Bab 12. Rencana Kelam

"Jangan senyum-senyum dulu. Gue ngasih pinjam buku ini bukan karena omongan lo bener. Tapi gue cuma pengin tahu aja seberapa berani diri lo."

Aldo mendecak. Dasar cewek. Cewek mau usia berapa saja selalu melangitkan gengsi, membumikan rasa mengalah. Tapi itu tidak lagi penting. Permasalahannya sekarang, mendapatkan buku itu dan mengetahui lebih banyak. Memikirkan hal tersebut membuat bibir cowok itu melengkung kesenangan.

Ia ingin menjawab langsung. "Semakin ditantang, cowok akan semakin berani. Itu lah harga diri cowok agar terlihat lebih superior dibanding kaum hawa." Namun kalimat yang meluncur justru kontradiksi. "Oke, Liora."

Cewek itu merenggut, jelas kesal karena reaksi praktis tersebut. Aldo cukup sadar dengan sekali melihat mikro ekspresi Liora. Kening bertaut, menggigit bibir, lekuk pada pipi dan senyum palsu. Tapi siapa sih yang tadi mulai menantang?

Buku itu berpindah tangan. Tanpa keduanya sadari bahwa tanggung jawab juga ikut dilimpahkan. Liora pergi sambil menghentakkan kaki. Aldo mengamati punggung cewek berambut pendek tersebut menjauh, lantas menyelipkan Dark Game ke dalam map. Sisi depan belakang map sudah dia berikan sampul. Hasil memanfaatkan lembar ulangan beberapa minggu lalu. Setelah yakin cara tersebut mampu menutupi buku itu, Aldo menarik resletingnya.

Menjorok di pojok kanan lantai dua, lorong yang sering diabaikan karena hanya bagian bobrok yang tak terurus. Terdapat bangku yang kakinya patah, senderan kursi yang tidak ada, meja lapuk, buntungan kayu uzur dan armrest bangku yang terpotong. Beberapa keramik pecah dan tercongkel memperlihatkan semen dibaliknya.

Bukan lokasi layak. Tapi tempat yang aman untuk mengadakan pertemuan dengan Liora. Tidak ada yang tertarik melongok ke sudut lantai dua. Bahkan cendrung enggan. Beruntung janji terealisasikan, setelah sempat melewati perdebatan.

"Jangan di belakang halaman sekolah," kata Liora di telepon saat malam hari.

Aldo mengerutkan kening. "Kenapa? Tadi katanya terserah di mana aja. Giliran gue tentuin malah ditolak."

"Iya. Tapi kalau ada orang dari bagian selatan di lantai tiga yang melongok, kan bisa kelihatan," sambarnya senewen.

"Di kamar mandi lantai dua. Kan kamar mandinya beda sendiri dibanding lantai lain. Toilet cewek dan cowok satu ruangan dengan dua lorong. Cewek ke lorong kiri sedangkan cowok ke lorong kanan. Pembatasnya cuma dipisah pagar. Ntar lo kasih bukunya lewat selipan jeruji pagar," sahut Aldo.

"Seperti transaksi kejahatan,"

"Memang kelihatannya kita melakukan kebaikan?"

Liora mendesah. "Ketemu di lantai dua, pojokan yang banyak perabotan. Jam 6 teng! Telat, gue engga kasih bukunya. Oke?"

Ada apa sih dengan para hawa? Cewek seringnya bilang terserah saat dikasih pilihan. Tapi giliran cowok menentukan, seringnya ditolak. Ujug-ujug, cowok harus memahami keputusan cewek. Kenapa engga bilang dari awal saja?

Aldo menyemburkan napas. Dari awal, Liora tidak bilang alasannya memberikan buku. Tiba-tiba saja menelpon, meracau untuk bertemu esok pagi di sekolah. Sebelum merespons, cewek itu mewanti-wanti tidak menerima jenis pertanyaan apa pun. Who ruin the world? Girl! Jadi, Aldo tidak bertanya. Hanya menjawab. Rasanya seperti dijajah secara tak langsung.

Sebelum sempat menjawab. Liora menutup telepon duluan. Aldo sudah tahu itu. Ia mendesah. Nasib. Sekarang yang terpenting, buku sudah berpindah tangan. Ia yakin tidak ada yang memerhatikan. Pukul enam lewat lima menit, lantai dua belum terlalu ramai. Hanya terlihat beberapa anak sedang piket. Ia putuskan untuk bergerak. Lantai keramik yang retak dan bergelembung membuat suara berderak saat cowok itu injak. Dengan degup kebahagiaan, Aldo bergegas ke kelasnya.

Yang terjadi selanjutnya memang sudah terprediksi. Aldo tidak konsentrasi belajar. Benaknya sibuk menyusun rencana untuk Dark Game. Noor berkali-kali menegur, menyenggol siku dan berdeham. Cara-cara yang berhasil di awal beberapa menit. Di jam istirahat, celetukan serta kelakar Yara tidak banyak membantu dan khotbah Andy sekadar angin yang lewat lalu terlupakan.

Hari panjang di sekolah akhirnya selesai setelah waktu berjalan lambat. Aldo buru-buru ke parkiran dan melaju dengan motornya. Yara sempat berteriak memanggil. Seperempat perjalanan, Aldo paham alasan Yara berteriak, jadi ia memutar balik. Disambut Yara dengan gelengan kepala.

"Buru-buru banget lu kaya dikejar gajah," kata Yara langsung.

Andy cengegesan. "Kirain enggak balik lagi. Gue sama Noor tadi mau ninggalin dia aja. Biar dia pulang sendiri. Ya, kan, Noor?"

Noor mengangkat kaca helmnya. Tidak menjawab pertanyaan Andy namun menikam Aldo dengan pertanyaan yang sama saat tadi di kantin. "Lo kenapa sih, Do? Seharian ini aneh banget. Ada yang mau diceritain ke kita-kita?"

"Berasa de ja vu, tadi udah nanya gitu deh," sambar Yara. Ucapan yang mendapat tatapan tajam Noor.

"Santai aja. Gue lagi gagal fokus aja. Ya, udah, Yar, ayo naik," respons Aldo sambil berpaling ke arah Yara. Lalu menoleh kembali ke dua sahabatannya. "Noor, Ndy, duluan, ya?"

"Kalau ada apa-apa cerita."

"Oke. Dah, ya."

Sebelum diberikan petuah lain, Aldo beranjak pergi. Diboncengan, Yara tidak banyak bertanya. Ia hanya mengajak mengobrol kegiatan sekolah saat olahraga besok. Selesai mengantar Yara, saat itu Aldo meraih ketenangan.

Usai mandi, makan malam, mengerjakan PR, akhirnya Aldo mendapatkan kesempatan. Dibacanya Dark Game dari awal sampai akhir. Beberapa permainan ada yang membuat decak kagum, sebagian membuat nyengir karena tahap permainannya nyaris lucu, sisanya hanya disambut Aldo dengan gelengan.

Dibalik lagi halaman pertama. Dibanding yang lain, permainan ini lebih mudah diaplikasikan, praktis dan membutuhkan peralatan yang gampang didapat. Prosedur pun sederhana, ke kamar mandi, matikan lampu, merokok depan cermin, bertanya, setelah selesai dapatkan mata si hantu, jangan lepaskan kepalan tangan yang digunakan saat meraih mata hantu, nyalakan lampu, tutup pintu kamar mandi, dan lupakan. Piece of cake.

Tapi di kamar mandi mana ia harus memulai? Kamar mandi sendiri? Aldo mencoret pemikiran tersebut. Di bagian warning sudah jelas jangan kembali ke kamar mandi yang dijadikan ritual. Jadi kenapa ia mesti mencari penyakit sendiri? Kamar mandi sekolah. Aldo menarik kesimpulan. Kulina meninggal di sekolah, bukan di rumahnya.

Kamar mandi sekolah. Berarti ada beberapa pilihan WC lantai satu, dua dan tiga. Aldo langsung tahu jawabannya setelah menimbang. WC lantai satu. Lebih mudah kabur keluar sekolah dan menuju lapangan yang luas.

Masalah selanjutnya, WC cewek atau WC cowok? Kelasnya saja di lantai dasar, bagaimana bisa tidak kembali ke kamar mandi itu? Sedangkan WC cewek tidak ada cermin. Ia tahu karena dari gosip anak-anak. Sebenarnya masuk akal, salah sendiri cewek memecahkan cermin beberapa bulan lalu. Sekolah tidak mau ambil risiko dengan menyediakan cermin untuk dipecahkan kembali. Lagi pula, cewek dan cermin itu kompatibel, bisa-bisa cewek bakal berlama-lama di dalam kamar mandi.

Mau tak mau, harus kamar mandi cowok. Tidak ada pilihan lain. Ya, baiklah, batin Aldo. Ia menyambar jaket dan menggunakannya. Memakai jam tangan. Memasukkan ponsel, kunci motor dan sebungkus rokok ke dalam saku jaket. Lantas keluar rumah lewat jendela.

Dengan langkah mengendap-endap dengan tubuh membungkuk, Aldo menuju ke garasi. Ia menarik rolling door ke atas secara perlahan. Suara berderak terminimalisir karena ia sudah memberi oli pada sisi-sisinya tadi sore. Setelah mendapatkan motor, ia menuntunnya keluar. Membuka pagar dengan hati-hati, menutup pintu, memastikan terkunci dan akhirnya terbebas dari tantangan utama. Perumahan di Rewhite terlihat bagai kota mati. Sepi mencekam.

Setelah berbelok ke kanan dan ke kiri di gang pertama, ia baru menyalakan mesin dan segera menggendarainya menuju ke sekolah. Jarak SMA Cahaya Selatan tidak terlalu jauh kalau ditempuh, satu kilometer. Melewati deretan ruko, melalui gang yang tempat ibadahnya berdampingan-Mesjid Al-Ikhlas dan Gereja Karmel dan akhirnya sampai di pintu belakang sekolah.

Begitu berhasil memasukkan motor ke sekolah, Aldo langsung melintas setengah halaman gedung menuju kamar mandi. Ia mengeluarkan peralatan. Siap bertempur. Ia tidak akan membuang waktu, kemungkinan penjaga sekolah sedang tidur setengah dua belas seperti ini.

Aldo menutup pintu kamar mandi paling ujung. Duduk di atas seat cover kloset yang sudah ia tutup. Cowok itu menunggu. Terlintas di benaknya untuk menelpon Liora. Paling tidak, apa pun yang terjadi nanti, ada orang yang tahu.

"Eh, malam sekolah, nih. Gue udah ngantuk langsung melek lagi," sahut Liora langsung ketika telepon terjawab.

"Gue lagi di sekolah."

"Hah?" Terdengar suara melengking di seberang telepon. "Ngapain? Jangan bilang-"

"Iya prakter isi buku Dark Game," tukas Aldo memotong pembicaraan Liora sebelum cewek itu semakin menjadi-jadi. "Mau nitip pertanyaan engga? Mumpung belum mulai."

"Gila! Nekat. Mending lu pulang sekarang. Jangan mulai aneh-aneh, deh. Lebih baik reputasi gue rusak dibanding lu nyari tau penyebab kematian Kulina. Ini udah tanggung jawab gue sebagai tersangka. Alih-alih lu. Gue engga mau beban bertambah. Gue engga mau nyawa lu sebagai taruhannya. Engga adil," cerocos Liora.

Nada panik yang tidak mampu menyurutkan niat. "Lu bilang ini cuma permainan sinting. Kenapa sekarang percaya?" cetus Aldo. "Yaudah, kalau memang ngga ada pertanyaan. Ntar gue kabarin kalau udah selesai."

Aldo memutuskan telepon. Tak sampai dua menit, Liora menelpon balik. Direject. Menelpon balik. Mau di diamkan pun menganggu konsentrasi. Jadi Aldo menekan power off pada ponselnya. Layar gelap. Kini hanya terdengar embus napas dan debar jantungnya sendiri. Bau pesing samar bercampur karbol. Untunglah tidak membuat mual.

Cowok itu melirik jam tangan. 11:59:01. Detik tersebut bergerak, perlahan namun pasti. Aldo menyalakan pemantik, menyulut rokok pada api dan mematikan lampu. Tepat di jam dua belas. Aldo beranjak mendekati cermin.

Ia menyaksikan bayangannya ikut merokok. Aldo memfokuskan menatap bara api merah kecil di ujung rokok. Membisikan nama yang sama. Kulina. Kulina. Kulina. Kulina.Kulina.

Untuk kedamaian bersama, datanglah. Aku ingin bertanya padamu, batin Aldo. Ia jelas merapal mantra buatan sendiri meski matanya mulai terasa perih. Hidungnya gatal. Ingin bersin. Punggung terasa renyam namun tak bisa digaruk. Ritual menyiksa. Permainan bodoh. Aldo mengumpat dalam hati. Tapi tetap memanggil satu nama. Kulina. Kulina. Kulina.

Lima belas menit kemudian gayung bersambut. Sesuai tahapan di buku. Ada sosok yang balas menatapnya di cermin. Bukan. Bukan dirinya. Tapi sesuatu yang lain. Hawa kamar mandi mendadak dingin. Aldo tercengang. Ia nyaris mengedipkan mata. Beruntung akal sehat menang, ia tetap memfokuskan diri.

Nyala mata merah redup. Lekuk tubuh yang kabur mulai terbentuk. Kepala, leher dan bahu. Dengan jantungnya menggedor pertahanan, ia balas melihat mata itu. Pertahanan tubuhnya seakan mencapai titik nol. Jiwanya terasa terisap ke cermin dan lutut terasa lemas. Sebelum wujud di balik cermin semakin nyata, padat dan terisi. Gedoran pintu mengejutkan keduanya.

Aldo bergerak cepat menyalakan lampu sekaligus menjatuhkan rokok dan menginjaknya secara sadis. Tanpa ampun. Bodohnya, kepala cowok itu menoleh ke cermin. Hilang. Wujud di balik cermin musnah. Entah ke mana.

Dengan napas memburu dan tangan keringat dingin, Aldo membuka pintu. Menampilkan wajah panik Liora. Sial.

"Lu ngapain di sini?" bentak Aldo frustrasi.

Liora balas membentak. "Harusnya gue yang nanya. Buat apa mengorbankan nyawa untuk orang mati?"

Aldo mendengus. Ia melepaskan jaket dan mengibas-ngibaskannya di kamar mandi. Liora membantu menyemprotkan parfum ke dalam kamar mandi. Masih tersisa asap rokok pekat ketika Aldo menghentakkan kaki beranjak pergi. Disusul Liora yang memanggil namanya.

Kebodohan itu tampaknya berujung pada pemanggilan nama Liora dan Aldo di jam istirahat. Speaker mengulang panggilan tersebut dua kali. Dua kali cukup membuat Aldo dan Liora beranjak ke Ruang BK. Kabar baiknya, panggilan di jam istirahat sama sekali tidak merebut perhatian murid lain. Mereka sibuk pergi ke kantin, sekadar nongkrong atau melakukan kegiatan lainnya.

"Kita perlu bicara," kata Liora saat keduanya berjalan di koridor.

Aldo bergeming. Sejak kejadian kemarin, segala amarah sudah berkumpul siap diledakkan. Tapi menjadi energi sia-sia ketika marah ke cewek. Cowok tidak layak memarahi cewek, sebesar apa pun kesalahannya. Itu prinsip. Cewek hanya perlu nasihat. Namun cewek seperti Liora tidak akan pernah mendengar nasihatnya meski diucapkan dengan kesabaran ekstra. Tidak mau mengerti saat dimarahi. Keras kepalanya sudah mencapai batas permukaan langit. Itu fakta.

Jadi memutuskan tidak menjawab merupakan pilihan bijak. Mereka akan bicara saat perasaan Aldo tenang. Tidak sekarang. Tidak di hari ini.

Saat guru konseling mengizinkan mereka masuk ruangan, Aldo dan Liora beringsut. Guru itu tampaknya sudah bertahun-tahun mendengar keluh kesah, masalah dan perkara hingga wajah lelahnya terukir jelas.

"Kalian tahu apa kesalahannya sehingga dipanggil ke sini?"

Keduanya menggeleng.

"Kejadian semalam."

Dua kata. Satu kalimat. Namun begitu dingin dan ketus. Seakan sudah menjabarkan segala masalah yang akan dihadapi dan memperjelas tujuan dua murid itu berada di ruangan BK.

"Kejadian semalam apa?"

Guru konseling tampak kehilangan kesabaran. Desahan berat yang cukup mewakilkan. Sampai memutuskan untuk menjabarkan masalahnya. Dua murid keluar kamar mandi cowok saat tengah malam. Sebuah tanda tanya besar. Penjaga Sekolah yang melihat memberikan keterangan lengkap. Sekaligus mencium bau asap rokok di kamar mandi. Tiga pelanggaran sudah jelas terjadi; melakukan tindak asusila, merokok di lingkungan sekolah dan menerobos sekolah tanpa izin.

Aldo mengernyitkan kening. Tindakan asusila? Yang benar saja. Namun telinga Aldo memilih mendengar. Setiap kalimat tajam, tuduhan dan kosakata menusuk batin dari Guru Konseling.

Hingga diberikan kesempatan bicara. Aldo menjelaskan jawabannya sebelum si cewek keras kepala bereaksi. Hanya kesalahpahaman. Bedak Liora tertinggal di kamar mandi cowok. Itu akibat Aldo menggoda cewek itu dari permainan truth or dare. Lalu lupa mengembalikan sepulang sekolah. Liora tidak bisa jika tidak menggunakan bedak saat keluar ruangan karena kulitnya sensitif matahari, perlu perlindungan sinar UV. Kebetulan saat mengecek, ada putung rokok menyala. Jadi wajar jika kamar mandi penuh asap rokok.

Apa guru itu percaya begitu saja? Jelas tidak. Namun guru konseling tidak bisa menahan mereka karena Liora bisa membuktikan dirinya memakai bedak. Menyeret Lizzy juga sebagai penguat. Cewek itu mengiakan setelah membaca isyarat Aldo. Ia akan menuntut penjelasan. Ketika Lizzy dibiarkan kembali ke kelas, guru konseling menatap Liora tajam.

"Kamu masih punya catatan merah. Ingat. Masalah Kulina belum selesai," katanya dingin.

Atmosfer mengintimidasi mengisi ruangan. Aldo merespons. "Maaf lancang, masalah Kulina akan segera selesai. Kita hanya perlu saling keterbukaan. Sekolah terbuka pada perkembangan, Liora terbuka dengan runutan cerita. Karena Liora sudah terbuka. Tinggal pihak lainnya yang melakukan hal yang sama. Tolong jangan menyudutkan Liora seperti ini. Kita semua perlu waktu, kan?"

Guru konseling yang jelas kalah telak itu meradang. Mengatakan hal menyerang. Aldo teguh sekaligus menenguhkan Liora. Biarkan kalimat pedas itu meluncur. Satu kartu terbuka, akan banyak yang berjatuhan. Reputasi sekolah akan dipertaruhkan jika ada kematian siswa di sekolah. Ini mencoreng kredibilitas dan menurunkan akreditasi saat penilaian sekolah. Aldo tahu itu karena Bapaknya kepala sekolah dasar di utara kota.

"Kami permisi."

Kalimat itu menjadi penutup perdebatan. Aldo lekas menjauh dari ruangan BK. Sedangkan Liora bergegas kembali ke kelas dengan mata nyaris berair.

"Jangan susah payah menghargai orang yang tidak menghargai kita," kata Aldo menenangkan.

Tanpa Aldo tahu, Liora mengiakan saja karena bukan itu masalahnya. Namun karena tidak biasa dengan kalimat tajam dan menusuk. Aldo mengantarkan Liora sampai kelasnya. Kelas itu sepi. Ketika cowok tersebut akan beranjak pergi, tak terbantahkan kalau Liora membuka amplop yang berasal dari kolong meja. Surat apakah itu hingga kening Liora berkerut?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top