1

.

.

"Ronald!" Teriak seorang gadis dari kejauhan. Orang yang dipanggil menengok ke belakang, dan tersenyum melihat seorang gadis berlari ke arahnya.

"Hey, Abs. Ayo pulang." Laki-laki yang bernama Ronald itu menarik tangan gadis itu lalu menggenggamnya erat, seakan-akan tidak boleh ada yang memisahkan mereka.

Laki-laki bernama Ronald itu terus menatap ke depan, sesekali menengok ke arah si gadis, sambil tersenyum manis. Namun hal yang ia tidak ketahui, gadis itu terlihat murung sambil menatap tangannya yang digandeng oleh kekasihnya.

"Ron, aku ingin bertanya satu hal padamu."

"Tanyakan saja, Abs."

Gadis itu termenung sebentar. Tanpa ia sadari, kakinya terantuk batu dan membuat keseimbangannya oleng. "Aw!"

"Abs, gapapa kan?"

Gadis itu memanyunkan bibirnya, sambil kembali berjalan. "Batunya nakal." Terdengar suara kekehan dari Ronald. Dan itu membuat gadis itu memandang kekasihnya sebal. "Ga lucu, tahu!" Gadis itu langsung pergi meninggalkan kekasihnya begitu saja. Sementara kekasihnya itu sibuk memikirkan kesalahan apa yang sudah dia buat.

.

.

.

TOK TOK TOK

"Tidak perlu mengetuk pintu, kau tahu kan kalau aku tidak bisa membukanya untukmu."

"Untuk formalitas saja, nona." Terdengar suara dibalik pintu besi itu, suara pria paruh baya yang biasa mendatangi ruangan itu. Lalu terdengar bunyi rantai berkali-kali, sebelum akhirnya terdengar bunyi gembok dibuka. Kalian pasti membayangkan, betapa berbahayanya gadis ini jika saja penjara ini tidak diberi rantai ganda.

"Halo, Abby." Sapa seorang pria berkumis, dengan jas laboratorium putih.

"Hn. Tidak usah basa basi. Lakukan saja yang cepat."

"Baiklah. Kita mulai." Pria itu mengambil kertas dan pulpen dari saku celananya. Dan mulai menuliskan sesuatu. "Pertanyaan pertama untuk hari ini..." Pria itu mengambil kursi di dekatnya, duduk menghadap ke arah gadis itu. "apakah kau masih memiliki keinginan untuk membunuh?"

"Ya. Jika saja aku tidak dirantai sekarang, aku sudah membunuhmu pada saat kau mengetuk pintu."

"Oke. Pertanyaan kedua, apakah kau ingin bebas?"

"Tentu. Jadi, bebaskan aku sekarang."

"Pertanyaan ketiga. Kapan kau akan berubah?"

"Well, aku akan berubah jika kau membebaskanku dari rantai ini."

Pria itu memasukkan kertas dan pulpennya ke kantung celananya. Ia berdiri, lalu bersiap keluar. Sebelum itu, ia menatap gadis yang terikat di rantai itu dengan takut-takut.

"Dengarkan aku nona Abby, jika kau ingin bebas, aku bisa membicarakannya dengan petugas dan dokter disini. Tapi, kau harus menjadi anak yang baik, miss Abby." Pria paruh baya tersenyum sedikit aneh pada gadis itu. Gadis itu hanya menanggapinya dengan anggukan. Gadis itu kemudian tersenyum dengan sangat lebar tanpa sebab.

.

.

.

"Sudah selesai, Dokter?"

Wanita berusia 26 tahun yang dipanggil dokter itu meletakkan pulpennya di saku jas nya. "Sudah." Wanita itu berdiri, dan terlihat tergesa-gesa menyiapkan barang-barangnya. "Bagaimana dengan gadis itu? Sudah ada perkembangan?"

"Sudah, Dok. Aku yakin ia akan bebas menjadi anak baik setelah kita memberinya sedikit pelajaran tentang menjadi gadis normal."

"Jangan terlalu berat. Aku tidak ingin ia keluar dengan dendam kepada kita." Ujar Wanita itu kepada asistennya. "Oh iya, kita lanjutkan yang tadi. Bagaimana dengan perkembangannya? Ceritakan padaku."

Pria yang menjadi asisten dokter muda itu mengambil catatannya. Sebelum menyerahkannya, diam-diam ia mencoret sesuatu dikertasnya dan menyerahkannya dengan santai. "Ini, Dok."

Dokter muda itu memperhatikan isinya dengan seksama, kemudian mengangguk. "Baiklah, kau boleh keluar."

"Baik. Saya permisi."

"Hn. Terima kasih, ya." Wanita itu menatap perginya sang asisten dengan menyimpan tanda tanya. Entah apa yang ia pikirkan, namun matanya terus melihat kertas di genggamanya.

.

.

-DEMENTED-

.

"Sudah berapa lama ya...." Gadis itu menatap kalender yang tertempel di dinding dekat ia dirantai. Percuma saja, ia tidak bisa merobek maupun menyentuh kalender itu. Tangan dan kakinya diikat rantai dengan kuat. Ia tidak bisa melakukan apapun kecuali ia memanggil petugas dari intercom di dekatnya. Bagaimana cara menyalakannya? Ia cukup menyentuhkan ujung hidungnya pada tombol disana. Gampang bukan?

"Kata orang itu aku akan bebas sebentar lagi... Hah.. Aku akan sangat merindukan tempat ini..." Gadis itu menatap penjuru ruangan. "aku rindu rantai ini dan kalender ini, juga rindu bau ruangan ini..."

Gadis itu menatap lurus-lurus ke depan, menatap nanar pintu besi di depannya "Aku juga rindu padamu," gadis itu menekuk lututnya dan menaruh tangannya di atas lutut lalu menyandarkan kepalanya. "Gor-"

CKLEK!

"Siang, nona Abby." Gadis itu langsung mendongak ke atas. Didepannya, 3 pria berbaju polisi dan seorang wanita berdiri menatapnya dari balik jeruji. Gadis itu mengernyitkan alisnya, bingung dengan keadaan di depannya.

"Kunjungan di siang hari? Tidak biasanya." Gadis itu kemudian menatap 4 orang itu yang hanya berdiri di balik jeruji. "Loh, kok tidak masuk?"

"Kami hanya ingin menyampaikan kabar gembira untukmu." Ujar wanita itu pada gadis dibalik jeruji. "Masa tahananmu akan segera berakhir. Kami akan menyiapkan dokumen pembebasanmu. Tapi dengan satu syarat," wanita itu menghentikan perkataannya. Ia kemudian mengambil kertas dari saku jas sebelah kiri, membuka kertas itu cepat dan menunjukan isinya yang tak lain berupa gambar, kepada gadis itu. "kakan padaku, siapa orang di foto ini."

.

.

.

-DEMENTED-

.

"Seorang gadis ditemukan di semak-semak dekat pemukiman warga. Gadis itu memakai seragam sekolah setempat, dan diperkirakan berusia 16 tahun. Gadis itu memiliki rambut coklat muda dan wajahnya tidak dapat dikenali karena tusukan benda tajam. Jari-jari tangan gadis itu juga ditemukan berceceran di sekitar semak-semak. Diduga gadis tersebut di mutilasi. Pihak polisi sedang melakukan investigasi untuk memeriksa siapa pelaku dibalik semua ini. Sekian berita dari BJ Headline News. Kami akan hadir kembali dalam 1 jam kedepan. Selamat siang."

KLIK!

"Madeline sayang, kau tidak apa-apa?" Tanya seorang pria paruh baya pada wanita yang duduk disebelahnya.

"Ya, aku tidak apa-apa." Ujar wanita itu sambil mengusap air mata di pipinya. "Hah, aku menangis lagi. Padahal aku yakin kalau anak ki-"

"Aku pulang." Laki-laki yang baru pulang itu langsung melempar jaketnya ke sembarang arah. Dan langsung saja tercium bau anyir di ruangan itu.

"Kau tahu, nak? Barusan ada berita pembunuhan lagi." Ujar pria itu pada laki-laki yang sedang berjalan ke meja dekat orangtua itu duduk. Laki-laki itu mengambil teko lalu menuangkan air ke dalam gelas, meminumnya dengan cepat.

"Lalu?" Kemudian ia menaruh gelasnya dengan kasar. Membuat orangtua itu kaget dengan kelakuan anaknya.

"Jangan sering-sering keluar, nak. Berbahaya." Kemudian terdengar suara kekehan dari anaknya.

"Tenang, Ayah. Dia hanya serial killer biasa. Lagipula ia juga tidak suka membunuh laki-laki." Ia menghentikan perkataannya, lalu berjalan menuju tangga. "Tapi, aku yakin kalau pembunuhnya sudah punya pacar. Dan pacar pembunuh itu pastilah orang gila."

Perkataannya sukses membuat kedua orangtuanya menatapnya tidak percaya. Sejurus kemudian, laki-laki itu tertawa. "Aku bercanda. Hanya imajinasi dalam masa puber." Lalu ia langsung naik tangga dengan cepat, sambil tidak henti-hentinya menggumamkan sesuatu.

Namun, siapa yang tahu apa yang ia gumamkan? Kau pasti juga tidak tahu kan?

.

.

TO BE CONTINUED...

.

.

hy readers! I'm back! Bagaimana chapter ini? Bagus atau tidak? So, kalau ada yang mengganjal, langsung comment saja! Akhir kata, terima kasih!

Sincerely,

Veronica.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top