4

*author's note*

YOHOO!! AKU KEMBALII!! Sesuai dengan janjiku, aku update di hari jum'at. Awalnya aku sempat ragu ingin update hari ini karena kesibukan yang tiada habisnya :") Tapi buat readers apa yang engga sih #eh. Untuk kali ini, story ku dedicated khusus buat IIN, temen owe yang sengaja ku bikin kevo dari awal cerita. HUHAHUHAHUHA! SO IIN, ini janjiku padamu! #cie #ditendang

.

.

.

"Ah,sial..." Ronald membuka matanya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya berulang kali. "Dimana aku?"

Kini ia sedang berada di ruangan yang gelap. Yang hanya bisa ia lihat hanyalah hitam, lebih parahnya tidak ada satu-pun cahaya yang lewat di ruangan tersebut.

Merasa khawatir, Ronald berusaha bangun dari tempatnya. Namun, "Aw, sialan," kaki dan tangannya terikat pada kursi. Ia tidak bisa berdiri, bergerak saja tidak bisa. Ia meronta-ronta diatas kursi itu bagaikan cacing kepanasan. "Sial sial sial! HEI! SIAPAPUN TOLONG AKU!"

TAP!

Terdengar suara pijakan yang menggema dari depannya. Ronald merasa bulu kuduknya naik semua. Ia ingin bangkit dan melihat keadaan. Namun apa daya, kaki dan tangannya masih dengan erat menempel dikursi.

"KHEHEHEHE." Sinar lampu senter terlihat saat Ronald mendengar suara tertawa seorang pria. Samar-samar, ia mendengar suara jeritan perempuan ikut bergema. Pemuda itu berusaha menjernihkan pikirannya dari segala pikiran buruknya tentang kekasihnya, berpikir kalau semua ini halusinasi. Namun sebelum ia berhasil meyankinkan dirinya, dalam kegelapan ia bisa melihat siluet 3 orang pria berdiri membawa seorang gadis yang terikat disampingnya.

Salah satu dari mereka tampak mendorong gadis itu jatuh ke lantai. Terdengar debaman keras setelah itu, membuktikan kalau gadis itu didorong sekuat tenaga. Seorang lagi diantara mereka mendekat ke arah Ronald, dan menyinari Ronald dengan lampu senter. Dan pada akhirnya Ronald tahu siapa orang dibalik semua ini. Ya, semua dibalik ini adalah-

.

.

"Hei Abby, jangan melamun terus."

"Hn. Diamlah kau. Aku sedang tidak ingin berbicara." Ucap Abby ketus. Gadis itu tampaknya sedang tidak dalam mood terbaiknya. Pemuda yang duduk dihadapannya pun hanya bisa menghela nafas melihat kelakuan sahabatnya.

"Angin berhembus sangat kencang. Tampaknya hari ini akan hujan."

"Iya." Mendengar jawaban yang kelewat singkat dari mulut gadis itu, pemuda tersebut mengambil pisau di saku celananya dan menyayat tangan mulus gadis itu dengan cepat. Darah segar langsung mengalir dari luka tersebut.

"AW! SAKIT! Inikah sambutanmu terhadap orang yang baru bebas, hah?" Teriak Abby nyaring. Untung saja mereka di atas bukit. Untungnya, sehingga suara teriakan Abby tidak terdengar di kota. Pemuda yang baru saja menorehkan luka di tangannya hanya terkekeh pelan. "Tidak lucu, Gordon! Jangan tertawa!"

"Tetapi bagiku itu sangaaat lucu. Kau berusaha menghalangi kebebasanku, eh? Mau ku sayat wajah cantikmu, hah? Kemarilah. Aku dengan senang hati melakukannya." Ujar pemuda bernama Gordon. Mata onyx-nya menatap tajam gadis dihadapannya, namun bagi gadis itu hal ini sudah biasa. Ia sama sekali tidak takut pada sahabatnya.

"Berani melakukan itu, akan kusuruh Judas memotong urat nadimu," jawab Abby, dan Gordon lagi-lagi hanya terkekeh. "Sekarang juga. Minggir kau, aku ingin pulang. Aku rindu rumahku." Tanpa basa-basi lagi, gadis itu melenggang pergi meninggalkan sahabatnya sendirian.

Gordon melihat Abby berjalan menjauh. Setelah dirasa Abby sudah cukup jauh, ia merogoh saku celananya, mengambil handphone dan menelpon seseorang. Sesekali Gordon menyeringai saat berbicara dengan orang tersebut, dan sesekali ia tampak sangat serius.

Intinya, kau tidak akan tahu apa yang direncakannya.

.

.

.

"Urus semuanya dengan lancar. Aku tidak ingin ada seseorang yang bisa mengetahui identitas kami bertiga. Mengerti?"

"Iya, baiklah. Akan kupastikan semuanya berjalan lancar,"

TUT TUT TUT TUT

"Haah, ketiga orang itu benar-benar merepotkan."

"Memang," Dokter Megan menaruh dokumen-dokumennya diatas meja. Lalu ia berjalan ke arah asistennya dengan tergesa-gesa. "apa yang orang itu katakan?"

"Tidak ada apa-apa. Ia hanya ingin kita memastikan kalau semua berjalan lancar, Dok." Ujar asisten dokter tersebut. Asisten itu sebenarnya berbohong, karena banyak hal yang diucapkan oleh Gordon kepadanya ditelepon. Orang itu sebenarnya ingin jujur, namun jika ia membeberkan semuanya, maka bisa dipastikan nyawanya akan melayang.

"Yasudahlah. Oh ya, kudengar pihak kepolisian mengirim psikolog ke rumah Abby kemarin. Bagaimana hasilnya?" Tanya Dokter Megan pada asistennya.

Asistennya mengangguk pelan, sangat pelan. "Semua baik-baik s-saja."

Dokter Megan yang merasakan kejanggalan pada jawaban asistennya, mengernyitkan alisnya dan menghentak-hentakkan kakinya. "Jangan berbohong, sayang. Aku tahu jika kau berbohong."

"S-sungguh saya tidak berbohong, Dokter. S-semua baik-baik saja. Hanya saja..."

"Hanya saja apa?"

Asisten dokter itu tertegun. Mulutnya seketika terasa kaku dan berat. Ia tidak mampu mengucapkannya. Ia terikat dengan janji.

"Ia masih sama seperti dulu." Alhasil, kata-kata itulah yang keluar.

Dokter Megan hanya bisa menghela nafas melihat kelakuan asistennya, padahal sebenarnya, dokter muda itu sudah mengetahui kalau asisten tersayangnya bekerja sama dengan seseorang diantara mereka bertiga. Namun, Abby menuntutnya untuk tetap diam mengikuti permainan.

"Baiklah. Aku percaya padamu. Pergilah sana, dan lanjutkan tugasmu. Hush." Usir dokter muda itu dengan tidak elitnya kepada asistennya.

"Baik, dok." Asisten itu keluar dari ruangan dokter itu dengan langkah yang terburu-buru. Ia berjalan cepat dengan langkah yang lebar-lebar. Setelah ia rasa cukup jauh dari ruangan atasannya, ia mengeluarkan handphone dari sakunya dan menelpon kliennya.

"Halo. Ini Marcus."

"Ya, cepatlah. Aku sibuk."

SIIINGG...

"Gordon? Suara apa i-itu?"

"Kau ingin tahu?"

SIIINGGG ...

"Tidak p-perlu. Aku akan memberitahumu setelah kau se-selesai dengan urusanmu terlebih d-dahulu. S-s-sampai j-jumpa."

KLIK!

"Ah tidak tidak! Aku berada dijalan yang salah... ARGH!" Erang asisten dokter itu frustasi. Tanpa sengaja, ia menjatuhkan handphone-nya ke lantai. Tangan asisten dokter itu gemetar, mengingat kejadian dan janji-janjinya kepada Gordon saat Abby masih dipenjara.

Janji untuk menjaga semua tetap rahasia.

Janji untuk menyembunyikan identitas mereka.

Janji untuk berpura-pura tidak tahu dan tetap mengikuti permainan Gordon dan mengikuti semua perintah polisi.

Namun jika salah satu janji itu tidak ditepati, ia akan kehilangan kepalanya.

Asisten dokter itu pun bahkan sudah yakin, kalau atasannya mulai curiga kepadanya.

Namun dibalik semua itu, kedua insan tersebut menyimpan rahasianya masing-masing.

.

.

-DEMENTED-

.

.

Gadis bersurai pirang itu berjalan pelan menuju ke rumahnya. Angin di kota jauh lebih tenang dibandingkan di bukit. Terik matahari membuat kulitnya terasa panas.

Gadis itu melihat ke sekelilingnya dan melihat banyak penduduk kota yang berjalan dengan tergesa-gesa, ada juga yang berjalan dengan santai seolah-olah dunia miliknya sendiri.

Tiba-tiba ia merasakan getaran pada saku celananya. Dengan cepat ia mengambil handphone nya dan melihat isinya. Wajahnya tampak sedikit bingung saat ia membaca isi pesan yang terkirim padanya.

'Bertemu denganku? Sekarang?'

Jalannya yang semula tampak gontai, kini berubah menjadi larian secepat pelari profesional.

.

.

"Selamat datang di Western Coffee. Silahkan masuk."

Gadis itu melangkah masuk, perlahan-lahan kaki jenjangnya melangkah menyusuri ruangan yang tampak ramai tersebut. Matanya menyisir penjuru ruangan, mencari keberadaan orang yang hendak bertemu dengannya. Dan akhirnya ia berjalan ke arah seorang perempuan berambut ombre coklat dan hitam yang tampak dengan tenang menyesap kopi.

"Dokter Megan?"

Orang yang dipanggil oleh Abby sontak menengok.

"Oh, dear. Kau sudah datang. Ayo duduk, aku sudah memesankan cappucino untukmu." ujar Dokter itu, kemudian menyesap kopinya lagi.

"Maaf, tetapi aku tidak suka kopi."

"Oh, tidak apa-apa," dokter itu menaruh gelas kopinya perlahan-lahan. Kemudian melirik ke arah Abby. "Aahhh... nikmatnya hidup ini."

Abby memutar bola matanya bosan. Terkadang ia bingung, bagaimana seorang pembunuh sepertinya bisa bekerja sama dengan seorang Dokter muda yang menurutnya aneh. "Ada apa?"

"Ah, iya. Sebentar ya," dokter itu kemudian mengambil sesuatu dari tasnya dan menunjukannya kepada Abby. Mata Abby langsung membelalak melihat apa yang ada didepannya. "Kau bisa lihat, kan? Kepolisian sudah membuat selebaran ini. Dan kabarnya selebaran ini akan ditempel dan disebarkan ke seluruh masyarakat."

"Apa maksudmu dengan semua ini?! Kau mempermainkanku?! Sebenarnya kau berpihak kepada siapa, hah?!" maki Abby dengan sedikit berbisik. Ia takut jika orang lain dapat mendengar pembicaraannya.

"Oh, tenanglah. Bukan aku yang melakukannya! Kurasa pihak kepolisian ingin memanfaatkanmu. Mereka membebaskanmu, membiarkan kau dan geng mu membunuh sesuka hati, dan kemudian mereka akan menangkap kalian secara bersamaan. Dan, HAP! Tiga macan sekaligus langsung terkurung di dalam kandang." ujar Dokter Megan. Abby hanya bisa menatap selebaran dihadapannya dengan mata yang membelalak.

"Ini... foto Judas dan Gordon. Bagaimana mereka bisa mendapatkannya?" lirih Abby pelan.

"Kau menyedihkan juga jika dilihat dari sisi seperti ini. Kau seorang pembunuh yang kejam, namun menjadi lunak jika menyangkut teman-temanmu. Ya, setidaknya kau masih menyimpan sisi halus seorang perempuan."

"Diamlah! Aku sedang tidak ingin bercanda, Dokter Megan!"

"Dan aku sedang tidak bercanda, Abbiela Sadie!"

Abby menatap Dokter dihadapannya tajam. Namun saat ia melihat ekspresi tenang yang diperlihatkan dokter itu padanya, ia melunakkan pandangannya lagi. "Kau beruntung sekali mengenalku. Aku tidak sekejam Judas dan Gordon. Mereka tidak mengenal ampun."

Dokter muda itu tersenyum simpul. Dengan cepat ia berdiri dan memasukkan majalah yang terletak di sebelah kiri meja. "Ya, aku yakin kau bisa berubah Abby. Aku berharap seorang gadis sepertimu tidak menjadi pembunuh. Kau sudah menemui Judas? Aku bisa menebak kalau ia merindukanmu." Ujar Dokter Megan. Kemudian ia membalikkan badannya dan melangkah pergi. Namun belum jauh, ia berbalik arah dan menaruh telunjuknya didepan bibirnya. "Oh ya, jangan beritahu mereka kalau aku yang mencuri majalahnya. Bye."

"Akan kuberitahu pada mereka. Lihat saja." ujar Abby setengah menyeringai.

Tanpa ia sadari, sepasang mata sedang mengamatinya di sebrang jalan, menunggu gadis itu keluar dari tempat tersebut dengan wajah stoic-nya, membuat gadis yang berlalu-lalang disekitarnya membicarakannya. Dalam hatinya, ia tidak sabar untuk menyambut gadis tersebut dalam rengkuhannya.

.

.

.

TO BE CONTINUE...

.

.

Yo halo guys! Ceritaku yang absurd akhirnya update lagi yyeeeyy ~ *tebar bunga*. Bagaimana chapter ini? Anehkah? Baguskah? Atau ngebosenin? Berikan kritik dan saranmu ya di kotak comment. Jangan lupa vote kalau suka.

Sekedar promosi, jangan lupa kalian baca cerita dari teman-teman tamvanku ya!

1. First Love Flavor : Meeting Again by @lucas_carlisle (ROMANCE)

2. Inside by @danchandr (MYSTERY/THRILLER) dan Forgotten, masih dengan author yang sama (HORROR).

Untuk cerita kali ini, kubikin dengan ide kepepet, karena saking pusingnya dengan hari ini *pingsan*. Oh iya, btw ini 1k pertamaku! Uweee, terharu! #lebayahthor. Makasih readers dan silent readers yang senantiasa baca ceritaku ini. Jangan bosen ya baca ceritaku.. :') Akhir kata, aku ucapkan TERIMA KASIH DAN SAMPAI JUMPA MINGGU DEPAN!! *POOF*

Sincerely,

Veronica.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top