Delusi 5: Delusi (fiksi mini)
Pagi ini begitu sepi, hanya ada aku seorang diri di ruangan berukuran dua kali empat meter ini. Acap kali hanya derit pintu dari lantai bawah yang tertangkap oleh indera pendengaranku walaupun terkadang suara beberapa deru motor di luar juga menyelingi kesunyian ini.
Kutengok jam digital yang terpasang pada pergelangan tangan kiri ku, disana menunjukkan pukul tujuh lebih lima puluh delapan menit.
"Kenapa mereka semua belum datang ya? padahal dua menit lagi kursus dimulai.” tanyaku dalam hati sembari mencolokkan charger ponselku ke steker di sudut ruangan.
Tak berselang lama, pintu penghubung ruangan yang terbuat dari kaca tebal berderit, membuatku menoleh ke arahnya. Disana nampak seorang laki-laki tengah berdiri hendak memasuki ruangan ini. Aku menatapnya dalam diam, ia mulai masuk dengan senyum lebarnya. Bermaksud ingin membalas senyumannya itu, aku tersenyum tipis ke arahnya, namun senyumanku ini tak berlangsung lama setelah aku melihat benda yang berada di genggaman tangannya. Laki laki itu menggenggam sebuah katana panjang berwarna perak, di sepanjang tepiannya terdapat cairan berwarna merah kental yang menetes hingga meninggalkan bercak pada lantai keramik yang berwarna putih.
Nafasku tercekat seketika, benakku mulai membayangkan rentetan kejadian buruk yang mungkin terjadi. Apakah ia seorang psikopat yang ingin melampiaskan kemarahannya? Oh, untuk seketika ini pikiranku tak mampu menemukan celah untuk tetap berpikir positif.
Laki laki itu melangkah hendak memutari meja besar yang membatasi jarak antara kami. Perlahan namun pasti, ia mendekat ke arahku.
Segera kulangkahkan kakiku ke belakang untuk menjauhinya. Ia semakin dekat, kakiku menabrak dinding, aku tersudut. Kini hanya ada tiga opsi yang dapat ku pilih. Keluar dari dua pintu yang berada di dekatnya, bersembunyi di bawah meja, atau bertanya padanya. Kan lucu kalau ternyata pedang itu hanya mainan, cairan itu hanya darah palsu, dan aku nampak seperti orang bodoh.
Tapi bagaimana juga kalau ternyata ia benar-benar ingin membunuhku. Nyatanya sembilan puluh persen pikiranku mengatakan bahwa ia benar-benar ingin membunuhku. Apa yang sebaiknya kulakukan? Mengingat jika kedua pintu itu terletak di dekatnya, mengingat aku ini hanya bocah kutu buku yang tidak pernah mempelajari bela diri. Apakah aku harus memilih bersembunyi di bawah meja?
Tremor mulai menjangkiti sekujur tubuhku, dan keringat dingin mengucur dari pelipisku. Tak pernah kubayangkan aku akan mengalami peristiwa semacam ini. Bertemu dengan pembunuh yang tidak kukenali.
Tanpa sadar sebuah pertanyaan meluncur begitu saja dari mulutku "Si...siapa kau? Apa yang kau mau?" tanyaku padanya
Kini senyumannya berubah menjadi seringai, ia tak menjawab.
"Bodoh, tentu saja dia tidak akan menjawab." batinku sembari berjalan selangkah demi selangkah ke arah pintu keluar (ah, akhirnya aku memutuskan)
Laki laki itu mulai mengangkat pedangnya. Semakin tinggi dan tinggi hingga ujungnya menyentuh atap ruangan yang kuperkirakan tingginya tiga setengah meter.
Aku terus melangkah dan mempercepat langkahku. Hanya lima langkah lagi dan aku bisa keluar. Tanganku kini sudah memegang kenop pintu saat ia mengayunkan pedangnya.
"Ckrek.....slashh-.."
Aku tersentak, menggeleng gelengkan kepalaku, dan mendapati diriku masih berdiri di sudut ruangan. Kulihat laki laki itu, kini ia tengah duduk di bangku yang tak jauh dari tempatku sembari menatapku bingung.
"Ah, aku hanya berdelusi rupanya." batinku sembari diam diam mengelus dadaku lega
Tak mau terus terusan berdiri layaknya Patung Pancoran, aku pun segera menghampiri kursi terdekat dan duduk di atasnya. Merasakan sensasi empuk pada bokongku yang mulai kebas entah karena apa. Hahh, nampaknya aku terlalu banyak menonton film-film berbau thriller sampai sampai berdelusi yang tidak tidak. Kubenamkan kepalaku pada meja panjang di depanku sembari menutup mata dan menghela nafas panjang.
Baru beberapa detik mataku terpejam, sebuah sensasi menggelitik mengurai rambutku. Aku pun mengangkat kepalaku, ingin mengetahui apa yang membuatku geli.
Mataku membulat, dan kurasakan pupilku mengecil melihat hal yang ada di depanku. Kembali kulihat lelaki itu tersenyum ke arahku, namun bukan pedang berlumuran darah yang ia bawa. Tetapi sebuah pistol besar yang siap menembak kepalaku.
618 words
Huhu.....dikit banget. Yah namanya juga fiksi mini.
Silakan beri bintang atau komentar kalian...
tendotakahashi dari dunia fantasi melaporkan.....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top