigo."

Lizzy tergugu. Liora mengatupkan bibirnya rapat. Aldo menundukkan kepala lesu.

"Sebenarnya mata batin ini udah ditutup pas gue kecil. Tapi gara-gara gagal main Cigarette Game, sekarang mata batin gue kebuka lagi," ujar Aldo nyaris berbisik.

"Serius?"

"Apa hubungannya?" tanya Liora tak mengerti.

Lizzy berdeham. "Itu permainan pertama di buku Dark Game. Enggak ada cara untuk menghentikannya. Apalagi gamenya gagal."

"Gue rasa efeknya jadi memunculkan ketakutan terbesar di hidup kita," timpal Aldo sambil menghela napas. "Soalnya ini yang paling gue takutin. Gue enggak mau mengusik dan terusik dengan kehidupan alam lain. Makanya orangtua gue memutuskan menutup batin gue. Tapi sekarang..."

Suara Aldo tak lagi terdengar. Kalimatnya tak tuntas. Tapi Lizzy sudah mengerti. Aldo ketakutan. Sama seperti dirinya. Tidak ada hidup yang mudah jika mampu melihat makhluk astral. Sekarang, baik Lizzy dan Aldo tak ada bedanya. Keduanya berharap indra keenam ini musnah.

"Sekarang gue kesulitan tidur karena trauma dan resah dengan kemampuan ini," kata Aldo akhirnya.

Liora mengangguk. "Gue minta maaf, ya. Gara-gara gue buka pintu kamar mandi waktu itu, gamenya gagal dan sekarang lo harus menerima konseskuensi atas kecerobohan gue."

Aldo mengangkat bahu. "Udah berlalu. Omong-omong kalian kenapa ke sini?"

"Itu—" Lizzy terbata-bata.

"Ada yang perlu kita omongin juga," kata Liora berusaha tegar.

"Apa?"

"Kayaknya Kulina main Dark Game," cetus Liora langsung ke inti.

"Liora, jangan terburu-buru," sergah Lizzy.

"Buku diarynya udah cukup membuktikan," sahut Liora membantah.

Aldo memijit pelipisnya. Terlalu banyak informasi dan obrolan dalam satu waktu. Kepalanya terasa pengar. Lizzy yang melihat Aldo begitu, langsung menawarkan teh buatan Liora. Aldo mengucapkan terima kasih dan menerimanya.

"Uh, pahit," keluh Aldo sambil meletakkan mug ke meja.

Liora menepuk kening. "Sorry, gue lupa masukin gula. Buru-buru, sih."

"Never mind. Terus gimana hasil penelitian kalian soal buku diary Kulina?"

Lizzy menghela napas. "Isinya tragis. Sebagian besar tentang curhatan hati Kulina yang sering kena pukul ayahnya yang mabuk. Apalagi di sekolah dia disiksa sama geng Viola. Seakan belum cukup, sahabatnya malah menjauh dari Kulina dan bersikap tak acuh."

"Hah? Kulina punya sahabat? Siapa?" tanya Aldo tercengang.

Liora menggeleng. "Sayangnya enggak dijelasin. Kulina sering nyebutnya 'dia' atau 'cewek itu' dan tanpa menyebut nama apalagi inisial. Intinya Kulina ngerasa depresi dan frustrasi. Sampai ujungnya mau bunuh diri."

"Astaga," Aldo menggeleng. Ia sama sekali tak menyangka permasalahan Liora begitu pelik dan masalahnya begitu berat. "Terus?"

"Kulina ke perpustakaan," tambah Lizzy. "Dia menemukan buku Dark Game. Kita bisa tahu karena Kulina ngejelasin salah satu permainan yang pindah dimensi. Kulina berharap dengan melakukan itu kehidupannya lebih baik. Bahkan Kulina ngajak sahabatnya."

"Kasihan Kulina. Bahkan meski sahabatnya itu berbuat buruk, Kulina tetap mau ngajak sahabatnya untuk main game itu. Kulina berharap pertemanan mereka kembali utuh," sambung Liora sambil menahan kepedihannya sendiri.

Ketiganya terdiam untuk waktu cukup lama. Baik Liora maupun Aldo dan Lizzy sama sekali tidak menyangka atas tragedi yang menimpa Kulina.

Aldo beringsut duduk di lantai mengikuti temannya.

"Tapi kalau Kulina main itu, harusnya dia tahu konsekuensinya. Apalagi ada hantu gedung kesenian. Dia pasti tahu akibatnya," kata Aldo gemetar. "Apa mungkin itu penyebab kematian Kulina? Karena dia gagal main dark game. Ini benar-benar celaka."

Ketika Lizzy dan Liora ingin merespons, terdengar lagu berputar. Ketiganya langsung menoleh ke arah suara. Ponsel Aldo yang tergeletak di dekat daun pintu. Mungkin terpental ketika cowok itu pingsan. Aldo lagsung bangkit perlahan dan meraih telepon itu.

"Dari Noor," lapor Aldo.

"Angkat aja," seru Liora.

"Ya, Noor," kata Aldo sesaat mengangkat telepon. "Hah? Apa? Tulisan Melisa?"

Lizzy dan Liora langsung menoleh cepat ke arah Aldo. Wajah keduanya tegang dan ingin menguping pembicaraan. Aldo yang sadar sedang diamati sedemikian rupa langsung menyalakan mode speaker.

"Do, gue rasa Melisa yang nulis surat buat Liora."

"Maksudnya?"

"Iya. Gue nyelidikkin tulisan Melisa. Tulisan dia yang miring ke kiri dan melengkung di ujung itu mirip sama tulisan di notes yang buat Liora. Meski di notes yang buat Liora itu agak lebih tebal dan menekan. Eh, sebentar... itu suara cewek nangis siapa di dekat lo?"

Aldo, Lizzy dan Liora langsung bungkam seribu bahasa. Tidak ada yang menangis. Wajah Lizzy dan Liora tegang. Tanpa saling berbicara, ketiganya tahu. Bukan hanya mereka bertiga di ruangan itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top