Bab 14. Titik Balik
"Are you out of your mind?"
Aldo mengembuskan napas berat. Ia sudah memperkirakan pertanyaan jenis itu akan keluar dari mulut Noor. Karena cowok itu orang terlogis di antara teman-temannya yang lain. Tapi Aldo tetap tidak suka jenis pertanyaan tersebut. Ia hanya menyuruh Noor membaca, meneliti dan memberikan hipotesis pelakunya.
Namun tampaknya Noor tidak akan mempermudah hal itu. Aldo sudah menjelaskan bagian pentingnya. Ada surat yang ditujukan untuk Liora dan ia ingin tahu pengirimnya. Informasi memang tidak sepenuhnya hanya seperlunya.
"Jadi lo tahu atau enggak?" tanya Aldo langsung.
"Seperti mencari jarum di tumpukan jerami," jawab Noor menahan kejengkelan. "Berapa banyak orang di SMA Cahaya Selatan dan lo minta gue memprediksi pengirimnya. Lo kira gue paranormal?"
Aldo menggaruk kepala yang tak gatal. "Kali aja lo tahu."
"Emang penting buat lo, ya? Kan suratnya buat Liora bukan buat lo."
"Penting nggak penting, sih. Jadi bener nih lo nggak tahu? Coba lo lihat lagi, deh. Lo kan suka nganalisis tulisan orang. Kali aja lo inget pernah lihat tulisan itu." Aldo tak menyerah.
Gelengan kepala Noor sudah cukup menjadi jawaban. Aldo tak ingin menuntut lebih banyak. Percuma juga. Aldo memutuskan berpamitan hendak pulang dari rumah Noor. Ini hari Sabtu, ia tak ingin mengganggu lebih banyak jadwal libur temannya itu.
"Nggak semudah itu. Lo berhutang penjelasan ke gue," cetus Noor sambil mendorong kacamatanya ke pangkal hidung.
Aldo kembali duduk ketika temannya tersebut mengetahui gelagat kepergiannya. Lima menit terlewati. Mereka hanya berdiam di kamar Noor dengan keheningan yang menyelimuti. Kamar Noor rapi dan nyaman. Aldo lebih sering main ke rumah Noor dibanding lainnya.
Alasannya sederhana, Noor anak tunggal, jadi tidak ada yang tiba-tiba datang merusuhkan perdamaian. Tidak seperti Yara yang punya satu adik perempuan dan heboh dengan teman-temannya. Atau Andy yang memiliki dua cowok adik bandel minta ampun, dan kakak laki-laki yang memiliki masalah sendiri.
Kamar ini tanpa hiasan. Tidak ada poster band hanya tabel periodik yang menempel di dinding dekat meja belajarnya. Satu set meja belajar, tempat tidur, meja dekat dipan dan satu lemari pakaian. Minimalis tapi menguarkan suasana nyaman. Jendela kamar Noor menghadap ke pinggir jalan. Tapi tak menyebabkan suara bising. Maklum, Noor kan tinggal di komplek yang biasanya bersikap individualis.
"Jadi sebenernya apa yang terjadi?"
Pertanyaan singkat Noor membuyarkan lamunan Aldo. Rasanya ia ditarik paksa ke permasalahan utamanya dengan Liora. Bukan. Bukan dengan Liora. Tapi dengan seluruh keganjilan yang menyertai kematian Kulina.
Aldo mengambil gelas berisi jus yang disajikan Noor sejak awal datang bertamu. Tindakannya sekaligus memikirkan respons yang tepat. Terlalu banyak hal untuk diungkapkan. Masalahnya satu tapi beranak pinak di setiap jalan menelusuri jawaban.
"Lo siap untuk denger walau kemungkinan besar tidak masuk akal?" tanya Aldo akhirnya.
Noor mengangguk.
Aldo tidak tahu apa keputusannya tepat atau tidak. Karena ia lancar menceritakannya. Dari siaran radio yang dihentikan karena kematian Kulina, ia memainkan permainan di buku 13 Dark Game sampai surat misterius yang ditujukan untuk Liora. Masalahnya surat itu hadir tepat setelah Aldo memainkan salah satu dari tiga belas Dark Game. Seakan ada petunjuk-petunjuk dan teka-teki dari seseorang untuk mereka—mereka maksudnya Liora dan Aldo. Atau mungkin hanya untuk Liora saja. Yang jelas Aldo merasa perlu untuk terlibat.
"Sejak awal kalian memulai dengan cara yang salah dan tidak seharusnya cara yang salah terus dipertahankan," kata Noor hati-hati.
Aldo bergeming. Awalnya ia tak mengerti. Tapi setiap kali kalimat itu diucapkan di dalam hati semakin tampak kejelasannya.
Liora salah karena bertindak impulsif dengan melontarkan dirinya untuk terlibat dengan kematian Kulina. Tidak ada pengawasan orang dewasa. Tidak ada yang tahu. Mungkin Lizzy tahu. Ah, cewek itu. Dengan sorot mata sendu meski mereka sama-sama indigo.
Lantas, Aldo salah karena membuat keputusan begitu saja untuk memainkan 13 Dark Game tanpa pertimbangan siapa pun. Keduanya telah salah karena meski sama-sama tegelincir dengan masalah serupa. Beririsan tapi membuat keputusan masing-masing tanpa saling mengetahui. Terlalu jumawa. Mengira bisa menyelesaikan masalah dengan cara sendiri-sendiri.
"Pada akhirnya, kalian harus mengakui keegoisan tak membawa kalian ke mana pun. Hanya semakin tersesat dan berasumsi."
Aldo menenguk ludah. "Menurut lo, apa yang mesti gue dan Liora lakukan?"
***
"Gue enggak percaya," kata Lizzy sambil memijit pelipisnya.
Di tempat lain, masalah serupa tampak sedang dibahas. Apa lagi kalau bukan insiden 13 Dark Game dan kehadiran surat misterius setelahnya. Kedua cewek itu sedang berbaring di trampolin yang letaknya di belakang rumah Liora. Trampolin yang awalnya diam kini bergoncang-goncang seiring pergerakan Lizzy.
Ia yang awalnya berbaring kini memutuskan untuk duduk bersila di sisi kiri. Sedangkan Liora masih berbaring di sisi kanan. Cuaca yang semakin terik seharusnya membawa mereka ke dalam rumah. Sudah hampir pukul dua belas siang. Tapi di rumah Liora sedang ramai perkumpulan Ibu-Ibu arisan. Sedangkan di rumah Lizzy sedang dijadikan tempat rapat rukun warga.
Belakang rumah Liora seharusnya pilihan tepat. Tapi pohon mangga tidak cukup untuk memayungi mereka dari ganasnya sinar mentari. Walau ranting dan dedaunannya cukup rindang.
"Lo serius sama kata-kata barusan? Maksud gue... ya ampun kalian ceroboh banget. Bisa-bisanya kaya gitu," ujar Lizzy tak habis pikir.
Lizzy baru saja menuntut penjelasan ke Liora. Awalnya cewek itu ogah-ogahan. Mencoba mengalihkan pembicaraan ke lain hal. Tapi tidak cukup membuat Lizzy melupakan tuntutan pertama. Akhirnya Liora ceritakan juga kegiatan Aldo di malam sekolah itu—yang menurutnya terdengar bodoh—tapi tetap Lizzy dengarkan secara saksama.
Meski sudah dijelaskan, Lizzy tahu masih banyak rahasia yang disembunyikan Liora. Tetapi ia tak menuntut banyak. Biar waktu yang menggiring mereka ke kenyataan sebenarnya.
"Ya. Kami memang agak sinting," jawab Liora jenuh.
Ini bukan sinting biasanya, jerit Lizzy dalam hati. Ini sinting sungguhan. Bagaimana bisa Aldo dengan percaya dirinya memainkan isi dari 13 Dark Game tanpa takut? Tanpa pemberitahuan. Tanpa pikir panjang. Dengan persiapan matang. Lalu sekarang ada surat misterius yang seseorang kirim untuk Liora.
Lizzy tak bisa melihat suratnya. Hanya mendengar Liora membaca isinya. Betapa lucunya, ia tidak mengetahui hal segenting ini terjadi pada sohibnya. Lebih lucu lagi, Aldo terlibat. Entah siapa lagi yang masuk ke dalam lingkaran permasalahan ini.
Tidak ada gunanya lagi menyuruh Liora berhenti. Tidak ada gunanya menarik buku Dark Game itu dan mengembalikannya ke perpustakaan seolah tidak terjadi apa-apa. Semua sudah terlalu jauh dan mau tak mau harus dituntaskan. Lizzy tak ingin kehilangan orang-orang terkasih. Kini, ia merasa menjadi orang terwaras untuk menyelamatkan kekacauan.
"Oke. Kita nggak tahu siapa pengirim surat itu. Akan membuang waktu kalau sekadar mencari sang pengirim. Biar itu menjadi side job saja. Tujuan utama kita memecahkan petunjuk-petunjuk itu," kata Lizzy penuh tekad.
"Kita?" tanya Liora skeptis.
"Ya. Kita. Gue akan terlibat antara lo dan Aldo. Karena sejak awal gue yang ngasih tahu buku Dark Game itu ke lo. Gue punya tanggung jawab moral untuk membantu."
"Lo enggak tahu perlu bertanggung jawab apa pun, Liz. Sejak awal gue yang keliru. Gue salah ngasih buku itu ke Aldo," kata Liora. "Gue bahkan enggak punya energi lagi untuk ini semua."
"Gue akan tetap dengan pendirian gue," kata Lizzy membandel. Lalu tangannya mengusap punggung tangan Liora. Menyalurkan energi positif. "Segala hal yang dimulai harus diakhiri. Bahkan jika sejak awal dimulai dengan cara yang salah. Tak apa. Kali ini biar gue bantu lo dengan cara yang lain."
"Bahkan jika itu artinya memainkan Dark Game lagi?" tanya Liora antusias.
Lizzy tidak tahu tekad atau nekad yang membuatnya mengangguk. Jujur saja, ia ingin memperbaiki kekeliruan selagi masih ada waktu. Lizzy akui bahwa ia memulai dengan cara yang salah. Mencegah Liora untuk melanjutkan membaca 13 Dark Game seperti menyuruhnya jangan bermain piano seumur hidupnya.
Jadi, ia harus memberi kesempatan untuk Liora bergerak. Selama sesuai batas koridornya. Sekaligus mencoba memberitahu Liora secara lembut bahwa Lizzy memiliki buku 13 Dark Games yang lengkap. Tidak ada halaman hilang seperti terakhir kali ia memberikannya ke Liora.
Selain itu Lizzy juga ingin memastikan kalau Liora tidak nekad. Karena ia sempat membaca bagian game yang menggunakan piano. Liora akan melakukan hal itu tanpa pikir panjang. Mengambil jalan pintas yang menurutnya mudah. Padahal membahayakan keselamatannya. Sama seperti Aldo. Ah. Lagi-lagi cowok itu yang mengusik pikirannya.
"Tapi kali ini tidak ada rahasia. Harus bersama-sama membuat keputusan apa pun risikonya," ujar Lizzy akhirnya.
"Ya. Terdengar seperti solusi."
***
Hai, aku Carroll, salah satu penulis Denting, bab genap. Aku baru saja menerbitkan buku debutku. Judulnya After That Day. Ikutan POnya, yuk.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top