Delusi 3: Sahabat

-dibuang sayang-

Dibuat pas lagi greget nulis tapi buntu ide. Jadi warning buat yang udah tahu maksudnya. Mungkin kalian akan merasakan apa yang kalian duga. But, kalo kalian masih kekeh  mau baca yaudah. Happy reading.

~reading start~

        Pagi menjelang dengan langit yang masih berwarna biru gelap, cahaya kekuningan yang terlihat redup di ufuk timur perlahan merekah bagaikan sekuntum bunga, awan bergerak perlahan seiring dengan udara semilir yang menerpa dedaunan. Di depan sebuah rumah yang cukup megah nampak seorang gadis tengah mengais-ngais sampah di sebuah tong sampah besar yang bau dan kotor, tangannya tak segan segan menyingkirkan tumpukan sampah demi mendapatkan beberapa botol dan kaleng bekas agar dapat dijual di pengepul sorenya, sementara itu mulutnya terlihat bergerak seperti sedang mencoba untuk menghafalkan sesuatu.

      Tak lama kemudian pintu rumah besar itu terbuka, menampakkan seorang wanita yang mengenakan baju olahraga ketat berwarna pink, telinganya tersumbat oleh earphone, sementara matanya terpejam menikmati lagu yang ia putar. Saat ia membuka matanya, seketika alisnya menungging hendak menyatu dan matanya membulat sempurna, seakan baru saja mendapat gunjingan atau hinaan. Wanita itu pun langsung membentak sang gadis pengais sampah sembari menghampirinya.

"Heh, ngapain kamu disana...pergi" gertak wanita itu sambil mengangkat sebelah sepatu ketsnya

Gadis pengais sampah itu seketika terperanjat dan lari dari tempat itu.

"Aduh semoga tante itu nggak ngejar......" batin perempuan pengais sampah itu sambil sesekali mengerjapkan matanya

     Ia berlari terburu buru sembari memanggul karung sampahnya yang cukup besar, membuatnya seperti maling yang baru saja terpergok mencuri. Tanpa pikir panjang ia bermanuver tajam ke kanan persimpangan jalan dengan kecepatan tinggi hingga akhirnya jatuh menabrak seseorang yang kebetulan berjalan dari arah yang berlawanan dengannya.

"Aduuuuh..." ucap orang yang ditabraknya sambil mengusap usap dagunya yang terantuk

"Eeh..maaf maaf saya tidak sengaja pak."  ucap gadis itu sembari menunduk minta maaf

"Heh liat dulu siapa yang lo tabrak Mia." celetuk orang itu

    Mia pun mendongak, terlihat di depannya bocah lelaki yang sebaya dengannya, bocah lelaki itu mengenakan kaos putih polos yang nampak sedikit kusam dengan celana hitam pendek selutut, dan sebuah tas selempang berisikan alat dan bahan untuk menyemir sepatu. Rambutnya yang berwarna kecap serasi dengan warna manik matanya.

"Eh..iwan, ternyata kamu to, aku kira siapa." jawab Mia sambil menjulurkan lidah dan menggaruk garuk kepalanya

"Makannya kalo belok itu lihat lihat, masak orang ganteng kayak begini dikira bapak bapak." balas iwan dengan nada jengkel, tangannya masih mengusap dagunya yang terantuk kepala Mia

"Ganteng dari mananya kau ini hah, gosong baru bener." jawab Mia dengan nada mengejek

"Hhhh..seterah lo lah."

    Tak ingin membuat masalah bertambah runyam, Iwan hanya menghela nafas sambil memutar bola matanya ke arah lain.

   Mia pun ikut mengalihkan pandangan, dengan sedikit meliukkan badan ia berbalik lalu mengintip dari sisi tembok di persimpangan ke rumah besar yang ia kunjungi tadi, karena penasaran Iwan pun melakukan hal yang sama, tidak terlihat tante tante yang membentaknya di luar pagar yang berarti ia tidak dikejar. Mia menarik nafas panjang, telapak tangan kanannya ia letakkan di dadanya, setelah merasa paru-parunya telah terisi penuh oleh udara ia pun menghembuskannya.

"Lo kenapa mi, Kok kelihatannya cemas gitu?" tanya iwan tiba tiba

Mia pun berbalik dan mendongak ke arah iwan

"Mau tau aja kamu wan."

Iwan menaikkan kedua alisnya "Emangnya kenapa, gue kan cuma tanya."

Mendengar jawaban Iwan, Mia mengerucutkan bibirnya "Bukan urusan kamu."

"Ah paling juga lo dimarahin tante tante yang ada di rumah gede itu kan?" ucap Iwan menggoda sambil menaikturunkan alisnya

"Sok tahu kamu." balas Mia tanpa menatap Iwan

"Sok tahu apa emang bener gitu?" Iwan kembali menggoda

"Sok tahu."

Seketika wajah Mia merah menahan malu, bagaimana tidak, tebakan kawannya itu memang sembilan puluh sembilan persen benar, sementara satu persennya ia tak mau mengakui.

"Terus kenapa muka lo merah kayak tomat gitu?" tanya Iwan seketika sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Mia

"Ah udahlah, aku males ngomong sama kamu." Mia mengibas ngibaskan tangannya di udara supaya Iwan cepat menjauh dari wajahnya

Iwan tersenyum sejenak "Idih gitu aja marah, nanti cepet tua loh."

Alih-alih menjawab dan menatap Iwan, Mia masih diam sembari menggembungkan pipi dengan mulutnya yang mengerucut layaknya meniup balon.

"Yaudah kalo gitu, gue ke stasiun dulu ya..." ucap Iwan sembari mengusap usap puncak kepala Mia yang tertutup jilbab tipis, setelah itu berjalan santai ke persimpangan jalan hingga tak tampak lagi sosoknya oleh Mia

"Hati-hati." gumam Mia sangat lirih sembari menyunggingkan senyum tipis

---•°•°•°•°•---

    Daun beterbangan disapu angin kencang siang hari, matahari tampak masih tersenyum terik ketika Iwan hendak melewati rumah Mia yang masih sepi. Baru berjarak selangkah dari pintu rumah kawannya itu, Iwan sudah disapa oleh Yanti -ibunya Mia- dengan hangatnya yang muncul dari sebelah rumah.

"Eh wan, tumben masih siang udah pulang, biasanya kamu pulang sorean." sapa Yanti dengan kedua tangannya membawa seember besar pakaian yang baru akan dijemur

Iwan pun menoleh "Eh iya bulek, siang ini panas banget soalnya, jadi nggak betah lama lama."

Iwan tersenyum simpul sambil menggaruk garuk kepalanya yang tidak gatal. Setelah itu mendekat ke arah Yanti.

"Mau dibantu bulek? Kok kayaknya cucian hari ini banyak." tawar Iwan sembari melepaskan peralatan semir sepatunya dan meletakkanya di pinggir rumah Mia

"Ah nggak usah wan, bulek bisa sendiri." balas Yanti kembali tersenyum ramah

Iwan tetap bersikukuh membantu, ia mulai merentangkan satu persatu pakaian basah yang berada di ember kemudian menyampirkannya di barisan kawat kawat yang melintang acak di depan rumah Mia. Melihat hal itu, Yanti hanya bisa menggeleng (dengan masih tersenyum).

"Hhh..tuh kan ngeyel." ucap Yanti gemas

"Udah lah bulek, nggak apa-apa." balas Iwan tanpa menoleh

"Yaudah wan, maksih ya."

Iwan menoleh ke rumah rumah di sekitarnya "Sama sama, oh ya bulek, ini tetangga tetangga pada kemana? Kok kayaknya sepi?"

"Nggak tahu wan, pada ikut demo kali." jawab Yanti asal

Iwan hanya ber-oh ria sembari menjepit pakaian dengan jepit jemuran agar tidak terbang terbawa angin.

    Suasana hening sesaat disela suara kasak kusuk pepohonan dan semak yang bergoyang diterpa angin. Sekejap setelah itu, mereka berdua dibuat menoleh oleh suara salam dari sebelah kiri rumah.

"Assalamualaikum bu." nampak sosok Mia memanggul karungnya yang kini terisi penuh dengan botol plastik dan kaleng

"Waalaikum salam." jawab mereka berdua - Yanti dan Iwan- serempak

   Mia pun menghampiri keran dan mencuci kedua tangannya setelah menyandarkan karungnya pada tembok luar rumah. Lalu ia mendatangi ibunya untuk cium tangan.
Iwan hanya menatapnya dengan senyuman, melihat itu Mia langsung melengos masuk ke dalam rumah.

"Eh kau tidak cium tanganku nak?" tanya Iwan bercanda

"Enak aja, kau pikir kau itu bapakku." jawab Mia ketus tanpa menoleh karena tahu asal suara itu

Yanti pun terkekeh kecil sambil melirik Mia yang kesal. Terdengar ia mengucapkan kata "nakal" ke arah Iwan setelah itu sembari menggelengkan kepalanya (tentu saja dengan masih tersenyum). Iwan pun hanya dapat kembali nyengir tanpa beban menanggapinya.

    Sepuluh menit mereka menyelesaikan acara jemur baju siang itu, yang walaupun hanya sebentar tetap saja membuat peluh berceceran karena para awan yang entah menghilang kemana. Iwan kembali mengambil peralatan semir sepatunya lalu berpamitan pada Yanti dan Mia
yang entah sejak kapan bersandar pada pintu rumahnya. Yanti pun mengucapkan terima kasih atas bantuan yang diberikannya, sementara Mia hanya menunjukkan senyuman yang tak jelas alasannya.

"Saya pulang dulu ya bulek,....Mia." ucap Iwan sembari membungkuk singkat

"Ya wan, sekali lagi makasih lho." balas Yanti

    Iwan kembali tersenyum lalu berbalik dan memasuki rumahnya yang hanya berjarak duapuluh langkah dari rumah Mia.

---•°•°•°•°•---

    Waktu berlalu dengan cepatnya, hingga tanpa terasa sang candra telah terpancang kokoh di cakrawala. Cahaya kuning temaram menghiasi seisi rumah Iwan yang hanya terdiri dari dua ruangan, terlihat segalanya semrawut karena jarang sekali dibereskan. Bukan, bukan karena Iwan malas melakukannya, namun karena ia selalu disibukkan oleh pekerjaan dan kegiatan studinya yang melelahkan. Ia berjuang sendirian di keluarganya, ibunya telah meninggal tiga tahun silam karena pendarahan yang dialaminya semasa mengandung adiknya yang juga telah tiada, sementara ayahnya tidak pernah pulang kecuali sabtu tengah malam, itu pun selalu dalam keadaan mabuk dan mengamuk. Pernah terbersit harapan di dada Iwan ayahnya tidak pernah pulang sekalian, namun sama saja ia mendurhakai orangtuanya jika seperti itu.

    Ayahnya tidak pernah menafkahinya sekedar untuk membeli nasi apalagi seragam sekolah, Iwanlah yang justru kerap kali dirampas penghasilannya oleh ayahnya sendiri untuk membeli rokok atau sebotol vodka. Ia tidak bisa melawan, setiap kali ia melindungi dirinya sendiri selalu berakhir dengan luka lebam di sekujur tubuh. Apa daya, ayahnya adalah preman dan begal yang cukup terkenal karena kesadisan dan kelihaiannya  melarikan diri, cukup sekali pukul orang itu akan membuat pingsan korbannya selama berjam jam. Sementara Iwan, ia hanya anak sekolahan dan tukang semir sepatu yang tak pernah belajar ilmu bela diri.

    Berbanding cukup jauh dari Mia. Keluarga Mia masih utuh, ibunya sangat baik hati. Dan ayahnya, sekalipun jarang terlihat di rumah selalu bertanggung jawab dengan keluarganya, ia jarang terlihat hanya karena menjadi buruh bangunan di ibu kota. Mengingat hal itu hanya membuat hati Iwan teriris hingga acap kali bendungan air yang berada di matanya jebol. Kalau sudah seperti itu, Iwan hanya dapat menenangkan dirinya dengan membaca diktat pinjaman dari sekolah, ia berharap jika nasibnya akan segera berubah seiring dengan pertambahan usia dan intelijensinya, ia tak mau jika nasibnya berakhir menjadi sampah masyarakat, sehingga bisa dibilang usahanya untuk berubah hampir mencapai batas maksimalnya.

    Akhirnya Iwan terlelap disamping buku pelajarannya seperti yang sudah sudah karena matanya yang tadi tersisa lima watt telah habis ditelan gelap malam. Hanya suara jangkrik yang setia menemaninya melewati malam yang sepi. Menunggu sang surya kembali menerangi jalan hidupnya yang masih panjang.

---•°•°•°•°•---

    Suara derit timba sumur dan gemercik air menghiasi suasana pagi. Terlihat Mia yang mengucek matanya lesu sembari mengangkat seember penuh air ke kamar mandinya. Di sisi lain terlihat Iwan yang justru baru keluar dari kamar mandinya dengan handuk yang hanya menutupi bagian bawah tubuhnya.

"Selamat pagi putri tidur, bangun kesiangan ya?" sapa Iwan ke arah Mia sambil melambaikan tangannya

Mia menolehkan pandangannya ke arah lain kemudian menjawabnya dengan ketus "Heh, kau tidak sadar kalau sedang tidak berpakaian wan?"

Menyadari hal itu, Iwan langsung gelagapan dan berlari kecil memasuki rumahnya.

"Huh, dasar laki-laki." batin Mia sambil menahan senyum

Ia pun segera memasuki kamar mandi dan memulai aktivitas paginya itu.

    Sebenarnya Mia hanya berpura pura ketus di depan Iwan, entah apa yang membuatnya seperti itu, yang jelas itu justru membuatnya menyesal di kemudian hari. Sebenarnya juga ia sangat senang jika berada di sisi Iwan, karena ialah kawan yang paling dekat dengannya. Bahkan mereka sering melewati masa sulit bersama, makan bersama, belajar bersama, dan saling menemani saat bekerja. Namun jarak di antara mereka mulai merenggang seiring dengan bertambahnya kedewasaan mereka, tentu saja karena Iwan adalah laki-laki sementara Mia perempuan. Sekarang mereka sudah paham harus saling menjaga jarak, tidak dapat lagi meniru adegan khas teletubies seperti saat mereka masih kelas satu sd dulu.

    Matahari mulai menampakkan wajahnya yang sebelumnya masih berupa semburat kekuningan di ufuk timur. Nampak Mia dan Iwan telah memakai seragam putih biru dan menenteng tas sekolah mereka masing-masing. Mereka berjalan beriringan dengan santainya karena yakin akan menjadi siswa pertama yang sampai di sekolah.

"Setelah tahun ini, kau akan kemana?" tanya Iwan tiba tiba mencoba melelehkan suasana

Mia sedikit menelengkan wajahnya ke arah Iwan yang selanjutnya dibalas tatapannya.

"Ayolah, aku tahu kau paham maksudku." ucap Iwan lagi

Mia menggeleng "Entah, kalau kau sendiri?"

"Tidak akan kujawab sebelum kau mengatakannya duluan." balas Iwan sambil memegangi tenguknya dengan kedua telapak tangannya

"Kan tadi sudah kujawab... entah, apa itu belum jelas bagimu?" ucap Mia dengan menekankan kata entah

"Tidak, aku ingin mendapat jawaban pasti darimu." bantah Iwan sambil memandang langit

Dengan bingung Mia pun menjawab "mungkin SMK N Samudera."

"Kalau begitu aku juga akan kesana." ucap Iwan santai

Mia mengerutkan dahinya "Kau tidak seharusnya disana, kau bisa mendapat yang lebih baik seperti SMK N Langit atau malah SMA favorit, kau bisa mendapat beasiswa dengan mudah disana karena otak jeniusmu itu."

Iwan tidak mengalihkan pandangannya dari langit "Ya memang, tapi kalau aku disana tidak ada kau....kan."

Mia semakin mengerutkan keningnya "kenapa kau mau aku ada di sekolah yang sama denganmu, apa kau tidak......jenuh?"

Kini Iwan menatap ke arah Mia dengan tatapan menyelidik yang membuat Mia tersentak kaget dengan perubahan ekspresinya "Apa kau jenuh denganku Mia?"

Mia nampak kebingungan menjawabnya "Bu-bukan begitu maksudku, hanya saja bakatmu itu layak mendapat yang lebih baik."

"Ha?"

"Apa aku salah ngomong? terus apa maksudnya dengan- duh jangan ge-er dulu Mia." batin Mia mencoba tetap terlihat tenang

    Mia nampak ingin mengutuk dirinya sendiri atas perkataannya, ia berpikir jika Iwan mengiranya menyuruhnya untuk pergi menjauhinya, namun setelah ia pikir lagi rasanya tidak ada yang salah dengan perkataanya, ia hanya ingin Iwan mendapat yang terbaik.

"Kau marah padaku ya wan? maaf ya." ucap Mia dengan memelas

"Aku tidak marah padamu, aku hanya merasa....kesepian jika tidak ada dirimu, kau tahu kan hanya kau yang menjadi sahabat terdekatku di sekolah hingga saat ini, selama hampir sembilan tahun ini." ucap Iwan serius dengan menatap Mia yang kini tengah menatap kosong

"Kalau kita terpisah, bagaimana aku bisa... menjagamu." lanjut Iwan

Batin Mia tersentak mendengar setiap kata yang terucap dari mulut Iwan "Loh menjagaku, terpisah, kesepian, apa maksudnya lagi ini, dan sejak kapan dia mulai memanggilku dengan sebutan kau lagi? Dasar laki laki labil."

"Mia." panggil Iwan sambil mengibaskan tangannya di depan Mia

Mia mengerjapkan matanya beberapa kali lalu menoleh ke arah Iwan "Ah iya, kau bilang apa tadi?" tanya Mia pura pura tidak mendengar

Iwan terlihat sedikit kecewa lalu ia menunduk menyembunyikan kekecewaanya "Bukan apa-apa."

"Maafkan aku Iwan." batin Mia sambil ikut menunduk

---•°•°•°•°•---

    Pelajaran berlangsung seperti biasa, hanya saja Iwan nampak tidak berselera untuk bersosialisasi dengan kawan sekelasnya hari ini. Sesekali teman sebangkunya menanyakan apa ia sakit, namun hanya dibalasnya dengan beberapa patah kata atau gelengan singkat. Bahkan beberapa guru juga menegurnya, karena tidak biasanya seorang Iwan hanya diam apabila mendapat tantangan soal.

    Berbeda dengan Mia yang memang jarang mengeluarkan suaranya, ia tidak mendapat respon yang terlalu berarti dari kawan sebangkunya maupun dari gurunya karena sudah biasa Mia hanyut dalam dunianya sendiri.

    Akhirnya pelajaran pun berakhir, meninggalkan Mia, Iwan, Santi, Rico dan beberapa siswa lain yang kebetulan hari ini mendapat jadwal piket kelas.

Santi yang baru saja selesai membersihkan papan tulis pun menghampiri Mia yang sedang menyapu. "Hai Mia."

"Hai San, ada apa?" tanya Mia dengan menoleh pada Santi sekejap kemudian melanjutkan kegiatan menyapunya

Santi menyandarkan pantatnya pada meja di belakangnya "Hari ini kau kenapa, kok nggak kayak biasanya?"

"Emang biasanya aku kayak gimana, kayaknya hari ini sama aja deh." jawab Mia sambil menghimpun tumpukan sampah dan debu yang ada di sekelilingnya pada satu titik

Santi memegang dagunya "Biasanya kamu agak ceria dikit loh, tapi hari ini kok cemberut, ada apa?"

Terbersit keinginan Mia untuk menceritakan hal yang terjadi padanya pagi ini -yang mungkin saja menyangkut diamnya Iwan- tetapi "Tidak, aku baik saja seperti biasa."

Santi hanya ber-oh ria sambil beranjak dari tempatnya dan membereskan meja yang masih berantakan.

"Benar kau tidak apa-apa?"

Mia mengangguk "Hmm."

"Yaudah kalo gitu, aku duluan ya, papaku udah nunggu didepan." tunjuk Santi dengan dagunya ke arah mobil fortuner hitam yang terlihat dari jendela kelas

"Oke, hati-hati ya." balas Mia datar

"Hmm." jawab Santi yang terdengar singkat namun ramah yang kemudian berjalan keluar kelas membawa tasnya

Kelas kembali hening.

---•°•°•°•°•---

    Tidak seperti biasanya lagi Iwan tidak pulang bersama Mia, ia langsung pergi entah kemana meninggalkan Mia.  Biasanya sepulang sekolah mereka langsung ke rumah masing-masing, setidaknya makan siang dan mengganti pakaian sekolah terlebih dahulu dan akhirnya pergi lagi. Hal ini membuat Mia cemas dan ingin menyalahkan dirinya sendiri, ia terus memikirkan hal itu hingga tak sadar dirinya sedang menyebrang jalan. Hampir saja tubuhnya terserempet sebuah truk berkecepatan tinggi apabila seseorang tidak segera menariknya.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Jefri -teman sekelasnya yang duduk tak jauh dari Iwan- dengan datar

Mia pun mengangguk kaku, terlihat wajahnya pucat pasi, masih ia rasakan jantungnya berdegup kencang dan tremor di tubuhnya yang belum kunjung sirna.

"Lain kali jangan melamun ketika menyebrang." ucap Jefri datar yang kemudian pergi meninggalkan gadis itu setelah menyebrangkannya

    Entah dari mana, tiba tiba Iwan berada di sebelah Mia dan memegang pundaknya. Sontak Mia terkejut dan menoleh ke arah Iwan.

"Kau nggak apa-apa kan mi?" tanya Iwan cemas

Mia hanya mengangguk pelan

"Oh aku nggak akan bisa maafin diriku sendiri kalau kau kenapa napa di depanku." terangnya senang

Mia hanya menatap Iwan dalam datar "Eh, tadi dia bilang apa?" batin Mia

Barulah ia sadar kalau ia ingin meminta maaf pada Iwan atas perkataannya tadi pagi. "Eh wan maaf ya yang tadi pagi, kau masih marah ya?"

Iwan menaikkan alisnya "Eng-enggak kok, siapa juga yang marah."

"Terus tadi pagi kamu diem kenapa? Karena marah sama aku kan?" tanya Mia yang tanpa sadar meninggikan suaranya

Iwan pun terkekeh sementara Mia hanya bisa menelengkan kepalanya dengan memasang wajah cengo.

"Ahahaha...kau salah paham, sebenarnya...." Iwan menjeda perkataannya sambil mengusap tenguknya

"Sebenarnya apa?" tanya Mia tak sabar

"Errm..sebenarnya.." Mia makin tak sabar

"Sebenarnya aku ke-belet tadi pagi." jawab Iwan malu malu

Mia pun menampakkan ekspresi kagetnya "Jadi, dari tadi aku mengkhawatirkan orang yang pengen ke toilet? PD banget aku." batin Mia

"Yaaa sebenernya aku pengen buang benda itu di sekolah, tapi taulah kalau toilet sekolah pintunya nggak waras semua, jadi aku tahan sampai pulang dan cari toilet umum terdekat...hehe." terang Iwan panjang lebar dengan sengaja memandang ke arah lain

Mia masih tidak percaya "A..apaa?"

Melihat ekspresi Mia, Iwan justru tersenyum lebar "Kau khawatir denganku yaa...hayo ngaku."

Mia pun langsung mengerucutkan bibirnya dan berjalan cepat meninggalkan Iwan untuk menyembunyikan wajahnya kini sudah merah sempurna bak kepiting rebus "Dasar.."

"Eh Mia, jangan marah dong, aku kan cuma bercanda." ucap Iwan memelas sambil berlari mencoba menyandingi langkah Mia

Mia tidak menghiraukannya "Mana mungkin aku khawatir dengan orang sepertimu." gumam Mia dengan (sangat) lirih

---•°•°•°•°•---

    Ujian Nasional SMP sudah tinggal menghitung hari, dan untuk mempersiapkan semua itu, Iwan dan Mia selalu sibuk bermesraan dengan empat diktat yang akan diujikan. Esok adalah tpm tingkat provinsi dengan mata uji Bahasa Inggris, berkali kali Mia membuka dan menutup kamus lecek di pangkuannya, karena jujur saja Mia merasa sangat payah di pelajaran bahasa asing. Dan untuk persahabatan mereka, semakin membaik seiring berjalannya waktu, mereka jadi sering belajar bersama di rumah Mia -tentu saja tidak berduaan karena ada Yanti yang menemani.

    Sementara itu Iwan di sebelahnya tinggal membolak balik soal-soal latihan yang telah tuntas ia kerjakan, nampak angka seratus besar tertulis pada setiap pojok kanan atas kertas dengan tinta biru. Ya, Iwan hampir tidak pernah kesulitan dalam semua mata pelajaran, hanya pelajaran biologi bagian menghafal genus dan nama latin organisme saja, selain itu nilainya nyaris selalu sempurna. Hal itulah yang menjadikan Iwan telah dianggap layaknya guru privat bagi Mia saat ia kesulitan belajar di rumah. Ia sangat senang membagi ilmunya, bahkan pada kawannya di sekolah yang sebenarnya mampu mengikuti program bimbingan belajar ternama. Tak ayal jika Iwan selalu mendapat posisi pertama sejak masih kelas satu sekolah dasar. Ia tak pernah menyombongkan kelebihannya dan Mia tak pernah iri sekalipun, karena menurut mereka berdua, tuhan telah menetapkan segala hal yang terbaik untuk mereka, mereka ada untuk saling melengkapi dan membantu, menjadikan hidup terasa lebih berarti.

    Langit sore ini sedang bersedih, suasana di luar juga kelam dan berangin. Oleh karena itulah, Mia dan Iwan menghentikan pekerjaan memulung atau menyemir sepatu dan memilih untuk membaca kembali diktat mereka selain karena esok memang ada try out di sekolah dan UN sudah dekat.

"Wan, kalau principal itu artinya apa sih?" tanya Mia tanpa menolehkan wajahnya dari soal di pangkuannya

Iwan pun menjawab dengan datar "Principal itu artinya sama kayak headmaster."

Mia terlihat bingung sekejap "Maksudmu kepala sekolah?"

"Yap, seratus buat Mia." jawab Iwan mulai dengan nada mengejek

"Mmm kalau proud itu apa?" tanya Mia lagi tanpa menghiraukan nada bicara Iwan

Iwan menoleh ke arah Mia "Kalau itu tergantung sama konteks kalimatnya, bisa jadi artinya bangga, tapi bisa juga artinya sombong."

Mia melongo "kamu kalau njelasin yang bener dong...jangan cepet cepet."

    Yanti yang sedari tadi menatap mereka sambil mengaduk sayur bening tersenyum, ia nampak senang karena anaknya memiliki teman belajar. Setelah merasa masakannya telah matang, ia pun mematikan kompor gasnya dan menuangkan masakannya ke dalam tiga mangkuk yang telah ia siapkan sebelumnya.

"Iwan, Mia, makan dulu nih, belajarnya nanti lagi." ucap Yanti sambil membawa nampan berisi tiga mangkuk sayur yang masih panas dan sebuah wadah berisi nasi.

Iwan tersenyum "Ah, nggak usah repot repot bulek."

Mia pun menyenggol Iwan dengan sikunya lalu memelototinya "Nggak ada protes, pokoknya sesuatu yang dikasih ibuku nggak boleh ditolak dan harus dihabisin, atau nanti aku tersinggung."

Yanti pun mengangguk mantab sambil tersenyum penuh kemenangan. Sementara Iwan mengangkat kedua tangannya seperti orang yang hendak ditembak.

"Yah...kayaknya udah skakmat nih." ucap Iwan sambil tersenyum tipis

Mendengar reaksi Iwan, mereka bertiga pun tertawa lepas.

    Langit kembali cerah setelah dua jam menangis tanpa jeda. Karena hari hampir berakhir, Mia dan Iwan pun menyudahi acara belajar bersama mereka. Akhirnya Iwan pulang ke rumahnya setelah sekian lama tertahan oleh dialog panjang dengan Yanti, dan kemudian beristirahat untuk melepas penat demi menyongsong ujian esok hari.

---•°•°•°•°•---

"Selamat pagi anak-anak." sapa guru pengawas dengan ramah kepada seluruh siswa di kelas

Para siswa pun menjawab serempak "Selamat pagi bu.."

"Baiklah, sebelum memulai ujian pada pagi hari ini, marilah kita berdoa supaya diberikan kelancaran dalam mengerjakan soal, berdoa sesuai agama masing masing...mulai." komando guru pengawas sambil menundukkan wajahnya

Seluruh siswa pun berkomat kamit membaca doa. "Berdoa selesai."

    Guru pengawas mulai membagikan soal dan lembar jawaban, dan setelah mendapat aba-aba untuk mulai mengerjakan soal, semua siswa langsung sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

    Baru beberapa menit ujian berlangsung. Fatya, salah seorang teman Mia yang kini duduk disebelah kanannya, sudah terlihat kebingungan. Ia menengok ke kanan dan kirinya, namun hanya mendapati seluruh temannya tengah fokus. Saat ia merasa pandangan pengawas tidak tertuju padanya, Fatya pun menyenggol pelan bahu Mia.

"Pssst, Mia....jawaban nomor 4 apa?" tanya Fatya, gelisah

Mia tak merespon, ia hanya fokus pada soal di hadapannya. Karena tak kunjung mendapat jawaban, Fatya pun mengguncangkan tubuh Mia perlahan. Bertepatan dengan itu, guru pengawas pun melihat ke arah Fatya.

"Yang disana kenapa ya? Harap kerjakan sendiri!" tegur guru pengawas yang terdengar tegas namun tetap ramah

Fatya pun terkejut dengan teguran itu, terpaksa ia harus menjawab dengan asal karena tidak pernah belajar sebelumnya.

    Sementara itu terlihat Iwan yang sangat serius menjawab setiap soal, meskipun serius ia tetap menjadi yang tercepat dalam menyelesaikannya. Bagi Iwan, seluruh soal yang ia hadapi sudah terasa sangat familiar di matanya, karena semua soal latihan yang diberikan sekolah kepadanya sudah berpuluh puluh kali ia kerjakan ulang. Tidak cukup dengan itu, Iwan juga memperbanyak kosa katanya dengan membaca berita atau majalah berbahasa inggris yang ia temukan di tempat sampah stasiun. Dalam lima puluh delapan menit, ia dapat dengan yakin menjawab seluruh soal dengan benar.

    Bel tanda ujian berakhir pun berdering. Seluruh siswa diharuskan keluar dari ruang ujian secepatnya. Sesampainya Mia di luar ia langsung dihampiri oleh Fatya, mukanya (Fatya) sangat kusut karena lagi lagi tidak bisa menjawab hampir seluruh soal.

Mia tersenyum ke arah Fatya "Kenapa mukamu kusut gitu Fat?"

Fatya belum mau menjawab, lalu ditariknya tangan Mia menjauh dari ruang ujian.

Mia menaikkan sebelah alisnya "Kenapa?"

"Kok kau tidak mau membantuku sih? katanya kau itu temanku." tanya Fatya cemberut

Mia pun menggelengkan kepalanya singkat sambil menghela nafas panjang "Hhhhh...biar aku beritahu ya, sekalipun kita teman, aku tidak bisa membantumu mencontek, itu salah kalau kuturuti permintaanmu, lagipula paket soal kita pasti berbeda, jadi sekalipun aku jawab tidak akan sama." jawab Mia panjang lebar

"Kau jahat." ucap Fatya kesal

Mia kembali menggelengkan kepalanya "Kau seperti anak kecil saja, memangnya kau tidak belajar kemarin?"

"Nggak..." jawab Fatya singkat sambil tertunduk lesu

"Makannya mulai hari ini belajar ya, biar UNAS besok bisa ngerjain." ucap Mia sambil mengusap bahu Fatya

Fatya tidak membalas, ia hanya menatap Mia dengan lesu. "Yaudah, aku duluan ya." Mia berjalan menghampiri Iwan kemudian melambaikan tangannya ke arah Fatya sebelum sosoknya menghilang dari pandangannya.

---•°•°•°•°•---

    Tiga belas lembar kertas putih terpampang jelas pada papan pengumuman kelas. Nampak seluruh siswa antusias mencari nama mereka pada deretan nama yang disusun berdasarkan ranking nilai di kertas kertas itu.

"Weeh, gimana kita bisa lihat kalau padat kayak gini?" keluh Mia yang duduk di bawah pohon ketepeng tak jauh dari kerumunan itu

Iwan tersenyum santai sambil menatap daun daun kering yang berguguran. "Ya, nanti kalau mereka udah bosan kan bisa."

Mia mengerucutkan pipinya. "Tapi kapan? Aku kan udah nggak sabar."

"Paling sebentar lagi." balas Iwan beralih menatap kerumunan siswa

Tiba tiba dari dalam kerumunan, seorang siswa melambaikan tangannya dan memanggil Iwan. Ia mendekat dan akhirnya duduk di samping Iwan. Seorang laki laki berperawakan tinggi, berkulit putih, dengan manik mata kelabu, rambutnya hitam mengkilat dengan sedikit semburat merah kecoklatan tanda sering terpapar sinar matahari.

"Hei val, ada apa?" tanya Iwan sambil berjabat tangan dengan laki laki yang kini duduk di sampingnya

Bukannya menjawab, Val justru membalas pertanyaan Iwan dengan pertanyaan "Lo nggak lihat nilai wan?"

"Ah, nanti aja." jawab Iwan santai

Mia hanya melihat percakapan mereka berdua, karena ia tak kenal dengan lelaki bernama Val itu. Sesekali ia melihat val berbisik dengan Iwan sambil meliriknya kemudian disambut oleh kekehan atau gelengan dari Iwan. Tak lama kemudian Iwan menoleh ke arah Mia singkat lalu menyenggol bahu Val. Val hanya melirik Mia yang membuat Iwan menggeleng.

"Mia kenalin, ini temen aku Val.....Val, ini Mia sahabat aku." ucap Iwan dengan menekankan kata sahabat di dalamnya

Mia mengerjapkan matanya. Val memposisikan tangannya untuk berjabat tangan. "Valerio dari kelas sembilan e."

Mia pun buru buru menangkupkan kedua telapak tangannya di depan wajahnya. Val yang paham langsung menarik tangannya dan meminta maaf. "Mia, dari kelas sembilan ce."

Val tersenyum tipis "Mia nggak lihat nilai?"

"Nanti kalau mereka udah pada minggir." potong Iwan menunjuk kerumunan siswa di depan papan pengumuman

Val menaikkan sebelah alisnya "Gue nggak nanya lo wan."

Segera Mia menjawab "Iya, nanti kalau kerumunannya udah agak renggang."

Iwan mulai menyilangkan tangannya di depan dadanya lalu memasang wajah datarnya. Val yang melihatnya terkekeh kecil kemudian berbisik pada Iwan.

"Wan, dia beneran sahabat lo?" tanya Val

Iwan pun menaikkan sebelah alisnya. "Iya, kenapa emangnya? Naksir lo?"

"Enggak, tapi kok kayaknya lo deket banget, jangan jangan lo sama Mia pa-"

"Aaah, ngomong apa sih lo? Eneg gue dengernya." potong Iwan sambil berdiri dari tempat duduknya

Val kembali terkekeh "Udah ah, mending liat nilai." ucap Iwan sambil berjalan ke arah papan pengumuman yang mulai renggang

Mia hanya memasang wajah cengo sesaat lalu menyusul Iwan.

"Val, aku lihat nilai dulu ya." ucap Mia sambil menunjuk papan pengumuman

Val mengacungkan jempolnya "Oke-oke."

     Mia sedikit meliukkan badannya untuk melewati beberapa orang yang masih berkerumun, setibanya ia di depan kertas nilai ia mulai menunjuk barisan nama dari atas sampai ke bawah, mencari cari keberadaan namanya.
Karena belum kunjung ketemu, ia kembali melihat urutan nama dari atas, mungkin ada nama yang familiar di matanya pada urutan sepuluh besar. Dan benar saja, nama Iwan Sulistyawan tepampang pada urutan teratas.

Mia menggerakkan telunjuknya menyamping. "Matematika 10, Bahasa Indonesia 10, Bahasa Inggris 10, dan IPA 9,5, total 39,5.“

Mia termangap mangap melihatnya "Aaaaaaaaaaaaaa......nilainya."

"Hush cepet tutup, nanti kalau kemasukan lalat baru tahu rasa kamu." ucap Iwan dengan tatapan datarnya. Mia membalas tatapan Iwan dengan tatapan horor.

Iwan menaikkan kedua alisnya "Apa? Orang yang punya nilai biasa aja kok."

"Ha, biasa ya." batin Mia

Iwan pun kembali memandang kertas nilai. "Nama kamu udah ketemu Mi?"

"Belum." jawab Mia singkat sambil kembali menelusuri nama nama yang belum ia periksa

Iwan memegang dagunya "Mmm....ah, ini nama kamu kan?" tanya Iwan sambil menunjuk pada satu titik

Mia pun menyipitkan matanya ke nama yang ditunjuk Iwan.
"Mafada Isna Asyifa, eh iya namaku.......dan rankingnya....."

Perlahan matanya membulat seiring sudut bibirnya yang semakin tertarik ke atas.

"Nilaiku....."

---•°•°•°•°•---

"Tiga ratus duapuluh gram gula, dicampur satu kilogram terigu..." Yanti menggumam sambil membolak balik resep roti pada kertas koran yang ia pegang

    Mia masuk rumah dengan terburu, tanpa mengucap salam ia langsung mencium tangan ibunya dan duduk di dipan. Tampak di wajahnya raut sumringah yang menimbulkan tanda tanya besar untuk Yanti.

"Mia..." panggil ibunya

Mia menoleh dengan sudut bibirnya yang masih tertarik keatas "Ya bu, ada apa?"

"Harusnya ibu yang tanya, kamu itu kenapa, dari tadi kok wajahmu berbunga bunga."

"Oh itu, hehe Mia cuma seneng kok bu, pertama kalinya Mia dapet ranking 18 sesekolah, nilai Mia 33,95." Mia tertunduk meredam kebahagiaannya yang meluap luap

"Alhamdulillah, tapi ini baru tpm kan belum ujian nasional, kamu harus terus belajar dan berdoa, syukur-syukur ditingkatkan, jangan berbannga diri dan sombong, ajari teman-temanmu yang kesulitan, jangan pelit dalam berbagi ilmu."

Seketika Mia teringat akan Fatya yang tidak bisa mengerjakan soal "I..iya bu."

"Oh iya, kamu udah bilang terima kasih belum sama Iwan, kamu bisa sampai sejauh ini karena Iwan juga kan?" Yanti kembali membaca koran yang berada di genggamannya

Mia menatap ke luar pintu "Belum bu, mungkin nanti."

"Yasudah sana, ganti baju terus makan habis itu mandi."

Mia beranjak dari tempat duduknya "Hmm."

Baru saja Mia hendak melangkahkan kakinya, Yanti kembali berucap. "Oh satu lagi, tepat tanggal empat besok, saat kamu dan Iwan UN, ibu harus pergi ke rumah bude kamu di Karangwuni, kamu nggak apa-apa kan ibu tinggal sendiri?"

Mia mengangguk "nggak apa-apa kok."

"Baguslah, tapi ingat ya Mia, meskipun ibu nggak ada di rumah, kamu harus tetep ikut UN, harus tetep makan, dan mandi." Yanti menatap serius anaknya

Sekali lagi Mia mengangguk yakin "Pasti bu, Mia selalu mandi kok."

Yanti tersenyum "Udah gatel ya? Yasudah sana, kamu boleh mandi."

Mia berbalik dan berjalan pelan, terlihat ia menautkan kedua alisnya kemudian menggeleng keras dan menghela nafas panjang hingga sosoknya menghilang di balik pintu kamar.

---•°•°•°•°•---

"Jefri.." Val berteriak memanggil Jefri yang kebetulan lewat di depan rumahnya

Yang mempunyai nama menoleh menunjukkan wajahnya yang lesu, ia tak kunjung menjawab, hanya memiringkan sebelah alisnya. Nampak seragamnya basah dengan keringatnya, serta rambutnya yang acak acakan. Val pun beranjak dari depan rumahnya dan berlari kecil menghampiri Jefri.

"Kenapa mukalo kusut gitu? Ntar cepet tua lo." ucap Val sambil menyikut bahu Jefri

Jefri hanya menatap Val malas kemudian memutar bola matanya ke lain sisi. Dari ekor matanya Val tahu kalau Jefri sedang menunjuk sesuatu, segera Val memandang ke arah yang sama.

"Hai Val." ucap Iwan sembari melambaikan tangannya singkat ke arah Val

Val tersenyum simpul "Lo ada disini juga ternyata."

Val menghampiri Iwan dan menepuk bahu Iwan "Habis dari mana, kok lo berdua baru pulang."

Iwan menatap sejenak Jefri yang kondisinya tak karuan lalu Jefri membalas tatapannya dengan isyarat -kenapa kau malah memandangku-

"Tadi kami main basket dulu, Jefri- maksud gue kelompok kami kalah..." jawab Iwan sambil menyeka keringat di dahinya

"Just that..... but why his condition looks that badly?" tanggap Val sambil melihat ke arah Jefri dengan kedua alisnya yang terangkat

Jefri mulai angkat bicara "Diem lo, capek gue denger orang ngoceh."

Val kembali menatap Iwan dengan tatapan -memangnya apa salahku, sementara itu Iwan hanya mengendikkan bahunya.

"Dhuarrr" suara ledakan yang cukup keras membuat mereka terhenyak seketika.

"Apa itu?" ucap Jefri sambil menunjuk kepulan asap hitam yang menyeruak dari sebuah rumah bercat kuning yang hanya terpisah delapan petak dengan rumah Val.

"Ayo kita lihat apa ada yang terluka." ajak Iwan

Kontan Jefri dan Val mengangguk lalu berlari bersama Iwan menuju rumah itu.

......................(beberapa menit kemudian)

Asap hitam semakin menyeruak, membuat jarak pandang para manusia yang berkerumun disana berkurang. Suara guyuran air dari ember ember warga terdengar silih berganti, namun si jago merah masih belum kunjung padam. Iwan, Val dan Jefri dengan cekatan mengisi penuh kembali ember-ember yang telah kosong setelah itu disalurkan kembali untuk mengurangi intensitas api.

"Apa masih besar pak apinya?" tanya Jefri yang sejak mendengar ledakan tadi melupakan letih di tubuhnya

"Ya, dan sepertinya ada suara tangisan dari kamar atas." jawab bapak yang ditanyainya

Iwan seketika menyela "Jadi ada yang masih hidup disana?"

Bapak itu hanya mengangguk. Tanpa pikir panjang, Iwan pun menyela kerumunan warga yang masih mencoba memadamkan api.

Val mengenggam erat pergelangan tangan Iwan "Heh, mau kemana lo, mau cari mati ya?"

"Iya dik, sayangilah nyawamu, pikirkan bagaimana kekhawatiran keluargamu." ucap seorang warga turut menahan

"Lalu apa? membiarkannya terpanggang hidup-hidup begitu saja? Tidak akan, seseorang harus menolongnya." Iwan mulai berlari menerobos api tanpa menghiraukan teriakan Val dan yang lainnya

"Maafkan aku...."

---•°•°•°•°•---

Ujian Nasional, masa-masa yang sulit bagi seluruh siswa akhirnya telah berlalu. Banyak siswa yang melonjak lonjak kegirangan sekaligus cemas setelah mengetahui nilai mereka diumumkan hari ini, mereka sudah menanti datangnya wali kelas mereka dengan penuh harap di kelas mereka masing masing.

Saat banyak siswa sibuk memrediksi nilai mereka, Pak Irfan -wali kelas sembilan c- masuk dengan menenteng tasnya dan menggenggam Stopmap berisi nilai seluruh siswa "Assalamu alaikum anak anak."

"Waalaikum salam pak." jawab seluruh siswa serempak

"Bapak yakin kalian sudah tidak sabar mengetahui nilai UN kalian, namun sebelum itu bapak ucapkan selamat pada kalian semua, karena tahun ini tidak ada yang tinggal sekolah." Irfan bertepuk tangan yang kemudian diikuti tepukan tangan para siswa

Josua menginterupsi "Ayo pak, langsung to the point aja, udah penasaran berat kami."

"Iya pak, biar bisa cepet pulang." tambah Mark

Para siswa perempuan pun menyahut serempak "Huuuu, dasar tukang bolos."

"Sudah sudah, bapak akan umumkan sekarang." tukas Irfan menengahi sembari membuka stopmap di genggamannya, suasana kelas senyap seketika.

"Abdan Rafif....Auriel Cassandra....Brian Gumilang....."
Irfan menyebutkan nama siswa beserta nilainya satu persatu lalu siswa yang disebut nilainya mengangkat tangan sebagai tanda hadir

"Iwan Sulistyawan...."

"Iwan tidak masuk pak." jawab Jefri cepat

Irfan menatap ke arahnya "Jefri tahu kenapa Iwan tidak masuk?"

Jefri tampak ragu menjawab, namun sekejap kemudian ia menghela nafas "Sebenarnya Iwan.."

---•°•°•°•°•---

.....ibuku dan Iwan kecelakaan San." tangis Mia pecah saat melihat Santi dan Pak Irfan yang menjenguk ke kamar rawat ibunya

Sebenarnya banyak yang ingin datang menjenguk, tetapi kamar rawat Yanti hanya kecil dan supaya tidak mengganggu pasien, jadi hanya dua orang yang masuk. Sementara beberapa teman lain memilih menjenguk Iwan, karena Iwan tidak ada yang menemani.

Santi mengelus punggung Mia halus "Nggak apa apa mi, semua akan baik baik aja kayak semula."

"Tapi..hiks..kenapa harus mereka sih...bu..kan aku aja."

Mia tak kuasa melihat kedua orang yang ia sayangi terbaring lemah.

"Sabar ya mi, kita nggak bisa merubah takdir, ini udah jadi ketetapan tuhan, jadi-

"Iya, aku tahu San, cuma gimana cara aku bayar biaya rumah sakit, tabunganku habis, bapakku belum pulang, jamkes atau BPJS nggak punya, ibu belum sadar, dan Iwan belum bisa lepas infus."

"Tenang mi, kami bakal bantu kok."

"Kami?"

"Maksudku seluruh warga sekolah."

Air mata Mia semakin deras "Makasih."

---•°•°•°•°•---

Empat minggu sudah terlewati, Iwan dan Yanti akhirnya bisa pulang dari rumah sakit. Terlihat Val dan Jefri membantu Iwan yang masih tertatih, sementara Mia menuntun ibunya.

"Mia maaf ya, aku jadi ngerepotin kamu, dan ngabisin seluruh tabungan kamu." ucap Iwan dengan suaranya yang serak

Val, Jefri dan Yanti memilih diam dan tidak menimbrung percakapan mereka. Sementara itu Mia masih menunduk.

"Aku janji bakal ngga-

Belum sempat Iwan menyelesaikan ucapannya, Mia sudah memotong "Nggak usah wan, kita kan sahabat, kita memang udah semestinya saling membantu."

"Nggak bisa gitu dong mi, itu kan uang yang udah kamu kumpulkan dengan susah payah."

Mia menatap Iwan tajam "Uang itu bisa dicari lagi wan meskipun habis, tapi persahabatan nggak bisa kembali sama kalau udah hancur."

"Iya kan?"

> End <

Aaaa....parah, parah, parah. Udah banyak, isinya cuman basa basi lagi, apalagi bagian akhirnya kayak dipercepat- hehe emang sengaja sih- karena kebanyakan. Maafkan daku ya..

Uuuuh nggak ada greget gregetnya sama sekali.

Yap udah deh penyesalannya, nggak ada gunanya juga.
Mau nggak dipublish tapi kok sayang kalo cuman jadi sampah di tablet. Ya gini deh...

Motivasi saya tetep publish ini nggak lain untuk membuat kalian yang ngerasa nggak bisa buat cerita, merasa lebih baik. Kegagalan jangan sampai membuat semangat berkarya kalian surut. Tendo yakin cerita kalian lebih baik kok dari cerita ini, jadi jangan merasa putus semangat ya!

5800+

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top