Delusi 4: Maaf
Rayyan masih menangis sesenggukan. Meskipun wajah dan matanya tertutupi oleh lipatan tangannya, suara dan lengan jaket kelabunya yang semakin basah tak bisa ia sembunyikan. Tak ia hiraukan Harris yang berada di sisinya, sedari tadi ia hanya menatap heran sambil mengelus elus pundak teman sebangkunya itu.
Seisi kelas delapan D, yang baru diisi oleh lima orang siswa (karena jam istirahat kedua sedang berlangsung) mulai heboh dan berbisik bisik membicarakan sifat Rayyan yang tak seperti biasanya.
"Heh kenapa sih rayyan, kok dia sesenggukan gitu?" bisik wanita bersurai cokelat kehitaman yang tengah bersandar pada tembok sisi kanan kelas, terlihat temannya yang diajak bicara hanya mengendikkan bahunya
Tak lama kemudian masuklah Andi, sang ketua kelas. Di tangan kanannya tergenggam seplastik tempe mendoan yang baru ia beli dari kantin. Belum genap sepuluh detik ia masuk, perhatiannya langsung tertuju pada tangisan lirih dari tengah kelas.
Andi menautkan alisnya, kemudian menoleh ke arah Dito yang duduk sendiri di meja dekat pintu.
"Eh dit kenapa tuh si rayyan, baru kali ini gue dia nangis." tanya Andi to the point
Dito justru tersenyum kecut sembari menoleh singkat ke arah Rayyan "Yaelah gitu aja ditanyain, hp dia kecemplung got kali." jawab Dito asal
"Udah deh dit, nggak usah ngarang." balas Andi dengan nada datar
Dito pun memutar bola matanya "Bukan urusan gue kali, cus tanya sendiri sono."
Andi pun menghela nafas singkat, kemudian mendatangi meja Rayyan, disana Harris masih terlihat mengelus pundaknya dengan bingung.
"Ris, kenapa dia?" tanya Andi lirih
Harris pun menatap manik mata kelabu milik Andi "Nggak tahu, tadi aku udah nyoba tanya, tapi dianya nggak jawab.”
Andi pun mencoba mendekati Rayyan "Heh lo kenapa ray, udah lah nangisnya, lo nggak malu emangnya, lo itu cowok, tuh diliatin temen temen."
Rayyan tidak bergeming, nampaknya kata kata dari ketua kelas tak mampu membuatnya berhenti. Tangisnya masih belum mau reda meskipun sekarang nafasnya sudah normal kembali.
Jeda enam setengah detik dari pertanyaan yang dilontarkan Andi, sayup sayup mulai terdengar Rayyan berbicara dari balik tangkupan lengannya.
Andi dan Harris pun mendekatkan telinga mereka.
"Dhimas......dhimas...." ucap Rayyan lirih
Kebingungan dengan ucapan Rayyan, Andi pun bertanya "Dhimas siapa? kenapa dia?"
"Dia itu-
*****~*****
Seorang laki laki tengah duduk di teras rumahnya, matanya yang berwarna cokelat tua terlihat antusias mengamati setiap goresan pensil warna yang dibuat tangannya pada selembar kertas di sketchbook miliknya. Surai rambutnya yang berwarna hitam masai terurai mendekati alisnya.
Suasana teras sangat damai dan tenang, hingga terdengar kicau burung burung pleci yang bersautan di atas pohon sawo di halaman rumahnya, membuat aktifitas menggambarnya semakin lancar, namun tak berselang lama sebuah suara yang ia kenali mengalihkan fokusnya.
"Ey dhim, selamat pagi...." sapa suara itu
Tanpa dibukakan oleh sang penghuni rumah, pintu pagar rumah Dhimas pun terbuka, menampakkan Rayyan yang membawa sebungkus keripik tortilla berukuran besar, buku paket matematika, dan kotak alat tulis di dekapan tangan kirinya. Ia pun masuk dan berjalan ke arah Dhimas setelah menutup kembali pintu di belakangnya.
"Pagi.." balas Dhimas sembari menutup sketchbook nya
Seperti biasa, Dhimas tak banyak berbicara, sekalipun pada sahabat karibnya itu. Ia juga tidak pernah memasang ekspresi yang berlebihan saat menghadapi segala sesuatu.
Rayyan duduk bersila di lantai dan meletakkan seluruh barang bawaannya. "Kita belajar bareng yok!" ajak Rayyan sembari membuka bungkus plastik keripik tortilla
Dhimas tersenyum "Sebentar ya, aku ambil buku dulu." ucapnya sembari melangkah masuk ke dalam rumahnya
Rayyan mengangguk sembari memasukkan beberapa keping keripik ke dalam mulutnya. Dilihatnya sketchbook Dhimas yang tergeletak di meja teras, tanpa pikir panjang ia sambar buku itu menggunakan tangan kiri dan membukanya.
Sambil mengunyah keripik di mulutnya, Rayyan mulai mengamati gambar di lembar pertama, disana tergambar seorang anak kecil berkaus biru yang tengah asyik bermain pasir di lapangan, di bawah bayang pohon waru, sementara anak anak lain tergambar sedang bermain bola. Rayyan membalik lembar itu, di lembaran kedua tergambar seekor kumbang berwarna keemasan hinggap pada sehelai daun. Gambar itu indah, tapi ada satu bercak warna yang membuat Rayyan menyipitkan mata. Bercak berwarna cokelat kemerahan, dan terlihat bukan dibuat buat.
"Ini darah." gumam Rayyan
Ia balik lembar lembar berikutnya, dan ia terkejut karena mendapati setidaknya ada satu 'tanda' aneh pada gambaran Dhimas di setiap lima lembarnya.
Ia ingat ingat kembali saat saat Dhimas menggambar. Dimulai dari gambar kumbang itu, ia dan Dhimas sedang berjalan melewati pematang sawah saat itu, dan mendapati tanaman menjalar yang dipenuhi kumbang berwarna keemasan yang cantik. Dhimas meminta Rayyan menunggunya selagi ia menggambar, dan Rayyan pun menurutinya.
Karena tidak terlalu tertarik dengan kegiatan yang disebut 'menggambar', Rayyan pun memilih untuk memainkan ketapel yang ia bawa.
"Swusssh..."
Batu batu kecil terlontar dari ketapel Rayyan, menghilang di balik rimbunan padi, kemudian membuat burung burung pipit yang sedang 'memanen' padi berterbangan.
Merasa terhibur, Rayyan pun membidik burung burung yang lain hingga membuat mereka semua hengkang dari sawah milik Pak Zainudin itu. Karena kehabisan sasaran bidik, Rayyan pun mencari cari sasaran lain.
Dua puluh detik kemudian, pandangannya menangkap seekor kodok melompat dan hinggap di sebelah Dhimas.
Merasa sudah ahli dalam dunia perketapelan, Rayyan pun membidik kodok itu. Dan Stakk- alih alih mengenai kodok, pangkal hidung Dhimas yang terkena imbasnya. Untuk sekejap Dhimas tersentak kaget kemudian darah mengalir dari dalam hidungnya. Tidak ingin karyanya ternodai, Dhimas buru buru menjauhkan sketchbook nya, namun setetes darah di ujung hidungnya luput dari pengawasannya.
Rayyan terlihat tertekan memandangi bercak darah itu, karena sekalipun sejak saat itu ia tidak pernah meminta maaf pada Dhimas. Begitu pula kesalahan kesalahan lainnya yang ia perbuat kepada Dhimas. Ya, semua tanda aneh itu adalah 'ulah' nya, yang bukan hanya berbekas pada secarik kertas saja, namun juga pada Dhimas sendiri.
Ingin rasanya ia meminta maaf, tetapi entah kenapa lidahnya seperti tercekat setiap hendak mengatakannya.
"Aku akan tunggu hingga ramadhan di dua bulan ke depan untuk mengatakan semua rasa bersalahku, ya aku akan tunggu hingga waktu itu." batin Rayyan sembari menutup sketchbook itu dan meletakkannya kembali di meja
"Maaf membuatmu lama menunggu." ucap Dhimas keluar dari rumahnya dengan membawa buku buku latihan
*****~*****
Rayyan memandangi kalender yang tergantung pada dinding kamarnya dengan senyum merekah, nampak satu angka yang terlihat mencolok karena ditandai dengan lingkaran spidol berwarna merah. Tanggal enam belas April, yang tidak lain adalah tanggal lahir Dhimas.
Sudah ia persiapkan secara matang matang segala kejutan yang akan ia berikan untuk sahabat terbaiknya itu, mulai dari kue ulangtahun, kado, sampai teriakan kejutan untuknya. Untung saja hari lahir Dhimas tahun ini bertepatan pada hari Minggu, sehingga ia tak perlu repot repot mempersiapkan segalanya setelah pulang sekolah.
Dengan senyum yang makin mengembang, Rayyan membawa seluruh perlengkapan kejutan kecil kecilannya ke rumah Dhimas.
Rayyan berjalan mengendap endap sembari mengawasi keadaan sekitarnya, ia tidak mau jika rencana kejutannya kali ini gagal. Segala cara akan ia lakukan demi membuat momen yang berkesan untuk sahabatnya itu.
"Ayo, tinggal beberapa langkah lagi." gumam Rayyan sembari berjalan berjinjit saat mendekati pintu pagar rumah Dhimas
Rayyan mengintip dari celah pintu pagar, memastikan bahwa Dhimas sedang tidak berada di halaman atau di teras rumahnya.
Merasa keadaan telah aman, ia pun mulai membuka sedikit pintu pagar itu.
"Nak rayyan, kenapa kok ngendap ngendap jalannya?” tanya seseorang tiba tiba dari belakangnya
Sontak Rayyan pun berbalik dan melihat orang itu "A...Tante Mira, mmm... a.. anu tan..saya...anu- Dhimas.." jawab Rayyan bingung sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal
Mira adalah Ibunya Dhimas, ia dan Katon (Ayahnya Dhimas) adalah pegawai bidang pemasaran di sebuah perusahaan ternama di kota. Seringkali mereka pulang larut malam setiap harinya, sehingga biasanya Dhimas hanya bersama Bibi Gayatri, pembantu mereka. Namun, karena hari Minggu, Mira dan Katon ada di rumah.
Mira memandangi barang bawaan Rayyan dan mengangguk anggukkan kepalanya tanda mengerti.
"Dhimas ada di dalam, tante berpesan tolong jangan buat dia kaget ya!” tutur Mira sembari membuka pintu pagar rumahnya
Sejenak Rayyan memikirkan perkataan Mira, namun segera ia buang pikiran itu dan mulai melangkah masuk, mengikuti langkah Mira.
*****~*****
Sejenak Rayyan menghentikan ceritanya, membuat Harris dan Andi bertanya tanya.
"Cuma itu? terus kenapa lo sampai nangis gitu?" Andi menyela sembari menegakkan badannya
Rayyan masih terdiam dengan tatapan kosong, sementara Harris memilih untuk tetap menunggu.
Semenit, dua menit, Rayyan tak kunjung menyambung ceritanya. Entah apa yang membayangi benak laki laki itu, yang jelas ada suatu hal yang membuatnya tak berminat untuk bercerita lebih jauh.
Kini wajahnya sudah ia tampakkan, air matanya sudah mengering, bahkan emosinya kini sudah stabil. Tak lama kemudian, bel masuk pelajaran berdering. Membuat seluruh siswa kembali ke bangku mereka masing masing.
Begitu pula Andi, ia kembali duduk di bangkunya yang berada di depan tengah dengan masih bingung. Pikirnya mungkin Rayyan sedang dalam tekanan batin atau semacamnya, ia tak tahu pasti dan tidak ingin terlalu memikirkannya. Yang penting sekarang orang itu sudah tenang.
Seisi kelas kembali kondusif setelah Pak Richard, guru Fisika memasuki kelas. Sebagian besar mereka sudah mulai membicarakan tentang PR seakan kejadian tangisan Rayyan hari itu tak pernah terjadi.
Namun untuk Rayyan sendiri, batinnya masih sangat perih. Karena ternyata kejutan hari Minggu itu adalah pertemuan terakhir kalinya dengan Dhimas, ia tak tahu jika ternyata Dhimas mengidap penyakit jantung, ia juga tidak tahu kalau perkataan Mira tempo hari adalah sebuah peringatan untuknya. Ia benar benar tidak tahu, batinnya menjadi sangat tertekan karena itu, benar benar tertekan. Dan semua permintaan maaf yang akan ia utarakan pada Dhimas tidak akan pernah tersampaikan. Hanya penyesalan dan rasa bersalah yang menggelayutinya, hingga tanpa sadar ia kembali menangis dalam diam.
"Penyesalan memang selalu datang di akhir, jadi pikirkanlah segala sesuatu sebelum berbuat, dan segera lakukan sebelum terlambat."
1500 + words
Comment please......
Maaf ya, untuk ilustrasi² nya menyusul kalau ada waktu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top