Unexpected Visit
Disclaimer: Naruto belong to Masashi Kishimoto.
A/N: refrensi werewolf diambil dari Teen wolf.
Oneshot. (Fic ini udah lama nongkrong di draft, tapi karena saya pelit/? Jadi disimpan sampai sekarang. Karena saya merasa profil saya akhir-akhir ini begitu kosong, jadi saya upload fic ini untuk mengisi yang kosong haha)
Warning! Fic ini mengandung tema gelap. Somnophilia dan dub-con.
Penjelasan fic yang membingungkan, namun saya senang para pembaca harus membuat deduksi dari setiap petunjuk yang saya tinggalkan dalam sebuah cerita.
Edit II: 21 Oktober 2019 reuplod dalam rangka saya mengenang kematian Naruto. (Sorry, jangan ada yang tersinggung. Saya tidak berniat buruk)
----------------
Panas. Kenapa semuanya terasa panas?
Hidung mampet. Suara serak. Kepala sangat pening. Siksaan macam apa ini?
Semuanya terasa tak menyenangkan.
Bagi Namikaze Naruto, seorang single parent dari satu putra, sakit adalah hal jarang. Anomali.
Jika ia sakit maka sakitnya akan parah. Bukan parah seperti penyakit yang mampu menyebabkan kematian, namun lebih kepada kadar sakit yang berlebih.
Seperti flu yang tidak akan sembuh dalam tiga-empat hari hanya dengan minum obat dan istirahat. Naruto akan sakit flu selama seminggu penuh. Disertai demam tinggi yang membuat pria tampan itu tak dapat melakukan apapun selain berbaring di tempat tidur.
Sama halnya dengan saat ini.
Pria yang baru berumur tiga puluh delapan tahun itu tengah bergelung di dalam selimut tebal berwarna merah pemberian kakaknya -- Kurama.
Kurama dan Naruto adalah dua penerus terakhir keluarga Namikaze. Mereka berasal dari keluarga kaya. Kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan pesawat.
Uang dari warisan serta asuransi milik kedua orang tualah yang menopang kedua remaja itu. Padahal mereka baru menyelesaikan pendidikan.
Keduanya sempat terpuruk karena hanya tinggal berdua saja di dunia, tapi yang pertama bangkit adalah Kurama. Anak pertama dari Namikaze itu tak membiarkan adiknya menjadi antisosial dan 'pertapa'.
Selama berbulan-bulan Naruto melarikan diri dari rumah besar Namikaze dan menyewa apartemen kecil. Sedangkan Kurama mengambil alih usaha ayahnya dengan bantuan tuan Hatake -- tangan kanan sang ayah.
Kurama yang saat itu baru berumur dua puluh tahun harus mengemban tugas berat, namun ia tidak pernah lupa mengenai Naruto.
Ketakutan akan masa depan adiknya membuat Kurama mengambil keputusan.
Sulung Namikaze menyeret adiknya keluar dari apartemen kecilnya dan kembali ke rumah besar mereka.
Dengan bujukan dan sedikit ancaman, Kurama berhasil membuat Naruto memasuki dunia kuliner. Berguru pada para ahli masak dan bersekolah ke jenjang yang tinggi. Sertifikat atas keberhasilan sang adik dengan bangga Kurama pajang di dinding rumah.
Jalur kuliner sepertinya memang menurun pada Naruto, karena ibu mereka pun seorang chef.
Setelah belajar selama tiga tahun, Kurama melihat adiknya mendambakan keluarga besar. Sayangnya, Naruto takut memasuki dunia komitmen. Ia pun membantu sang adik membuat keputusan.
Surogate mother service.
Menggunakan jasa itu dan ditopang dana besar dari uang keluarganya, Naruto akhirnya memiliki satu anak laki-laki yang diberi nama Boruto.
Naruto vakum dari pembelajarannya hanya untuk menikmati status sebagai single parent. Kurama pun akhirnya bisa merasakan sebuah keluarga yang bahagia seperti dulu. Meski tak sempurna, namun ini lebih dari cukup.
Naruto begitu menyayangi Boruto. Begitu pun Kurama.
Setelah Boruto mulai memasuki jenjang pendidikan, maka Naruto pun mulai kembali mendalami dunia kuliner.
Sekarang kehidupan Naruto sudah sangat nyaman. Boruto anaknya telah memasuki dunia perkuliahan.
Anak semata wayang itu memilih bersekolah di luar Konoha. Karir Naruto pun mulai menanjak setelah lima tahun membangun citra restorannya sendiri -- 'Clover'.
Naruto berbaring tenang. Sup ala kadar rasa kebanyakan garam buatan sang kakak tergeletak di meja samping tempat tidur, tak tersentuh. Beginilah nasib seorang bujang lapuk. Di umur empat puluh masih menyendiri.
Meski karir dan kehidupan Naruto mapan, namun ia masih enggan memilih pasangan hidup. Ia jadi tak terurus begini. One night stand miliknya memang banyak, namun tak ada yang serius.
Naruto sudah tiga hari terserang flu. Demam tingginya tak kunjung turun. Kepalanya berdenyut sangat menyiksa. Meski tubuhnya terasa panas, namun ia tetap mengenakan kemeja putih berbalut sweater tebal berwarna merah. Untuk lebih cepat berkeringat menurut Kurama.
Ruangan yang Naruto tempati saat ini didominasi oleh warna merah. Semua berkat Kurama yang mengambil hak leluasa untuk mendekor ulang kamar tanpa kehidupan milik Naruto dengan warna nyentrik.
Selimut merah, sarung bantal merah, sprai merah, sweater merah, bahkan gorden pun berwarna merah.
Sialnya, Naruto tidak bisa melakukan apapun selama sakit. Bergerak ke kamar mandi pun sulit. Naruto benci ketika ada orang asing masuk ke rumahnya, karena itu yang dapat merawat sang pirang hanya Kurama saat ini.
Jujur, Naruto merindukan Boruto yang kini telah berumur lebih berapa bulan dari tujuh belas tahun. Anaknya itu sangat perhatian dengan Naruto. Tanpa kehadiran kekasih pun ia baik-baik saja karena memang Boruto telah mengambil alih seluruh perhatiannya.
Bicara mengenai Boruto membuat Naruto rindu akan anaknya.
Bel berbunyi keras. Membuat kepala Naruto makin berdenyut. Apartemen mewah miliknya hanya memiliki dua copy slide key card; untuk Kurama dan Boruto.
Jika itu Kurama atau Boruto, keduanya pasti sudah masuk seenaknya. Siapapun di luar sana pasti bukan kenalan Naruto. Karena pria tampan ini termasuk orang yang tertutup.
Pengeras suara yang terhubung dengan interkom di luar pintu apartemen ber-buzz pelan sebelum suara panik anaknya terdengar.
"Papa! Papa baik-baik saja kan? Papa tidak mati di dalam sana kan? Buka pintunya, pa! Aku lupa membawa slide card cadanganku karena terburu-buru! Papa!"
Naruto mengerang pelan.
Kenapa anaknya itu masih ceroboh seperti dulu? Padahal Boruto pasti ingat jika papanya sakit maka ia tidak akan bergerak dari tempat tidur.
Naruto memaksakan diri menuruni ranjang. Selimut tebal pemberian kakaknya masih membungkus tubuhnya dengan erat.
Napas Naruto terengah.
Kurama sengaja menaruh Naruto di kamar tamu dekat dengan ruang depan. Agar jika hal seperti ini terjadi maka Naruto tidak perlu berjalan jauh. Kamar sang pirang ada di lantai dua, hal itu juga menjadi pertimbangan Kurama karena dapur berada di lantai satu.
Tubuh Naruto bergetar. Langkahnya bagai siput. Bunyi bel masih berdering kuat.
"Pa!"
Suara dari interkom berbunyi keras. Suara besar remaja tanggung itu sangat memekakkan telinga Naruto yang sensitif.
Akhirnya dengan perjuangan penuh, Naruto mampu mencapai pintu depan. Dengan tangan basah karena keringat, Naruto mulai menekan tombol di panel kendali yang ada di samping pintu. Monitor kecil yang ada di panel itu menunjukan wajah anaknya.
Tiba-tiba raut wajah Naruto berubah. Seorang yang mungkin lebih tua dua atau tiga tahun dari Boruto berdiri di samping remaja tanggung itu. Naruto semakin mengerutkan dahi ketika melihat pemuda berambut emo tengah menatap kamera cctv yang terhubung ke panel kendali. Seolah mengetahui jika Naruto sedang melihat dirinya.
Naruto menekan tombol open. Pintu besi berwarna mahoni itu mengeluarkan bunyi 'klik' sebelum anak hiperaktifnya membuka terlalu keras pintu tersebut.
Naruto tersenyum lega melihat anaknya. Boruto mengenakan kaus lengan panjang berwarna hitam. Begitu melihat Naruto yang bersender lemas di dinding, anak dengan rambut pirang bergaya jabrik itu segera memeluk papanya.
"Syukurlah, Papa masih hidup."
Naruto mendengus pelan mendengar anaknya. "Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah seharusnya kau sedang kuliah?"
"Dia membolos," suara asing kembali menyadarkan Naruto jika anaknya datang tidak sendirian. Naruto memasang senyum dipaksakan. Mungkin anak ini adalah teman Boruto, Naruto harus bersikap ramah kepadanya.
"Kau pasti teman Boruto, maaf harus merepotkanmu," Naruto berucap terengah. Peluh mulai membanjiri wajahnya.
"Apa yang kau lakukan Boruto. Ayahmu harus istirahat," anak baru itu menggunakan nada perintah yang membuat Naruto tak senang. Anehnya, Boruto menurut begitu saja. Anak semata wayang Naruto itu menopang tubuh sang papa. Menggiring papanya menuju kamar tamu.
Naruto mengerang lelah ketika tubuh berselimut merahnya terbaring di ranjang. Kepalanya berdenyut sakit, hidung pun terasa seperti terbakar dari dalam.
"Tidurlah, pa. Aku akan mengurus semuanya."
Naruto menuruti saran anaknya. Boruto pernah merawat dirinya yang terkena flu dulu, jadi remaja tampan itu tahu apa yang harus dilakukan.
"Kenapa kamar papa bernuansa merah?"
Pertanyaan anaknya tak Naruto ladeni. Matanya terlalu berat untuk bangun. Kemudian ia jatuh tertidur begitu saja.
.
Saat kesadaran mulai menghampiri Naruto, yang pertama dilihatnya membuat ia mengerjapkan mata beberapa kali. Wajah teman anaknya itu kini diasi oleh guratan hitam yang terlihat berdenyut dari leher menuju dahinya.
Wajah remaja berkulit putih pucat berada di depan area pandang Naruto. Untuk sesaat warna mata anak tersebut berkilat merah.
Ia mendengar Boruto memanggil nama 'Sasuke' sebelum Naruto kembali tertidur.
.
"Hey, Naruto. Kau harus makan," suara baritone Kurama terdengar dibarengi tepukan di pipi.
Rasa pening dan sakit di tubuhnya mulai berkurang. Naruto mengerjapkan mata.
Kurama memberi adiknya sebuah senyuman. "Aku tahu makananku tidak enak, tapi kau harus makan. Boruto dan temannya sedang keluar."
Naruto mengerutkan dahi. Apakah tadi anaknya ada di sini?
"Boruto?" tanya Naruto dengan suara serak. Kepalanya berdenyut sakit membuat ia meringis. Kurama segera membantu adiknya untuk bangkit. Setelahnya ia memberi beberapa bantal di punggung Naruto sebagai sanggahan.
"Aku memberitahu kondisimu. Dia akan marah jika tahu kau sakit dan tidak memberitahunya," suara Kurama terdengar samar.
Naruto mengangguk kecil. Kurama dengan perhatian merawat adiknya. Satu tangan dingin menempel pada dahi yang panas. Guratan kekhawatiran kembali muncul pada wajah sang kakak.
"Demammu belum turun. Lebih baik kita ke rumah sakit." Kurama memilih duduk di samping Naruto. Ia mengambil semangkuk sup yang tersedia di meja samping tempat tidur.
"Tidak perlu. Aku akan baik-baik saja," tolak Naruto. Matanya menutup. Tubuhnya memang lemas, namun sekarang jauh lebih baik. Ia dapat bicara dengan lugas dan sadar sepenuhnya.
"Buka mulutmu."
Naruto menurut, membuka sedikit bibirnya demi memuaskan Kurama. Sesendok sup hangat memasuki mulut. Meredakan sedikit serak pada tenggorokan. Meski sup tersebut tak memiliki rasa apapun.
Setelah suapan kelima, Naruto menelengkan kepala menolak sup yang akan ditawarkan. Kurama mendesah lelah, namun ini lebih baik dari kemarin. Ia menaruh mangkuk demi mengambil segelas air putih dan obat.
Naruto masih menurut dan meminum obatnya. Setelah beberapa menit, ayah dari satu anak itu kembali tertidur.
.
Naruto merasa ada yang aneh. Tubuhnya digerakkan. Hawa dingin menyentuh dada panasnya. Manik biru perlahan mengerjap. Merasakan sesuatu yang solid ada di belakang punggungnya.
Warna kuning adalah hal yang pertama Naruto lihat. Kemudian wajah penuh senyum dari Boruto.
"... B'uto," gumam Naruto tak jelas.
Seseorang mengusap helaian pirang Naruto yang basah. Lehernya disanggah hingga tanpa sadar ia mendongak. Bertemu pandang dengan wajah asing.
"Apa dia selalu seperti ini saat sakit?" suara asing bertanya begitu jelas di telinga Naruto. Tangan sang ayah berusaha menepis wajah putih yang dekat dengannya.
Sesuatu yang dingin dan basah menyentuh dada Naruto, membuatnya mengerang. Ia menilik sekilas. Mendapati Boruto tengah mengelap tubuh panasnya dengan handuk basah.
Wajah asing kembali muncul pada area pandang Naruto. Tanpa mengatakan apapun hidung keduanya berselisih. Napas hangat saling bertukar. Aroma mint menyegarkan membuat rasa kantuk Naruto menghilang. Sentuhan lembut menggores bibirnya yang sedikit terbuka.
"Hentikan itu Sasuke!"
Wajah asing menjauh. Untuk sesaat Naruto seperti melihat warna merah berkilat pada mata teman Boruto.
"Ambilkan pakaiannya," nada perintah terdengar tegas dari pemuda yang menyanggah tubuh Naruto.
Setengah sadar Naruto melihat Boruto pergi.
"Aku akan mengurangi rasa sakitmu. Cepatlah membaik," bisik pemuda di belakang Naruto. Si pirang mendongak lelah, melihat gurat hitam seperti nadi yang berdenyut menutupi leher sampai kening dari pemuda tersebut.
Rasa pusing berkurang drastis. Naruto merasa seperti mengambang. Nyeri dan mual menghilang. Dengan penasaran ayah berumur empat puluh itu menangkup wajah aneh teman Boruto.
"Apa ... yang kau ... lakukan?" tanya Naruto terpotong-potong.
Wajah tampan bergurat nadi hitam kini tersenyum. Bibir dingin menyentuh kening basah Naruto. "Kau adalah bagian kami yang terpenting."
Naruto tak mengerti sama sekali riddle apa yang diucapkan pemuda tersebut.
Boruto datang membawa piama, namun anak Naruto itu terhenti di ujung tempat tidur. Keraguan menghiasi wajah tampan pemuda tanggung.
"Apa kita akan melakukannya, Sasuke?" suara Boruto sangat tak yakin. Tak terganggu pada pemandangan ayahnya yang telanjang tengah dipeluk oleh temannya sendiri.
"Apa kau ingin menyempurnakannya, Boruto?" tanya pemuda di belakang Naruto.
"Aku .... aku bersyukur kau menyelamatkan nyawaku, tapi dia juga ayahku."
"Hm."
Naruto makin tak mengerti. Saat warna hitam dari wajah teman Boruto menghilang, rasa sakit menyerangnya kembali. Membuat Naruto mengerang pelan.
"Kau yang ingin menjadikannya sebagai milikmu, Boruto. Instingmu masih terlalu baru, karena itu aku di sini untuk mengendalikanmu. Kemari."
Naruto dibaringkan kembali di atas ranjang. Tubuh telanjangnya mulai tak nyaman. Kepala pun berdenyut sakit.
Sesaat kemudian wajah Boruto tenggelam pada ceruk leher Naruto. Jelas sang anak tengah mengendus tubuh ayahnya.
Di ujung pandangan mata Naruto, ia melihat teman Boruto kini duduk di dekat kakinya. Tangan dingin memijat betis Naruto.
"Papa. Aku ---"
"Dia adalah milikku juga Boruto. Aku mengizinkanmu menyentuhnya untuk menyempurnakan ini. Jangan membuang waktu."
Boruto menggeram. Kedua tangan memeluk erat pundak sang ayah. Manik biru bertemu pandang manik emas. Alis Naruto bertaut, sejak kapan warna mata Boruto berubah?
Naruto terlonjak terkejut saat sesuatu mengusap rektumnya. Ia berusaha lepas dari pelukan Boruto, namun sang anak masih mengusapkan wajahnya dengan wajah papa.
Darah seperti menggumpal di kepala Naruto. Membuat ia makin pusing dan pandangan mengabur. Untuk sesaat Naruto tak sadarkan diri.
.
Naruto mengerang tak nyaman. Tubuhnya terasa sangat panas. Pikirannya kacau. Sesuatu yang membuat nyeri menyerangnya.
"Mmm ... a--" Naruto tak dapat melanjutkan ucapannya. Ia terlonjak kaget melihat teman Boruto berada di bawah tubuhnya. Atau lebih tepat jika mereka berdua tengah menempel. Dada bertemu dada. Bibir Naruto menggores bibir si pemuda raven.
"Ngh!" Manik biru makin melebar. Keringat membasahi tubuh. Pandangan kabur berputar di area penglihatan Naruto. Sesuatu tengah berusaha memasuki rektumnya yang terasa penuh.
Naruto ingin berucap, namun ia tak dapat melakukan karena otaknya belum memproses apa yang terjadi. Tubuhnya masih demam tinggi.
Tangan Naruto bergerak ke belakang. Berusaha mencari tahu apa yang terjadi. Jemari dari pria empat puluhan itu menyentuh sesuatu yang kini mengisi rektumnya.
"Papa," Boruto memanggil pelan. Tangan sang anak menggeser jemari ayahnya. Mengganti dengan jarinya sendiri untuk ikut masuk pada area yang telah terisi penuh.
Napas Naruto tercekat. Manik membelalak menatap pada pemuda emo yang menatap lembut pada Naruto. Tubuh mereka yang saling menindih membuat spekulasi bekerja di otaknya yang seperti terbakar.
Wajah memerah akibat suhu tubuh yang tinggi ditambah hasil spekulasi mengenai kondisi ini membuat Naruto seperti kepiting rebus.
"Ka--kalian," ucap Naruto dengan terkejut. Tangan yang bagai jelly kini berusaha untuk menopang bangkit.
Dua pasang tangan melingkar pada pinggang dan dada Naruto. Menahan pergerakan sang ayah.
"Papa, dia adalah Alpha kami. Yang menyelamatkanku. Yang akan menjadi ayahku," bisik Boruto.
Naruto merasa berat. Tubuhnya tertindih di antara si raven dan Boruto. Sesuatu yang keras dan hangat masih mengisi rektumnya.
"Ssst."
Pemuda raven melepaskan pegangan untuk menarik belakang kepala Naruto. Menaruh wajah si pria pirang pada pundaknya. Kemudian ia mengusap punggung panas Naruto.
"Lanjutkan Boruto."
Nada perintah tegas itu lagi. Naruto tak senang ada yang mengatur anaknya selain dirinya.
Rasa panas akibat demam dan dua tubuh yang menempel padanya, membuat Naruto tak nyaman. Sekali ia sakit, tubuhnya akan selalu tak berguna.
"Ngh!" Naruto membelalak, tubuh menegang. Ia ingin menengok ke belakang, namun tangan di kepalanya menahan untuk tetap bersandar di pundak sang raven.
"Rileks." Nada perintah yang sama.
Naruto tak dapat rileks. Tubuhnya yang sakit kini makin parah dengan sensasi seperti dibelah. Ia yakin rektumnya mengeluarkan darah.
Rasa sakit akibat sesuatu berusaha memasuki rektumnya yang telah penuh, membuat Naruto tak sadarkan diri kembali.
.
Naruto mengerang dalam kondisi tak sadarkan diri. Tubuh terlonjak akibat dua orang yang terlalu bersemangat mengejar sensasi bagai ekstasi. Sesekali satu di antara mereka akan terdiam melihat pinggiran rektum yang membengkak mengelilingi dua kejantanan mereka.
Mereka sering bertukar posisi, namun Naruto masih berada di tengah.
Bagaimanapun posisi yang digunakan, si raven akan memonopoli wajah Naruto. Mengusap dan mengecup kening.
.
Naruto terbangun. Memandang sekitar dengan takut. Jantung berdetak kuat.
"Akhirnya kau bangun, Naruto."
Sepanjang hidup Naruto, baru kali ini ia benar-benar senang mendengar suara kakaknya.
"Kurama."
Sang kakak menaikan alis mata melihat Naruto membeku di atas ranjang. Ia segera mendekat dan mengusap dahinya.
"Demammu telah turun. Semalam kau benar-benar mengkhawatirkan."
Naruto melihat sekitar. Ia masih di kamar tamu. Nuansa merah pilihan sang kakak membawa ketenangan padanya.
Si pirang tersenyum kecil. "Aku haus."
Kurama segera mengambil segelas air. Membantu adiknya minum kemudian membetulkan posisi Naruto.
"Di mana Boruto?" tanya Naruto ragu.
Kurama tersenyum lebar. "Anakmu sedang belajar di luar bersama temannya. Aku memesan makanan. Kali ini kau harus habiskan sup yang kubeli."
Naruto tersenyum kecil kemudian menyamankan diri. Mungkin tadi hanya mimpi buruk. Ia tak merasakan sakit di area bawah tubuhnya. Hanya kepala yang pening. Lagipula ada Kurama di sini, tak mungkin hal tak masuk akal tadi adalah kenyataan.
"Papa!"
Boruto langsung masuk dan berniat untuk menengok sang ayah, namun Kurama lebih dahulu memaksa Boruto ke dalam pelukannya.
"Apa kau tak ingin memeluk pamanmu sebagai rasa terima kasih karena telah merawat papamu?" tanya Kurama dengan gemas. Mengacak rambut pirang Boruto.
" .... terima kasih," gumam Boruto dalam pelukan Kurama. Membuat Naruto melebarkan senyumnya. Mereka belum berubah.
"Apa kita akan makan malam?" suara asing yang kini familier membuat jantung Naruto berdegup. Pemuda raven berdiri di ambang pintu. Mata hitamnya menatap khawatir pada Naruto.
"Oh benar, kalian belum makan sejak datang. Naruto aku akan membawakan supmu setelah membereskan bocah-bocah ini," ucap Kurama sembari melepaskan Boruto.
Naruto mengangguk.
Kurama dan Boruto beranjak pergi.
Tak ada yang aneh di sini. Mungkin, benar yang tadi itu hanya sebuah mimpi buruk.
Mana mungkin Boruto melakukan itu padanya.
Dan tidak mungkin orang yang memandang begitu khawatir pada Naruto akan mengizinkan orang lain menyentuhnya.
.
Yang membawakan sup bukanlah Kurama. Bukan juga Boruto. Melainkan si raven.
Naruto berusaha untuk duduk. Ia tak pernah nyaman jika ada orang asing di rumahnya. Pada teritorialnya.
"Boruto memintaku mengantarkan ini."
Naruto mengangguk. Tangan menjulur untuk menerima mangkuk yang dibawa. Ia segera menyendok sup. Tak terasa begitu lahap ia makan.
"Namaku Sasuke."
Naruto menghentikan pergerakannya. Ia menatap manik hitam yang sejak tadi memandang lekat.
"Oh," jawab si pirang lelah. Entah kenapa ada perasaan aneh saat si raven--Sasuke di sini. Sesuatu yang tak pernah muncul sebelumnya.
Sebuah tangan mengusap kepala Naruto. Membuat pria empat puluh tahun itu terkejut. "Cepatlah membaik."
Jantung Naruto berdetak makin cepat. Rasa nyeri tiba-tiba muncul di pundaknya. Untuk sesaat ia melihat Mata hitam Sasuke berubah merah. Membawa tremor ke seluruh tulang sang pirang.
Sasuke hanya tersenyum. Memperlihatkan taring yang lebih panjang dari manusia normal. Hidung mancungnya mengendus udara. Ia kembali menarik tangannya dari puncak kepala Naruto.
"Aku akan menjelaskan semuanya nanti."
Satu kalimat yang membingungkan diucapkan Sasuke sebelum ia beranjak pergi.
.
End
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top