Bagian 1

Gadis itu terbangun ketika indera pendengarannya menangkap suara kegaduhan. Kedua kelopak matanya berulang kali mengerjap, berusaha untuk menyesuaikan jumlah cahaya yang masuk ke dalam pupil. Kepalanya berdengung, seakan-akan mampu mengeluarkan asap. Kedua kakinya digerakkan sedikit, yang membuat gadis itu memekik tertahan karena rasa sakit yang luar biasa menjalar begitu kakinya digerakkan.

Hidungnya kembang kempis. Dia bisa merasakan tubuhnya yang luar biasa penatnya, seakan-akan sebelum dia tertidur dengan sangat tak nyaman, kegiatan yang dilakukannya hanyalah meninju orang.

Dahinya mengernyit penuh keheranan, begitu dia menyadari tempat yang baru saja digunakannya untuk tidur. Sebuah ruangan yang tak begitu luas, namun tak begitu sempit juga, dengan dindingnya yang terbuat dari batang pepohonan diikat dengan seutas tali menjadi satu kesatuan. Cukup nyaman, mengingat jika tak ada celah-celah yang ada di dinding.

Dimana aku?

Kemungkinan hanya itu satu-satunya pertanyaan yang menghnatui pikiran gadis itu saat ini. Berusaha menghiraukan kakinya yang sakit, gadis itu beranjak bangun dan mencoba untuk berjalan meskipun tertatih-tatih. Dia berjengit, begitu salah satu telapak kakinya tidak menapak ke tanah. Alhasil, jatuhlah gadis itu disertai pekikan keras darinya.

"Duh!"

Kedua tangannya berusaha menahan berat badannya, meskipun gadis itu yakin betul hal itu tak ada gunanya sama sekali. Kedua bola mata gelapnya tercengang, begitu dia mencoba untuk menyingsingkan sebagian celana kain yang dikenakannya. Betapa buruknya kondisi kedua kakinya. Banyak luka-luka memar yang menghiasi kakinya, bahkan ada juga luka dengan darah yang masih mengalir dengan segar.

Gaia ...

Kau baik-baik saja?

Detak jantung gadis itu kian mengencang. Dia merasa kebingungan. Setidaknya, dia masih mengingat dengan jelas jika namanya adalah Gaia, namun, dia merasa kebingungan dan familiar akan suara seseorang yang berdengung di dalam pikirannya.

"Hei! Ada ap―Oh, kau sudah bangun rupanya?"

Gaia mendongak dan dengan spontan, dia memundurkan tubuhnya menggunakan kedua tangannya. Seorang pemuda jangkung dan gagah, dengan surai dirty blonde yang menjuntai hingga ke pundaknya dan rahangnya yang mengingatkan Gaia pada persegi. Entah penglihatan Gaia yang agak rabun atau bagaimana, dia baru menyadari jika sebelumnya, pemuda itu berjalan dengan tertatih-tatih. Wajahnya agak garang, namun, dia menyunggingkan senyuman yang membuat Gaia mengernyitkan dahinya.

"Siapa kau?" Nada Gaia saat bertanya begitu melengking.

Pemuda itu berjalan mendekatinya, namun Gaia mulai waspada dengan orang asing itu. "Tenang, Greenie. Aku sama sekali tidak berbuat lancang kepadamu."

Wajah gadis itu kian melontarkan tatapan kekesalannya pada si pirang itu. Greenie? Kosa kata macam apa itu? Lagi pula, kenapa orang asing di hadapannya ini begitu sok asik dengannya? Gaia semakin mengernyitkan dahinya.

"Siapa kau? Tempat apa ini? Mengapa aku bisa ada di sini?" Gaia mencoba untuk memberikan tatapan mengintimidasi yang dia punya kepada si pirang, namun, entah mengapa, tak ada sama sekali sorot yang mencurigakan di iris biru cerahnya.

Si rambut pirang tersenyum, untuk kesekian kalinya. "Sebelumnya, izinkan aku untuk memperkenalkan diriku, Greenie." Anak itu nampaknya membaca ekspresi penuh kebingungan yang dilontarkan Gaia, ketika menyebutkan kosa kata aneh tersebut. "Sedikit informasi, Greenie berarti anak bawang, pendatang baru di sini."

"Aku Newt, second in command di sini. Kau berada di Glade. Kau beserta seorang gadis lainnya bisa ada di tempat ini karena dikirim oleh Kreator melalui Kotak. Agak janggal sebenarnya, mengingat empat hari yang lalu Tommy baru saja dikirimkan ke sini."

Gaia nampak berpikir, berusaha mencerna informasi yang dia dapatkan dari si pirang yang namanya sebenarnya tak ada bedanya dengan kadal air. "Tunggu! Jadi, ada gadis lain yang bernasib sama sepertiku?"

Dia mengangguk. "Betul. Dan untungnya, reaksimu saat terbangun dari pingsan selama tiga hari tidak seheboh gadis yang satunya."

Setelah Newt berkata demikian, Gaia menangkap suara kegaduhan yang membuatnya terbangun. Dia segera berdiri dan keluar dari ruangan, melihat apa yang sedang terjadi.

Nampak seorang gadis dengan pakaiannya yang nampak lusuh tengah berada di tempat yang begitu tinggi, Gaia tak bisa menyebutkan tempat apa itu. Gadis itu tengah sibuk melempari ara pemuda―yang sepertinya adalah penghuni Glade, seperti kata si pirang tadi―dengan barang-barang seadanya. Pantas saja jika kegaduhan seperti itu mampu membangunkan dirinya.

"Mengapa, dia bisa seheboh itu?" tanyanya.

Si pirang mengangkat kedua bahunya. "Entahlah. Mungkin karena syok tak bisa mengingat apa pun selain nama?"

Gaia memandangi gadis yang tak ada bedanya seperti kerasukan setan itu. Benar kata si pirang, sorot matanya tampak memancarkan ketakutan. Ketika pandangannya bersibobrok dengan gadis itu, dia nampak langsung berhenti menjerit. Tatapannya kosong begitu memandangi Gaia. Gaia mengenyit, seperti familiar dengan eksistensi gadis itu.

"Sampai kapan kau akan terus-terusan melamun, Greenie?" Aksen si pirang yang begitu kental membuat Gaia terkejut.

"Maaf-maaf saja. Tapi aku punya nama, dan namaku Gaia, pirang," sindirnya.

Si pirang tampak terkekeh. "Ah, yah. Aku hampir lupa menanyakan siapa namamu, Greenie. Namun berhubung kau berada di sini tiga hari yang lalu ditambah kau baru saja bangun dari tidur nyenyakmu itu, maka kau masih dianggap sebagai pendatang baru."

Gaia tersentak, berusaha mengabaikannya dengan merotasikan kedua bola matanya. Kekesalannya dengan si pirang menjadi-jadi. Dia jadi ingin meninjunya sedari tadi. "Yah, terserah."

"Hei, ruapanya kau sudah bangun?" Gaia menoleh. Seorang laki-laki berkulit gelap dengan kepala botak plontosnya, datang menghampiri mereka. Suaranya terdengar tak begitu ramah, namun setidaknya dia berusaha untuk tersenyum.

"Ooh ... Kau melewatkan bagaimana dia bangun, Alby." Gaia cuma bisa melayangkan tatapan datarnya kepada si pirang. Menolaknya untuk memanggil dengna nama Gaia, namun sok asik betul, dia.

"Perkenalkan, aku Alby. Leader di sini. Maaf jika aku tak bisa memandumu berkeliling Glade, Greenie. Gara-gara gadis itu, masalah di sini jadi sedikit lebih rumit."

Dia nampaknya memiliki selera humor yang bagus, batin Gaia.

"Dan mungkin, tugasku kali ini kuserahkan kepadamu, Newt. Bersediakah kau?"

Si pirang itu terlihat mengangguk, yang membuat Gaia mendecak pelan.

"Nah, mari ikuti aku, Greenie. Aku tau kau pasti kelaparan mengingat tertidur lelap semenjak tiga hari yang lalu."

Lagi-lagi, Gaia hanya merotasikan kedua iris obsidiannya. Si pirang itu lama-lama jadi cerewet saja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top