2

Haloo guys! Aku kembali dengan chapter 2 !! Maaf ya kalau updatenya lama :( yasudah lah, tanpa berbasa-basi lagi, ayo kita mulai ceritanya!!! *POOF*

.

.

"Hey, Abs."

"Oh, Ronald! Ughhh... Aku rindu..." Gadis itu langsung saja memeluk tubuh tinggi kekasihnya erat, melepas semua kerinduannya. Rindu? Bukankah setiap hari mereka bertemu?

"Kamu lama sekali sih perginya. 2 minggu aku duduk sendirian kan sepi..." Ujar gadis itu sambil memanyunkan bibirnya lucu. Kekasihnya yang merasa gemas langsung saja mencubit pipi gadis itu gemas. "Ih! Sakit tahu!"

"Biarin. Bwek!"

"Hih! Baru aja dikangenin, pergi aja deh sana!" Gadis itu langsung membalikkan badannya kesal. Padahal sebenarnya, ia tersenyum jahil tanpa diketahui oleh kekasihnya.

"Y-yah, jangan marah lagi. Janji deh ga akan begitu lagi..." Ronald mengguncang-guncang bahu kekasihnya pelan, berharap gadis itu membalikkan badan dan memaafkannya. "ya ya ya...."

Gadis itu membalik badannya. Ia mengambil nafas dalam-dalam, kemudian tersenyum lebar. "Happy birthday to you... Happy birthday to you... Happy birthday, happy birthday," gadis itu mengeluarkan suatu kotak kado merah dengan cepat dari tasnya, dan dengan tersenyum lebar ia memamerkan kotak tersebut pada Ronald. "happy birthday to you...."

"Abs?! Astaga Tuhan, terima kasih sayang!" Ronald langsung memeluk tubuh kekasihnya erat. Ah, hari ini hari ulang tahun Ronald. Tentu saja, Abs sudah menyiapkan kado yang lebih spektakuler di balik kotak tersebut.

"Ayo dibuka kotaknya." Ujar gadis itu sedikit berbisik. Kemudian, Ronald mengangguk antusias, dan dengan cepat membuka kotak tersebut.

"Abs! Yaampun! Ini iPod terbaru!!" Ujar Ronald dengan wajah yang sangat terkejut, dan menyimpan kekhawatiran tentunya.

"Iya! Kamu mau ini kan? Tuh aku beliin." Gadis itu kemudian menangkap raut wajah aneh dari sang kekasih. Hal itu membuatnya heran, melihat nyatanya iPod ini adalah barang incaran kekasihnya. "Kenapa? Kamu gasuka?"

"Bukan begitu, Abs. Tapi," Ronald menutup kotak kado itu perlahan, dan menyerahkannya pada kekasihnya. "apa ayahmu tahu? Kalau ayahmu tahu bagaimana? Dia pasti marah besar..."

Gadis itu seketika tertegun. Ia melupakan sesuatu. "Ayah..."

.

"Ayah..." terdengar gumaman seorang gadis diruangan yang gelap. Ya, memang ruangan itu sengaja dibuat gelap, entah apa alasannya. Gadis itu terus menggumamkan hal yang sama. "Ayah."

"Semua karena ayah... Semua karena AYAH!"

KRIEK!

Gadis itu meronta hebat, menarik keluar sedikit rantai yang tertancap pada dinding ruangan tersebut. Pikirannya tiba-tiba kacau, ketenangannya perlahan-lahan memudar. Gadis itu terengah-engah menahan hasratnya saat sedang kacau, yakni hasrat untuk membunuh.

Ya, membunuh.

Membunuh dapat membuatnya tenang. Membunuh sudah menjadi hobi untuknya. Membunuh sudah merupakan makanan kesehariannya. Dan dia sangat rindu dengan aktivitas bunuh-membunuh itu sejak ia masuk ke tempat terkutuk ini.

"Argh! Tanggal berapa, tanggal berapa?!" Gadis itu bergerak-gerak tak karuan, mengesot menuju tempat kalender digantung. Ia mencoba mengingat tanggal berapa kemarin, setelah ia tahu, ia langsung menatap kalender itu lagi. "Hoh, 13 ya, 13..." Gadis itu tersenyum lebar. Namun setelah beberapa saat, ia langsung murung. Tatapannya kosong melihat angka 13 yang tertera pada kalender. Matanya berlinangan air mata. Pertahanan dirinya luruh. Ia menangis sejadi-jadinya.

"Happy birthday, Ronald," Gadis itu menatap pintu besi yang selama ini menjadi dinding penghalang baginya untuk menembus dunia luar. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain berharap dan berdoa. "aku merindukanmu..."

Tangis gadis itu langsung pecah begitu saja. Ia menangis semakin kencang, terbesit ingatan-ingatan indah bersama kekasihnya, sebelum kekasihnya pergi meninggalkannya,

meninggalkannya menuju alam lain yang lebih indah.

.

-DEMENTED-

.

"Gadis itu sampai sekarang tidak mau memberitahu sosok di foto itu. Apa yang harus kita lakukan? Aahhh!" Seorang wanita berjubah dokter tampak menjambak rambutnya geram.

"Sudahlah, Dok. Kita coba lagi nanti." Kata sang asisten dengan enteng.

"Nanti? Kau tahu kan kalau ini juga dibutuhkan oleh kepolisian? Kata-kata kepala polisi itu masih terngiang dikepalaku! Tolong kau tanya gadis itu tentang laki-laki di foto ini. Kudengar orang ini masih 1 komplotan dengannya. Seperti itu! Haaahh... Pusing, pusing, pusing!"

Sang asisten cuma bisa menghela nafas melihat kelakuan atasannya. Sebenarnya, ada beberapa alasan yang membuat asisten itu ogah-ogahan membantu atasannya. Yang pertama karena menurutnya, atasannya itu merepotkan. Dan untuk alasan kedua, ia berusaha menyimpan sesuatu dari atasannya.

"Apa lihat-lihat?" Perkataan wanita itu sontak membuat sang asisten tersadar dari lamunannya.

"B-bukan apa-apa, Dok."

"Dak dok dak dok aja. Kamu kira saya kodok?!"

"I-iya, maaf Do— eh, bu Dokter." Ujar sang asisten sambil tersenyum kecut.

"Haah, lebih baik sekarang kamu selesaikan tugasmu, setelah itu kita akan memeriksa kondisi anak kesayangan kita. Sana, hush."

"Baik. Permisi, bu Dokter." Ujar sang asisten dengan berusaha sopan. Wajahnya perlahan-lahan mengeras, menahan geramannya kepada atasannya. Dalam hatinya, tekadnya ia semakin kuat, kalau ia harus menyelesaikan sesuatu sesegera mungkin, sebelum atasannya tahu apa yang ia lakukan.

.

-DEMENTED-

.

Derap suara sepatu menggema di koridor sebuah gedung. Rombongan orang-orang yang berseragam polisi menyusuri koridor tersebut. Mereka terus berjalan dalam heningnya suasana gedung, dengan rencana menemui seseorang. Seseorang itu tidak lain adalah gadis gila itu, gadis yang menjadi satu-satunya narasumber bagi mereka untuk melanjutkan penyelidikan.

Akhirnya rombongan itu sampai pada sebuah ruangan di paling pojok. Seorang petugas telah menunggu mereka disana. Petugas itu menyerahkan kunci, dan langsung meninggalkan mereka tanpa mengucapkan sepatah katapun. Seorang dari mereka membuka kunci rantai ganda di pintu tersebut, sebelum akhirnya sebuah jeruji besi-lah yang menjadi pembatas antara mereka dengan gadis yang sedang menyandarkan kepalanya pada meja kecil didekatnya.

"Selamat siang, nona Abby. Kami dari pihak kepolisian ingin menyam—"

"Cepatlah. Aku tidak suka berbasa-basi."

Polisi itu menyunggingkan senyuman. "Ternyata kau orang yang sangat to the point, ya. Baiklah, kami punya kabar gembira untukmu."

Gadis itu langsung mengangkat wajahnya, dan menatap intens sang polisi. "Tidak ada yang lebih menggembirakan selain hari kematianmu."

"Whoa, santai nona. Kami cuma ingin menyampaikan kalau kau bebas hari ini."

Gadis itu membelalakkan matanya, dan langsung tertawa cekikikan, seolah-olah dirinya baru saja mendapat hadiah. "Bebas? Hihihihi. Aku senang, aku senang!"

Melihatnya tertawa, polisi itu menyunggingkan senyum lagi, namun dibalik senyum itu ia menyimpan maksud yang sebenarnya. "Tapi nona, semua didunia ini tidaklah gratis, bukan begitu? Kau harus melakukan sesuatu untuk kami."

Gadis itu menatap petugas itu bingung. "Haduh, kalian itu ribet sekali sih... Baiklah, apa yang harus kulakukan?"

"Tuan, tolong kertasnya." Bisik polisi itu pada petugas lain disampingnya. Orang tersebut langsung saja memberikan kertas yang sedari tadi ia pegang. Setelah itu, polisi yang meminta kertas tadi melempar kertas itu kepada Abby, dan membiarkannya melihat dengan seksama siapa dibalik kertas itu.

"Gordon?" Gadis itu kemudian tertawa terbahak-bahak. "Kalian mencari Gordon? Yaampun... Dari kemarin kalian masih saja mencarinya. Sudah kubilang kan, ia sudah mati! IA SUDAH MATI KUBUNUH, BODOH! Kau tidak ingat, HAH?"

"Aku tidak yakin. Dia temanmu. Aku yakin kau tidak akan membunuh temanmu begitu saja. Kau tipe orang yang suka memanfaatkan orang lain, bukan begitu hmm?"

"Yeah, baiklah kalau kau tidak percaya. Kalian cari saja sana sendiri. Tanya pada pihak keluarganya. Kalau belum puas, tanyakan saja pada batu nisannya, dan gali kuburannya."

"Sudah," Gadis itu langsung kaget mendengar pertanyaan barusan. Sudah? Sudah? Mereka sudah melakukannya? Gadis itu menatap horror polisi di hadapannya, sementara polisi itu menyunggingkan senyuman kemenangan. "bagaimana nona Abby? Sudah menemukan alasan lain?"

"Khehehe..." Gadis itu tertawa pelan, lalu menyandarkan punggungnya pada dinding di belakangnya. "Kalau kau ingin mencarinya, sebaiknya tanyakan pada dia."

.

.

"Wah lihat, tampan ya."

"Iya, tampannya. Kyaa!"

"Tapi kudengar dia itu sadis."

"Hah?"

"Meskipun sadis, ia tetap pangeran. Kyaa!!"

"Huh, berisik sekali sih mereka." Laki-laki berusia 16 tahun itu melenggang keluar dari gerbang sekolah dengan hingar-bingar suara teriakan gadis-gadis. Ya, gadis-gadis yang selalu melihat ketampanannya, bukan melihat masa lalunya.

Ia tidak tahu kenapa ia cepat populer disekolah barunya, padahal ia dulu sangat ditakuti oleh seluruh penghuni di sekolah lamanya.

"Mereka belum tahu ya aku siapa. Khehe." Laki-laki itu mengeluarkan evil smirk-nya, dan melangkah menjauh dari sekolah. Tiba-tiba saja, ia merasakan seseorang menepuk pundaknya.

"Hai, kak. B-boleh kenalan?" Ujar gadis berambut merah dan diikat ponytail. Gadis itu tampak manis dalam balutan seragam sekolahnya. Hal itu membuat laki-laki itu semakin tersenyum jahat.

"Ya."

"Siapa nama kakak?"

Remaja berusia 16 tahun itu mendekatkan mulutnya ke telinga gadis dihadapannya, dan membisikkan sesuatu, diikuti anggukan antusias oleh gadis itu. Setelah gadis itu pergi, senyum remaja itu semakin mengembang, mengembang menjadi senyum yang menyeramkan.

"See you tonight, dear ..."

.

.

.

TO BE CONTINUED...

.

HAYY GUYS! this is it, chapter 2 yang menggantung! *krik . maaf ya kalo ada typo atau kesalahan dlm penggunaan kata, biasa author baru. Kalau ada kritik, silahkan tulis di kotak comment yang telah disediakan yo! Saranmu juga dibutuhkan untuk chapter selanjutnya! Mungkin pada chap selanjutnya, aku akan mulai menjelaskan masing-masing tokoh lebih detail, sebelum akhirnya masuk ke inti masalah.

Jangan bosan baca ceritaku ya :') pantengin terus deh pokoknya!! Jangan lupa vote kalau suka! Bubyeee!!

Sincerely,

Veronica.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top