Delusi 1: Salah Sangka


Aku masih terduduk di tepian ranjang besarku, mengusap-usap mataku yang masih terpejam. Sedikit demi sedikit kubuka mataku ini sembari tangan kiriku berusaha meraih jam weker yang masih berdering.

"Mmmph..ya ampun...mana sih tombolnya?" gumamku sendiri

"Ah, ini rupanya."

Aku pun membuka mataku lebar lebar, kemudian beranjak dari tempat tidurku itu dan berjalan menghampiri sisir merah yang terletak di depan sebuah cermin besar tak jauh dari ranjangku. Perlahan kuluruskan kembali rambut panjangku yang berantakan ini sambil sesekali tersenyum sendiri menatap bayangan di depanku.

Kembali kulihat jam weker di meja, jarum detik yang tak henti hentinya berputar, kembali mengingatkanku akan waktu berharga yang tak akan terulang kembali dan peristiwa peristiwa pahit di masa lalu yang memaksaku untuk terus melangkah maju. Perlahan kulangkahkan kembali kakiku ini, menuju jendela yang berada di sudut ruangan, tanganku pun menyibakkan korden berwarna keemasan yang menutupinya dan membuka jendela kaca di belakangnya.

Semilir angin menyambutku, menerpa helaian helaian rambut ini, dan berbisik lirih di telingaku. Kulayangkan pandanganku ke langit, menatap sebuah bintang terang yang terletak nun jauh di sana.

" Tok, tok, tok."

Suara ketukan dari arah pintu kamar membuyarkan lamunanku, aku pun menoleh.

"Siapa?..ah, masuk saja pintunya tidak aku kunci." ucapku ke arah pintu

Pintu itu pun terbuka, menampakkan seorang wanita paruh baya berpakaian maid, ia membawa sebuah nampan berwarna silver yang di atasnya terletak sepiring roti isi dan segelas susu.

"Oh, rupanya Bibi Rena." ucapku ke arah wanita itu

" Iya Nona Yuuko, saya membawakan sarapan untuk nona."

"Loh, tidak biasanya, kenapa tidak disiapkan di meja makan saja, Memangnya dad pergi hari ini?" tanyaku heran

"Iya nona, Tuan Tora mendapat telepon kemarin malam, tuan ada urusan mendadak di luar negeri, sehingga sejak tadi pagi sudah berangkat." jawab Bibi Rena

" Oh, begitu ya, yasudah bi taruh saja makanan dan minuman itu di atas meja!"

"Baik Nona Yuuko, kalau begitu saya permisi dahulu." kata Bibi Rena sambil menaruh nampan itu di meja

"Iya bi silakan." balasku

Aku pun terdiam sejenak sambil kembali menatap langit.

"Hmm, jadi dad pergi lagi ya?...ah sudahlah, lebih baik aku segera mandi dan bersiap, ini kan hari pertamaku di kelas tiga."

♦ ♦ ♦ ♦

Mobil Ferari putih yang kunaiki melesat cepat membelah angin. Kulihat jam tanganku, disini masih tertera pukul enam kurang lima belas, tetapi sopir yang mengantarku sudah mengebut saja seperti aku akan terlambat sampai sekolah, dan selalu saja saat kutanyakan apa alasannya ia menjawab dengan kalimat yang sama seperti ini "Tentu saja saya melakukan hal itu agar nona tidak terlambat." Kalau rumahku jauh, mungkin itu bisa ku terima, masalahnya sekolahku hanya berjarak tiga kilometer dari rumahku, dan kecepatannya itu loh Sembilan puluh kilometer per jam, coba bayangin deh kalau aku naik motor, pasti sampai sekolah sudah masuk angin.

Beberapa menit kemudian, mobilku telah sampai di depan gerbang sekolah. Kulihat ke atas gerbang itu, disana terpampang sebuah papan nama besar berwarna biru metalik bertuliskan SMP GALAKSI lengkap dengan alamat dan nomor telepon dibawahnya yang berwarna kuning terang. Dengan rasa mual yang sedikit mengguncang perutku, aku keluar dari mobil dan mulai berjalan melewati gerbang itu.

Begitu aku melewati gerbang sekolah, satpam yang berada di sisi kiri gerbang langsung melontariku dengan sapaan hangatnya, aku pun membalasnya dengan sebuah senyuman manis.

Terus kulangkahkan kakiku hingga akhirnya sampai di lobby sekolah, tak lupa aku berhenti sejenak, sekedar untuk meninggalkan sidik jariku di mesin absensi yang tergantung di sisi kanan ruangan tak jauh dari pintu masuk lobby. Setelah yakin namaku telah tercantum disana, kembali ku langkahkan kakiku menuju ruang kelasku.

"Tap, tap, tap, tap."

Langkah kakiku terdengar menggema di sepanjang lorong penghubung kelas, memecah kesunyian di lorong panjang bertembok marmer ini, tiang-tiang penyangganya yang dibuat ala Yunani Kuno turut serta memantulkan setiap ketukan nada yang dihasilkan oleh sol sepatuku.

Sesampainya di persimpangan lorong, langkahku terhenti. Aku baru menyadari jika saat ini aku sudah naik ke kelas tiga, dan aku tidak tahu ruang kelas baruku.

Kulihat ke sekitarku, sejauh mataku memandang hanya kudapati lorong-lorong yang kosong, jadi kuputuskan untuk duduk di kursi panjang yang terletak tak jauh dari tempatku berdiri dan berpikir sejenak.

"Nggg, ah baru ku ingat, teman sebangkuku kan ketua kelas, pasti dia tahu dimana kelas barunya." batinku sambil meraih ponsel di saku kemejaku

Terdengar nada sambung di telingaku.

"Nuut, nuut, nuut, halo..Yuuko, ada apa sampai kau menelponku sepagi ini?" tanya orang yang ku telepon

"Kau ini bagaimana sih Teratai, basa basi dulu kek, salam misalnya." gerutuku

"Iya deh iya...ehem, selamat pagi Nona Yuuko, apa ada yang bisa saya bantu?" tanya teratai dengan nada sok lembut

"Selamat pagi juga Nona Teratai, saya hanya ingin bertanya, kelas kita sekarang dimana ya?"

"Ah itu ya, kelas kita sekarang berada di lantai satu ruang 3A Venus."

"3A Venus ya, baiklah terima kasih kalau begitu."

"Terima kasih kembali...nuut, nuut."

"Gheh, ditutup? huh, benar benar tidak sopan, kan aku belum selesai bicara."

"Ah sudahlah, lebih baik aku segera ke sana."

♦ ♦ ♦ ♦

Cahaya mentari yang terang menerobos masuk ke dalam kelas, melalui deretan jendela kaca transparan yang berada di sisi kiri ruangan. Suasana riuh dengan berbagai gelak tawa dan perbincangan sudah mendominasi kelas ini, namun langsung menjadi sunyi ketika Pak Leon, wali kelas kami, memasuki ruang kelas, beliau diikuti seorang anak laki-laki berambut hitam bermata cokelat terang, umurnyaaa? kurang lebih sama denganku (mungkin).

"Pasti murid pindahan." ucap Teratai tiba-tiba sambil menatap ke arahku

"Mungkin saja." jawabku singkat

Setelah sampai di mejanya, Pak Leon pun memersilakan laki-laki itu untuk memperkenalkan diri, laki-laki itu pun maju beberapa langkah dan mulai berbicara.

"Perkenalkan, nama saya Alexander Rei, saya baru pindah ke kota ini kemarin, karena urusan bisnis keluarga saya, sekian."

"Baiklah Alexander, kau dapat duduk di bangku kosong sebelah Thomas." Ucap Pak Leon sambil menunjuk ke bangku kosong di seberangku

Laki-laki bernama Alexander itu pun langsung berjalan tanpa suara dan duduk di bangku itu. Disana ia hanya diam dengan tatapannya yang serius mencermati pelajaran yang diterangkan oleh Pak Leon. Mungkin orang lain, termasuk Thomas di sebelahnya, tidak terlalu tertarik dengan adanya murid baru itu, sehingga kebanyakan dari mereka juga lebih fokus dengan pelajaran, tetapi aku tidak bisa menahan tangan dan mulutku ini untuk memperkenalkan diriku padanya. Aku pun menjulurkan tangan kananku ke arahnya.

"Ehm, hai Alexander...salam kenal, namaku Yuuko." ucapku sambil tersenyum

Sebenarnya aku berharap ia membalas dengan hal yang sama, tetapi ternyata ia hanya melirik tanganku, kemudian menatap wajahku sekejap dan menjawab tak lebih dari dua kata.

"Aku Alex."

Dan setelah mengucapkan kata itu, ia kembali fokus ke depan kelas, meninggalkan tanganku yang masih tergantung. Karena tidak ada respon lagi darinya, aku pun menarik kembali tanganku ini sambil tersenyum kecil. Namun dalam hatiku sebuah gunung berapi meletus dengan dahsyatnya, menyemburkan lahar panas dan batu yang membara.

"Alexxxxx..kau adalah orang paling menyebalkan yang pernah aku temui.....awas saja ya..aku tidak akan sudi bekerja sama denganmu." batinku sambil mengepalkan kedua telapak tanganku

"Teng...nong...neng."

Setelah empat jam pelajaran berlalu, akhirnya istirahat pun tiba. Seperti sebelumnya, ia berjalan tanpa suara, meninggalkan api amarah di hatiku yang masih bergejolak.

Sementara itu beberapa siswi lain yang ia lewati justru menjerit jerit tak karuan seperti:

"Kyaaa, Alexander keren ya."

"Oh pangeranku."

atau "Hah, andai saja aku belum punya pacar."

Kata-kata itu membuat daun telingaku semakin panas saja, seakan akan bakal hangus terbakar karena saking panasnya. Andai saja ruang kelas ini berada di lantai tiga, pasti sudah kulempar si Alex itu keluar jendela.

Aku menghela nafas panjang, sambil memejamkan mata dan mengelus elus dadaku, berharap kemarahanku ini dapat mereda, tetapi tiba-tiba Teratai yang berada di sebelahku justru bertanya.

"Psst, hei Yuuko kau kenapa? wajahmu merah loh, dan..ahh kau panas sekali, memangnya ada yang membuatmu marah lagi ya?" tanya Teratai sambil meletakkan telapak tangannya di keningku

"Apa, marah? tidak kok, aku tidak marah dengan siapapun." elakku

"Jangan coba bohong deh, lihat hidungmu tambah panjang lagi tuh."

"Kau kira aku Pinokio apa?"

"Hehehe, bukan sih tapi aku tahu betul dirimu itu."

"Memangnya kau tahu apa tentangku?"

"Hoo kau mengujiku ya? baiklah kalau begitu....nama Yuuko Imamura, umur 15 tahun, anak blasteran Jepang-Indonesia, anak tunggal sekaligus pewaris tunggal Tuan Tora Imamura, pengusaha terkaya nomor lima di dunia, warna kesukaan pink, makanan kesukaan Yakisoba, minuman kesukaan chocolate milkshake, hobi bermain musik dan jalan-jalan, ukuran sepatu 36, ukuran-

"Stopp, sampai disitu saja." potongku sambil meletakkan jari telunjukku di bibirnya

"Hoo, berarti kau mengaku kalah nih?"

"Iya deh, aku kalah."

"Oke, kembali ke topik utama, sebenarnya kamu marah sama siapa sih?"

"Issh, tentu saja dengan si murid baru itu."

"Maksudmu Alexander?"

"Memangnya siapa lagi?"

"Kenapa?"

"Ah, pokoknya dia menyebalkan, aku benci dia, titik."

"Loh, kan baru sehari dia masuk dan kau sudah membencinya?"

"Ya, dan akan seterusnya begitu."

"Hei jangan asal benci tanpa alasan begitu, kau kan belum tahu seperti apa dia, siapa tahu dia itu baik."

"Pokoknya Alex itu menyebalkan, titik."

♦ ♦ ♦ ♦

Jam istirahat pun berakhir, dan seluruh siswa (termasuk si menyebalkan itu) kembali masuk ke dalam kelas. Karena emosiku sudah sedikit reda, ketika ia lewat di hadapanku aku tersenyum agar tetap terlihat ramah di hadapannya, tapi........ia tidak menggubris senyumanku sama sekali.

"Dasar kau Alexx, kalau sudah kuratakan wajah datarmu itu baru tahu rasa kau." batinku

Jam pelajaran terasa semakin lama saja sejak si menyebalkan ini ada di kelasku, rasanya aku sudah tak tahan untuk pindah kelas, mungkin besok aku akan pindah ke bangku di pojok belakang sana, yeah paling tidak sedikit lebih jauh darinya.

"Teng...nong..neng."

Akhirnya, setelah bertahun tahun aku menunggu, bel pulang sekolah pun berbunyi. Setelah guru di depan meninggalkan kelas, seluruh siswa pun ikut berhamburan keluar. Kumantapkan setiap langkah kakiku ini karena mengingat peristiwa menyebalkan yang menimpaku hari ini, bahkan saat ku menatap langit cerah hari ini pun terasa seperti sedang mendung, lorong lorong serasa makin panjang, bahkan suhu udara pun serasa membakar tubuhku.

"Aaah, aku sudah muak melihat wajahnya." teriakku dalam hati

Aku pun berjalan keluar dari gedung sekolah, namun tidak melalui gerbang depan melainkan melalui gerbang belakang sekolah yang sedikit sepi, berharap mataku ini tak melihat wajahnya lagi. Aku terus berjalan hingga akhirnya sampai di gerbang belakang sekolah, agar tidak menunggu terlalu lama, aku pun segera mengambil ponsel di saku kemejaku, namun tiba-tiba seseorang membekap mulut dan hidungku dari belakang menggunakan sapu tangan basah. Pandanganku semakin berkunang-kunang dan kabur hingga akhirnya semuanya gelap.

♦ ♦ ♦ ♦

Seorang pria berperawakan tinggi menggendong tubuh Yuuko yang tak sadarkan diri, matanya tertutupi oleh kacamata hitam tebal dengan pakaian kemeja putih dengan jas dan celana panjang hitam. Pria itu menggendong Yuuko di pundak kanannya seperti karung beras, sementara tangan kanannya menahan tubuh Yuuko, tangan kirinya meraih ponsel yang berada di saku celananya, ia pun terlihat mengetik sebuah nomor lalu menghubungi seseorang.

"Tuan, saya sudah mendapatkan gadis yang tuan katakan."

"Apa kau yakin gadis itu mangsaku Hans?"

"Ya tuan, tertera nama Yuuko Imamura di seragam sekolahnya, wajahnya pun sama seperti foto yang tuan berikan."

"Bagus Hans, bawa gadis pewaris itu ke markasmu, perketat pengamanan jangan sampai dia melarikan diri."

"Baik tuan, lalu imbalan yang tuan janjikan bagaimana?"

"Bawa saja dulu gadis itu, nanti aku kirimkan seperlimanya melalui anak buahku."

"Baik dimengerti......cklik."

Pria itu pun menutup teleponnya, kemudian memasukkan Yuuko ke dalam sebuah mobil sedan berwarna hitam yang ia parkir tak jauh dari tempat itu dan berlalu membawa Yuuko pergi.

Sementara itu di balik tembok gerbang belakang sekolah, terlihat Alexander yang sedang mengintip, disebelahnya tergeletak sebuah sepeda gunung berwarna merah, rupanya ia telah ada di sana sejak Yuuko dibuat pingsan oleh pria itu.

"Eeh, gadis itu....mau dibawa kemana dia? Hmm, aku harus mengikutinya." gumam Alex

Secepat kilat, Alex mengayuh pedal sepedanya membuntuti mobil sedan hitam yang membawa Yuuko, namun mobil itu tak kunjung berhenti. Lama kelamaan nafas Alex semakin tersenggal-senggal, bahkan saat ini seragam sekolahnya telah benar-benar basah oleh keringatnya, sementara itu mobil yang ia ikuti belum juga berhenti dan semakin menjauh hingga menghilang dari pandangannya. Karena rasa letih yang sudah tak tertahankan Alex pun menghentikan kayuhannya dan duduk sejenak di pinggir jalan.

Alex menyeka keringat yang membasahi wajahnya, lalu mengambil botol air mineral yang tergantung di ranselnya.

"Gulp, gulp, gulp, gulp, ahh."

Ia meneguk sisa bekal minumnya dan meletakkan kembali botol itu ke ranselnya, setelah itu ia berdiri dan melihat ke arah jalan, namun yang ia lihat hanya pepohonan dan jalan yang kosong tanpa satu pun kendaraan yang melintas, bahkan rumah-rumah penduduk sudah jarang ditemui.

"Dimana aku? Issh...bahkan aku kehilangan jejak mobil itu." gumam Alex

"Apa aku pulang saja ya...ah tidak, gadis itu harus aku selamatkan, pasti ada jalan jika aku berusaha." gumamnya lagi

Alex pun melihat ke kanan dan kirinya, depan dan belakangnya, berharap ada sesuatu yang dapat ia gunakan untuk menemukan mobil itu, disaat harapannya mulai memudar ia melihat ke bawah, sebuah jejak tetesan benda cair terlihat memanjang lurus persis seperti arah mobil yang ia ikuti terakhir kali.

"Binggo." ucap Alex sambil tersenyum simpul

Segera ia menaiki sepedanya dan mengayuh pedalnya dengan cepat mengikuti tetesan itu.

♦ ♦ ♦ ♦

Aku membuka mataku, sekilas hanya terlihat bayang-bayang samar di depanku lama kelamaan terlihat jelas bahwa aku sedang berada di sebuah ruangan, ruangan kosong yang tidak terawat, dengan tembok tanpa jendela yang penuh coretan, dan lantainya yang tak berkeramik. Sedikit demi sedikit kuangkat kepalaku yang berat sembari mencoba menggerakkan tubuhku, tapi ahks...apa ini, tangan dan tubuhku terikat dengan kencangnya pada sebuah tiang besar di belakangku, aku tidak bisa bergerak.

"Sebenarnya dimana aku dan apa yang terjadi padaku?" batinku

"Errgh, ugh."

Aku meronta, berharap tali yang mengikatku menjadi lebih longgar sehingga aku dapat lepas, tetapi tiba-tiba kudengar suara seseorang dari belakangku.

"Hoo, rupanya Nona Yuuko sudah bangun ya, kalau begitu saatnya menelpon ayah." ucapnya

Aku pun terperanjat setelah orang itu menyebut namaku dan menyebut kata ayah, seketika itu pula ia menampakkan dirinya di hadapanku dari arah kanan belakangku, ia mengenakan kemeja putih dengan celana panjang berwarna hitam, sambil memamerkan senyum seringainya, ia mendekatkan sebuah ponsel ke telingaku.

Kudengar suara nada sambung dari ponsel itu.

"Nuut, nuuut, halo..siapa ini?"

"Dad? tolong Yuuko."

"Yuuko, apa itu kau, apa yang terjadi?"

"Aku-

Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, mulutku sudah dibungkam kencang oleh pria itu, dan ia pun mengalihkan ponsel itu ke telinganya.

"Selamat sore Tuan Tora."

"Siapa kau hah, aku mau bicara dengan puteriku."

"Siapa aku itu tak penting, yang penting jika tuan ingin puteri tuan tetap hidup, serahkan seluruh saham Anda ke rumah tua di Hutan Astana paling lambat besok pagi, jangan coba-coba meminta bantuan polisi jika Anda ingin tuan puteri ini tetap bernyawa...cklik."

Setelah selesai berbicara dengan dad, pria itu pun melepaskan telapak tangannya dari mulutku, lalu memegang erat rahang bawahku dan berkata.

"Jadilah gadis baik."

"Kau...kejam." ucapku

Namun ia tidak menggubris perkataanku sama sekali, ia hanya terus menyeringai ke arahku lalu keluar dari ruangan ini. Tak terasa pipiku telah basah oleh air mataku dengan nafasku yang mulai sesenggukan.

"Hiks, siapapun....tolong aku."

♦ ♦ ♦ ♦

Hari mulai malam dan semakin dingin, di ruangan ini aku hanya dapat menangis tanpa bisa berbuat hal lain. Harapanku pun semakin sirna seiring bertambahnya kegelapan dan kesunyian malam, dan di saat itulah aku mulai berdoa, ku kembali mengingat-Nya, berharap ada keajaiban dari sang penguasa semesta.

Dari dalam ruangan ini kudengar suara sorak sorai, bukan hanya dari satu orang melainkan banyak sekali, mungkin belasan. Mereka berpesta pora dengan suara musik yang cukup keras dan cahaya lampu kelap kelip yang dapat ku lihat dari celah pintu ruangan ini.

"Memangnya apa salahku dan dad hingga ada orang yang begitu membenci kami?"

"Hiks, lihat saja nanti, kalian pasti akan mendapat balasan atas seluruh perbuatan jahat yang kalian lakukan."

Kulihat cahaya purnama yang menembus ventilasi ruangan ini, suara binatang malam seakan menjadi sebuah obat penenang di telingaku, mengalir bagai sebuah untaian nada yang sedikit menghibur hati. Sekarang tak ku dengar lagi suara sorak sorai mereka, yang ku dengar hanya suara dengkuran yang semakin keras.

Karena yakin situasi telah tenang aku mencoba lagi untuk melepaskan diri, namun tak kusangka pintu di depanku justru terbuka, menampakkan seseorang berjaket biru tua tebal dengan masker menutupi sebagian wajahnya. Aku kira orang itu salah satu dari mereka, namun aku terkejut karena yang satu ini justru melepaskan ikatanku.

"Siapa kau?" tanyaku ke orang itu

"Itu tidak penting, yang penting sekarang kita harus menjauh dari tempat ini." jawab orang itu

"Di...dia laki-laki, oh pahlawanku." batinku sambil menahan senyum

Kami mulai mengendap-endap keluar dari rumah ini, melewati belasan penjahat dan botol minuman yang berserakan di lantai, mereka semua mabuk berat bahkan saat salah satu dari mereka terinjak olehku pun tetap tidak bangun. (Untung saja)

Setelah berhasil keluar dari rumah itu, tanganku ditarik oleh lelaki berjaket itu ke dalam hutan, saat merasa cukup jauh dari rumah itu, pikiran buruk menghampiri benakku, seketika aku pun menghentikan langkahku. Karena heran lelaki itu bertanya padaku.

"Ada apa?"

"Si..siapa kau sebenarnya, mengapa kau mengajakku ke hutan, jangan-jangan kau?"

"Heh jangan berpikir yang macam-macam ya, kau mau selamat tidak sih?"

"Tentu saja aku mau, tapi kenapa harus lewat hutan, kan bisa lewat jalan setapak."

"Kau ini berpikir tidak sih? Kalau kita lewat jalan setapak, saat mereka sadar kau hilang, mereka akan dengan mudah menemukanmu."

"Ah benar juga, lalu-

Belum sempat aku selesai bicara, laki-laki itu sudah melanjutkan langkahnya.

"Hei, tunggu aku."

Ia pun menoleh dan terdiam sejenak.

"Kau ini main ting-

"Psssst." potongnya

"Ada apa?"

"Anjing pelacak....lari!" perintah lelaki itu

♦ ♦ ♦ ♦

Kami berlari sekuat tenaga, menembus rimbunnya dedaunan dan semak belukar, nafas yang sudah terengah-engah tidak menghentikan langkah kami. Suara gonggongan anjing terdengar sudah semakin dekat dengan kami, disusul suara tembakan senjata api yang memecah keheningan malam. Namun ditengah semua itu langkah kami justru terhenti oleh sebuah tebing di depan kami, dibawahnya mengalir sebuah sungai besar yang gelap.

"Kemana lagi kita harus lari?" tanyaku panik

"Lompat ke sungai!" jawabnya

"Kau gila ya?"

"Dor, dor, dor."

"Swush, ahks.....cepat lompaat!" perintahnya sambil menarikku

"Kyaaaaa byurrr."

Kami berdua hanyut dibawa arus air, hingga akhirnya mendarat pada sebuah batu besar di tepi sungai, tak terlihat lagi para penjahat itu mengejar kami, sehingga aku dapat sedikit merasa aman. Dengan sedikit tenaga yang masih tersisa, kami pun menepi ke pinggir sungai, dan mencari jalan yang biasa dilewati kendaraan, ku dengar langkah kaki orang di sebelahku ini yang semakin pincang.

"Apa kau tidak apa-apa, kakimu keram ya?" tanyaku

"Ya."

"Apa mau aku bantu berjalan?"

"Tidak."

"Baiklah, terserah kau saja."

Setelah sekitar dua puluh menit berjalan, akhirnya kami menemukan jalan beraspal, kulihat ia duduk sambil meluruskan kakinya dengan punggungnya bersandar pada tiang lampu jalan, aku pun duduk tak jauh darinya.

"Ahks..." ucapnya tiba tiba sambil memegang erat kakinya yang pincang itu

"Kau benar tidak apa-apa?"

"Ya."

"Ah, sini biar aku lihat kakimu."

Ia pun menyingkirkan telapak tangannya, sebuah lubang dengan darah yang masih mengalir terlihat di betisnya.

"Kau tertembak?"

"Arggh..hatchuu"

"Huehh, masuk angin juga?"

Aku bertanya lagi kepadanya, namun tidak ada respon, lalu kulihat ke wajahnya.

"Halo.....eeh, dia pingsan."

"Aduh bagaimana ini? Apa aku teriak saja ya?"

"Toloong, toloong..." teriakku

♦ ♦ ♦ ♦

Telah satu jam aku berteriak minta tolong, namun rasanya usahaku sia-sia saja. Ku coba untuk menghubungi dad dan Teratai, namun sama saja disini tidak ada sinyal. Saat ini aku hanya terus duduk di pinggir jalan sambil sesekali melihat ke arah lelaki penyelamatku yang terbaring lemas itu. Nampaknya setelah ia bangun, aku harus sangat berterima kasih kepadanya, sebenarnya siapa sih ia? Kenapa ia rela menolongku? Berkorban demi diriku, orang yang mungkin tidak ia kenal, sampai ia terluka bahkan, namun ia masih saja ingin melakukannya? Hatinya benar benar seperti malaikat.

Aku kembali berdiri, menengok ke kanan dan kiriku, berharap setidaknya ada kendaraan yang kebetulan akan melintas di depanku. Saat ku tengok ke kananku, dari kejauhan terlihat dua cahaya terang yang menembus gelapnya malam.

"Mobil." gumamku sambil tersenyum

Mobil itu pun semakin mendekat ke arahku, dan aku pun mulai melambaikan tanganku ke atas sambil berteriak minta tolong. Mobil itu berhenti di depanku menampakkan catnya yang berwarna hijau tua bertuliskan "KEHUTANAN" di pintunya, dibelakangnya merupakan bak terbuka dengan belasan orang yang terborgol kuat.

"Eh, mereka kan penjahat yang menyanderaku, mereka sudah ditangkap? Kapan? Kenapa?" batinku

"Ah, tidak usah kupikirkan, toh pada akhirnya mereka juga ditangkap kan?"

Tanpa ku sadari, seorang bapak polisi sudah berdiri di sebelahku, Ia bertanya kepadaku.

"Ada apa nak?" tanya bapak polisi itu

"Tolong pak, kami tersesat dan teman saya- maksudku orang ini terkena tembakan senjata api."

"Benarkah? Kalau boleh tahu siapa yang menembaknya?"

"Kebetulan sekali orang itu sudah terborgol di bak belakang mobil bapak."

"Oh, begitu ya- ah maaf membuatmu menunggu, ayo masuk, bapak akan mengangkat temanmu ini."

"Baik pak, terima kasih."

Aku pun masuk ke mobil polisi, dan duduk bersebelahan dengan lelaki yang menolongku itu. Kini tudung jaketnya terbuka, memperlihatkan rambutnya yang berwarna hitam, aku hanya tersenyum sendiri melihatnya.Tiba-tiba pak polisi di sebelahnya bertanya kepadaku.

"Dia sahabatmu ya?"

"Ah bukan pak, namanya saja saya belum tahu, tapi orang inilah yang menyelamatkan saya dari para penjahat di belakang itu."

"Begitu ya, -ah lepaskan saja jaket basah dan maskernya itu, nampaknya ia sedikit sesak."

"Baik pak."

Aku pun membuka resleting jaketnya, namun saat kulihat pakaian yang ia kenakan di balik jaket itu aku terkejut.

"Eh, ini kan...seragam sekolahku, jadi orang ini juga bersekolah di sekolahku? Dan namanya....A..Alexander Rei.."

Karena tidak percaya dengan apa yang kulihat, aku pun membuka maskernya, dan seketika itu pula ia membuka matanya."

"Aaalex....k..kau Alex?"

"Ya."

Air mata ku pun berlinang dan seketika mengalir deras membasahi pipiku.

"Hiks..maafkan aku Alex, aku telah salah paham terhadapmu."

"Eh, apa ini a..aku tidak paham maksudmu."

"Aku kira kau adalah orang yang menyebalkan, karena tidak mau bersalaman denganku, tapi ternyata kau adalah orang yang paling perhatian denganku."

"Oh hanya itu ya."

"Ha..hanya itu? Tapi karena hal itu, aku hampir memusuhimu, membencimu, menginginkan hal buruk terjadi padamu, dan kau tak marah padaku?"

"Untuk apa aku marah, bukankah kau telah meminta maaf."

"Ta..tapi, kenapa kau rela melakukan semua ini untukku, berkorban sebanyak ini untukku, bahkan hingga dirimu sendiri terluka, untuk orang yang baru satu hari kau kenal, kenapa?"

"Apakah harus ada alasan untuk menolong seseorang? Apa harus mengenal orang itu dahulu untuk kau tolong? Aku hanya melakukan apa yang mampu ku lakukan, membantu orang yang sekiranya membutuhkan pertolonganku, tak peduli siapa orang itu, asalkan untuk perbuatan yang baik akan aku bantu semampuku."

"Hiks...terima kasih..Alex."

"Nah, karena kesalahpahaman ini karenaku, aku minta maaf kepadamu atas segala kesalahan yang pernah ku lakukan, dan agar tidak terjadi lagi apakah kau mau menjadi temanku?" ucapnya sambil tersenyum manis ke arahku

"Te..tentu saja aku mau." jawabku sambil tersipu malu

Kyaa, aku rasa wajahku mulai memerah dan kenapa jantung ini berdebar kencang? Senyuman dari bibirnya itu adalah senyuman paling manis yang pernah kulihat, kurasa aku akan terkena diabetes jika terus melihatnya,hihihi.

"Ehem."

"Eh, maaf pak polisi jika saya mengganggu konsentrasi Anda."

Entah kenapa setelah mendengar perkataanku, Alex dan pak polisi jadi melihat ke arahku dan terdiam sejenak, namun setelah itu kami bertiga justru tertawa lepas.

Sejak saat itu, aku dan Alex menjadi teman- ah lebih dari itu, kami menjadi sahabat. Tak kusangka, ternyata orang yang sebelumnya ku benci justru menjadi sahabat terdekatku, dan darinya aku belajar banyak hal, emosiku pun akhirnya dapat ku kendalikan setelah bersahabat dengannya. Yeah, walaupun sifatnya yang pendiam dan irit bicara itu masih saja melekat pada dirinya, tapi aku saaaangat bahagia karena mendapat sahabat yang sangat perhatian sepertinya. Kelanjutannya? Rahasia okee. ; )

3850 words

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top