Bab 13a. Surat Misterius

Jangan lupa tinggalkan vote sebelum membaca dan komentar setelah membaca.

Liora memandangi amplop yang berasal dari kolong meja dengan kening berkerut. Merasa heran, dia langsung membuka amplop yang bertuliskan namanya di bagian depan. Selembar kertas yang terlipat jadi empat bagian diletakkan di dalamnya. Liora membuka surat itu dengan cepat. Tak ada petunjuk siapa pengirimnya di dalam surat.
Hanya tertulis beberapa kalimat yang Liora baca dengan cara scanning, sampai tiba pada sebuah kalimat yang cukup menarik perhatiannya.

"Kejadian puluhan tahun lalu ... kembali terulang?"
Liora membaca ulang penggalan surat dan mengakhirinya dengan sebuah pertanyaan.
"Kejadian apa yang kembali terulang seperti puluhan tahun yang lalu?"

Jika diperhatikan lagi, tulisan di dalam surat itu sangat rapi meskipun terdapat ceruk-ceruk di balik kertasnya. Lekukan itu bekas pulpen yang ditekan secara berlebihan saat menulis. Liora sedikit kagum mengetahui kalau ada yang bisa menyaingi Lizzy dalam hal menulis indah. Namun, apa maksud dari isi surat ini?

Tidak mungkin surat itu salah alamat, karena nama Liora jelas-jelas tertulis di sana. Jika ada yang ingin mengerjainya dengan surat itu pun pastilah hanya ulah orang kurang kerjaan saja. Melakukan hal iseng seperti ini.

Namun, Liora tetap penasaran. Bagaimana kalau surat ini memang dikirimkan dengan maksud tertentu?

Liora melihat beberapa temannya yang mulai menyerbu masuk kelas.
Namun, dia belum melihat Lizzy. Padahal biasanya cewek itu pantang sekali terlambat masuk kelas saat bel sudah berbunyi.
Bukan hanya soal hantu saja, Lizzy penakut dengan segala hal yang memiliki aturan. Berbeda dengan Liora yang meski bel masuk sudah berdentang, dia seringkali tidak merasa punya kewajiban untuk buru-buru menyerbu masuk kelas dan duduk secepat kilat seperti murid-murid lainnya.
Terlebih pada saat ini, dia merasa ada sesuatu yang lebih penting untuk dicari tahu. Hal ini menyangkut masa depannya.

Masih ada waktu beberapa menit sebelum guru pelajaran berikutnya masuk. Liora harus segera menemui Aldo untuk meminta pendapat.
Tentu saja, tanpa sepengetahuan Lizzy.
Cewek itu pasti akan mengomeli Liora habis-habisan kalau dia tahu cerita lengkap kejadian semalam yang membuatnya turut dipanggil ke ruang BP untuk memberikan kesaksian.
Liora masih belum siap bertemu Lizzy sekarang.
Dia masih belum menemukan alasan yang tepat untuk menyangkal Lizzy peringatan Lizzy tempo hari tentang larangan permainan gelap.
Lizzy akan berubah super cerewet dan menyeramkan kalau sampai tahu Liora memberikan buku itu ke Aldo.

Liora menyimpan surat itu dan buru-buru ke luar kelas. Dia tak boleh berselisih dengan guru piket dan Lizzy, maka Liora berbelok ke sebelah kanan setelah keluar kelas. Itu adalah jalan memutar untuk ke kelas sebelas IPS.
Lorong yang sering dilalui siswa di sebelah kiri.
Liora merasa aman keluar kelas sekarang sampai sebuah suara menghentikannya.

"Liora!"

"Mati gue!" keluh Liora pasrah saat mendengar suara Lizzy.

"Lo mau ke mana?" tanya Lizzy yang sudah berdiri di sampingnya.
Cewek itu menanyakan tingkah Liora yang mencurigakan, namun ekspresinya seperti mengatakan, "Lo masih punya utang cerita sama gue. Mau kabur ke mana?"

Liora meringis, berusaha mencari alasan.
"Gue mau ke toilet."

"Toilet di sana." Lizzy menunjuk lorong kiri yang dia lewati sebelumnya sambil tersenyum curiga.

"Sebentar aja, Liz. Gue punya urusan mendadak. Selesai semuanya, gue janji bakal cerita deh!"

"Ini udah bel masuk, Lio."

"Kalau gurunya masuk, lo bisa bilang kalau gue masih di toilet," kata Liora.

"Enggak. Lo tuh--"

"Please, ya Lizzy, ya?" Liora memohon-mohon sambil berjalan mundur lalu berbalik dan segera berlari meninggalkan Lizzy.
Tidak bisa ditunda lebih lama. Lizzy akan berhasil memaksanya tetap tinggal kalau lebih lama lagi.
Liora berjanji akan menceritakan semuanya kepada Lizzy, meski harus ada beberapa bagian yang disensor demi kebaikan Lizzy sendiri.

***

Aldo membelok ke arah kanan, menuju lorong koridor kelas sebelas IPS yang berada di samping Ruang Guru dan Ruang OSIS dengan gerakan lesu bak mayat hidup.
Meski sehari-hari kurang sensitif, biasanya insting Aldo lumayan peka dengan perubahan suasana seperti yang terjadi hari ini.
Namun kejadian tadi malam begitu menyita pikirannya, sampai-sampai tidak memperhatikan kondisi sekitar.
Aldo bahkan tidak menyadari raibnya si guru piket yang biasanya gentayangan di koridor sekolah bagai malaikat pencabut nyawa siswa-siswi badung yang terlambat masuk kelas atau yang memiliki rencana membolos.

Namun, di tengah perjalanan, Aldo akhirnya menemui sesuatu yang membuat dia sadar dengan anomali ini.
Dari tempatnya berdiri, Aldo bisa melihat dua orang pria yang tengah berdiri di depan ruang guru.
Salah satunya dia kenali sebagai Pak Farhan, guru olahraga di kelas sepuluh yang berusia sekitar empat puluh lima tahun.
Pak Farhan sedang berbincang serius dengan seorang pria yang tampak lebih muda sepuluh tahun darinya namun terlihat sangat berantakan.

Pria itu bergerak-gerak gelisah. Sesekali menunduk, lalu berdiri lagi.
Mulutnya beberapa kali tertangkap seperti sedang merapalkan sesuatu.
Dia mengusap-usap tangannya, membuat gerakan seperti mencuci tangan ke arah Pak Farhan.

"Saya mohon ... katakan dengan jujur apa penyebab kematian Kulina. Jangan menyembunyikan apa kebenaran pun," katanya sarat kepedihan namun sedikit membentak.

"Sebenarnya, Kulina tidak pernah datang ke sekolah lagi semenjak ujian tengah semester dua berakhir.
Lalu, tepatnya dua minggu yang lalu, kami menemukan Kulina tewas di tengah halaman. Saat kejadian itu, masih terlalu pagi dan belum banyak siswa yang datang. Sulit bagi kami untuk mengetahui penyebab kematian. Namun, sepertinya Kulina bunuh diri. Waktu itu
Kami tidak bisa menghubungi pihak keluarga karena nomor yang terdaftar di database sekolah tidak bisa dihubungi, dan alamat yang diberikan pun ternyata sudah lama ditinggalkan," kata Pak Farhan dengan ekspresi prihatin.

Awalnya, rasa penasaran karena mendengar nama Kulina disebut-sebut membuat Aldo memutuskan untuk berjalan lebih dekat. Dia tak mampu menolak rasa ingin tahu yang memberontak.

Saat pria itu memutar tubuh sesaat, Aldo bisa melihat garis kesedihan terpancar dari matanya yang memerah.
Namun, ternyata ada satu orang lagi yang berdiri di sana sejak tadi.
Orang itu di samping Pak Farhan, tetapi posisinya terhalang oleh pria yang baru Aldo ketahui merupakan Ayah Kulina.
Seorang cewek berseragam dengan rahang tirus dan sepasang mata dalam. Cewek sombong dan galak, dengan mata tajam seperti elang. Viola. Aldo buru-buru berjalan mundur dan bersembunyi di belokan koridor. Entah kenapa, setelah melihat Viola di sana, Aldo jadi tidak ingin ketahuan menguping.

"Jasad Kulina masih dibekukan di Rumah Sakit untuk keperluan autopsi. Belum kami makamkan karena tak bisa menghubungi pihak keluarga.
Namun, sambil menunggu hasilnya keluar, pihak sekolah masih menyelidiki kebenaran di balik kematian Kulina. Kami akan berusaha sebaik mungkin."
Pak Farhan menunduk dalam, menunjukkan perasaan bersalah dan bela sungkawa.

Untuk beberapa alasan, Aldo bisa melihat raut bersalah di wajah Pak Farhan.
Yang jelas, itu pasti karena dia terpaksa berbohong demi reputasi sekolah.
Sungguh kejam nasib seorang siswa underground.
Bahkan di saat hal buruk menimpanya, pihak sekolah pun tak bisa membiarkan keluarga Kulina satu-satunya untuk mengetahui kebenaran. Lalu, Aldo beralih menatap Viola yang kini bisa dilihatnya jelas.

"Kamu kan, yang membiayai sekolah Kulina?" tanyanya kepada Viola yang tetap diam.

"Kalian sangat dekat, kan?" Dia mengguncang bahu Viola sampai sedikit hilang keseimbangan dan mundur beberapa langkah.
"Apa kamu sama sekali tidak tahu apa alasan Kulina memutuskan bunuh diri?" Viola sama sekali tidak bersuara meski bahunya masih dicengkram Ayah Kulina. Bagi Aldo, melihat seorang Viola tak berkutik seperti ini adalah pemandangan yang sangat langka.

"Tolong jangan seperti ini, Pak. Kita masih belum mengetahui jelas penyebab kematiannya," kata Pak Farhan.

"Bisa antarkan saya menemui jasad Kulina?" Air mata Ayah Kulina mulai tak terbendung. Perasaannya sangat hancur.
Sejak istrinya meninggal, dia telah menciptakan jarak dengan Kulina.
Jarang pulang ke rumah dan tak pernah betukar kabar saat bertemu.
Penagih hutang selalu menyambangi kediaman mereka, sampai akhirnya dia nekat menjual rumah yang merupakan harta terakhir.

Dia resmi menjadi orang mabuk yang senang main tangan ke anak sendiri. Kulina begitu mirip dengan mendiang istrinya.
Hal itu yang selalu membuatnya tak betah berlama-lama melihat wajah Kulina, tapi tak disangka hidup Kulina sangat singkat. Seharusnya dia tak melampiaskan kesedihan dengan minuman keras dan menyakiti Kulina lebih parah. Kini segalanya sudah habis, tak bersisa.
Hanya ada bau alkohol yang melekat di setiap serat baju miliknya, sebagai pengingat bahwa dia adalah Ayah terburuk sepanjang masa.

"Silakan Bapak tunggu di bawah. Saya akan kirimkan seseorang untuk mengantar Bapak ke Rumah Sakit," kata Pak Farhan. Dia terlihat sangat sabar.
"Viola, kamu bisa kembali ke kelas."

"Kalau ada informasi, tolong beritahu saya," kata Ayah Kulina akhirnya.
Dia tak bisa berbuat banyak dan terlanjur percaya atas kebohongan berita yang disuguhkan pihak sekolah dan akhirnya pergi turun.

Sekarang, hanya Viola yang tersisa di lorong itu.
Di jarak beberapa langkah, Aldo bisa melihat kepalan tangan Viola di sisi tubuhnya dan tampak teguh.
Cewek itu mengangkat kepala perlahan dan menatap pintu rapat di depannya selama beberapa detik sebelum akhirnya berbalik dan bertemu pandang dengan Aldo.
Sekilas, dia bisa melihat air mata jatuh saat cewek itu berkedip kaget.
Ini kedua kalinya Aldo melihat cewek berbisa itu menangis.

Tersadar dari keterkejutannya, Viola segera menghindari Aldo, seperti tak ingin kepergok mellow.
Aldo kemudian berusaha mengejar langkah Viola.

"Lo bayarin sekolah Kulina?" Aldo mengeluarkan pertanyaan yang mengganggu sejak tadi.
Viola tetap diam dan menambah laju langkahnya.
Aldo berdecak dan menghadang cewek itu.

"Lo yang membunuh Kulina?" tanya Aldo sembarangan.

Viola berhenti. Matanya mendelik tak terima.
"Apa urusan lo, sih?" Viola sedikit tersinggung saat dituduh terang-terangan seperti itu.

"Iya apa bukan?" tekan Aldo.

Viola mendengus lalu melipat kedua tangannya di dada. "Polisi aja enggak bisa dapat jawabannya semudah itu. Kenapa lo harus?"
Viola memandangi Aldo, sementara otaknya berputar keras.

Bukannya dia tak mau mengatakan apa-apa kepada cowok itu.
Kenyataannya, kasus ini benar-benar pelik.

Aldo mengacak rambut frustrasi. Masalah ini sudah merembet ke mana-mana.
Bukan hanya ekskul siaran yang terkena dampak buruk karena Liora dituding sebagai pembunuh.
Namun, sekarang dirinya pun sudah terlibat.
Berani mencoba permainan gelap demi mendapatkan jawaban instan tentang pertanyaan siapa pembunuh Kulina.

"Kenapa sih, cewek tuh suka menyelipkan teka-teki?" keluh Aldo. Padahal pertanyaan tadi sangat jelas. Seharusnya dia bisa mendapatkan jawaban berarti.

Aldo menyerah. Tidak akan ada gunanya berbicara dengan cewek seperti Viola.
Siapa pun tidak akan bisa mendapat jawaban instan.
Aldo berlalu meninggalkan Viola, saat cewek itu tiba-tiba berujar.

"Kenapa lo menyimpulkan kalau gue pelaku?" tanya Viola. Posisi mereka kini saling membelakangi. Aldo berhenti tanpa menoleh sedangkan Viola tak bergerak.
"Mungkin, sekarang lo harus mulai mempertimbangkan posisi gue sebagai saksi."

"Saksi?" Aldo berbalik.
Cewek itu pasti bercanda, pikirnya. Namun, melihat Viola yang menatapnya dalam, Aldo seakan teringat sesuatu.

Viola dan Aldo satu Sekolah Dasar. Meski mereka hanya saling tahu nama.
Dari dulu, Aldo mengenal Viola dari mulut ke mulut. Viola terkenal karena memiliki mulut berbisa yang mampu melumpuhkan semua orang saat berbicara kepadanya.
Namun, cewek itu tidak pernah mengganggu terlebih dahulu. Selalu ada alasan di balik tindakannya.

Setelah lulus, mereka kembali bersekolah di SMA yang sama.
Sekarang, setelah duduk di bangku menengah atas, Viola lebih banyak membuat keonaran di sekolah dengan dukungan beberapa kawan yang bengal dan hobi melanggar aturan. Salah satunya, selalu menindas Kulina.

Kalau di pikir-pikir, memangnya apa alasan Viola memperlakukan Kulina seperti itu? Sedangkan fakta baru yang dia dapatkan, selama ini Viola yang menjamin sekolah Kulina. Pasti ada alasan.

Aldo bahkan pernah beberapa kali memergoki Viola sedang menyendiri.
Untuk beberapa alasan, Aldo bisa melihat jika semua perilaku Viola selama ini hipokrit.

Belum ada jejak yang berarti dalam kasus ini. Begitulah yang selalu dikatakan pihak sekolah.
Tidak ada yang tahu apakah itu kebenarannya atau pihak sekolah hanya tak ingin mengungkapkan detail-detail penyelidikan.
Namun Aldo sadar, tersangkanya mungkin tidak banyak.
Tidak ada yang tahu keberadaan mereka di sekolah malam itu.
Bahkan penjaga sekolah yang seharusnya bertugas, Pak Dadio, tidak tahu menahu akan ada kegiatan ekskul siaran atau pun siswa yang menyelinap masuk sekolah malam itu.
Para guru pun seolah tidak tahu-menahu soal masalah Viola dan Kulina, meski mereka tahu soal reputasi buruknya cewek itu.
Namun, memang benar tidak ada bukti kuat kalau Viola pelakunya.

"Apa yang lo tahu tentang kasus ini?" tanya Aldo akhirnya. Lalu, mereka berdua sama-sama terdiam sampai ada seseorang yang menginterupsi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top