Bab 11. Awal Petaka

Di akhir bab ini, aku dan AgnesWiranda mengadakan giveaway, loh! Baca sampai tuntas, yaaa.

***

Perasaan Liora masih tidak enak saat mengingat perbincangannya dengan Lizzy di telepon tadi malam.

"Ada yang perlu kita bicarakan," kata Lizzy dengan nada suram.

"Apa?" tanya Liora dengan alis saling bertaut.

Lizzy terdengar menghela napas sebelum menyahut, "Buku itu..."

Liora semakin mengerutkan keningnya, menebak-nebak hal apa yang akan dibicarakan sahabatnya itu dengan nada ragu-ragu.

"Lo udah baca semua isinya?"

"Maksud lo buku Dark Game?"

"Iya, buku itu."

"Belum semuanya, tapi sebentar lagi selesai. Kenapa?"

"Kembalikan ajalah ke perpustakaan. Nggak usah dibaca lagi."

"Loh, lo baca juga bukunya? Bukannya begitu nemu buku ini, lo langsung ngasih gue ya?"

"Gue nemu lagi buku itu, makanya baca juga. Tapi menurut gue, buku itu sama sekali nggak masuk akal."

"Malah menurut gue, buku ini kayak jurnal penelitian. Kalau nggak dibuktikan, kita nggak akan tahu apakah isinya nyata atau hanya sekadar coretan iseng aja," Liora menjelaskan.

"Jangan bilang kalau lo mau nyoba permainan dalam buku itu?" kata Lizzy dengan nada curiga.

Liora terdiam sejenak, menimbang-nimbang kata mana yang tepat untuk menyampaikan niatnya kepada Lizzy.

"Mungkin kita bisa coba satu permainan yang nggak terlalu berbahaya, Liz." Liora menunggu sahutan dari Lizzy, namun sepertinya gadis itu tidak berniat untuk menjawab dalam waktu dekat maka Liora melanjutkan,
"Lo pernah menang lomba skipping saat classmeet semester lalu, kan? Gimana kalau coba main Jerat Cahaya?"
Liora merasa gugup tanpa sebab menunggu jawaban Lizzy yang tak kunjung terdengar.

Tiga detik, lima detik, sepuluh detik...
Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing

"Gue nggak mau," Lizzy menyahut pada detik kelima belas.
"Di situ tertulis, pemain boleh bertanya selama tidak terkena tali. Terus gimana kalau saat bermain gue terkena tali, lo yakin permainan akan berakhir begitu saja dengan aman? Nggak ada jaminan, dan lo tahu itu."

Liora kembali terdiam. Kali ini dengan perasaan panas dingin mendengar penuturan Lizzy barusan yang telak menampar sang logika.
Benar juga, tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang apa yang akan terjadi saat permainan berakhir. Tidak ada jaminan kalau nyawa pemain tidak akan terancam setelah permainan berakhir.

Dan saat ini Liora begitu penasaran, deretan pertanyaan menyeruak di benak dan otaknya.
Segala hal ingin ia ketahui tentang penyebab kematian Kulina. Namun sekarang, ia mulai lelah mencari.
Banyak orang menuduhnya melakukan hal yang sama sekali tidak ia perbuat, mencaci seakan tidak memedulikan perasaan Liora sebagai pihak tertuduh.

Di tengah lamunan yang mengusik, langkah kaki malah membawanya masuk ke ruangan musik gedung kesenian, tempat Kulina terjatuh dan mati.
Piano akustik yang catnya sudah mulai pudar pun masih berada di sana, dengan debu yang mulai menyapa.
Akhir-akhir ini, Liora memang lebih senang bermain piano di ruangan ini untuk melupakan sejenak bebannya.
Tiba-tiba Liora teringat suara dentingan piano pada saat malam kematian Kulina. Mungkinkah Kulina bermain piano itu sebelum meninggal?

Liora duduk di depan piano, namun tidak berniat untuk memainkannya. Hanya menunduk dalam sambil menatap lekat buku Dark Game di pangkuannya.
Jarinya membuka halaman demi halaman yang menunjukkan gambaran realistis dan trik-trik permainan gelap.
Padahal ia sudah berjanji tidak akan memercayai buku sinting ini, tetapi entah mengapa ia sangat penasaran akan apa yang tertulis.
Banyak permainan yang bisa membantunya mendapatkan jawaban.

Liora menggeleng keras, berusaha mengusir pikirannya yang ingin mencoba beberapa permainan. Ia berniat menutup buku Dark Game saat ada yang menarik paksa buku itu dari tangannya. Liora langsung menoleh ke arah si pelaku.

"Aldo?" Liora mengernyit saat melihat Aldo berdiri di sampingnya, pasalnya ia sama sekali tidak menyadari kehadiran laki-laki itu.

"Buku apaan, nih?" Tanpa menunggu jawaban, Aldo langsung membuka buku di beberapa halaman terakhir dan langsung membacanya.

Game 10 : Petak Umpet Berdarah
Tingkat Bahaya : Tinggi
Peralatan : Boneka, arang, air rendaman beras pertama, pecahan kaca, gunting kuku, jarum, dan benang merah.
Cara Bermain :
Pastikan Anda melakukan panduan berikut ini secara urut;
1. Pilih boneka yang mempunyai tangan dan kaki lengkap, lalu namai dengan nama Arwah yang ingin diajak bermain. Jahit bagian mulutnya dengan benang merah. Ingat, benang harus berwarna merah, kalau tidak permainan akan sia-sia.

2. Gosok arang di kedua kelopak mata. Hal ini bertujuan agar Anda bisa melihat bayangan arwah dalam boneka selama permainan. Kemampuan melihat berbeda-beda, tergantung tingkat sensitif si pemain.

3. Ambil pecahan kaca dan celupkan boneka Arwah ke dalam air rendaman beras. Buat sayatan di ujung jari telunjuk kanan dengan kaca itu lalu teteskan darah Anda ke dalam air rendaman untuk menjadikan boneka sebagai media penghubung Arwah.

4. Matikan semua lampu dan nyalakan TV. TV bisa menangkap sinyal kuat dari arwah yang bergentayangan. Permainan bisa dimulai tepat jam 3 dini hari, ucapkan "(nama Anda) yang pertama kali jaga." Sebanyak tiga kali.

5. Pergi ke ruangan yang berbeda dengan boneka Arwah dan mulailah menghitung dengan tetap memegang gunting kuku dan pecahan kaca.
Setelah hitungan kesepuluh, kembali ke tempat boneka Arwah dan tusuk perutnya dengan kaca sambil mengucapkan "Kau yang jaga berikutnya" sebanyak tiga kali.

6. Mulailah lari dan bersembunyi sambil tetap memegang gunting kuku.
Jika permainan berhasil, Anda akan mendengar suara langkah kaki dan suara orang yang memanggil-manggil nama Anda. Berusahalah agar tidak ditemukan selama satu sampai dua jam. Jika Anda hampir ditemukan, segera lari ke tempat rendaman boneka dan gunting jahitan benang di mulutnya menggunakan gunting kuku sampai lepas dan ucapkan "Aku menang" sebanyak tiga kali.

Jika menang, Anda boleh bertanya kepada Arwah tentang apa pun selama satu jam.
Sebaliknya jika tertangkap, Anda akan disembunyikan Arwah untuk selamanya, tidak ada yang bisa menemukan dimana Anda.

Harap waspada, jika Anda memainkan permainan ini di rumah yang berisi orang selain Anda, maka secara tidak langsung orang itu ikut bermain.

Aldo semakin tertarik untuk membalik halaman buku itu, tidak memedulikan Liora yang berusaha merebut buku itu kembali.

Game 11 : Dimensi Cermin
Tingkat Bahaya : Tinggi
Peralatan : Piano, lilin dan cermin.
Cara Bermain :
Permainan ini bisa dimainkan oleh dua orang, tapi hanya satu pemain yang diakui, yaitu yang menukarkan jiwanya.

Satu hari sebelum tanggal ulang tahun, pergilah ke sebuah ruangan yang berisi piano dan cermin. Satu pemain harus berdiri di depan cermin sambil memegang lilin mati dan mengucapkan "Aku memanggilmu..." selama pemain lainnya memainkan 13 nada.
Tepat pada denting ketiga belas, lilin yang dipegang pemain akan hidup walaupun angin berembus sangat kencang. Saat itulah, pemain harus bernegosiasi dengan Arwah yang akan melakukan pertukaran jiwa.
Jika Arwah setuju, anda bisa bertukar tempat dengan aman selama satu bulan.
Harap berhati-hati, jika Arwah tidak setuju bertukar tempat, cermin akan pecah berserakan dan jiwa Anda akan ditarik ke balik dimensi kelam dan terjebak di sana selamanya.

Aldo berusaha mencari petunjuk lain tentang nada yang harus dimainkan itu. Dia membolak-balik buku, menggoyangkannya kalau saja ada kertas berisi nada yang terselip. Nihil. Tidak ada satu pun petunjuk mengenai nada apa yang harus dimainkan. Aldo tidak ambil pusing dan lanjut membaca.

Game 12 : Devils Triangle
Tingkat Bahaya : Tinggi
Peralatan : Ruangan yang terbuat dari kayu, 100 lilin hitam, 1 buah cermin besar, dan pecahan cermin yang digunakan dalam permainan Dimensi Cermin.
Cara Bermain :
Tujuan permainan ini untuk membebaskan jiwa yang terjebak setelah kalah dalam permainan Dimensi Cermin, maka pecahan kaca yang digunakan haruslah berasal dari cermin di permainan sebelumnya.
Permainan ini bisa dimainkan sedikitnya oleh sepuluh orang.

Buat pola segitiga besar di lantai kayu dengan pecahan cermin.
Letakkan 99 lilin mati dengan pola melingkari luar segitiga.
Nyalakan satu lilin dan pilih satu pemain untuk memegangnya. Si pemegang lilin harus berdiri di depan cermin yang terletak di tengah arena permainan.

Untuk mulai bermain, ceritakan sebuah kisah seram secara bergiliran. Setiap satu cerita selesai, hidupkan satu buah lilin di luar segitiga. Disarankan hanya menghidupkan lilin terdekat dan jangan berada di luar segitiga terlalu lama.
Jika lilin tidak bisa menyala dalam sepuluh detik, segera masuk ke dalam segitiga dan ceritakan kisah baru.
Begitu terus sampai semua lilin dihidupkan.
Saat lilin utama yang dipegang pemain mati, dari cermin itu akan mengeluarkan jiwa yang terperangkap di dalamnya.

Tetap waspada, karena jiwa yang terperangkap dalam Dimensi Cermin bukan hanya satu. Bisa saja, jiwa yang keluar bukanlah yang ingin kalian selamatkan.

"STOP!" Liora berteriak lantang demi menghentikan Aldo membalik halaman terakhir.
Laki-laki itu sampai terkejut karena konsentrasi membacanya tiba-tiba buyar.

Liora berjalan lebih dekat ke arah Aldo lalu merebut paksa buku itu tanpa perlawanan.
"Jangan pernah lo berpikiran untuk menguji kebenaran buku ini," peringatannya terdengar seperti ancaman mematikan.

Aldo tersenyum lebar, gadis itu memang selalu bisa menebak jalan pikirannya.
"Liora, apa lo takut untuk nyoba permainan-permainan gelap itu?" tanyanya sambil menunjuk buku yang digenggam erat Liora.

"Gue nggak takut," Liora menggigit bibir bawahnya, mendadak teringat perkataan Lizzy lagi. "Hanya saja, buku ini sinting. Jadi lo nggak usah baca kalau nggak mau jadi sinting."

"Lio, di situ ada permainan untuk memanggil Arwah. Apa lo nggak mau mencoba berkomunikasi dengan arwah Kulina dan bertanya siapa pembunuhnya?"

"Apa lo berniat mencoba itu?" Liora yang tadi menunduk kini mengangkat kepalanya lagi, sedikit terkejut memandang mata Aldo yang berkilat semangat.

"Coba lo pikirin, kalau lo bisa tau siapa pembunuh Kulina, bukan cuma nama baik lo yang akan pulih tapi ekskul siaran juga." Aldo masih berusaha meyakinkan ketuanya itu.

"Terlepas dari sintingnya buku ini, tetap aja berbahaya kalau ternyata semua yang tertulis itu benar--"

"Nah, berarti lo mengakui adanya kemungkinan permainan-permainan itu nyata!" Aldo menyela perkataan Liora dengan cepat, berharap Liora akan membolehkannya membaca halaman terakhir.
"Atau lo terlalu takut buat nyoba itu? Ayolah, mana Liora ketua ekskul siaran yang katanya nggak takut hantu?"

Liora hanya menghela napas berat mendengar penuturan Aldo, kembali melirik buku yang ada di tangannya dengan ragu yang semakin jadi.
Tidak bisa dipungkiri kalau Liora memang takut.
Melihat gambaran dalam buku itu saat membacanya saja sukses membuat bulu kuduk meremang dan jantung serasa mau pecah, apalagi kalau harus memainkannya.
Tetapi, harga diri Liora akan sangat terluka kalau ia dicap sebagai gadis penakut.

Dengan kalut, Liora akhirnya membuka halaman terakhir dan membacanya. Aldo ikut berdiri di samping Liora dengan semringah karena berhasil menghasut gadis itu.

Game 13 : Jumpscare
Tingkat Bahaya : Sedang
Peralatan : Rantai besi dan tongkat kayu setinggi pemain.
Cara bermain : Pergilah ke sebuah lapangan dengan tanah gembur.
Hanya bisa dimainkan oleh tiga orang.
Pada babak pertama, dua pemain bertugas merentangkan rantai besi sebatas pinggang untuk dilompati pemain yang memegang tongkat katu. Pelompat harus mengentakkan tongkatnya di tanah sebanyak tiga kali sebelum mencapai batas lompatan dan mengundang Arwah dengan berteriak sekeras-kerasnya pada tumbukan terakhir.

Jika pelompat berhasil melewati rantai, ia akan melihat sosok Arwah yang ikut bermain dan melanjutkan permainan.
Jika pelompat pertama gagal, posisinya akan diambil alih oleh salah satu pemegang rantai.
Pada babak kedua, rantai harus direntangkan setinggi dada.
Aturan mainnya sama seperti tadi.
Dan pada babak ketiga, rantai harus dijunjung setinggi kepala. Pelompat harus berusaha melompati rantai itu dengan selamat. Jika pemain ketiga tidak bisa melewatinya, dia akan terikat oleh rantai itu.

Perhatian : Tujuan permainan ini tidak terlalu jelas. Meski tidak membahayakan pemain, namun permainan ini tidak diketahui kapan waktunya untuk berhenti ataupun cara menghentikan permainannya. Harap waspada, bisa saja Anda memainkannya tanpa henti selamanya.

Baik Liora dan Aldo sama-sama terdiam. Sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Aldo sibuk memilih permainan mana yang akan dicoba terlebih dahulu, dan Liora sibuk mendamaikan gemuruh di dadanya.

"Do, apa pun yang sedang lo pikirin, gue mohon jangan beritahu siapa-siapa. Termasuk Lizzy," suara Liora memecah keheningan di ruangan itu.

"Kenapa?" Aldo cukup penasaran, karena Liora biasanya tidak pernah menyuruhnya untuk merahasiakan sesuatu, apalagi kepada Lizzy.

"Turutin atau gue nggak akan kasih lihat buku ini lagi."

"Iya tenang aja, nggak akan gue kasih tahu," kata Aldo.

"Untuk sekarang, bukunya gue yang pegang. Gue masih harus mempertimbangkan banyak hal."

Aldo berdecak kesal, "Mempertimbangkan apalagi sih? Bukannya tadi udah cukup jelas?"

"Lo harusnya paham, kalau semua yang ada di buku ini taruhannya nyawa. Nggak ada jaminan untuk selamat."

"Oke kalau gitu, jangan kelamaan mikir." Aldo akhirnya menyerah, percuma saja mendebat Liora yang sekeras batu.
"Gue keluar dulu, tadi mau latihan basket pas ngelihat lo masuk ke sini."
Aldo meninggalkan Liora yang terduduk lagi di depan piano, mempertanyakan apakah keputusannya untuk bermain itu tepat?

Setelah menutup pintu, Aldo berbalik dan mendapati seorang kakak kelas berdiri di depannya dengan wajah pucat pasi. Aldo mengenalinya sebagai Mellisa, salah satu teman Viola yang Liora yakini sebagai pembunuh Kulina.

"Ngapain?" Aldo bertanya dengan nada dingin, tidak ada sopan-sopannya.

"Nggak," Mellisa menggeleng dengan cepat dan kaku, suaranya terdengar sedikit bergetar. "Cuma lewat," katanya lalu berlari meninggalkan Aldo yang masih terheran-heran di depan pintu.

- DENTING -

Sayup-sayup terdengar suara adzan magrib berkumandang,
Liora membuka matanya yang terasa berat. Terdiam sebentar untuk mengingat-ingat ia sedang berada di mana.
Beberapa detik setelahnya, ia terlonjak dan segera mengemasi barangnya.
Sial, setelah kepergian Aldo ia malah tertidur di ruang musik.

Liora memandang pintu di sampingnya yang tertutup rapat dengan perasaan kalut. Terus berdoa agar kejadian kemarin tidak terulang lagi dengan kondisi yang lebih parah, yaitu terkunci sendiri di sini.

Saat hampir mencapai gagang pintu, Liora malah menangkap bayangan sosok putih muncul dari bawah piano di belakangnya yang disirami remang-remang cahaya senja berganti malam.
Liora tercekat, tak mampu berteriak. Getar ketakutan menjalarinya tanpa ampun, namun kakinya malah mendekati sosok itu.
Hening yang ganjil menemani langkahnya mendekat.

Sosok itu berdiri tak jauh dari tempat Liora berdiri saat ini. Pada jarak sedekat ini, Liora yakin kalau sosok di depannya adalah seorang gadis dengan seragam yang sama dengannya.
Hanya saja, seragam yang gadis itu kenakan tampak lusuh dengan banyak noda tanah menguning.
Langkahnya semakin dekat menemui gadis itu.

Dekat, dekat, demikian dekat.
Sampai Liora tertegun lagi. Sosok itu adalah gadis yang pernah hadir di mimpinya. Ia seperti mengalami deja vu. Hanya saja, kali ini gadis itu sempat berbicara.

"Mengapa kau masih hidup?"

Liora semakin bergetar ketakutan oleh suara lirih sosok itu.
Liora tepat berada di depannya, tepat ingin menyentuh bahunya, tepat ingin bertanya siapa dia. Namun Liora mundurkan tangannya perlahan.

Suara kecil sosok itu terdengar lagi, senyap-senyap bercampur dengan hembusan angin yang masih menerpa membawa malam, menghapus senja.
"Matilah, sebab untuk itu kau dihidupkan."

Suara sosok itu benar-benar datar, tanpa ada penekanan di setiap kata yang ia ucapkan.
Liora mundur teratur, perlahan menjauhi tubuh gadis lusuh yang masih tegak berdiri.

Debaran jantung menghantam keberaniannya. Hawa dingin yang aneh menciutkan nyali Liora yang sekuat baja.

Sosok itu mulai mengangkat kepalanya, perlahan mensejajarkan tatap dengan manik Liora. Sementara Liora masih menggeleng dan mundur teratur dengan ketidakpercayaan atas apa yang dilihatnya menusuk perlahan.
Sosok itu mengeluarkan buih dari mulutnya, matanya hitam tanpa warna lain. Darah mulai mengalir dari hidung dan telinganya.

Menyaksikan itu, setiap detik detakan jantung Liora menguat.
Setiap detik, ada rasa sesak yang membuncah di dadanya. Liora nyaris tak bernapas saat matanya bisa bertatapan dengan mata sosok itu, lalu mulai terisak memandang matanya yang hitam kelam. Melihat bibir sosok itu yang yang tersenyum sempit masih dengan busa yang terus mengalir deras, membuat Liora semakin tak bisa berkata. Ia mulai kehilangan dirinya dalam kegelapan yang menyambut.



***

Hai. Selamat Malam Minggu.

Terima kasih kepada teman pembaca yang sudah memberikan vote, komen dan memasukkan Denting ke reading list. Mengapresiasi hal itu, kami menggelar kuis sederhana.

Syaratnya mudah.

1. Follow akun Wattpad aku dan AgnesWiranda untuk memudahkan penilaian.

2. Hadiah pulsa untuk satu akun. Tapi jika peserta lebih dari 50 orang di akun ini, tidak menutup kemungkinan hadiah akan bertambah. Makanya ajak temanmu sebanyak-banyaknya, ya. Karena sendiri itu enggak enak *LOL

3. Untuk memenangkannya, cukup jawab pertanyaan ini.

Siapa tokoh favorit kamu di Denting dan apa alasannya?

Jawabannya tidak terikat aturan, boleh secara gokil, serius dan galau. Kebebasan kamu.



Pemberitahuan:

Selain di akun aku, Denting juga ada kuis di akun AgneWiranda silakan di cek.

Kami tunggu partisipasi kalian. Tiada kesan tanpa kehadiranmu.



HOT NEWS!

Denting ada di IG, loh. Di follow, ya. Supaya enggak ketinggalan berita tentang Denting.

@Dentingproject

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top