Delapan/1-Sekolah

Helloooooo👋 sebelum baca tolong tinggalin vote dan komen ya, hargai aku plis :(((

𝘚𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘊𝘢𝘳𝘮𝘦𝘭?
-Radel

DALAM mobil Radel cuma memandang gedung sekolahnya dengan malas. Ah ... kalau bukan karena pindahan mendadak yang mamanya rencanakan tidak mungkin dia menekuk wajahnya sekarang. Cuma karena masalah, mereka melarikan diri seolah bisa lupa.

Bodoh!

Bagaimana bisa masalah besar seperti itu dilupakan. Radel tak segampang itu menyepelekan kejadian. Apalagi yang berdampak besar pada ingatan.

Sekolah baru, lingkungan baru, teman baru, Radel merasa terjebak dengan itu. Padahal dia sudah sangat nyaman dengan sekolahnya yang dulu. Tapi, untuk kesekian kalinya Radel tak bisa menolak perintah sang Mama.

"Kamu dengar yang mama katakan kan Radel?"

Radel dituntut untuk bersikap sopan. Sampai dia sekarang harus menahan diri untuk tidak memutar bola matanya malas. Dia sudah sangat hafal yang Ara katakan. Peraturan-peraturan wanita karir itu buat seperti; tepat waktu saat pulang sekolah maupun les, selesai makan malam jam tujuh langsung ke kamar buat belajar, dan ... jangan dekati cowok manapun.

Hidupnya sangat monoton tentu saja. Ya ... sejak kejadian itu.

Menyedihkan!

"Kamu denger kan Dela?" ulang Ara setelah tak mendapatkan respon. Radel mau tak mau menoleh pada mamanya dan raut keras itu sangat menuntutnya untuk mengiyakan semua perkataannya.

"Radel denger, Ma." Karena tentu saja, mamanya punya kartu as dengan sengaja memanggil nama itu untuk mendapatkan keinginannya.

"Bagus," komentarnya. "Jangan lupa untuk telepon temen SD kamu, siapa namanya?"

"Jovita."

"Oh iya, Jov." Mamanya mengangguk. "Kamu beruntung karena seenggaknya kamu punya temen di sini."

Radel tak mengatakan apapun lagi. Setelah mendengar petuah mamanya sekali lagi, dia turun dari mobil. Berada di satu ruangan dengan Ara, sungguh menguras emosi. Dia berjalan di lobi sambil menempelkan ponsel di telinga. Menunggu panggilannya tersambung oleh sahabat SD-nya itu.

Ara benar. Dia masih beruntung karena di tempat asing ini dia tak benar-benar sendirian. Sebenarnya dia sama sekali tak menyangka jika dia akan satu sekolah dengan Jovita. Apalagi mereka telah berpisah bertahun-tahun lamanya.

Namun, dua hari kemarin dia tak sengaja bertemu perempuan itu di jalan. Sesuatu yang sungguh mengejutkan hingga mereka memutuskan untuk bertukar nomor ponsel. Karena lagi terburu-buru, Jovita tak bisa menyempatkan diri mengobrol dengannya.

Sampai akhirnya dia tahu kalau Jovita bersekolah di tempat yang Ara daftarkan.

"Radel!" Panggilan itu membuat Radel menurunkan ponsel lalu menoleh. Melihat bagaimana perempuan bercepol itu berdadah senang, dengan tak sabarnya Radel berjalan mendekat yang langsung disambut pelukan.

"AAAAA! GILA-GILA!" Jovita berteriak dengannya yang melompat-lompat girang. Tak memedulikan bagaimana lobi yang ramai. "Wah gokil gak sih, kita satu sekolah lagi!" Radel tertawa saat Jovita sedikit mengurai sedikit pelukan untuk menatapnya.

"Inget ya janji lo, lo harus bawa gue ngiterin satu sekolah ini," ucapnya mengingatkan. Yang diangguki langsung tentu saja oleh cewek bermata biru itu.

"Pokoknya lo gak bakal nyesel deh sekolah di sini."

"Oh iya?"

"Iyalah, temennya gokil-gokil. Lo satu kelas sama gue kan?"

Radel mengangguk.

"Parah gak sih, kita hampir empat tahun gak ketemu, sekalinya ketemu satu sekolah terus sekelas lagi."

"Iya, gue masih gak percaya itu."

Senyum Radel makin lebar kala Jovita merangkul bahunya. "Hm oh iya," alisnya jadi terangkat melihat wajah tak enak sahabatnya. "Gue turut berduka ya atas kakak lo, sori, gue baru bisa ngomong sekarang. Ya ... kan lo tau kita hilang kontak bertahun-tahun."

Sejujurnya berat kalau mengingat itu, tapi Radel tetap tersenyum meresponnya. "Udah dua tahun, gue sama keluarga udah ikhlas." Dan Jovita tak mengatakan apa-apa lagi selain menepuk-nepuk bahunya.

"JOV!" Keduanya jadi menoleh serentak mendengar itu. Radel agak mengernyit melihat perempuan kecil dengan rambut pendeknya melangkah mendekati Jovita.

"Tumben gak telat?"

"Plis deh, gak usah ngeledek gue ya my sister." Perempuan itu memutar mata malas.

"Gue tebak, ini temen lo yang jutek itu?" Oh tidak lagi!

"Jutek ya?" Radel tersenyum sinis. Berbeda dengan Jovita yang tertawa.

"Iya pas di foto, tapi lo manis juga pas diliat langsung," cewek itu menyengir lucu. "Tapi, gak semanis gue sih."

"Pede banget lo!"

"Eh manusia bintik gak usah komen apa-apa ya!"

"Manusia bintik? Jovita lo sebut itu?" Radel tertawa kali ini. Receh sekali. "Cuma karena bintik-bintik di mukanya?"

"Tepat sekali!" Cewek pendek itu menjetikkan jarinya di wajah Radel. "Lo liat aja bintik-bintik di mukanya. Terus juga matanya juga biru. Dia gak cocok tinggal di negara tropis."

"Lo mending ngukur tinggi lo dulu ya, Lula."

"Kita kenalan dulu ya biar jadi sayang," Dia mengulurkan tangannya. "Lula, oh jangan tambahin lahfah, jelas masih cantikan gue dibanding dia."

Meski agak absurd, Radel tetap menerima uluran tangannya. "Radel." Cewek itu langsung mendekatkan wajah. Radel refleks memundurkan kepala.

"Mata lo lucu, bulet gitu lo ada keturunan Jepang?"

"Gak kok," Radel menggeleng.

Lula cuma beroh panjang. Lalu melingkarkan tangan di lengan Radel yang satunya. "Gue suka nambah temen. Kebetulan lo bisa jadi temen gue iya kan Jov?"

Jovita mengangguk cepat.

"Terus lo bisa konsul sama Jov buat banyak temen di sini. Atau kalo lo mau punya cowok banyak—aw!"

"Sakit, Jov!" Lula mendelik karena pukulan di kepala. "Bilang-bilang dulu kek kalo mau mukul kan gue bisa ngeles."

Jovita memutar mata. "Gak usah dengerin nih anak. Otaknya emang miring."

"Back on topic," Lula merapihkan rompinya. "Tapi dari banyak orang yang bisa jadi temen cewek lo, tolong gak usah deketin satu orang."

Radel mengernyit. "Siapa?"

"Carmel."

"Siapa Carmel?"

Pelajaran pertama sampai kedua tak terlalu menguras otak. Radel mengerti mungkin karena biasa dengan tuntutan sang mama, tugas di sekolah seperti cuma makanan ringan yang mudah dia habiskan. Apalagi dua pelajaran tadi adalah pelajaran kesukaannya. Matematika dan Fisika.

Dan setelah perkenalan basa-basi saat pertama kali masuk kelas, Radel sadar mungkin dia harus bisa beradaptasi dengan cepat. Yang untungnya sangat dibantu oleh Jovita dan Lula.

Teringat pernyataan Lula, Radel tak bisa menanyakan sejak awal dan baru bisa menanyakan sekarang saat sang guru izin sejenak untuk ke ruang kepala sekolah. Meninggalkan kelas dengan tugas catatan di papan tulis.

"Gimana jelasinnya ya." Jovita bingung sambil mengigiti pulpen.

"Nimbrung dong," Lula mendorong bahu Radel pun Jovita menciptakan ruang untuk perempuan itu melongokkan kepala di antaranya. "Nih ya gue kasih tau, Carmel itu cewek nakal gitu dah. Koyok cabe."

"Hah?" Jika Radel bingung beda dengan Jovita yang memutar mata malas.

"Koyok cabe, cabe-cabean yang panas-panas gimana gitu," jelas Jovita geli sendiri.

"Iya itu maksudnya, katanya ya dia sering ngajak cowok petting."

"Itu game?" tebak Radel yang sontak ditertawai kedua temannya. Jovita yang paling kencang. "Gue salah?"

"Wajah jutek lo ternyata cuma topeng ya, nyatanya lo sepolos itu," Lula menggeleng. "Tanya Jov aja noh, tau banget dia gitu-gituan. Kebetulan gue juga masih polos kaka."

"Sialan lo! Enak aja!" Jovita tak terima lalu kebingungan sendiri karena tatapan menuntut Radel. "Ah gimana ya canggung gitu gue ngomongnya," Kelasnya sudah sangat ramai karena sang guru yang pergi apalagi sedikit lagi waktu istirahat. "Pokoknya tuh dosa banget dah kalo dilakuin."

"Maksud lo tuh kayak nganu?" Radel mengucapkannya dengan pipi memerah. Malu sendiri.

"Ya pokoknya gitulah." Jovita mengibaskan tangan seakan geli.

"Del lo pernah pacaran gak sih?" Pertanyaan Lula bukan seperti pertanyaan tapi ledekkan. "Dari muka lo ketebak sih, gak pernah ya. Ajarin dong Jov. Temen lo juga."

Radel malas membicarakan itu. "Gak pentinglah urusin gituan. Gue aja masih suka gak bener ngurusin hidup, gimana kalo ngurusin hati."

"Entar juga dia belajar sendiri." Jovita sengaja menggodanya. Lula sontak tertawa. Sementara Radel mendengkus mala walau detik berikutnya obrolan mereka terhenti karena bel istirahat yang berbunyi.

Kelasnya langsung heboh. Setengahnya sudah ngacir lebih dulu ke ke kantin sejak guru pergi. Sisanya langsung bergegas keluar.

"Del," Varel, sang ketua kelas menghampiri mejanya saat dia dan kedua temannya baru saja berdiri. "Nih, kartu perpusnya, lo ambil buku ya."

"Oke, thanks." Radel menerima kartunya yang diangguki Varel sebelum cowok itu pergi. Sesaat keluar dari himpitan mejanya, tatapan Radel jatuh ke kursi belakang yang kosong. "Lul, lo pindah duduk ke belakang gak apa-apa?"

"Gak apa-apa lah," jawab perempuan kecil itu tak mempermasalahkan. Radel merasa tak enak karena Lula harus pindah karena dia ingin duduk di sebelah Jovita. "Lagian kan gue juga duduk ama Eka."

Radel itu agak bodoh untuk menghafal. Di sekolahnya yang dulu Radel terbiasa mendengar nama siswa saat sang guru mengabsen. Itu pun kadang dia suka lupa sendiri siapa nama teman-temannya walau sudah bertahun-tahun sekelas, kecuali memang yang sudah dekat.

Tapi, sekolah ini jelas berbeda. Begitu hebatnya SMA Cikara menggunakan sistem untuk mengabsen. Setiap di depan kelas, sebelah pintu ada fingerprint yang otomatis bisa siswa gunakan. Tapi tak sekali, setiap pelajaran berganti siswa wajib mengabsen diri dengan itu.

Radel merasa mamanya salah memasukkannya ke sekolah. Ini terlalu elit untuknya.

"Kalo bangku belakang lo itu kosong ya?"

"Ada orangnya." Radel menaikkan alis dengan Lula yang kemudian berbisik. "Tapi lagi diskors."

Ingin rasanya dia berteriak senang karena hari pertama di sekolah barunya telah berakhir. Bel pulang telah berkumandang, tanpa ingin berlama-lama di kelas seperti anak lain. Radel buru-buru membereskan buku di meja lalu memasukkan di loker dalam kelasnya. Kecuali buku catatan yang dimasukkan dalam tas.

"Gue duluan ya."

"Kenapa buru-buru?" Lula cemberut. "Ayo ke rumah Jovita, kita bikin pesta bantal."

"Iya masa langsung mau balik sih." Jovita juga tak menerima itu.

"Gue ada les, sori."

"Lo gak seru ah, Del." Lula malas.

"Kapan-kapan aja ya, Lul. Bener-bener gak bisa gue." Radel membetulkan tasnya yang miring.

"Mm oke, ya udahlah bisa besok." Jovita mengangguk. "Lagian, Lul, emang lo gak jalan sama cowok lo?"

"Oh iya-ya," Lula tertawa menggeleng. "Ya udah ya, gue mau pergi ama bebeb gue aja. Dadah!" Setelah menyandang tasnya, perempuan kecil itu berlalu dari kelas.

"Lula punya cowok?"

Jovita mengangguk dengan menyandang tasnya juga. "Kalo dia gak punya dia gak bakal berani ngeledek lo tadi." Mata tajamnya langsung mengarah pada Jovita yang sontak tertawa. Kenapa harus diingatkan dengan itu sih?!

Di lobi, dia dan Jovita berpisah. Radel langsung pergi dengan taksi online yang dia pesan. Jam bergambar beruang di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore. Sial!

Hal yang Radel lakukan sekarang sama saja mengancam nyawanya. Sudah cukup sepertinya Radel mengikuti apapun kemauan Ara. Tapi, dia sungguh tak bisa berhenti mengikuti hobi kesukaannya. Renang. Radel bercita-cita menjadi atlit, tapi mamanya membenci itu.

Sudah dua tahun berlalu, dan Radel masih menyembunyikan itu.

Beruntung, coach andre, pelatihnya di sekolahnya yang dulu punya teman. Hingga Radel direkomendasikan pada temannya yang juga pelatih renang. Namanya coach Reza.

Sesuai alamat, Radel turun dari taksinya. Dia mendongak memandang gedung besar yang sepertinya dia tak salah jalan karena gambar yang Andre kirimkan sama dengan gedung ini. Dia melangkah hendak masuk kalau sesuatu tak menahan langkahnya di pijakan.

Sudut matanya menangkap bayangan sesorang yang jelas dia kenal. Kakinya berputar ke kiri. Dan tentu ... jaket kulit itu tak menunjukkan perbedaan pada cowok itu. Dengan tubuhnya yang tinggi, celana sobek di bagian lutut, wajah yang begitu sempurna dari samping.

Radel syok karena sekali lagi dia menemukan cowok itu walau sepertinya dia tak melihat Radel.

Kakinya refleks hendak mengikuti, yang kemudian tertahan kembali.

Sebenarnya apa yang Radel pikirkan hendak dia lakukan. Tujuannya ke sini bukan untuk itu. Radel memilih masuk ke dalam gedung dan membiarkan cowok itu yang menjauh pergi.

Tanpa peduli lagi bagaimana wajah itu yang penuh dengan lebam.

Gimana nih? Wkwkwkwk

Aku harap cerita ini gak bakal mengecewakan kalian dan bisa ngambil pelajaran dari cerita yg mau dimulai ini wkwkwkw

Aku butuh aprisiasi, smangat2 dari kalian dengan komen maupun vote ya.

Tengkyu buat yg masih nyempetin

Dri samping aja begini coba :(((

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top