7 : Sarapan :

7

: s a r a p a n :


2004




Pukul delapan, Aksel sudah selesai mandi dan hendak sarapan.

Hari itu, sarapan disiapkan di halaman belakang berkanopi dengan tanaman rambat yang menyulur di sekitarnya.

Hari ini adalah malam pergantian tahun. Keluarga Hizraka sudah menyiapkan kembang api dan daging untuk barbeque nanti malam.

Aksel baru mau keluar untuk membeli beberapa makanan di warung ketika menemukan seseorang sedang memanjat pohon di halaman tetangga. Refleks, Aksel mendekat dan mendengak ke atas. "Pacil?!" ujar Aksel, setengah kaget dan setengah khawatir gadis kecil itu akan terjatuh. Dilihatnya Virga tengah memasang lampion di pohon mangga rumahnya. "Pacil, lo ngapain?" seru Aksel sambil mendengak.

Virga terdiam sejenak, lalu menoleh seusai menggantungkan lampionnya. "Pasang lampion, Kak!" sahutnya sebelum turun dari pohon menggunakan tangga kayu. "Ngapain ke sini, Kak?" tanya gadis itu.

Ketika Virga sudah menapak lagi di tanah, Aksel menghela napas lega. "Tadinya gue mau ke warung, sih. Terus ngelihat lo manjat pohon, jadi ke sini." Aksel terkekeh cengengesan.

Virga bertanya lagi, "Kak Aksel nggak pergi ke pantai?"

"Hm, enggak. Kenapa?"

"Turis di sini biasanya pada ke pantai buat tahun baruan gitu." Virga membawa tangga kayunya ke sisi samping rumah.

Aksel pun membantu mengangkatnya. "Tadinya mau ke sana," jawab Aksel, lalu menyandarkan tangga kayu itu di tembok. "Tapi, abang gue nggak mau."

"Kenapa?"

Aksel melirik ke arah rumah Hizraka. Menunduk sedikit ke telinga Virga, dia pun berbisik, "Abang gue takut ngelihat cewek pakai bikini di sana."

Virga mengernyit bingung. "Emang kenapa, Kak?"

Aksel menggaruk belakang telinganya. "Ya... bahaya, Cil, kalau cowok ngelihat cewek pakai bikini."

Virga mengerjap. "Bikini itu apa, sih? Bikini Bottom? Emang Bikini Bottom beneran ada, ya, Kak?"

Eh, ini gue nggak salah, kan, kalau jawab yang bener? Virga kan, pintar. Pasti ngertilah, ya, batin Aksel. "Bukan, Cil. Itu loh... bikini itu... kutang....."

"Kutang?" Virga bertanya heran. "Kupang, kali, Kak. Nama tempat, kan?"

Tangan Aksel menggaruk-garuk kepalanya lagi. "Aduh. Bukan. Bikini itu... kayak pakaian dalam perempuan...."

Virga mengernyit. "Ih, Kak Aksel jorok."

"Ya... daripada gue ngibul. Lo nanya, mending gue jawab apa adanya."

Alis Virga masih menyatu. "Kenapa bikini bahaya, Kak? Kayaknya semua orang pakai pakaian dalam deh, di aktivitas sehari-harinya."

"Hm...." Aksel memutar otak untuk menjelaskan kepada gadis kecil itu. "Gini, Cil. Cowok itu... mahkluk visual. Kalau pakai bikini begitu, bisa jadi objek fantasi cowok nantinya. Bahaya."

"Maksudnya?"

"Uhh...." Aksel menggaruk pipinya. "Gini, deh. Lo pernah nggak, nonton sesuatu, terus tontonan itu tuh kayak keputar terus di otak lo? Ya kayak gitu deh, rasanya."

Virga manggut-manggut, mulai paham. "Kenapa keputar terus di otak, ya? Emangnya nggak bisa dihentikan?"

"Eung... nggak tahu, sih. Yang gue tahu, itu udah dari sananya kayak gitu."

Virga menjapit dagu dengan tiga jarinya. Berpikir. "Jadi, kalau Kak Aksel ngelihat cewek pakai bikini, otak Kak Aksel bakal kebayang terus gitu, ya?"

Pipi Aksel terasa memanas. "Eung... Iya, Cil. Begitu."

Poni Virga bergoyang saat dia manggut-manggut. "Gitu ya, Kak."

"Udah nggak usah dipikirin," ujar Aksel, mengganti topik. "Ini gue mau sarapan bareng teman-teman gue. Lo mau ikut, nggak? Ada banyak makanan enak, loh. Lo juga bisa bungkus kalau mau kasih ke nenek lo. Atau nenek lo diajak juga nggak apa-apa," cerocos Aksel asal. Dia sebenarnya memang belum izin untuk hal ini. Namun, dia yakin Hilmiya dan Raka – orang tua Hizraka – akan mengizinkan.

"Aku mau, Kak. Tapi, izin dulu ke Nenek dan Mbak Tasha dulu, ya," ucap Virga.

Mereka berdua pun masuk ke dalam rumah Virga izin kepada nenek Virga dan Tasha, adik bungsu ibu Virga. Nenek Virga tinggal di sini dan diurus oleh Tasha.

Di rumah, tidak ada wanita renta yang pernah Aksel temui. Alih-alih, di ruang tengah dia justru bertemu seorang perempuan yang terlihat sudah kuliah atau kerja. Mungkin ini yang namanya Mbak Tasha, pikir Aksel. "Permisi," ujar Aksel. Perempuan berkucir satu itu pun menoleh. "Perkenalkan, Mbak. Saya Aksel, temannya Hizraka yang tinggal di sebelah. Saya mau minta izin, ini si Virga mau saya ajak sarapan bareng di rumahnya Zraka, boleh, nggak?" tanya Aksel sopan.

Tasha mengangkat alisnya. "Ehm, nggak ngerepotinkah? Saya ngerasa nggak enak."

"Nggak, kok. Makanan di situ banyak. Mbak kalau mau datang dan ikut sarapan bareng juga nggak apa-apa," balas Aksel, lagi-lagi asal celetuk karena dia sendiri belum minta izin kepada pemilik rumah.

"Eh, beneran nggak apa-apa?" tanya Tasha. "Saya belum kenal dekat juga sama Tante Hilmiya. Baru kenalan kemarin. Sungkan, Dek."

"Nggak apa-apa, Mbak. Santai," sahut Aksel, persuasif. "Boleh, ya? Cuma sarapan doang, kok."

Tasha terlihat ragu. Dia menatap Virga yang terlihat antusias meskipun tersembunyi di balik sikap diamnya. Dan pada akhirnya, dia mengiakan permintaan Aksel. "Tapi, Dek, saya ikut sebentar, ya. Cuma buat nganterin Virga dan ngomong sama Tante Hilmiya."

"Siap." Aksel mengangguk. Dia pun berjalan ke rumah Hizraka, meminta Tasha dan Virga untuk menunggu dulu di depan rumah, kemudian melesat menemui Hilmiya dan minta izin untuk membawa dua orang tamu. Seperti yang Aksel duga, Hilmiya mengizinkan, malah dengan senang hati menjamu tetangganya untuk sarapan bersama.

Usai mendapat izin, Aksel pergi sejenak ke warung untuk membeli kebutuhannya, kemudian kembali ke rumah singgah keluarga Hizraka. Di sana, dia melihat semuanya sudah duduk di kursi meja makan dengan piring yang telah terisi nasi, tetapi belum ada yang mulai makan.

Aksel segera duduk di samping Virga. Nolan, kakak kelas seangkatan Bara yang melihatnya pun bertanya, "Eh, Sutet, nih anak lo culik di mana?"

"Enak aja nyulik," bela Aksel. "Ini gue nemu di belakang pohon."

Tasha tertawa. "Enak aja dibilang nemu! Anak orang loh ini."

"Kamu ketemu Virga di mana, sih? Kok, tiba-tiba akrab?" tanya Hilmiya setelah meletakkan piring berisi sambal dari dapur.

"Ini, Tante, saya ketemu di dekat depan warung sebelah pos ronda, pas saya lagi jalan-jalan sore," jawab Aksel. "Saya tadinya ngajakin bapak yang main catur di situ buat tanding bareng. Eh, dia malah nyuruh saya tanding sama Virga yang kebetulan lagi ada di situ."

"Si bapaknya kenal sama Virga?" tanya Bara, kemudian dia melirik anak gadis itu. "Dek, kamu kelas berapa?"

"Kelas lima SD, Kak," jawab Virga. "Kalau Kakak, kelas berapa?"

"Kelas tiga SMA. Nama kamu siapa?"

"Virga, Kak. Kalau di sebelah ini tanteku, Kak Tasha. Tapi, dia nggak mau dipanggil tante soalnya masih muda," ujar Virga polos, yang mengundang tawa dari orang-orang di sana.

Bara tersenyum. "Kamu main catur sama Aksel, yang menang Aksel atau kamu?"

Dengan datar, Virga menjawab, "Aku, Kak. Kak Aksel tanding dua kali, kalah dua kali."

Semua orang di sana kecuali Aksel dan Virga pun tertawa. Nolan menyahut, "Yeuh, yang bangga selalu menang catur, akhirnya kalah sama dedek-dedek SD!"

"Oi, oi, nggak usah buka kartu gue, Pacil," ujar Aksel, tak terima. "Mendzalimi orang itu dosa, loh."

"Sudah, sudah," ujar Raka – ayah Hizraka – menenangkan yang lain. "Kita sarapan dulu. Semoga dua tamu kita di pagi ini bisa menikmati makanannya juga, ya."

Tasha dan Virga tersenyum sopan, berterima kasih dan mengangguk. Mereka berdoa bersama, kemudian mulai sarapan.

Melihat Virga makan dengan lahap dan terlihat menikmatinya, Aksel merasa gemas. Pipi Virga menggembung oleh makanan. Ketika Virga menangkapnya sedang memerhatikannya, Aksel tersenyum gemas, lalu mematuk ubun-ubun kepala Virga dengan lembut.

Dibalas tatapan bingung oleh Virga, Aksel membalas dengan menyengir cengengesan. "Makan yang banyak, Paciiill!" seru Aksel girang.

Virga terdiam. Menautkan alis. Dia tidak paham apa yang lucu hingga bisa membuat Aksel segirang itu. Namun, dia membiarkan Aksel mematuk ubun-ubunnya lembut.

"Waduh, si Sutet dapat mainan baru," ujar Nolan. "Udah kali, Tet. Kasihan itu anak orang mau makan, malah digangguin."

"Kenapa Kak Aksel dipanggil Sutet?" tanya Virga, heran. Sebab sepengetahuan Virga, sutet itu dari menara sutet. Dia tidak mengerti apa korelasinya menara sutet dengan sosok Aksel.

"Sutet itu kan, Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi," balas si pemuda berkacamata. "Cocoklah buat Aksel. Tegangan dia ekstra tinggi. Itu kiasan aja sih, Dek."

Virga manggut-manggut. Mungkin, karena Kak Aksel orangnya aktif banget, jadinya dianggap punya 'tegangan ekstra tinggi', pikir Virga. "Nama Kakak siapa?" tanya gadis itu.

"Gue Nolan. Ini tetangga lo, Zraka. Yang tadi ngobrol sama lo itu Bara, abangnya Sutet," ujar Nolan.

Pandangan Virga mengarah ke sosok Bara yang terlihat sangat berbeda dengan Aksel. Secara fisik, Aksel memang jauh lebih atraktif dibandingkan Bara yang gendut dan berkulit hitam. Dan dari perangai pun, kedua lelaki itu juga terlihat berbeda.

Dia pun beralih kepada Aksel yang sudah menurunkan tangannya dari kepala Virga. "Aksel punya mainan baru, ya," ujar Nolan, heran. Jarang-jarang dia melihat Aksel akrab dengan anak kecil.

Aksel tertawa. "Iya, Lan. Nih anak polos banget, gue gemes." Kemudian, dia menghela napas. "Ya kalau sama Abang kan, nggak ada lucu-lucunya sama sekali. Nggak bisa digemes-gemesin."

"Gue juga ogah sih, digemes-gemesin sama lo," sahut Bara santai. Dia beranjak dari kursi untuk mengambil minum di dispenser.

Aksel menepuk-nepuk pelan kepala Virga. Melihat Virga banyak makan, dia jadi semangat. Dia berkata, "Badan lo tuh kurus banget, Cil. Makan yang banyak, ya. Jangan makan banyak pas hari ini aja!"

"Kak Aksel."

"Jangan lupa minum susu biar tinggi! Jangan kebanyakan makan makanan instan. Nggak sehat kalau kata nyokap gue."

"Kak."

"Minum air putih yang banyak, Cil! Jangan sampai dehidrasi!"

"Kak Aksel...."

"Eh, iya! Kenapa?"

"Itu kuahnya muncrat, Kak," ujar Virga, mengambil tisu, lalu mengelap pipinya yang sedikit terkena cipratan ludah Aksel.

Aksel melongo. Sementara orang-orang di meja makan tertawa dengan puas. Nolan tertawa sampai suara tawanya tak terdengar lagi. "KUAH MUNCRAT!" serunya dengan suara tertahan seperti tikus terjepit. Wajahnya sampai memerah karena menertawai Aksel. "Ya ampun ini anak kenapa polos amat ngomongnya!"

Virga ikutan terkekeh karena melihat yang lain tertawa, sementara Aksel memasang wajah jengah. Namun pada akhirnya, Aksel ikut tertawa bersama yang lain.

Ketika sarapan selesai, sebagian masih mengobrol-ngobrol bersama. Tasha mengobrol dengan Hilmiya dan Virga. Saat obrolan tiba pada suatu topik, Hilimya memekik, "Ya ampun, kamu ulang tahun tanggal 31 Desember, Vir?" tanya Hilmiya. senang.

Aksel yang mendengar itu pun segera menajamkan pendengaran. Dia sedang menemani Hizraka makan snack sambil mendengarkan obrolan Hilmiya. Pada intinya, Virga akan merayakan ulang tahun bersama Tasha dan neneknya. Aksel pun teringat dengan kembang api yang dibeli Virga dan lampion yang dipasang sendiri oleh Virga tadi. Dan mendadak, dia terenyuh. Pacil pasang lampion dan beli kembang api buat ngerayain ultahnya sendiri, nggak ada ortu di sisinya buat melihat keindahan itu, batin Aksel, merasa dadanya agak mengerat. Udah berapa lama Pacil nggak bisa ngerayain ulang tahunnya sendiri sama orangtua kandungnya?

Kendati merasa agak terenyuh, beberapa detik kemudian, muncul sebuah ide di otak Aksel.

Isi ide itu berlanjut menjadi rencana untuk membuat kejutan ulang tahun Virga.

[ ].

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top