11
Gadis bersurai hitam itu membuka pintu perlahan, menjejakkan kakinya keluar dari ruangan dalam diam. Kaki jenjangnya perlahan-lahan melangkah, matanya melirik ke arah teras di bawahnya--menampilkan sosok Judas dan Gordon bersama dengan Megan sedang bersenda gurau. Tanpa ia sadari, matanya berkaca-kaca ketika melihat Judas tertawa dengan gaya cool-nya, menunjukan betapa ia rindu pada remaja tersebut.
"Oke, terlalu banyak adegan sedih di sini," ujar Abbie, lalu menghapus air matanya, "aku kejam, aku kuat, aku tidak terkalahkan."
Abbie menarik napas, menghembuskannya cepat. Kakinya dihentakkan kemudian ia berjalan dengan wajah sinis menuruni tangga. Dokter Megan, Judas, dan Gordon yang sedang berbicara mau tidak mau berhenti melihat gadis tersebut.
"Oh ... ini dia artis kita," ujar Megan.
"Hello, my dearest," sapa Gordon lembut. Mata Abbie menyipit mendengarnya.
"Oh, kau turun rupanya. Kukira kau sudah tidur," ujar Judas.
Mata biru Abbie tampak lesu, namun suasana hatinya tidak selesu matanya. "Yah ... aku memang belum tidur. Kau itu berisik." Mata Abbie melihat ke arah Judas yang tak berkutik.
"Tadi kita sedang membicarakan croissant yang enak. Mau ikut?" tanya Gordon, "kau suka Red Velvet kan?"
Abbie memutari sofa dan berhenti di belakang Megan. "Begitulah .... "
"Kalian yakin sampai di sini tanpa diikuti siapa pun?" tanya Megan.
"Oh tentu saja!" celetuk Gordon. "Judas selalu melihat ke belakang saat kami dalam perjalanan."
Judas menggeram pelan. "Tapi dari tadi aku tertidur .... "
Gordon menggaruk tengkuknya. "Ah, beberapa jam yang lalu maksudku. Judas selalu melihat ke belakang ...,"
"Beberapa jam yang lalu," tambah Judas.
Abbie menatap kesal pada rekannya, dan berjalan menuju tangga. "Kalian memang pintar. Aku lelah, selamat malam."
"Oh, jika besok rumah ini telah menjadi reruntuhan, maka kalian akan kutembak mati di depan orang kesayangan kalian," lanjut Abbie.
"Aku menyayangimu, Abbie."
"Diam kau, Gordon."
♠️♥️♣♦️
"Kau siap?"
"Ya, aku siap. Dan matikan rokokmu, aku tidak suka asap rokok."
Seorang pria berjubah serba hitam turun dari mobil yang tidak kalah hitamnya. Di tangan kirinya, ia memegang foto seorang perempuan bersama seorang laki-laki. "Ingat, tidak ada perasaan lagi."
Mata merah pemuda itu menatap nyalang rumah di hadapannya, tangan kanannya mengambil paksa foto di tangan rekan kerjanya. "Tidak ada perasaan lagi."
Pemuda itu berlari kencang, melompati pagar rumah yang tingginya separuh tinggi badannya tanpa suara. Kakinya terus bergerak tanpa berhenti, matanya menatap tajam ke arah depan.
Pemuda itu sampai pada pintu rumah tersebut.
Samar-samar, ia mendengar suara tawa anak kecil dan alunan piano. Ia membayangkan betapa bahagianya keluarga itu dengan senyuman menyeramkan di wajahnya.
TING TONG!
"Siapa di sana?" sahut seseorang dari dalam. Tidak berapa lama, orang tersebut membukakan pintunya.
Orang yang membuka pintu itu terkejut, ia hampir tidak bisa mengeluarkan suaranya.
"Paket ... datang."
♠️♥️♣️♦️
DOR!
"Aw, apa kalian mendengar sesuatu di sana?" ujar Megan.
"Seperti suara peluru yang ditembak?" tukas Gordon.
"Atau suara kembang api?" tukas Abbie.
Megan menepuk jidat Abbie pelan. "Tidak ada kembang api yang bunyinya dor, my dear."
"Kalau begitu, bunyi apa itu?" tanya Gordon.
"Hmm ..., mungkin pistol ...?" ujar Megan ragu.
Abbie menjerit. "Apa maksudmu?!"
Lampu secara tiba-tiba mati. Untungnya, Gordon dengan refleks menyalakan handphone-nya dan menyinari mereka semua. "Mati lampu di saat seperti ini sangat buruk!"
TING TONG!
"Ada tamu di saat seperti ini?" pekik Gordon.
"Pelankan suaramu bodoh!" ujar Abbie, "mereka bisa mendengar kita dari luar!"
"Permisi," sahut suara di balik pintu, "aku kemari u-untuk memperbaiki li-listrik."
"Hey," panggil Gordon, "apa ada yang menyuruh teknisi itu kemari?"
"Memang tidak ada," ujar Judas, "namun apa salahnya jika kita melihat?"
Abbie dengan segera menarik lengan Judas. "Jangan! Jika ia datang untuk membunuhmu bagaimana?"
"Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja." Judas tersenyum kecil.
"Ehm, bisakah kita hentikan dramanya sebentar? Bisakah kau bukakan pintu untuknya Judas?" ujar Gordon.
"Pinjam pistolmu, kawan."
"Cih, hanya di saat kau membutuhkanku saja kau memanggilku kawan. Jika tidak, aku tidak dianggap olehmu sama sekali," ujar Gordon.
"Gordon!" pekik Abbie.
"Baik nona, baiklah."
Judas melangkan perlahan. Pistolnya disembunyikan di dalam sakunya, kemudian ia membalas sahutan itu. "Tunggu sebentar, akan kubukakan pintu."
Hening. Tidak ada sahutan lagi dari luar. Dan lampu kembali menyala.
"Aw, ternyata hanya mati lampu biasa," ujar Megan.
"Mungkin teknisi itu sudah memperbaiki listriknya." Gordon melangkah maju, menyetarakan posisinya dengan Judas di dekat pintu. "Coba buka pintunya, Jude."
Judas memegang kenop pintu, mendesah sambil melirik pada temannya. "Jangan panggil aku Jude ...."
PRANG!
"Judas, menghindar dari kaca!" pekik Gordon sambil menarik lengan Judas.
Sesosok pemuda berbaju hitam menampakkan dirinya di kaca. Ia membawa sebuah kapak dan melompat masuk melalui jendela. Sontak, Megan menarik lengan Abbie agar menjauh dan meninggalkan dua orang lelaki dengan pembunuh itu.
"Whoa whoa, easy man. Maaf saja, tapi kami tidak menyewa pembunuh bayaran," ujar Gordon santai.
"Gordon! Ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda!" maki Judas.
"Siapa yang sedang bercanda? Aku serius! Kita tidak menyewa--AA AWAS JUDAS!"
Pemuda itu mengayunkan kapaknya ke arah Judas. Namun dengan cepat, Gordon menarik lengan temannya. "Jude, kita harus lari sekarang juga!"
"Pilihan bagus, kawan!"
♦️♣️♥️♠️
Tidak akan ada yang pernah menyangka kejadian ini. Mereka pikir merekalah yang paling keji. Mereka pikir mereka yang paling ditakuti warga kota. Namun mereka salah.
"ABBIE JANGAN BERLARI TERLALU CEPAT!" pekik Gordon dari kejauhan.
"Dari pada kau memerintahku dan berteriak seperti waria, lebih baik lakukan sesuatu dengan psikopat itu!" balas Abbie.
"Hey! Judas psikopat, kan? Kenapa kau takut dengannya?" tanya Gordon, "hey Jude, lakukan sesuatu!"
Judas hanya melirik tajam pada Gordon. Namun dari wajahnya tampak jelas bahwa ia tersinggung.
"Maaf Jude, bukan maksudku ingin menyinggungmu, tapi itu kawananmu!" pekik Gordon.
SYUT!
"Agh! Apa ini?!" ujar Gordon sambil melirik lengan bajunya yang robek, ke udian menemukan sebilah pisau di hadapannya. "Hey! Sekarang ia punya pisau."
Abbie menahan lengan Megan di depannya dan berhenti berlari. Ia berjalan ke arah Gordon dan menjambak rambutnya. "Demi Tuhan! Lakukan sesutu, bodoh!"
Gordon menepis tangan Abbie. "Setidaknya aku sudah mencoba untuk berlari! Abbie, awas pisau!"
Abbie menghindar dengan cepat. "Judas! Lakukan sesuatu!"
"Aku tidak bisa, aku sedang lelah."
Abbie menjambak rambutnya sendiri. "Ya Tuhan, lakukan sesuatu! Kita kejam, kita pembunuh! Tapi kita bahkan tidak bisa melakukan sesuatu yang berguna untuk diri kita sendiri!"
"Anak muda terkadang sering labil," ujar Megan tiba-tiba, "oh gosh, dia semakin dekat."
Abbie menggulung lengan bajunya. "Baiklah jika itu mau kalian,"--Abbie merenut pistol dari Judas--"aku akan menghadapinya sendiri."
Dengan cepat, Abbie menarik pelatuk pistol itu, kemudian menembak tepat ke arah kaki pembunuh tersebut. Sontak pembunuh itu terjatuh, namun ia bangkit kembali dan terhuyung-huyung, dan mengambil pisau di saku kirinya.
DOR!
"Nice shot, baby!" pekik Gordon.
Abbie menembak tangan pembunuh itu. Pembunuh itu menjerit kemudian terduduk.
"Sekali tembakan lagi di kepala maka ia akan mati."
DOR!
"Kenapa tidak dari tadi saja kau menembak tepat di kepalanya?!" ujar Judas.
Abbie mengembalikan pistol itu pada Judas. "Aku harus melumpuhkannya dulu. Seperti biasa yang kulakukan."
"You save our life, Abbie. Thank you so much." Gordon merentangkan kedua tangannya, seakan-akan ingin memeluk Abbie.
"Your welcome," ujar Judas sambil memeluk Gordon.
"Aw," desah Gordon, "bukan kau yang ingin kupeluk."
"Are we done yet, kids? Aku sudah lelah berlari dengan high heels ini," ujar Megan sambil memijit betisnya.
"Siapa suruh kau berlari dengan high heels?!" ujar Abbie.
"Tidak ada. Aku memang menggunakannya dari rumah."
"Baiklah," ujar Judas, "intinya sekarang kita sudah tidak aman lagi di sini. Kita harus berpindah tempat lagi."
Megan mengerutkan alisnya. "Hey, tapi aku sudah membayar mahal untuk rumah itu! Dan kau ingin menyia-nyiakannya begitu saja?"
"Lalu kita harus bagaimana? Barusan aja pembunuh yang mengejar kita. Aku bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya," ujar Judas.
"Lebih baik kita jalani saja dulu. Jika memang di sini tidak memungkinkan, kita aka pergi ke luar negeri."
"Oh! Aku suka ke Paris!" pekik Gordon tiba-tiba.
"Ide bagus anak muda," ujar Megan setuju.
Judas mendesah kecewa. "Aw, aku benci Paris."
Abbie menepuk pundak Judas. "Paris akan menjadi temapt destinasi favorit para pasangan Judas."
"Tapi kita ke sana bukan untuk liburan ...," ujar Judas.
"Jadi ...," ujar Abbie kemudian menyeringai, "jika itu liburan kau mau ke sana? Berdua denganku?"
"Oke. Tapi kita harus merampok bank terlebih dahulu." Judas tersenyum kecil.
"Menyedihkan," ujar Abbie.
♦️♣️♥️♠️
"Kau sudah mendapat kabar darinya?"
"Belum, Tuan. Saya sedang mencoba untuk menghubunginya, namun tidak diangkat."
"Coba terus," ujar seorang pria. Ia kemudian meminum vodka-nya. "Ia satu-satunya orang yang bisa mengantar kita pada tiga anak itu. Ke mana saja dia? AGH!"
"Tuan, saya sudah menghubunginya! Dan kau akan terkejut pastinya jika mendengar hal ini."
To be continue ...
Halo!!!!! Apa kabar!!! Maaf baru bisa update. Selama berbulan bulan vero disibukkan sama aktivitas yang tiada habisnya. /tebar tissue/
Maaf ya sekali lagi. Dan terima kasih buat kalian yang masih setia nungguin cerita ini, makasih juga buat yang udah vote cerita ini. Sampai jumpa lain waktu! Oh ya, beberapa minggu lagi vero bakalan ujian semester. Jadi kemungkinan besar vero ga update beberapa minggu lagi. Sebelumnya vero minta maaf lagi yang sebesar-besarnya hiks. Thank you for reading. I appreciate your comments or votes. Good bye!
Sincerely,
Veronica.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top