6 : Iseng :

6

: i s e n g :


2004



 Aksel sebenarnya hanya iseng.

Pada hari ketiga di Lombok, dia iseng berjalan-jalan sore ke sekitar kelurahan tempat rumah Hizraka bernaung. Di tengah jalan, dia melihat dua orang bapak-bapak sedang serius main catur sambil minum kopi, dan di kursi tengah ada seorang anak kecil mengamati jalannya pertandingan sambil minum susu kotak. Tergerak oleh insting, Aksel pun mendatangi kedua bapak-bapak itu dan turut mengamati jalannya permainan.

Aksel sudah sering bermain catur sejak kecil. Main catur hanya hobi, sebenarnya. Sekalian untuk menemani sang ayah menghabiskan waktu di kala senggang sambil menunggu ibunya selesai masak. Aksel suka berinteraksi dengan banyak orang. Menemukan suasana dan orang-orang baru seperti ini membuat energinya terasa lebih besar, lebih hidup. Itulah kenapa ketika melihat kedua orang tua yang bermain catur barusan, kemudian melihat salah satunya berhasil dikalahkan, Aksel dengan semangat dan percaya diri berkata, "Wah, Pak! Bapak jago juga. Main sama saya dong, Pak!"

Gunter, lelaki yang menang main catur itu menatap Aksel dengan tatapan keras, terlihat kurang ramah dengan orang asing yang terlihat ingin sok kenal. Namun alih-alih mengabulkan keinginan Aksel, dia justru berkata, "Main sama Virga saja kau, bujang."

Aksel mengernyit. "Virga siapa?"

"Ini," tunjuk Gunter ke arah sosok gadis kecil yang duduk di kursi antara kursi Gunter dengan lawan mainnya barusan.

Mengetahui dirinya diminta bertanding dengan anak-anak, Aksel pun merasa terhina. "Bapak minta saya main masak-masakan sama anak kecil?"

"Bukanlah, bujang." Gunter mengganti posisi duduknya dengan Virga. Dia mempersilakan Aksel duduk di kursi lawan yang tadi sudah pergi, kemudian melanjutkan, "Kau tanding sini sama Virga. Kalau Virga kalah, baru aku mau tanding sama kau."

Aksel mendengus, ingin tertawa. Suruh tanding sama anak kecil begini? Yang benar aja, batin Aksel. "Bapak ngehina saya? Sampai-sampai bikin saya kudu tanding sama dedek-dedek?"

Gunter mengangkat alis. "Tak usahlah kau banyak cakap. Coba kau kalahkan Virga dulu. Kalau memang kau pandai main catur, aku mau tanding sama kau."

Aksel menyipitkan mata. Yakin dia bisa mengalahkan gadis kecil di depannya dalam sekejap. Dia pun duduk dan mulai menyusun bidaknya.

Gunter mengamati jalannya permainan dengan santai. "Siapa nama kau, bujang?"

"Aksel, Pak," jawab Aksel. "Bapak siapa namanya?"

"Gunter," jawab lelaki paruh baya itu. "Kau kawan si anak diplomat itu, kan? Kenapa malah kemari sendirian, tak sama mereka?"

"Saya bosan di rumah." Aksel mengernyit. Memutar otak karena bidak rajanya mulai terancam direbut. Dia akui, anak kecil di depannya ini lihai bermain.

Gunter mengangguk. Dan seperti dugaannya, Aksel kalah tak sampai lima belas menit bermain.

Tanding ulang dilakukan hanya untuk mengetahui kekalahan Aksel yang kedua kalinya terjadi. Aksel pun juga sebenarnya hanya iseng ingin bermain catur. Tak dia sangka anak kecil yang tanding dengannya ternyata pandai bermain. Virga kecil menarik minatnya karena Aksel ingin tahu apa yang gadis kecil itu lakukan tiap harinya hingga pandai menciptakan strategi. Itulah kenapa Aksel penasaran, ingin bertemu lagi.

Keesokan paginya, karena rumah Hizraka dan rumah nenek Virga tetanggan, Aksel kembali bertemu dengan Virga yang tengah menyiram tanaman di depan rumahnya.

Melongok ke belakang dan melihat Hizraka dan yang lainnya masih sarapan di dalam rumah, Aksel pun berjalan mendekati pagar rumah Virga yang terbuka dan berseru, "PACIL!"

Virga yang membelakanginya terkejut sampai sedikit melompat. Dia memegangi dadanya, lalu menoleh dan menemukan Aksel menyengir tanpa dosa.

Alis Virga pun bertaut, tidak suka dikageti begitu. Akhirnya, Virga memilih untuk mengabaikan Aksel dan sibuk dengan kegiatannya semula.

Aksel terkekeh. "Pacil udah sarapan, Cil?" tanyanya riang.

Virga tak menjawab. Hanya berganti posisi untuk menyiram tanaman di lokasi sebelahnya.

"Pacil, halooo? Dengar suara gue, kan?" Aksel kembali bertanya, dan lagi-lagi didiamkan oleh Virga. Kemudian dengan nada lebih lembut, Aksel bertanya, "Pacil marah?"

Virga tak menjawab. Dia masih sibuk dengan kegiatannya.

"Eh, maaf, Cil. Gue bukan bermaksud bikin lo marah," ujar Aksel. Dia memberanikan diri memasuki halaman rumah nenek Virga dari pagar pendek yang terbuka. Kakinya mendekati Virga, lantas berhenti dalam jarak selangkah dari gadis kecil itu. Aksel dengan khawatir berkata, "Pacil beneran marah, ya?" Dia menelan ludah. "Maaf, Cil. Gue nggak bermaksud bikin lo marah...."

Mendengar nada Aksel yang melunak, Virga akhirnya menoleh, kemudian menghela napas. "Iya," jawab Virga.

Aksel pun melanjutkan, "Iya apa, nih? Iya, lo mau maafin gue, Cil?"

Menarik napas lagi, Virga pun mengangguk.

"Lo segitu nggak sukanya dikagetin, ya?" tanya Aksel. Dia mendekat lagi.

Risi, Virga sedikit menjauh. "Nggak, Kak. Aku cuma lagi ada pikiran."

Aksel mengangkat alis. "Lo masih muda, Cil. Kalau ada masalah jangan terlalu dipikirin. Ntar cepat tua."

Virga mengerjap. Memilih tidak membalas. Sebab, Aksel mungkin tidak akan mengerti dengan masalah hidupnya.

Kemudian Virga kembali menyirami tanaman di rumah neneknya. Ketika dia pikir Aksel akan pergi, lelaki itu justru menetap, lantas bertanya, "Lo kenapa tinggal di sini cuma berdua sama nenek lo, Cil? Orangtua lo di mana?"

Virga terdiam. Menimang sejenak sebelum menjawab, "Jakarta."

"Loh, terus, kenapa lo di sini? Kenapa nggak tinggal bareng orangtua lo?"

Mengernyit, Virga berpikir harus dengan jawaban apa dia membalas pertanyaan Aksel. Masalah keluarganya cukup rumit, dan dia tak ingin ada orang luar yang tahu terlalu banyak. Namun, Virga memilih menjawab jujur, "Uang mereka cuma cukup buat biaya hidup mereka dan adikku. Adikku lebih diprioritaskan karena dia masih kecil. Makanya aku tinggal di sini, dititipkan sampai kuangan keluargaku stabil."

Aksel termangu. Segala wajah jenaka atau tengilnya sirna sudah. Dia membisu beberapa saat, sementara Virga sudah kembali menyirami tanamannya.

Tak lama kemudian, Virga merasakan sesuatu yang hangat menyentuh ubun-ubun kepalanya; tangan Aksel. Aksel mengelus-elus rambut Virga, lalu tersenyum. "Pacil pasti kuat, kok. Gue doain yang baik-baik."

Virga tak membalas, tetapi merasa hatinya menghangat didukung seperti itu.

"Nah, sekarang," Aksel menurunkan tangannya dari kepala Virga, "Pacil udah makan, belum?"

Virga menggeleng. "Belum. Tapi, nanti aku makan."

"Nenek Pacil udah masak?" tanya Aksel. "Kalau nggak ada makanan di rumah Pacil, kita makan bareng aja."

Virga mengerjap. Dia mematikan keran air, lalu membereskan pekerjaannya. Neneknya memang biasanya tidak masak pagi-pagi begini. Dia baru masak di waktu agak siang. Namun, Virga biasanya menggoreng telur dadar sendiri untuk sarapan. "Nggak usah, Kak. Aku goreng telur aja buat makan," balas Virga.

"Eh, gue traktir nih!" seru Aksel. "Sekalian lo bantuin gue cari makan yang enak di sini. Ayo, Cil!"

Virga mengerjap. Ditawari seperti itu, dia jelas sulit menolak. Namun... sama Kak Aksel? Aku kan, nggak terlalu kenal dia siapa, batin Virga.

"Ayo," ujar Aksel. "Yang dekat-dekat sini aja. Serius ini mah, ditraktir beneran."

Memutar otak, Virga pun akhirnya mengiakan tawaran itu. Ada sebuah kedai soto dekat rumahnya, dan pemiliknya sudah kenal dengan Virga. Virga merasa makan di kedai itu akan aman karena ada orang yang dia kenal di sana.

Tak butuh waktu lama hingga Virga pamit kepada neneknya dan mengajak Aksel untuk makan di warung soto dekat rumahnya. Aksel juga sudah berbicara dan minta izin kepada nenek Virga untuk sarapan bersama cucunya. Setelah diizinkan, mereka berdua langsung berangkat ke kedai, lalu memesan soto.

Saat itu masih pukul sepuluh. Kedai soto dekat rumah Virga baru selesai bersiap-siap untuk membuka toko. Aksel dan Virga adalah pelanggan pertama yang muncul di hari itu.

Saat mereka pun menunggu pesanan, Aksel pergi sejenak untuk mengambil minum di kulkas display. Beberapa detik kemudian, dia kembali membawa sebotol teh dingin dan sekotak susu cokelat. Dia menyodorkan susu itu kepada Virga. "Nih, Cil, diminum biar cepat gede. Badan lo kecil banget, tahu. Udah kurus, kecil pula."

Virga memandangi susu kotak di depannya. "Ini harganya berapa?"

"Udah, nggak usah dipikirin. Kan, gue udah bilang. Hari ini gue yang traktir."

Kernyitan Virga muncul. Dia merasa tidak enak. "Beneran nggak apa-apa, Kak?"

"Nggak apa-apa. Cuma sarapan ini, kok." Aksel mengibaskan tangan. Lalu meminum es teh pesanannya.

Soto pesanan mereka pun muncul. Mereka berdoa sejenak sebelum mulai makan bersama.

Sambil menunggu sotonya tidak terlalu panas, Virga bertanya, "Kak Aksel orang Jakarta?"

Aksel mengangguk. "Iya, sama kayak teman-teman gue yang datang ke sini."

"Kenapa nggak main sama mereka?" tanya Virga. Mulai menyendok kuah sotonya.

Aksel pun menjawab, "Ya nggak kenapa-kenapa. Guenya aja yang mau jalan-jalan ke sana-ke sini." Aksel mengunyah kerupuk udangnya. "Wo uvhah vrapa wama wi singi?"

Virga spontan tertawa. Sementara Aksel menelan dulu kunyahannya sebelum meralat, "Lo udah berapa lama tinggal di sini, Cil?"

"Dari aku mulai SD, Kak. Emang kenapa?"

"Nggak apa-apa." Aksel mengunyah telur rebusnya. "Kalau ortu lo keuangannya udah stabil, berarti lo balik ke Jakarta?"

"Iya, kayaknya."

"Kok, 'kayaknya'?"

"Aku nggak tahu bakal gimana. Nanti kan, yang nentuin orangtuaku." Virga mengunyah nasi dengan daging sotonya.

"Emangnya, lo nggak mau balik ke Jakarta?" tanya Aksel. "Kalau lo di sini terus, berarti, lo nggak ketemu lagi sama ortu lo, dong?"

"Ketemu, kok. Beberapa bulan sekali, kami ketemuan."

Aksel terdiam. Kemudian, Aksel mengambil waktu beberapa saat sebelum dengan hati-hati bertanya, "Lo nggak mau tinggal sama orangtua lo?"

"Mau, kok." Virga menarik napas. "Tapi, kalau emang keadaan nggak memungkinkan, mau gimana lagi?

Terdiam lagi, Aksel pun kembali fokus pada makanannya. Dia mengaduk-aduk sotonya sambil mencerna ucapan Virga tadi. Pacil mungkin bisa jawab jujur karena dia masih anak-anak, pikir Aksel. Malah berasa kasihan jadinya.

"Kak Aksel habis ini mau ngapain?" tanya Virga ketika dia sudah selesai makan. Kini, dia menyedot susu kotak yang tadi diberikan Aksel.

"Nggak tahu. Teman-teman gue mau pada jalan-jalan nanti siang, sih. Kalau sekarang, paling mereka masih main PES."

"Kak Aksel nggak ikut main PES?"

"Nggak, ah. Lagi nggak mood." Aksel menyedot tehnya sampai habis. "Pacil habis ini mau ngapain?"

Virga meminum susu sambil mengayunkan kaki di kursi, lantas mengingat-ingat. "Hm... mau beli kembang api buat Tahun Baru."

Aksel pun beranjak. "Gue temenin, deh. Daripada gue nganggur di rumah Zraka."

Mereka kemudian pergi dari kedai soto menuju warung klontong yang menjual kembang api. Kembang api yang dipilih Virga adalah kembang api gantung, bukan yang akan meledak di angkasa. Saat Aksel bertanya kenapa tidak membeli petasan, Virga hanya menjawab, "Nanti di sekitar rumah juga banyak yang main petasan. Kembang api yang meletus juga pasti banyak, bisa dilihat dari rumahku. Makanya aku beli ini aja."

Esok adalah 31 Desember, hari menuju tahun baru. Aksel sadar bahwa biasanya satu keluarga akan menghabiskan tahun baru bersama, apalagi kalau sedang libur. Hanya saja tahun ini, ibu dan ayahnya sudah memberi pesan dari jauh-jauh hari bahwa mereka ingin liburan bersama. Ya, bulan madu. Dan meninggalkan kedua anak mereka sendirian.

Kemudian, datanglah tawaran dari Hizraka untuk pergi ke Lombok dan tahun baru di sana. Aksel dan Bara menerima. Sementara Nolan juga ikut sekalian untuk menghindari ibunya. Hanya satu orang dari kawanan mereka yang menolak, yakni Mahesa, karena dia memilih untuk kembali ke kampung halamannya di Sumatra.

Aksel lalu mengantar Virga pulang ke rumahnya. Ketika sudah sampai di sana, nenek Virga pun muncul dan meminta Aksel untuk masuk untuk dijamu dengan teh hangat dan kudapan. Merasa tidak enak, Aksel pun mengiakan dan masuk ke dalam rumah Virga.

Ketika sudah di dalam, Aksel melihat seisi ruang tamu rumah Virga yang sederhana. Namun, ada satu benda yang sangat menyita perhatian dan memenuhi dua dinding; rak buku. Aksel mendekati rak di balik sofa, lalu berkata, "Buku lo banyak juga, ya."

Virga tersenyum. "Iya, dikasih sama tanteku. Katanya, aku suruh baca dulu, nanti isi bukunya diobrolin di telepon."

Aksel manggut-manggut. Dia menyusuri judul-judul buku di rak. Semua bukunya adalah buku nonfiksi seperti ensiklopedia, buku motivasi anak, buku prakarya, dan ada juga beberapa koran. Sisanya adalah buku mewarnai. Aksel tak menemukan komik anak-anak. Novel remaja pun juga tidak ada. "Lo nggak ada komik atau novel gitu, Cil?"

"Nggak ada."

"Kenapa?"

"Kata tanteku, aku nggak boleh baca novel sampai usiaku udah agak dewasa. Biar aku nggak kebanyakan mengkhayal, katanya," jawab Virga. Terlihat tidak bermasalah dengan kebijakan dari tantenya itu.

Aksel mengangguk. Tak merasa kaget, sebab ibunya juga menerapkan hal yang sama. Dia dan Bara tak boleh membaca komik hingga usia mereka lulus sekolah. Dan ketika dulu dia melihat teman-teman sekelasnya yang lain sudah asyik dengan komik dan segala macamnya, Aksel menahan diri untuk tidak membaca. Dia dan abangnya pernah bertanya kepada ibunya kenapa mereka tidak boleh membaca buku fiksi. Dan, ibunya membalas dengan memberikan mereka buku psikologi tentang sugesti dan bagaimana otak menerima suatu rangsangan visual dari luar.

Ibunya saat itu berkata, "Kamu baca dan pahami dulu semampunya. Nanti kalau ada yang ditanyakan, kamu bisa tanya Mama."

Pada akhirnya, Aksel dan Bara paham kenapa ibunya melarang. Ada kemungkinan besar bahwa media seperti itu bisa memberi sugesti. Hanya orang yang secara psikologis sudah matang yang bisa memilah mana yang baik dan mana yang buruk untuknya. Aksel percaya ibunya tak pernah melarang sesuatu tanpa alasan yang masuk akal. Dia masih terlalu muda, dan secara psikolgis masih labil. Sehingga sebagai tindakan preventif, ibunya menunda dulu konsumsi media yang butuh penelahan lebih dalam hingga anak-anaknya mencapai usia dewasa.

"Terus, hiburan lo di sini ngapain?" tanya Aksel. Dia duduk di bangku kayu.

"Baca-baca buku ini, Kak," ujar Virga. "Kan, ada juga beberapa buku buat bikin kreasi gitu dari barang-barang bekas. Aku senang bikin-bikin prakarya gitu."

"Oh...." Aksel menaik-turunkan kepala. "Lo mau jadi seniman, Cil?"

"Hm...." Virga memagut dagunya dengan dua jari. "Nggak tahu, sih, Kak. Aku selama ini bikin prakarya gitu buat iseng-iseng aja."

"Oh, cuma hobi." Aksel menyeruput teh hangat yang disajikan oleh nenek Virga tadi. "Trus, udah nemu bidang yang bikin lo tertarik?"

"Hm... aku nggak tahu ini bisa disebut bidang, sih," ujar Virga. "Aku suka sama otak manusia."

Aksel terdiam. Mengangkat alis. "Hah?"

"Otak manusia, Kak. Buat dipelajari cara kerjanya, bukan buat dimakan." Virga tertawa.

"Iya. Gue tahu buat dipelajari. Tapi, kenapa bisa otak?"

"Soalnya menarik aja." Virga mendekati rak, mengambil salah satu buku, lalu menunjukkannya kepada Aksel. "Semua perkembangan IPTEK ini, se-mu-a-nya, itu bisa terjadi karena manusia menggunakan otak mereka. Maksudku, otak itu padahal ukurannya kecil, tapi karena otaklah manusia bisa berpikir dan menciptakan gedung-gedung besar, taman raksasa, sampai mikirin galaksi yang jaraknya ratusan tahun cahaya. Semua perkembangan itu akan terus terjadi karena manusia berpikir dan membuahkan pikiran dari ilmu-ilmu yang udah ada. Makanya menurutku itu... otak manusia itu ajaib gitu. Hewan-hewan juga punya otak, tapi kenapa mereka nggak bisa bikin peradaban secanggih kita? Katanya, karena manusia punya akal, sedangkan hewan enggak. Tapi, akal itu bentuknya kayak gimana? Wujudnya gimana? Apa dia ada di suatu sisi dalam otak manusia Seandainya emang ada di dalam otak, bisa nggak ya, diambil dari manusia, terus ditransfer ke hewan? Kalaupun udah ditransfer, kira-kira, bisa nggak ya, hewan itu bikin peradaban kayak manusia gini?"

Aksel melongo.

Dia mengerjap-ngerjap. Takjub sendiri dengan ucapan gadis kecil di sampingnya. "Woah," dia berucap. "Gue nggak nyangka lo setertarik ini sama otak manusia."

Virga tertawa. "Ya... habis menarik sih, Kak. Aku udah baca beberapa buku yang tentang otak manusia gitu, belum nemu jawabannya, sih. Makanya aku minta tanteku cariin buku tentang cara kerja otak manusia lagi."

Aksel tersenyum. "Berarti, lo tertarik ke bidang neuroscience, Vir."

"Neuroscience?" tanya Virga. "Bukannya itu tentang syaraf, ya, Kak? Neuron-neuron gitu."

"Iya. Kan, segala rangsangan pada akhirnya diproses di otak."

Virga mengerjap. "Jadi, aku harus jadi dokter dulu biar bisa belajar itu? Aku cuma mau belajar otaknya aja, bukan mau jadi dokter."

"Nggak, kok. Ini beda sama kedokteran," terang Aksel. "Kalau kata abang gue, neuroscience itu termasuk ilmu sains. Beda sama neurologi yang percabangan ilmu kedokteran. Neuroscience bisa jadi researcher kalau di Amrik. Kalau di Indonesia, gue kurang tahu, sih." Aksel pun menambahi, "Jurusan kuliah neuroscience di Indonesia belum ada, Vir. Mungkin, lo harus kuliah di luar negeri kalau mau belajar neuroscience."

Virga terdiam. "Mahal ya, Kak?"

"Banget." Aksel tertawa. "Beasiswa aja."

"Emangnya gampang dapat beasiswa?"

"Susah, apalagi kalau lo mau beasiswa full yang sampai menunjang tempat tinggal dan uang saku sehari-hari lo." Aksel menyenderkan tubuhnya. Tersenyum. "Kalau jadi anak beasiswa, harus tahu diri, Cil. Banyak orang mau beasiswa, tapi cuma mau buat keren-kerenan doang dapat beasiswa kuliah ke luar negeri. Kebanyakan yang gue lihat, orang mau kuliah di luar negeri bukan buat belajar, tapi buat ego doang, biar kelihatan keren dan pintar. Padahal beasiswa itu ditujukan biar lo belajar, terus lo mengabdikan diri lo untuk membuat sesuatu yang berguna bagi umat manusia. Bukan cuma beasiswa kuliah di luar negeri, abis itu cari pekerjaan yang hanya menguntungkan diri lo sendiri."

Virga manggut-manggut. "Setuju. Berarti, aku harus jago bahasa Inggris juga dong, ya?"

"Wajib," balas Aksel. Senyumnya masih belum pudar menyadari bahwa Virga tak terlihat patah semangat setelah dia menyebutkan kesulitan-kesulitan tadi. Emang kelihatan sih, mana orang yang mau sekolah atau kuliah buat benar-benar belajar, dan mana yang ngelakuin cuma buat memenuhi tuntutan masyarakat, pikir Aksel. Dia pun menawarkan, "Mau ngobrol bahasa Inggris sama gue selama gue di sini?"

"Kak Aksel bisa?"

Aksel terbahak. "Ya bisalah. Lo minta gue ngobrol pakai bahasa Prancis juga gue bisa."

"Wah. Di SMA, Kak Aksel belajar bahasa Prancis juga?"

"Iya. Dan mau dikursusin juga nantinya." Aksel tersenyum. "Kita mulai dari perkenalan dulu aja kali, ya."

Virga mengangguk. Terlihat ada binar semangat di matanya. "My name is Virga Adi Pertiwi. I am 10 years old. I How about you?"

Aksel tersenyum geli, kemudian mengucapkan biodata bahasa Inggris ala anak SD yang biasa dilihatnya. "My name is Aksel Hadiraja. I am 16 years old. I'm born and raised in Jakarta. I have a big brother, his name is Bara Langit Hadiwinata. My parents currently gone for honeymoon, while me and my brother went here for a vacation. And you?"

Virga mengerjap. Berusaha mencerna ucapan Aksel, kemudian menimang untuk bicara jujur. "I'm born in Jakarta, but now live in Lombok. I have a little brother, his name is Erga. He live in Jakarta with my parents. Maybe my family have an economic problem, that is why I don't know if I will go back to Jakarta, or stay in here forever."

Aksel membisu. Dia menatap Virga yang bertubuh kecil dan terlihat rapuh. Bukan tatapan kasihan, hanya empatik. Masih anak-anak, pikir Aksel. Mungkin menurut dia, jujur itu baik. "Pacil," panggil Aksel. "Lain kali, jangan sembarangan cerita tentang masalah keluargamu ke orang lain, ya. Di dunia ini, ada orang-orang jahat yang suka memanfaatkan kita dengan menyebarkan aib kita. Mungkin, bukan lo yang akan disakiti, tapi bisa jadi orang-orang yang lo sayang tersakiti karena aib itu disebar sama orang yang jahat. Makanya, jangan sembarangan cerita tentang masalah keluarga ke orang-orang, ya?"

Virga menatap Aksel yang kelihatan serius, tetapi masih santai. Otaknya masih belum bisa mencerna maksud Aksel mengenai disakiti dengan aib. Bukannya jujur itu baik? pikir Virga. Namun pada akhirnya, dia mengangguk. "Iya, Kak."

Dan itu adalah perkenalan pertama mereka secara resmi.

[ ].


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top