Bab 1 Pembantaian
Gelak tawa terdengar di penjuru ruang makan tersebut. Mereka tengah menikmati acara makan malam bersama, setelah sekian lama putra dari keluarga itu berada jauh dari rumah.
Kebijakan maha raja dengan adanya pendidikan wajib bagi para putra pejabat, membuat Averrho harus berada jauh dari rumah sejak usia lima tahun. Dan kini, setelah lima belas tahun, dia baru kembali.
Gadis manis berusia lima belas tahun itu tidak henti-hentinya menyuapi pria yang duduk di sebelahnya. Suap demi suap telah berhasil masuk ke dalam mulut sang pria yang juga merindukan adik kesayangannya itu.
Meski kebersamaan dua bersaudara itu tak ada satu tahun, tetapi kasih sayang di antara mereka cukup besar. Karena, walau jarak memisahkan, setiap bulan Averrho dan Michelia selalu bertukar kabar dan hadiah.
"Kakak, ayo makan lagi .... Lihatlah dirimu, Kak Rho. Kau semakin kurus." Gadis itu kembali mengisi sendok di tangannya yang telah kosong. "Apa di sekolah kerajaan kau tidak diberi makan, Kak?"
Sosok pria paruh baya yang duduk tak jauh dari kedua kakak beradik itu terkekeh melihat interaksi anak-anaknya.
"Sepertinya, setelah liburan kau akan semakin berisi, Verrho," ledek Heude pada anak pertamanya itu.
Gadis berambut cokelat itu menoleh dan menatap tajam pada sang ayah. "Ayah jangan meledek Kakak! Nanti dia tidak mau makan lagi."
"Ayah 'kan hanya mengingatkan kakakmu agar tidak di—"
"Sudah, cukup .... Lanjutkan makan kalian," tegur wanita paruh baya yang sejak tadi hanya menonton suami dan anaknya berdebat.
Semuanya diam. Michelia kembali menyuapi Averrho—kakaknya, dan Heude serta Maranta pun kembali menikmati hidangan yang tersaji.
Suasana begitu damai dan harmonis. Maranta melirik suami dan putra putrinya yang tengah menikmati makanan. Sorot mata wanita itu memancarkan rasa haru. Namun, guratan di wajahnya cukup menganggu.
"Ada apa, Maranta? Kenapa kau seperti menghawatirkan sesuatu?" tegur Heude.
"Aku—"
Tiba-tiba, seorang prajurit berlari memasuki ruang makan dengan tergessa-gesa, menghentikan ucapan Maranta yang belum usai. Pria bertubuh kekar itu langsung berlutut di hadapan Heude.
"Lapor, Yang Mulia, kerajaan bagian Modesta dan Rubra menyerang kerajaan kita," ucap sang prajurit dengan napas yang tersenggal-senggal. "Keadaan Kerajaan Grandis benar-benar kacau. Kita dikepung dari segala sisi."
Mendengar ucapan dari bawahannya, amarah pun menguasai Heude. "Maranta, pergilah bersama anak-anak ke tempat yang aman!"
Namun, baru saja Maranta hendak mengajak anak-anaknya pergi, ada beberapa orang yang telah lebih dulu menerobos masuk ke ruang makan tersebut.
Orang-orang itu adalah Albern dan Edric, raja dari kerajaan bagian Modesta dan Rubra, beserta beberapa prajurit bertubuh kekar.
Averrho menarik keluar pedang miliknya lalu mendekat pada ayahnya untuk ikut melindungi ibu dan adiknya.
"Heude. Ah, Yang Mulia Heude," ucap Albern disertai tawa mengejek. "Kami datang untuk membunuhmu dan meruntuhkan kerajaanmu, atas perintah Maha Raja Linford."
Edric menggerakkan tangannya, memberi kode kepada bawahannya untuk bergerak maju. Seringai kejam juga tergambar jelas di wajahnya.
Sepuluh prajurit terlatih langsung mengepung Heude dan keluarganya. Sedangkan Michelia hanya bisa melihat sekeliling dengan mata berkaca-kaca seraya menggenggam erat tangan Maranta.
"Bohong! Maha Raja tidak akan melakukan ini semua!" sangkal Heude seraya terus bersiaga melindungi anak dan istrinya.
"Bohong katamu?" sahut Albern sambil melangkah maju. Lalu pria itu melemparkan sebuah gulungan kertas kepada Heude. "Kau bisa membaca sendiri perintah dari Maha Raja."
Heude memungut gulungan kertas yang bertuliskan dekrit maha raja itu, lalu membukanya. Matanya menyipit dengan dahi berkerut sambil menatap kertas di tangannya. Rahangnya mengeras dan tangan pria itu terkepal meremas kertas kosong tersebut.
"Kau menipuku—" Terlambat. Suara pedang yang menebas sesuatu dan disusul benda terjatuh membuat Heude tak dapat melanjutkan perkataannya.
Satu-satunya prajurit yang tersisa tumbang karena menghalangi serangan yang diarahkan kepada Heude. Prajurit tersebut tewas mengenaskan dengan kepala yang terpenggal.
Pertempuran ini jelas sangat tidak adil. Kini hanya tersisa Heude dan Averrho yang kemungkinan untuk menang jelas sangat kecil.
Dengan penuh amarah, Heude menerjang dan menghabisi para prajurit yang memang kekuatannya ada di bawahnya.
Sayangnya, Heude tidak sadar jika Albern membuat putranya kewalahan. Suara pedang terjatuh membuat Heude menoleh dan mendapati putranya terpojok.
Secepat mungkin Heude mendekat dan menghunuskan pedangnya pada Albern. Namun, Heude tidak sadar jika Edric telah siap di belakangnya dengan pedang di tangan.
Heude berhasil menyelamatkan putranya dengan menusuk punggung Albern, lalu mendorong Averrho menjauh.
Namun, erangan dari arah belakang membuat Heude diam membisu. Dia tahu benar itu adalah suara dari istri tercintanya, Maranta.
Dengan dada sesak Heude berbalik. Matanya menatap kosong pada tubuh Maranta yang tergeletak di lantai dengan leher yang terus mengalirkan cairan merah.
"Ibu!" teriak Michelia sambil berlari mendekati tubuh Maranta yang jatuh terbaring tanpa kepala itu.
Averrho membawa tubuh lemas sang adik ke dalam dekapannya. Tangis pilu menyayat hati menggema. Acara makan malam berubah menjadi duka yang penuh darah.
Kepalan tangan Heude mengerat. Sang raja melangkah maju dengan api amarah. Tangannya dengan sigap mengayunkan pedang dan membantai habis para prajurut yang tersisa.
Suara pedang beradu terdengar begitu nyaring. Albern maju menahan pergerakan Heude. Raja Modesta itu menangkis semua serangan Heude.
"Arg!" erang Heude ketika pedang tajam milik Edric menembus dadanya dari belakang.
"Ayah! Awas!" jerit Averrho seraya mendorong tubuh ayahnya.
Tubuh Michelia semakin terlungkai lemas. Matanya terus menangis, tetapi bibirnya bungkam. Gadis itu merasakan guncangan yang begitu hebat.
Tatapan kosong Michelia teralihkan ketika lagi-lagi mendengar suara seseorang terjatuh. Terlihat di depannya, Heude yang jatuh tengkurap dengan darah keluar dari mulutnya. Dan Averrho yang jatuh terduduk tidak jauh dari ayahnya, tengah memegangi dadanya yang terluka.
"Tetaplah hidup Michel!" gumam Heude sebelum kepala pria itu dipisahkan secara paksa dengan sebilah pedang tepat di depan mata Michelia.
Kedua raja tadi berjalan mendekati Michelia yang terduduk lemas dengan tatapan kosong. Albern telah mengangkat pedangnya dan siap menebas leher gadis itu. Namun, cekalan tangan Edric menghentikannya.
"Jangan. Lihatlah, gadis ini cukup cantik. Aku akan menyimpannya sebagai budak. Atau, jika aku berbaik hati, akan kujadikan salah satu selirku," ujar Edric disertai seringai mengerikan di wajahnya.
Tangan Edric terulur mencengkeram lengan Michelia, dan memaksanya untuk berdiri. "Ayo, ikut!"
Michelia hendak meronta, tetapi sudut matanya mengkap pedang milik sang ayah yang tergeletak di lantai.
"Saya bisa jalan sendiri," ujar Michelia datar sambil menyentak tangan Edric.
Seringai di wajah Edric semakin lebar. Dia tidak menyangka jika gadis yang usianya kurang dari lima belas tahun itu, bisa memiliki pemikiran yang sangat dewasa. Demi nyawanya, dia bahkan rela mengikuti orang yang telah mebantai keluarganya.
Edric lengah. Dia terlalu senang dengan reaksi Michelia. Hingga pria itu tidak sadar ada bahaya mengancam.
"Argh!" jerit Edric yang merasa kesakitan karena pergelangan tangannya ditebas oleh Michelia. "Sialan, kau!"
Michelia terlempar membentur dinding akibat tendangan keras Edric. Bukan hanya itu, darah segar keluar dari mulut gadis malang tersebut. Namun, Michelia justru terkekeh melihat hasil pekerjaannya.
Edric mendekati tubuh lemas Michelia yang masih terbatuk-batuk. "Dasar tidak tau diuntung! Rasakan ini!"
Sayangnya, pedang Edric mengenai lantai marmer. Tubuh Michelia lenyap begitu saja. Hal itu membuat Edric semakin murka.
"Sialan!" maki Edric. "Kalian bereskan semua mayat ini dan bawa kepala mereka ke hadapan maha raja!" titah Edric pada bawahannya sambil menahan rasa sakit.
"Yang Mulia, tubuh Pangeran Averrho tidak ada," ucap salah satu prajurit membuat Edric dan Albern semakin murka.
"Kalian cari sampai dapat!" Albern mengalihkan atensinya pada tangan Edric. "Ayo cepat, kau harus segera menghentikan pendarahan itu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top