5 : Permulaan :
5
: p e r m u l a a n :
Selong, Lombok
2004
Mereka pertama kali bertemu pada bulan Desember. Beberapa hari menjelang pergantian ke tahun 2004.
Tidak, pertemuan pertama mereka bukanlah saat ada pesta kembang api di malam hari, bukan pula saat ada persiapan acara tahun baru di rumah keluarga, serta bukan saat belanja di pasar untuk membeli keperluan acara Tahun Baru. Pertemuan pertama mereka diawali oleh sebuah permainan catur.
Dan, Aksel kalah di permainan itu.
"Apa-apaan." Mata pemuda itu melotot, masih tak percaya bidak rajanya yang berwarna putih sudah diambil seorang gadis kecil, dan posisi bidak raja putih digantikan oleh bidak kuda hitam. "Hah? Ini serius?"
Si gadis kecil hanya mengangguk, membuat poninya bergoyang. Virga berkata, "Kakak kalah. Aku menang."
"Gue nggak butuh klarifikasi."
Virga menautkan alis. Hendak membuka suara, tetapi disela oleh pria renta yang dari tadi mengamati jalannya permainan catur mereka. "Eh, bujang! Kau terimalah itu kekalahan kau! Masa, kayak anak kecil yang masih tak mau terima bahwa dirinya kalah."
"Begini, Pak," Aksel mengangkat satu tangannya, "saya itu nggak pernah kalah di catur sebelumnya. Bapak nggak bisa dong, berharap saya langsung terima fakta bahwa saya dikalahkan sama anak bocah. Saya butuh tanding ulang."
"Terserah kaulah." Akhirnya pria renta itu menyerah. "Asal si Virga juga mau tanding ulang saja. Tak apa-apa kau, Vir?"
"Nggak apa-apa, Pak Gunter," ujar Virga dengan halus. Gadis itu mengembalikan bidak-bidak putih milik Aksel, kemudian mulai menyusun bidak-bidaknya di atas papan catur.
Babak kedua, tak butuh sampai lima menit hingga Aksel kalah lagi.
Aksel memelototi bidak rajanya yang sudah dilibas dari papan catur. "LAH KOK ANJER?"
"Jangan bicara kasar di depan anak kecil, bujang!" sahut Gunter, agak jengkel. Dia membantu Virga membereskan bidak-bidak caturnya. Matanya mengerling ke Aksel. "Sudah cukup mainnya. Kalau mau main lagi, besok sajalah kau kemari. Biarkan Virga istirahat."
Tatapan Aksel masih terlihat tidak terima dengan kekalahannya barusan. Dia mencebikkan bibir, lalu menyilangkan tangan. "Yaudah."
"Virga, ini sudah malam. Jangan pulang sendiri, ya," ujar Gunter dengan lembut. Namun, kelembutan itu sirna begitu dia memandang Aksel. "Hei, Bujang, antarkan anak ini ke rumahnya. Khawatir aku kalau dia kenapa-kenapa di jalan. Rumah singgahmu dekat dengan rumah neneknya Virga, kan?"
Aksel mengernyit. Dia menatap Virga yang sudah beres-beres, memeluk papan catur yang sudah dilipat di tubuh kecilnya. Virga mengangguk sopan kepada Gunter. "Virga pamit dulu, Pak."
Gunter mengangguk. "Iya. Hati-hati di jalan ya, Vir."
Virga pun melangkah menuju rumahnya. Aksel hanya mengikuti dari belakang. Tak lama, Virga menoleh ke belakang, ingin memastikan apakah Aksel memang masih mengikutinya atau tidak.
Dan, pemuda itu masih ada di belakang, memberi jarak beberapa langkah di belakang Virga.
Virga menarik napas. Aksel Hadiraja adalah lelaki yang akan tinggal selama dua minggu ke depan di rumah Hizraka, tetangganya. Hizraka dulu pernah tinggal setahun di Lombok saat kelas satu SMA. Kelak setelah Virga agak dewasa, dia baru paham bahwa ayah Hizraka adalah seorang diplomat, sehingga sering pergi-pergi ke luar kota dan memboyong keluarganya.
Rumah yang dulu ditinggali Hizraka dan keluarganya selama di Lombok, saat keluarga Hizraka pindah kemudian ditinggali oleh orang-orang kepercayaan keluarga Hizraka. Jadi apabila mereka ingin ke Lombok untuk tinggal beberapa waktu, mereka cukup mendatangi rumah itu dan singgah di sana.
Virga sebenarnya tidak kenal-kenal amat dengan keluarga Hizraka. Dia hanya tahu dari obrolan orang-orang di sekitarnya yang membicarakan orang dari luar pulau yang baru masuk. Namun kali itu, Hizraka datang ke Lombok membawa tiga temannya yang lain, yakni pria berkacamata yang Virga lupa siapa namanya, lalu seorang lelaki gendut bertubuh tinggi menjulang dan berkulit gelap yang katanya adalah kakak dari Aksel, serta Aksel sendiri.
"Kepala lu kecil banget, sih, Vir," ujar Aksel ketika mereka sudah mau sampai di rumah Virga. "Tapi, untungnya badan lo kecil juga."
Virga memelankan langkah. Mendengak, menatap bingung. "Emang kenapa, Kak?"
"Nggak apa-apa, sih. Cuma lucu aja. Kepala kecil, hehe."
Virga mengernyit, masih menatap bingung.
"Pacil," ujar Aksel, terkekeh-kekeh. "Lucu kali ya, kalau lo dipanggil kayak gitu."
Virga mengerjap. "Pacil itu apa?"
"Singkatan dari 'Kepala Kecil'." Aksel menyengir, lalu mematuk-matuk ubun-ubun Virga dengan tangannya yang dia bentuk seperti paruh burung. Patukannya tidak kerus, sehingga Virga tak merasa sakit. "Pacil, Pacil, Pacil, Kepala Kecil," ujar Aksel, terkekeh girang.
Virga kembali mengernyit dengan tatapan bingung. Dia tak menghentikan Aksel yang terlihat gemas mematuk tangannya di kepala Virga. Sebab seisi otaknya bingung, dan melancarkan satu pikiran.
Orang ini kenapa, ya....
Aksel menghentikan tangannya, dan memasukkan kedua tangannya di saku celana sambil tersenyum-senyum. Virga pun menjauh beberapa langkah sambil memeluk papan catur di dadanya. Perlahan, dia berjalan lebih cepat, kemudian berlari menuju rumahnya. Beberapa gadis yang berada di sekitar situ hanya memusatkan perhatian mereka pada Aksel yang rupawan. Tak menghiraukan Virga yang cuma anak kecil bau kencur. Kemudian, Aksel melambaikan tangannya ketika Virga menjauh. "Hati-hati, Pacil! Ketemu lagi besok!"
Virga mendengarnya, tetapi tidak membalas. Dia tidak tahu harus membalas apa.
Diaa baru bertemu Aksel tiga hari yang lalu saat neneknya mengobrol dengan orangtua Hizraka di hari pertama Hizraka sampai ke rumah. Kala melihat Aksel, kalimat pertama yang spontan melintas dalam otak Virga adalah: ganteng. Paras Aksel terlihat seperti lelaki berwajah aristokrat yang atraktif. Dan,Virga tak tahu siapa yang memicu khayalan atau angan-angan dalam benaknya. Namun, Aksel memang terlihat seperti sosok pangeran negeri dongeng. Bedanya, pangeran satu ini tak punya wajah welas asih nan baik hati. Wajahnya justru tengil bukan main. Terlihat suka petualangan dan tantangan. Tak bisa diam.
Barangkali yang memicu khayalannya adalah tontonan di televisi yang banyak menayangkan tontonan tentang percintaan. Atau barangkali, ini terjadi karena teman-teman Virga pun sudah mulai berdandan agar terlihat cantik demi menarik hati lawan jenisnya. Dalam tayangan drama-drama televisi yang Virga lihat, sang tokoh utama memang pasti cantik-cantik, dan karena itulah para karakter lelaki yang terlihat tampan jatuh cinta kepada mereka. Hidup mungkin memang cuma masalah mendapatkan pacar, kemudian menikah dan bahagia selama-lamanya kayak Cinderella, begitu pikir Virga kecil.
Hanya saja sebagaimana anak-anak pada umumnya, Virga belum terlalu paham bahwa untuk mencapai kebahagiaan, rintangannya memang tak pernah semudah itu.
[ ].
A/N
Tiap chapter emang dikit. Sebenernya buat menyesuaikan dengan kesibukan gue juga sih. Temen2 gue sama beberapa senior juga ngaku pada nggak nyangka gue masih mampu nulis di sela-sela semester pembantaian yang gue alami sekarang. And, I wanna keep this update constant. Jadi walaupun satu chapter isinya dikit, at least gue masih mampu buat update secara konsisten dan nggak kelamaan. Gue nggak mau membebani diri gue dengan harus nulis minimal 2k words per chapter karena gue merasa nggak akan sanggup melakukannya saat gue masih di masa kuliah, beda sama "Afirmasi" yang gue tulis pas gue lagi libur semester. Awalnya gue pun nggak yakin bisa nulis ceritanya dd acel di semester ini. Makanya gue juga nggak mau terlalu terikat sama waktu kayak harus update tiap hari apa gitu. Karena gue nggak sanggup berhubung laporan kuliah gue pun merepotkan dan sering dadakan hahaha.
Di NTdTK (Nona Teh dan Tuan Kopi) emang nggak ada detail Aksel dan Virga gimana awal mula kenalnya. Cuma pernah di-mention dikit sama Aksel di Parak (buku 1 NTdTK) bahwa dia sama Virga ketemu di Lombok. Makanya di sini mau gue tunjukkin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top