5

*author's note*

Hellow guys! I'm back! Sebelumnya aku mau berterima kasih sama readers karena tetap setia ngikutin ceritaku :') Ga usah lama-lama lagi, kita mulai saja ceritanya!

.

.

.

"AYAH! BERHENTIIIII!!!!!"

KRAK!

"AAGHH!!"

"AYAH CUKUP, JANGAN LAKUKAN ITU, AYAH! KAU BISA MEMBUNUHNYA!"

Seorang pria yang dipanggil 'Ayah' oleh gadis itu menengok. Terlihat jelas di manik aquamarine gadis itu, baju Ayahnya yang penuh noda darah.

Pria itu berjalan mendekat ke arah anak gadisnya. Bau anyir darah langsung menyegat penciuman ketika ia mendekat. Gadis itu membuang muka dan melirik Ayahnya lewat ekor matanya.

"Kau, lanjutkan pekerjaanku." Perintah pria itu pada anak buahnya dan langsung ditanggapi dengan anggukan cepat.

KRAK!

"ENGHHH!"

"AYAH! JANGAN MENYIKSA RONALD!" Teriak gadis itu kencang. Air mata menetes melewati kedua belah pipinya. Gadis itu menggertakkan giginya ketika ia mendengar jeritan kesakitan kekasihnya. "KENAPA AYAH MENYIKSANYA?!"

Terdengar suara tawa yang menggema dari mulut Ayahnya. Tampaknya, Ayah gadis ini tidak begitu peduli dengan keadaan kekasih putrinya. "Kau ingin tahu mengapa? Bukankah sudah Ayah katakan dari dulu? Jangan bermain dengannya!"

"Apa salahnya, Ayah? Apa apa APA??!!"

"Salahnya? BANYAK!"

"Ayah bohong! Ayah hanya tidak setuju aku berhubungan dengannya! Tapi kumohon Ayah, jangan menyiksanya!!"

KRAK!

"GAAHHH!!!"

"RONALD!!" Teriak gadis itu lebih kencang. Air matanya semakin membanjiri pipinya. Ia ingin sekali menyelamatkan pujaan hatinya, namun ia tidak bisa. Ia terikat di tiang besi, tepat di hadapan Ronald.

"Sudahlah, anakku. Lihatlah dia, dia sudah sekarat! Dia akan mati! Relakanlah!"

"Tidak Ayah, TIDAK!"

Pria paruh baya itu kemudian terkekeh. Ia menjentikkan jemari tangannya, dan langsung mendapat anggukan dari semua anak buahnya. Seketika, mereka semua berkumpul di sekitar Ronald yang sudah tidak berdaya. Tubuhnya dipenuhi luka menganga dan darahnya muncrat kemana-mana, menimbulkan bau anyir yang lebih menusuk dibandingkan sebelumnya.

"Khehehe. Putriku," ujar Ayah gadis itu seraya menjambak rambut anaknya kasar. Mau tidak mau, gadis itu terpaksa mendongak dan melihat tubuh naas kekasihnya. "Kita akhiri saja ini secepatnya... BUNUH DIA SEKARANG!"

"Ayah jangan, Ayah, AYAH!!!"

.

"AYAH!!!"

Keringat dingin membanjiri tubuh Abby. Nafasnya terengah-engah, dan matanya membelalak. Ia memperhatikan sekelilingnya.

Aman.

Ia sedang berada di kamar tidurnya yang minimalis. Secercah cahaya menyelinap masuk melewati jendela yang terbuka. Ia sendirian, tidak ada siapapun. 'Hanya mimpi, ya.'

Gadis itu menghela nafas. Sudah beberapa hari sejak ia dibebaskan dari selnya, ia terus mendapat mimpi buruk. Bayang-bayang temtang pembunuhan kekasihnya masih tercetak jelas dipikirannya. Terutama Ayahnya.

Sosok yang paling ia benci seumur hidupnya, yang tanpa alasan membunuh Ronald.

Gadis itu bangkit dari posisinya dan beranjak ke kamar mandi. Ia mencuci muka dan menggosok giginya. Saat ia menatap cermin, matanya sedikit menyipit melihat sesuatu di pipi kirinya.

"J-jerawat? Yaampun, merepotkan!"

TING TONG!

Abby keluar dari kamar mandinya. Dengan cepat ia menuruni tangga, dan membuka pintu untuk tamu pertamanya di hari ini.

"Well, well, well. Good morning, Abby. Nice to meet you."

"Tidak usah basa-basi. Katakan saja keperluanmu." Ujar Abby ketus. Hal itu tentu saja membuat tamunya tersenyum kecut.

"Huh, kau anak yang tidak sopan. Aku datang hanya ingin memberikan dokumen ini. Sudah dulu ya, aku sibuk. Bye bye!" Ujar tamu gadis itu. Ia terlihat cemberut. Dia baru saja ingin pergi jika saja Abby tidak menahannya seraya tersenyum padanya.

"Dokter Megan, ayo masuk. Kubuatkan teh, ya." Ujar Abby sambil menggandeng tangan tamunya. Mau tidak mau, Dokter Megan masuk beriringan dengan gadis itu.

Abby menarik Dokter itu ke arah sofa, dan mendorongnya hingga terduduk. "Dokter, silahkan duduk."

"AW! Pelan-pelan saja, Abby! Hargai aku! Aku ini tamu!"

"Aku tidak peduli, HAHA." Ucap Abby dengan tawa yang dipaksakan. "Kau ingin teh apa? Teh melati atau teh strawberry?" Tanya Abby dengan nada yang manis.

"Aku cukup lelah dengan permainanmu, Abby. Lebih baik ka-"

"Aku memaksa, Dokter Megan. Ingin teh apa?"

Dokter Megan mengangkat tangannya. "Aku tidak suka teh. Maaf ya."

Abby terlonjak, kemudian bertepuk tangan sebentar. "Wah, aku juga tidak suka teh!"

Dokter Megan memijit pelipisnya frustasi. "Kau-"

"Ahahaha! Yasudahlah, kita duduk saja ya." Abby mengambil posisi di sebelah Dokter Megan. Dengan cepat, ia mengambil dokumen yang entah bagaimana sudah tertata rapi di dekatnya. Tangannya dengan cekatan membolak-balik isinya, matanya meneliti setiap tulisan di dalamnya.

"Jadwal untukku besok ya? Tanggal 13 Juni, pemeriksaan kejiwaan. Hei, mereka meledekku ya? Aku normal." Ujar Abby tiba-tiba.

"Ya, kata mereka itu pen-"

"15 Juni, wawancara dengan Mr. Gionardo Ciel," Abby menatap Dokter Megan sebentar sebelum melanjutkan pekerjaannya, "detektif paling merepotkan di dunia. Ergh!" Abby memutar bola matanya malas.

"Abby-"

"Tanggal 17 Juni, pemberian keterangan. Diundang ke dalam perbincangan bersama pihak kepolisian," ujar Abby malas. Ia mengambil pulpen di meja dekat sofa, "yang ini aku coret, ya? Tampaknya tidak penting."

"Abby-"

"21 Juni, pemeriksaan kejiwaan. Lagi?? Oh my God!"

"Abby, hentikan hentikan! Cukup! Kau membuatku pusing!" Jerit Dokter Megan tiba-tiba.

"Aw. Maafkan aku. Aku hanya... Aku h-hanya tidak mengira kalau jadwal tentang wawancara dan pemeriksaan memadati hari-hariku." Ujar Abby pelan.

"Yah, setidaknya kau lebih terlihat seperti manusia jika seperti ini." Dokter Megan melirik Abby melalu ekor matanya. Abby sedang menatapnya tajam.

"Kubunuh kau."

Dokter Megan menghela napasnya. Ia mengambil kertas-kertas itu dari tangan Abby dan mengambil selembar kertas di bagian terakhir dokumen. "Lihat ini. Sekarang fotomu pun sudah dicetak oleh mereka. Mereka menjebakmu."

Abby menarik paksa kertas itu dari tangan Dokter Megan, dan memperhatikannya dengan seksama. "Bagaimana ini bisa terjadi?"

"Sudah kubilang, pembebasanmu hanya bagian dari rencana. Ingat yang kukatakan di Cafe kemarin?"

"Tentu! Tapi aku tidak menyangka kalau semua akan terjadi begitu cepat!" Abby melempar kertas itu ke sembarang arah. Melihat kelakuan kliennya, Dokter Megan mengejar kertas itu dan kembali dengan raut wajah sebal. "Oh ya, apakah Judas dan Gordon sudah tahu tentang hal ini?"

"Soal Gordon, serahkan semuanya pada asistenku. Kalau Judas, lebih baik kau saja. Jujur, aku lebih takut dengannya ketimbang dengan Gordon." Jawab Dokter Megan. Abby hanya mengangguk sebagai balasannya.

"Tenanglah, Abby. Aku akan terus memantau mereka. Aku akan menyampaikan informasi secepatnya padamu."

Dokter Megan bangkit dari sofa, dan berjalan menuju pintu. "Terima kasih sudah meluangkan waktumu," ia berbalik dan kemudian menatap Abby sekali lagi, "dan juga tawaran tehnya. Tapi jujur, aku memang tidak suka teh. Bye."

Abby hanya bisa tertawa melihat kelakuan Dokter tersebut. Untuk sejenak, ia merasakan pintu terhadap dunia luar sudah terbuka untuknya. Setidaknya, ada orang yang peduli padanya, perhatian padanya. Namun, ia tidak bisa percaya begitu saja pada semua orang.

'Mungkin aku bisa percaya padanya.'

.

.

-DEMENTED-

.

.

Jam 10 malam. Waktu untuk beraktivitas akan segera berakhir. Jalan-jalan di kota maupun di gang mulai sepi. Tidak terlihat ada orang berlalu-lalang di saat-saat seperti ini.

Waktu yang sangat tepat untuk seseorang berpergian. Ia ingin menghindar dari situasi kota yang ramai dan gadis-gadis yang mengerling jahil padanya.

Ia memakai kaos putih dan celana jeans hitam yang tampak longgar. Tubuhnya dibalut lagi dengan jaket bulu berwarna hitam, membuatnya serasi dengan keadaan malam.

'Kita bertemu di taman kota. Sekarang.'

Terlihat sedikit memaksa, namun apa boleh buat. Jika tidak seperti itu, orang yang ingin ditemuinya tidak akan datang.

Jemarinya mengklik tanda send di layar handphone-nya. Tidak perlu menunggu lama, ia sudah mendapat balasan dari seseorang disana.

'Baiklah. Jangan terlalu lama, aku takut.'

Pemuda itu tersenyum jahil melihat isi pesannya, kemudian mengetikkan sesuatu di handphone-nya.

'Aku tidak peduli. Aku akan membiarkanmu diculik hantu.'

'Kutembak kau sampai mati jika kau tidak datang secepat mungkin.'

"Dia berani menembak orang, tapi takut dengan hantu..." Pemuda itu tersenyum, kemudian keluar dari rumahnya.

Angin malam berhembus kencang. Tidak ada bulan maupun bintang terlihat di langit. Hanya terang lampu jalanan yang membantu pemuda itu berjalan mengelilingi perumahan.

Pemuda itu melangkahkan kaki jenjangnya memasuki taman, dan melihat ke sekelilingnya.

"Tidak ada siapa-siapa. Kemana gadis itu?"

DOR!

Mata pemuda itu membelalak mendengar suara tembakan di sekitarnya. Dengan tergesa-gesa, ia berlari memasuki taman. Penciumannya yang tajam, mensinyalir adanya bau yang aneh.

'Bau darah!'

Pemuda itu berlari semakin jauh ke dalam taman, dan ia sampai pada suatu titik yang ia yakini sebagai asal dari bau tersebut.

Semak-semak yang menutupi sumber bau tersebut, perlahan-lahan ia singkirkan. Terlihat jelas di mata onyx-nya, mayat seorang gadis brunette dengan pakaian yang sudah dinodai darah.

KLIK!

"Siapa kau?"

Pemuda itu mengangkat tangan kanannya ke atas, sementara tangan kirinya bersiaga di sakunya sembari memegang sebilah pisau.

"Eh? Judas?" Pemuda yang dipanggil Judas itu menengok, saat ia mendengar suara yang familiar baginya.

"Abby?! Apa yang kau lakukan, hah?" Teriak pemuda itu frustasi, tatkala mendapatkan gadisnya berada di dekat mayat seorang gadis.

"A-aku membunuhnya, kupikir d-dia menguntitku..." Ujar Abby sedikit berbisik. Wajahnya terlihat innocent, ditambah dengan noda cipratan darah di pipinya.

Geram, Judas langsung mengambil pisau di sakunya, dan mengarahkan pisaunya ke leher Abby. Abby terlonjak dan mundur selangkah. Nafasnya menjadi terengah-engah. "J-judas, singkirkan pisaunya!"

"Tidak mau," jawab Judas disertai dengan seringaian liciknya, "anak nakal harus dihukum."

"Jangan bercanda, Judas!" Teriak Abby panik. Ia langsung mengambil pistolnya, menarik pelatuk benda itu dengan cepat.

DOR!

"Hey, Abby!" Judas menatap ke arah Abby yang baru saja menembakkan pelurunya. 'Untung saja tidak kena.'

Judas berniat merendahkan posisi pisaunya, namun sedikit pergerakan dari Judas adalah ancaman bagi Abby.

"Berani mendekat, kutembak kau!" Teriak Abby.

Judas melempar pisaunya ke lantai, kemudian terkekeh pelan, nyaris tidak bersuara. "Hey relax. Relax dear, relax."

"HEI SIAPA DISANA?!"

.

.

.

TO BE CONTINUE....

.

.

YO HELLO LAGI :V Maaf kalo updatenya terlalu lamaa :'( Jujur, aku speechless mau ngomong apa disini XD Jadi seperti biasa ya, berikan kritik komentar, dan saranmu yo! Kalau suka, boleh di vote kok!

Lapak promosi aja, jika berniat dibaca ya!

1. First Love Flavor : Meeting Again by lucas_carlisle (ROMANCE)
2. Inside by danchandr (MYSTERY/THRILLER)

Sekian dan terima kasih. Okesip.

Veronica.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top