4 : Kenyataan :

4

: k e n y a t a a n :

2003


Penasaran, Aksel pun mencari tahu dengan menguntit pacarnya dan Ramon.

Berdasarkan info dari salah satu temannya, dia melihat Ramon dan pacar Aksel di salah satu kafe dekat sekolah saat malam minggu. Asumsi Aksel, mereka mungkin akan berkencan lagi.

Nadia - pacar Aksel saat itu yang kemudian Aksel lupakan siapa namanya - Aksel ikuti sepulang mereka sekolah. Nadia tak langsung pulang setelah bel pulang sekolah berbunyi.

Dari ujung lapangan yang dekat dengan gerbang sekolah, Aksel memerhatikan Nadia yang terlihat sedang berdiri di depan pos satpam. Gadis itu sibuk dengan ponselnya. Tak lama, Nadia pun mulai berjalan menjauhi pos satpam. Aksel segera menutup kaca helmnya dan berkendara mengikuti gadis itu diam-diam. Hari ini, dia bertukar motor dengan motor Nolan dan mengganti tas yang dia biasa kenakan. Tubuhnya juga sudah dibalut jaket yang sangat jarang dia pakai. Setidaknya dengan begitu, dia takkan terlalu dikenali.

Setelah berjalan di beberapa belokan, Aksel menghentikan motornya dan melihat Nadia berjalan ke arah seorang pengendara motor sport yang sudah Aksel kenali. Motor Ducati hitam-oranye yang terlihat sangat mencolok di depannya itu jelas milik Ramon. Aksel masih terdiam di belakang pohon, pura-pura mengetikkan sesuatu di ponsel agar tak terlalu mencurigakan. Setelah Nadia dan Ramon mulai beranjak pergi, barulah Aksel menyimpan ponselnya dan berkendara mengikuti mereka.

Tempat yang dituju adalah sebuah kafe yang agak jauh dari sekolah. Ramon menghentikan motornya di lapangan parkir, lalu memasuki kafe sambil menggandeng Nadia.

Pelan, Aksel mengikuti mereka, lantas mencari tempat dekat, tetapi agak tersembunyi untuk mengintai pacarnya. Pilihannya jatuh pada kursi di belakang kursi yang Ramon dan Nadia tempati. Kursi itu berupa bangku panjang dengan bantalan duduk yang saling memunggungi, sehingga Aksel tetap bisa mendengar apa yang Ramon dan Nadia bicarakan.

Aksel menaikkan masker tipis di wajahnya. Usai memesan minuman, Aksel mengamati Nadia dan Ramon yang terlihat asyik dan tertawa-tawa sambil memesan makanan. Kemudian, Ramon terkekeh, menatap Nadia dengan tatapan dalam, lalu mengecupi kening hingga pipi Nadia berkali-kali.

Ebuset. Aksel mengangkat alis, nyaris membuka mulut. Si Ramon kan, udah tahu kalau Nadia pacar gue. Kenapa masih dilibas? Dia nggak laku banget emangnya, sampai ngembat cewek orang?

Menarik napas panjang, Aksel pun kembali fokus pada targetnya. Aksel tak suka diberi harapan sampah. Kalau memang Nadia tak lagi menyukainya, kenapa masih memepertahankan hubungan?

Ramon membisiki sesuatu di telinga Nadia yang membuat gadis itu terkikik. Dengan gerakan halus dan terlatih, Ramon memiringkan kepala dan mengecupi leher Nadia.

Ucetdah. Aksel menahan diri agar tidak geleng-geleng kepala. Itu Nadia kagak takut semisal Ramon beneran punya penyakit kelamin terus ketularan dia, ya?

"Eh, udah dong, Ram. Malu ih, ntar dilihatin pelayan," ujar Nadia, menahan wajah Ramon agar tidak mendekati lehernya lagi.

"Biarin aja mereka lihat," balas Ramon, santai. Dia memberi senyum miring dan tatapan berbinar penuh tantangan. "Kamu mau aku ngelakuin lebih dari ini, tapi nggak mau para pelayan itu nyadar apa yang aku lakuin pun, aku bisa." Seringai Ramon melebar. "Mau nyoba?"

Nadia terkikik. "Nakal ya, kamu."

"Tapi, kamu senang aku nakalin," ujar Ramon dengan nada mengeluarkan fakta.

Nadia tertawa. "Pede banget, sih."

"Lah, emang benar. Kalau kamu nggak suka, harusnya kamu udah ninggalin aku dari awal."

Nadia tersenyum, menatap Ramon penuh cinta. "Ramon, Sayang, ada banyak cewek di sekolah yang mau jadi pacar kamu. Tapi, kenapa kamu milih aku?"

Ramon tersenyum manis. "Karena aku sukanya sama kamu, bukan sama mereka. Lagian emangnya kalau masalah suka, bisa dipaksa-paksa?"

"Hehe, enggak, sih." Nadia tersenyum-senyum. Memainkan rambut Ramon yang agak acak karena sehabis naik motor. Kendati demikian, fisik lelaki itu masih terlihat mampu membuat perempuan menoleh dua kali. "Kamu jangan ngerokok sama main ke club lagi ya, Sayang. Bahaya buat kamu. Mending, kamu ketemu sama aku aja."

Seringai Ramon melebar lagi. "Main di mana?"

"Ya... kita bisa kayak gini. Ke kafe, atau kamu main ke rumahku."

"Atau kamu yang main ke rumahku." Ramon tersenyum manis. "Sabtu depan orangtuaku nggak ada. Kita bisa jadi penguasa rumah seharian. Aku aja yang jemput kamu. Kita makan bareng, terus kamu bisa nginep di kamar tamu."

"Hm, sounds like a good idea."

"Jelaslah. Spending time together with you will always be a good idea."

"Gombal, ih."

Ramon tertawa. "Jadi, gimana? Sabtu depan jadi, kan?"

"Jadi, dong."

"Kamu mau dijemput? Mau kujemput pakai Ducati atau pakai mobil Jaguar? Atau pakai helikopter sekalian?"

Nadia tertawa. "Lebay, ah, pakai helikopter segala. Orang rumah kita masih satu kota."

Kedua sejoli itu tertawa lagi. Aksel mengamati sambil memutar-mutar bola mata. Kenapa Nadia tak bisa membuka mata bahwa apa yang diucapkan Ramon itu hanya kemanisan omong-kosong? Gombalan tak bermakna?

"Kamu lihat sendiri," ujar Ramon. "Aku udah nggak ngerokok. Aku seminggu ini udah nggak ke night club lagi. Udah nggak minum-minum. Semua karena dan demi kamu."

"Iya, aku percaya." Nadia mengelus pipi Ramon. "Dipertahankan ya, Sayang. Buat kebaikanmu juga, kan? Nanti kalau udah gede, udah nikah, masa mau ke night club terus?"

Ramon tersenyum dan mengecup kening Nadia. "Iya, janji. Aku kan, bisa berubah begini karena dorongan dari kamu. Makasih ya, Sayang."

Aksel memutar bola mata sambil mendesah. Berubah ndasmu? Orang jelas-jelas minggu lalu itu lo ngajak gue ke night club.

"By the way, Sayang, gimana kamu sama si Aksel sekarang?" tanya Ramon, seketika membuat Aksel menajamkan pendengaran. "Masih pacaran kalian?"

Nadia menghela napas berat. "Iya, maaf, ya. Padahal aku nggak berniat memperpanjang hubungan sama dia. Aku juga nggak nyangka kamu rela jadi.... Jadi orang ketiga gini...."

"Jangan ngomong gitu," ujar Ramon, memeluk Nadia. "Aku rela jadi orang ketiga karena aku sadar aku butuh kamu, Nad. Kamu yang bisa bikin aku berubah jadi lelaki yang lebih baik. Cuma kamu. Nggak pernah sekali pun aku cinta ke cewek sampai rela jadi orang ketiga begini. Tapi, aku nggak bisa berubah kalau nggak ada kamu. You are my whole life right now."

Nadia tersenyum lembut. "Iya, Ram." Dia mendesah. "Aku mau putusin Aksel, tapi aku nggak tahu gimana caranya. Dia... nggak punya kesalahan juga, Ram."

"Kalau alasannya kamu udah nggak ngerasain hal yang sama kayak dulu?" tanya Ramon.

"Aku tuh juga udah nggak bisa nerusin hubungan sama Aksel. Kami tuh cuma... ya cuma gitu-gitu aja. Nyamperin pas istirahat, makan bareng, tapi dia nggak pernah datang buat malam mingguan. Cuma chatting doang. Sementara kalau sama kamu, aku ngerasa aku bisa ngelakuin segala hal di dunia ini. Kamu selalu datang pas aku butuh. Beneran datang, nggak cuma ngomong di chat bilang peduli. Kamu bantuin aku di sekolah, bahkan kamu mau nungguin aku sampai aku selesai rapat OSIS malam-malam. Aksel? Paling dia cuma bilang hati-hati dan kabarin kalau udah sampai rumah." Nadia mengembuskan napas. "Iya sih, Aksel cakep, pintar, baik. Aku juga diperlakukan dengan baik sama dia. Tapi, ya hubunganku gitu-gitu aja. Jadi berasa... kurang aja gitu. Dia nggak ada pengorbanannya."

Aksel mengangkat alis dan membuka mulut, kaget. Ya buat apa anjir ada pengorbanan? Emangnya lo siapa? Orang gue aja masih harus belajar buat dapat nilai yang beres. Gue juga di weekend ada kursus bahasa asing dan mulai belajar struktur perusahaan bokap.

Hendak Aksel ingin mengkonfrontasi Nadia, tiba-tiba ada seorang perempuan yang mendatangi meja Ramon. Dan detik selanjutnya, dia menuangkan kopi di kepala lelaki itu.

Ebuset.

Perempuan itu melotot, tak memedulikan Ramon yang mengaduh kepanasan karena kopi yang dituangkan di kepalanya. "Jadi gini kelakuan lo?" ujar perempuan itu dengan nada tinggi. "Lo udah berani-beraninya buntingin gue, sekarang lo malah ketawa-tawa sama cewek baru lo?"

Aksel menarik napas. Dia tak menyangka akan menemukan adegan sinetron di hadapannya langsung. Sungguh.

Ramon melotot tak terima, kemudian berdiri dan mengintimidasi perempuan itu dengan tingginya. "Ngomong apa, lo? Tiba-tiba dantang nggak jelas malah tumpahin kopi ke kepala gue. Lo pikir lo siapa?"

"Lo lupa sama gue?" ujar gadis itu dengan nada lebih tinggi, memicu perhatian dari beberapa para pengunjung sekitar. "Gue cewek yang udah lo hamilin pas party teman lo!"

Ramon melebarkan mata, menyadari sesuatu, kemudian segera berkilah, "Nggak usah ngawur! Ngomong apa sih, lo, nggak jelas."

"Kenapa balesnya gitu? Takut, ya, ketahuan sama yang lain kalau lo hamilin gue? Takut ketahuan sama pacar baru lo sekarang, hah?"

Ramon pun menyalak. "Kita waktu itu pakai pengaman! Itu di perut lo bayinya cowok lain kali."

"Pakai pengaman?" bisik gadis itu, sangsi. "Lo nggak ingat lo waktu itu datengin kamar gue dalam keadaan mabuk? Mana lo ingat pakai pengaman apa enggak!"

"Lo nggak usah ngibul. Dalam keadaan mabok juga gue pasti masih cukup waras buat pakai pengaman!"

Satu tamparan melayang ke wajah Ramon. Berbunyi nyaring hingga Aksel menahan napas. Ruangan sunyi seketika.

"Gue tahu lo bajingan," ujar perempuan itu, pelan. "Tapi, gue nggak nyangka lo bakal sepengecut ini buat ngehadapin masalah lo. Cuma mikirin senang-senang doang kan, lo? Mikirin cara dapetin cewek lain buat nikmatin tubuh mereka, dan akhirnya buang mereka kayak sampah? Otak selangkangan doang, malah bangga."

"Jaga mulut lo," ujar Ramon. Masih tak terima. "Kalau lo ke sini butuh duit, gue kasih. Lo nggak perlu ngedrama kayak gini."

"Duit?" bisik perempuan itu, tak percaya. "Lo pikir semua bakal selesai dengan duit? Ini gue beneran hamil, anak lo mau diapain, Ram? Mau dibesarkan kayak gimana?"

"Ya apa kek. Aborsi kek, apa kek. Lo masih sekolah gini, masa iya mau gedein anak? Lo aja masih minta duit orangtua."

Satu lagi tamparan melayang di pipi Ramon. "Enak ya, lo ngomong aborsi gampang banget. Seakan-akan bunuh anak gampang buat lo," ujar perempuan itu. "Ternyata benar dugaan gue. Harusnya gue nggak perlu datangin lo. Cowok pengecut otak selangkangan kayak lo emang nggak akan bisa mikir tanggung jawab."

Ramon melotot, seketika mencengkeram tangan sang perempuan dan menariknya hingga perempuan itu mengaduh. Nadia berdiri, kaget.

Gesit, Aksel segera melepas tangan Ramon yang terlihat sangat erat mengenggengam tangan sang perempuan, membuat Ramon dan Nadia membeliak. Aksel sudah tak memikirkan mereka lagi. "Udah pengecut, ternyata lo banci juga ya, Ram," ujar Aksel. "Beraninya sama cewek."

"Lo ngapain di sini?" tanya Ramon, tak suka. "Nguntit gue?"

"Nguntit Nadia," ujar Aksel tenang. Dia melirik Nadia sejenak. "Nad, as you wish, kita putus." Kemudian, dia kembali menatap Ramon. "I've had enough with you all. Gue nggak bisa tahan dekat-dekat mahkluk bego kayak lo. Karena lo itu manusia yang begonya dipelihara, tapi malah bangga."

Membeliak, Ramon menarik kerah baju Aksel. Bersiap meninjunya. Gerakan itu spontan memicu pekikan dari pengunjung lain.

"Mas, Mas, tolong jangan ribut di sini!" seru seorang pelayan yang berusaha melerai mereka. Beberapa pelayan lain ikut melerai, menarik tubuh Ramon dan Aksel ke arah berlawanan. Tak ingin ada pertumpahan darah di kafe tempat mereka bekerja.

"Nggak usah tarik-tarik gue!" bentak Ramon, menakuti pelayan yang menariknya hingga membuat orang lain meringis. "Lepasin! Lo pikir lo itu siapa?"

Aksel memilih untuk tenang dan bicara baik-baik kepada pelayan yang menarik tubuhnya agar melepaskannya. Dia sendiri tak berniat adu hantam dengan siapa pun hari ini.

Aksel meminta perempuan yang tadi meneriaki Ramon untuk menunggu di sudut ruangan, nanti akan Aksel antarkan pulang. Namun, perempuan itu menolak sopan. Dia segera pulang setelah memberi tatapan bengis kepada Ramon.

Aksel hanya ingin menolong perempuan itu, tetapi dia tahu, bagaimanapun juga, ini bukan urusannya. Ini adalah urusan Ramon dengan perempuan tersebut. Urusannya di sini adalah dengan Nadia.

Melirik Nadia, dia mendekati gadis itu, mengabaikan protes Ramon yang tubuhnya masih ditahan oleh pelayan. "Nad, gue mau ngomong di luar," ujar Aksel.

Agak ragu, Nadia akhirnya tetap mengikuti Aksel. Dia meminta Ramon untuk tetap tenang, sebab dia hanya akan sebentar bicara dengan Aksel.

Setelah dua remaja itu keluar, Aksel menarik oksigen ke paru-paru, lalu berkata, "Kenapa nggak minta putus dari dulu? Harus selingkuh banget di belakang gue?"

Nadia menunduk. Mengernyit. "Aku nggak niat selingkuh, Sel," ujar Nadia. "Sumpah, sama sekali enggak. Aku cuma nggak tega tiba-tiba putusin kamu padahal kita baru sebulan jadian. Kamu selama ini baik ke aku. Aku nggak bisa nemu apa yang salah. Mungkin aku yang salah. Dan kita juga nggak bisa maksain rasa suka kita, kan? Apa yang aku rasain pas awal ditembak dan pacaran sama kamu itu cuma excited aja. Banyak cewek yang mau sama kamu, Sel. Aku jelas ngerasa beruntung banget bisa jadian sama kamu. Tapi, Ramon datang dan nunjukkin hubungan yang real itu gimana. Bukan yang selalu baik-baik aja kayak kita gini. Kita terlalu... gitu-gitu aja."

"Emang lo maunya hubungan kayak gimana?" tanya Aksel. "Lo mau gue ciumin tiap ada kesempatan?

"Aku mau hubungan yang ada pengorbanan, Sel. Kamu nggak mau berkorban buat aku. Cuma nyamperin pas istirahat, makan bareng, dan kamu berusaha jadi pacar yang baik. Tapi... kalau sama Ramon, gue merasa spesial. Dia emang kasar, tapi dia nggak pernah sekali pun ngomong kasar di depanku. Dia mabuk, dia ngerokok, tapi dia berubah karena dia menghargai aku sebagai pacarnya. Sementara kamu... aku nggak tahu apa bedanya aku sama cewek-cewek lain selain aku sering kamu ajak makan siang dan SMS pas malam-malam. Kita bahkan nggak pernah nge-date, kan?"

Aksel terdiam. Benar-benar tak habis pikir. Apa salahnya? Dia tak paham bagian mana yang salah. Akhirnya dia berkata, "Sorry to say aja, Nad. Tapi, prioritas gue bukan lo. Gue juga punya kehidupan selain ngurusin lo, Nad. Kita juga masih SMA. Masa iya, lo ngarepin gue buat nyerahin hidup gue cuma buat bahagiain lo aja? Persetanlah sama pengorbanan dan segala macam. Gue sekolah juga masih buat belajar. Gue tiap Sabtu masih harus kursus bahasa asing dan pergi ke perusahaan bokap buat belajar sistem di sana. Gue juga punya hal-hal lain yang harus gue urus. Dunia ini nggak cuma berputar buat lo aja."

"Itulah bedanya, Sel," ujar Nadia, lelah. "Ramon rela nyetir jarak jauh demi jemput gue pas malam-malam, langsung inisiatif ngelakuin. Ramon rela nungguin aku rapat sampai malam buat kerjain event. Dia bahkan ikut bantuin. Dia juga ngajak aku buat lebih berani ngelakuin hal-hal yang selama ini nggak pernah aku lakuin. Dia mau meluangkan waktu buat bikin aku bahagia. Dia rela berkorban buat aku, dan karena itulah aku di sini, masih cinta sama dia karena aku menghargai pengorbanan dia buat aku. Nggak ada laki-laki yang pernah ngelakuin apa yang dilakuin Ramon ke aku, Sel."

Aksel terdiam. Menyipitkan mata. Dia sungguh-sungguh tak percaya ada perempuan yang mau-maunya menjalani hubungan toksik dengan lelaki semacam Ramon. "Lo nggak tahu kalau Ramon suka ML sama banyak cewek?"

"Tahu, Sel. Aku nggak bodoh," ujar Nadia. "Tapi, Ramon sendiri bilang kalau dia nggak masalah punya pacar nggak perawan. Lantas kenapa aku harus bermasalah kalau dia udah nggak perjaka? Itu juga masa lalu dia."

"Yakin?" tanya Aksel, sangsi. Dia tak tahu Nadia ini sengaja menutup mata dan telinga atau memang benar-benar mau dibodoh-bodohi. "Minggu lalu si Ramon ngajak gue ke club malam, minta gue ML sama cewek di sana, dan posisinya saat itu dia tahu gue masih pacaran sama lo. Dia juga mainan sama cewek di sana. Lo udah lama kan, selingkuh sama Ramon? Katanya lo nggak bego. Tapi, lo tutup mata lo sama hal ini?"

Nadia terdiam. Dia pun menelan ludah. "Dia bilang dia ke situ buat nemenin temannya aja yang mau party. Buat ngehargain temannya karena dia nggak enak kalau nggak datang. Aku percaya sama dia."

Aksel membuka mulut. Benar-benar tak percaya. Dia ingin mengadu argumen lagi, tetapi dia juga tak memiliki bukti atas ucapannya. Dan Aksel yakin meminta saksi mata dari teman-teman Ramon di sana pun juga percuma, sebab mereka pasti membela Ramon. "Gue sejujurnya kasihan sama lo. Lo baik, Nad. You deserve better than Ramon."

"Ramon udah cukup buat gue, Sel. Dia mungkin nggak sempurna dan melakukan kesalahan, tapi gue menerima dia dengan segala kekurangan dia, dan dia juga nerima segala kekurangan gue. Gue nggak yakin bisa nemu cowok lain yang mau menerima gue dan mau berkorban kayak Ramon."

Aksel membisu. Masih tak habis pikir.

Pada akhirnya, dia hanya bisa menarik napas, menyerah. Ini sudah berada di luar kontrolnya. Aksel yakin mau diusahakan bagaimanapun juga, Nadia akan tetap kukuh dengan pendapatnya.

Memilih untuk pulang, Aksel berpamitan baik-baik dengan Nadia dan pergi ke arah motor Nolan yang dia pinjam. Di sepanjang perjalanan, otaknya masih berusaha mencerna alasan logis kenapa Nadia bisa seperti itu. Dalam hati, Aksel sempat bertanya-tanya.

Nanti kalau kalian punya anak, anak kalian bakal gimana nasibnya?

Dan, pertanyaan Aksel akan segera terjawab. Sebab setahun kemudian, dia bertemu dengan gadis kecil yang memiliki orangtua seperti Ramon dan Nadia.

[ ].




A/N

Ramon is the real bad boy in real life.

Here's the thing about bad boys and players: they are manipulative. Lo nggak akan sadar dia lagi manipulasi lo buat percaya sama dia. Itulah kenapa banyak cewek bisa dibego-begoin sama bad boy (selain karena pengaruh media massa yang mendewakan bad boy). Karena bad boys always know what we want. Dan, siapa yang nggak mau dirinya di-please oleh orang yang paham apa yang benar-benar kita inginkan?

Bad boy yang beneran bad boy (bukan sekadar cowok sekolah nakal yang suka bolos, males, telat masuk sekolah dsb) itu pintar main empati. Kalau kata gue, bad boy sebenarnya rada 'sakit' sih. Makanya gue kalau udah nemu mahkluk-mahkluk begini mending gue hindari. Karena mereka 'sakit'. Dan cewek-cewek (ya idk, mungkin karena nature sebagian besar cewek untuk 'ngemong' kali ya) jadi kayak mau 'ngemong' cowok yang kelihatan membutuhkan si cewek itu di balik betapa kuatnya si cowok. Terus lama-lama si cewek jadi ikut ketergantungan juga sama si cowok.

Gue ngomong bad boy itu rada 'sakit' bukan karena tanpa alasan, ya. I mean, gue belajar tentang psikopat buat novel Nona Teh dan Tuan Kopi. Gue baca artikel-artikel psikopatnya selama 2 bulan njay. Gue nggak ngomong gini asal ceplos karena gue tahu traits manusia hingga bisa didiagnosis sebagai psikopat itu kayak apa. Dan gue ngomong gini juga karena gue resah, sebab gue tahu orang-orang manipulatif macam bad boy in real life itu 'sakit' (gue ga bilang mereka psikopat karena emang belom tentu, tapi yang gue yakini mereka emang rada 'sakit' dan manipulatif) dan 'sakit'nya mereka itu bukan sesuatu yang bisa disembuhkan sama cewek yang dia cinta kayak di media massa yang kalian lihat selama ini kalian lihat. Ya lo mending belajar psikologi dan ilmu kejiwaan dulu deh sebelum sok-sok mau jadi game changer kayak Nadia.

Silakan baca penjelasan Kak @fairywoodpaperink tentang bad boy in real life di bawah ini:

PLEASE, jangan samakan bad boy kayak Ramon dengan cowok kayak Nolan yang tatoan, ngerokok, dan ragu sama keberadaan Tuhan. Nolan nggak 'sakit'. Dia juga nggak berusaha manipulasi orang-orang demi keuntungan dia. Orang kayak Nolan itu masih aman buat lo temenin dan ngobrol bareng. Tapi kalau yang kayak Ramon... lo nggak harus ngehindarin, sih. Tapi be careful aja. Takutnya kalau lo lagi lemah iman, lo kemanipulasi sama dia. Apalagi kalau lo gampang baper, gampang ngarep, dan doyan ngayal ketinggian. Mampus aja udah.

p.s. Gue rekomen kalian buat nonton film Posesif yang dibintangi Adipati Dolken dan Putri Marino. Bukan cuma buat menikmati film Indonesia, tapi juga buat edukasi ke kalian karena menurutku akting dan jalan ceritanya realistis. Buat edukasi maksudku, biar kalian tahu hubungan pacaran yang toxic itu kayak gimana (pacaran, tapi si cewek kelihatan kayak dibodohi-bodohi dan si cewek seneng-seneng aja, terus si cowok manipulatif, atau sebaliknya si cowok yg dibego-begoin sementara ceweknya manipulatif, pokoknya hubungannya 'beracun' dah).

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top